SUNGAI BEROMBANG DARI MASA KE MASA



Setawar Sedingin
Kerinduan akan adanya sebuah karya tulis yang bercerita tentang Sungai Berombang dan Sekitarnya yang begitu amat dan teramat langka dan boleh dibilang tidak ada, maka penulis memberanikan diri untuk memulainya, karena bila tak berani memulai sama saja pasrah dengan keadaan yang dekat dengan sebutan apatis dan tak mau tahu.

Sumber-sumber informasi lain (karena tulisan dan dokumen tidak ada dijumpai) berupa orang-orang yang mengetahui sejarah Sungai Berombang pun sudah berpulang satu satu, jikalaupun masih ada juga merupakan pendengar dari pendahulunya, bukan merupakan saksi sejarah.

Demikian susahnya untuk mencari informasi dan mengkonfirmasi hal-hal yang selama ini penulis ketahui dari penuturan Atok, Nenek, Uwak Pakcik, Makcik, Bunde, Abang, Kakak, serta masyarakat Sei. Berombang lainnya yang penulis dengar dahulu.Terkadang penulis hanya berintuisi dibekali dengan sejarah-sejarah daerah lain dan menganalogikannya dengan kultur, etnis, geografis, dan social ekonomi masyarakat Sungai Berombang dihubungkan dengan kondisi kekiniannya.

Mungkin dengan tulisan ini dapat memancing para penyimpan sumber informasi mengeluarkan pendapat ataupun bukti-bukti sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan untuk koreksi karya penulis ini kedepan.

Semoga bermanfaat terutama bagi adik-adikku yang cinta kampong halaman.


                                                      Wassalam,
                                             Medan, 20 Desember 2015


                                              Drs. Harunsyah, M.AP


1. Masa Kerajaan Air Merah (Panai)


Gambar : Pangeran Panai

Pada masa ini tidak banyak tulisan-tulisan di perpustakaan Indonesia yg dapat dijadikan rujukan, boleh dibilang tak diketahui sama sekali, bahkan situs situs peninggalan sejarahpun tak dapat kita jumpai. Mungkin pada masa itu kawasan ini hanyalah sebuah kampung nelayan yg dihuni beberapa keluarga saja. Berbeda halnya dengan Labuhan Bilik sebagai pusat kerajaan kecil Panai (Air Merah).

Sesuai dengan topografinya, daerah ini adalah sebuah ujung tanjung dari sebuah daratan di pesisir Timur Sumatera, tepatnya perbatasan antara Sumatera Utara dan Riau Daratan. Mungkin saja masih hutan belantara dipedalamannya dan hutan mangrove di pesisirnya. Ini dapat dibuktikan dari melihat sungai sungai kecilnya dan perkebunan rakyatnya sekarang yg relatif masih orisinil dan muda. Begitu pula dengan pemukiman dan infrastrukturnya. Sekali lagi berbeda dengan Labuhan Bilik yg punya istana (sayang sudah hilang) dan Mesjid Rayanya. Begitu juga bila kita lihat peninggalan berupa kuburan kuburan tua, tidak dijumpai di bawah tahun 1800an.

Lalu lintas perdagangan pada masa itu yg menggunakan moda angkutan sungai dan laut, menggunakan perahu perahu kayu memakai layar hanya melintasi kawasan ini saja dari Panai ke Malaka atau sebaliknya. Bagi nelayan-nelayan di Kerajaan Panai menjadikan tanjung ini sebagai tempat persinggahan ataupun untuk beristirahat dengan menambatkan perahunya di paluh paluh (muara sungai kecil) yg banyak terdapat disini), menunggu cuaca atau angin yg baik. Lama kelamaan mereka bermukim disini dan membuka perkampungan. Sebagian nelayan itu (kebanyakan para istri dan anak anaknya) bercocok tanam dan bertani (ladang padi tadah hujan). Inilah cikal bakal maayarakat Sei. Berombang sebagai masyarakat nelayan dan petani.

2. Masa Pendudukan Kolonial Belanda

Gambar : Tentera Belanda dari Labuhan Bilik speksi ke Sungai Berombang sebagai Pos Pemantau Kuala Barumun

Sudah jamak pada masa dahulu masyarakat sering menamakan suatu daerah dengan situasi, kondisi, dan keadaan alamnya. Misalnya Air Merah, Pinang Sebatang, Air Hitam, Panipahan, Tanjung Lumba Lumba, Si Jawi Jawi, dll.

Begitu pula dengan Sungai Berombang, mungkin saja karena di tepian sungai sungainya banyak terdapat pohon pohon berombang (termasuk spesies mangrove, tumbuhan pantai).

Sesudah pendudukan kolonial Belanda di Sumatera Timur tepatnya setelah menduduki Kerajaan Besar Siak di Riau akibatnya adanya perjanjian pertukaran daerah jajahan antara Kerajaan Belanda dengan Kerajaan Inggris (Baca juga blog Harunsyah.blogspot.co.id).

Kerajaan Siak yg pada masa itu condong berpihak dan dibantu Kolonial Inggris yg telah menguasai tanah seberang (Semenanjung Malaysia) akibat perjanjian tersebut diserahkan kepada Belanda, sebagai gantinya Malaka dan Tumasik (Singapura) diserahkan Belanda kepada Kolonial Inggris (Gubernur Stanford Raffles).

Akibatnya, Kerajaan Siak dan kerajaan kerajaan kecil di Sumatera Timur yg berada dibawah pengaruh Kerajaan Siak seperti Kerajaan Asahan, Kerajaan Batubara, Kerajaan Serdang, juga sampai Kerajaan Panai (Air Merah) jatuhlah dalam kekuasaan Belanda.

Tidak bisa kita pungkiri bahwa pada masa pendudukan Belanda ini banyak pembangunan yg dilaksanakan Belanda di tanah jajahannya untuk mendukung bisnis VOC dibidang perkebunan dan perdagangan. Maka dibangunlah sebuah pelabuhan besar untuk kawasan ini (Sumatera Timur) di Labuhan Bilik. Dengan adanya pelabuhan besar itu maka berkembanglah dengan pesat kawasan Panai. Arus perdagangan yg menghubungkan Panai ke Tanah Semenanjung Malaya, Asahan, Batubara, Deli, Bengkalis, dll setiap hari memenuhi perairannya. Maka terkenallah Panai ke seantero Sumatera Timur dan Tanah Semenanjung. Asimilisi kultur budaya serta penduduknya sudah menjadi kelaziman. Banyak terjadi perkawinan diantara mereka begitu pula migrasi penduduk antar wilayah ini.

Gambar : Pelabuhan Labuhan Bilik, sekarang telah hilang tergerus abrasi air laut dan erosi pantai

Berkembangnya Pelabuhan Panai diikuti dengan pembangunan Infrastruktur dan suprastruktur. Terbangunlah jalan yg bisa dilalui mobil mobil serdadu Belanda sampai ke Sungai Berombang untuk memantau arus keluar masuk dan lalu lintas kapal kapal di muara Sungai Barumun. Di ujung Sungai Berombang dijadikan pos pemantau oleh Belanda dan kapal patrolinya serta kapal keruk untuk menjaga kedalaman Sungai Barumun agar mudah dilalui kapal kapal besar di standby kan disini.
Dibangunlah kantor Douane (Bea Cukai), Syahbandar, Tentera Laut Belanda, dll berbilik-bilik di sepanjang Pelabuhan. Mungkin inilah masayarakat menamakan daerah ini dengan LABUHAN BILIK.


Gambar : Kapal-kapal dagang milik Belanda dan Eropa lainnya sering memasuki Sungai Barumun


Berkembanglah kawasan ini menjadi sebuah kota, dibangun pula Jawatan Listrik Belanda (PLNnya Belanda), Rumah Sakit Umum, Sekolah Sekolah, Rumah Tahanan (Penjara), Stadion Olah Raga, dll. 

Sementara itu Sei. Berombang turut juga mulai ramai. Para pe-semokel (penyeludup) yg menghindari belesting (pajak) dari Belanda menjadikan kawasan ini sebagai basis dan tempat persembunyian. Mulailah masuk etnis Cina ke daerah ini untuk menyelundupkan candu dan ditukar dengan hasil hasil alam seperti kopra, damar, rotan, dll.

Satu lagi yg perlu kita puji dari masa pendudukan Belanda adalah mereka telah mengajarkan kepada petani kelapa si Sungai Berombang cara berkebun kelapa dengan baik, sehingga hasilnya menjadi lebih baik pula. Padahal tadinya kelapa (kelambir) ini adalah tumbuhan yg tumbuh sendiri tanpa ditanam apalagi dibudidayakan. Belandalah mengenalkan budi daya kelapa kepada penduduk Sei. Berombang. Mulai sejak itu sebagian nelayan beralih membuka lahan perkebunan kelapa rakyat yg hasilnya (kopra):ditampung oleh Belanda (dikirim ke Riau untuk diolah). Kemudian muncullah pabrik pabrik kecil pengolahan kopra milik etnis cina disini.

Gambar : Kebun kelapa rakyat setempat, hasil pendidikan budi daya tanaman dari Kolonial Belanda

  
 
3. Masa Masuknya Masyarakat Mandailing Dari Hulu Barumun

Sungai Barombang masyarakat aslinya adalah Melayu Panai, kemudian karena dibawah pengaruh Kerajaan Besar Pagaruyung maka suku suku dibawah pengaruh kerajaan ini banyak merantau ke daerah ini untuk mengadu nasib seperti suku Minang dan Riau yang berbatasan langsung dengan daerah ini. Kemudian setelah dibukanya Pelabuhan di Labuhan Bilik oleh Belanda, maka ramailah Sungai Barumun menjadi lalu lintas perdagangan. Disamping berdagang secara legal banyak pula yang ilegal (menyelundup/semokel).

Pelaut-pelaut suku Cina dari Riau (Panipahan, Bengkalis, Bagan Siapi Api, Dumai, dan sekitarnya), dari Malaka, bahkan Singapura (dahulu Tumasik) masuk ke wilayah Sungai Barumun untuk menyelundupkan barang barang dagangan menghindari pajak Belanda. Banyak pula diantara mereka membawa masuk kesana barang yg dilarang Belanda seperti candu dan alkohol. Mereka bersembunyi di paluh paluh (Sungai Berombang).


Mulailah sejak saat itu Sungai Berombang menjadi ramai, para nelayan disana mulai berasimilasi dengan etnis Cina ini, mereka awalnya menjadi buruh dan anak kerja etnis ini di kilang kilang padi, minyak kelapa, gudang, kapal dagang, kapal penangkap ikan, jermal, dll. Dari asimilasi ini nelayan nelayan setempat belajar membuat perahu, kapal, alat tangkap ikan, berdagang, bahkan menyelundup.

Sekitar akhir abad ke 19 (1800 akhir) masuklah pendatang pendatang dari hulu Sungai Barumun. Kemajuan dan keramaian bandar di muara sungai ini sampai juga ke telinga mereka disana. Banyaklah pemuda-pemudanya yang mencoba peruntungan ke daerah ini menggunakan rakit menyusuri Sungai Barumun berhari hari bahkan berbulan bulan lamanya. Oleh karenanya mereka sering berombongan dengan membawa keluarga dan bontot yang cukup. Bila persediaan habis maka mereka berhenti di tempat itu dan membuka lahan untuk bercocok tanam dan beternak. Inilah awal banyaknya tumbuh daerah baru di sepanjang pesisir Sungai Barumun, seperti Tanjung Medan, Meranti Paham, Gajah Mati, Aek Jamu, Tanjung Sarang Elang, Sungai Pegantungan, Sungai Lumut, Sungai Sanggul, Sungai Sakat, dll. Inilah sejarahnya di daerah ini mayoritas masyarakatnya mempunyai marga asal hulu Sungai Barumun, seperti Hasibuan, Harahap, Lubis, dll.


4. Pengaruh Masuknya Suku Mandailing Angkola Dari Hulu Sungai Barumun dan Hulu Sungai Bilah
Seperti telah diceritakan terdahulu, para migran dari hulu Sungai Barumun seperti marga Hasibuan, Harahap, Lubis, dll masuk ke wilayah ini (Panai sekitar) membuka kampung-kampung baru di sepanjang pesisir di kiri dan kanan Sungai Barumun.

Awal keberangkatan mereka dari kampung halaman adalah untuk mencoba merubah nasib di sebuah bandar di dekat muara Sungai Barumun (Labuhan Bilik) yang pada masa itu tersohor ke seantero Sumatera sebagai bandar yang ramai dan maju perdagangannya. Disana mudah mendapatkan barang-barang kebutuhan baik dari dalam negeri maupun luar negeri (bayangkan seperti Batam sekarang). Sementara kehidupan mereka di kampung asal sulit memperoleh kebutuhan sandang dan kebutuhan sekunder lainnya, hanya sekedar kebutuhan akan makan dan papan yang masih mudah diperoleh disana. Sesuai kodrat manusia tentu saja kebutuhannya terus meningkat (dari kebutuhan pokok/primer terus meningkat kepada kebutuhan sekunder bahkan tertier dan seterusnya) sesuai dengan level kehidupannya. Bagi pemuda pemudanya tentu saja kepingin tahu dan tertarik untuk datang kesana untuk mencoba peruntungan.

Pada masa itu sarana transportasi utama adalah air (sungai dan laut), jikalaupun ada transportasi darat adalah dengan mempergunakan kuda melalui hutan perawan, gunung dan lembah, karena jalan darat belum ada yang menghubungkan daerah-daerah di Sumatera Utara bahkan di Nusantara. 

Di hulu Sungai Barumun pada masa itu belum mengenal perahu, maka dipergunakanlah rakit-rakit besar yang terbuat dari batang-batang bambu yang disusun, dibuat memakai atap daun rumbia untuk berlindung dari hujan dan panas serta menyimpan perbekalan (seperti pondok pondok sawah) sehingga mampu menampung beberapa orang (keluarga).

Rombongan ini terkadang ditengah perjalanannya sering menghadapi rintangan, apakah itu cuaca, keadaan air sungai, binatang air dan darat, penyakit, melahirkan, kematian, kehabisan persediaan, dll. Inilah yang membuat terkadang diantara rombongan itu berhenti pada suatu daerah dan membuka kampung sementara disana sebelum sampai ke tempat tujuan, banyak pula menjadikan daerah baru ini sebagai tempat menetap permanen. Itulah asal muasal terbukanya kampung-kampung di sisi kiri dan kanan Sungai Barumun. Sebagai bukti dapat kita lihat dari marga, budaya, adat istiadat, rumah dan corak cocok tanaman mereka sampai sekarang. Pasti tidak jauh berbeda dari kampung asalnya. Inilah yang mempengaruhi kehidupan masyarakat Panai secara keseluruhan, berbaurnya adat budaya antara melayu pesisir (penduduk asli), Kubu (Riau), Pagaruyung, Mandailing dan Cina.

Ini dapat dilihat dari pesta pernikahan masyarakat disana yang memadukan antara adat budaya Melayu Pesisir (Sumatera Timur sampai Riau), Minang dan Mandailing). Cina tidak begitu tampak karena perbedaan agama dan kepercayaan.

Juga dapat dilihat dari bahasa daerah ini banyak dipengaruhi bahasa Riau dan Minang, seperti penyebutan "ika" (dalam bahasa Minang dan Riau adalah iko) yang maksudnya adalah ini.

Begitu juga bahasa Mandailing (yang disebut masyarakat disana sebagai bahasa ulu, karena berasal dari Hulu Sungai Barumun), dipakai sebagian masyarakatnya disana sampai sekarang.

Sungai Barombang oleh suku Cina disebut dengan "tuakak", penyebutan ini populer bagi orang orang Cina sampai ke daerah lain. Pengaruh masyarakat Cina ini lebih terasa bila kita melihat alat tangkap ikan disana, seperti jaring, pukat, perahu, kapal, jermal. Bahkan penyebutan kapal besar dari kayu untuk mengangkut balok "tongkang" adalah dari bahasa Cina, begitu pula penyebutan beberapa nama-nama ikan seperti "pekcau", udang kelong, dll.

Dilihat dari rumah-rumah disana juga terasa dipengaruhi kampung asal, lihatlah rumah-rumah yang dibangun oleh masyarakat ulu (biasanya di kampung-kampung di sekitar Panai) bercorakkan rumah panggung mandailing. Kedai-kedai di pekannya bercorakkan rumah "loteng" Cina.
Gambar : Rumah Alm. Ibrahim Azhar Hsb (Tuan Kadhi Sei. Sakat)

Hampir sama dengan kedatangan para migran dari hulu Sungai Barumun, demikian pula halnya dengan pendatang dari hulu Sungai Bilah. Masyarakat di hulu Sungai Bilah yaitu dari daerah sekitar Sipirok Dolok Hole yang bermarga Siregar, Ritonga, Rambe, Pohan, dll mendengar kabar adanya bandar yang ramai dan maju di pertemuan Sungai Bilah dan Sungai Barumun. Bandar ini maju perdagangannya serta menjadi pintu masuk barang barang dari negeri seberang yg sangat diminati dan dibutuhkan masyarakat pada masa itu seperti pakaian, roti, obat obatan, tekstil, pupuk, pecah belah, dll.

Pada masa itu kota Rantau Prapat hanyalah sebuah hunian kecil tempat para amtenar perkebunan Belanda yg ditempatkan disana mengawasi perkebunan Belanda sekitar Aek Nabara sampai Marbau.

Masyarakat pendatang dari hulu Sungai Bilah ini hampir persis sama dengan masyarakat di hulu Sungai Barumun datang ke daerah Panai ini pada mulanya untuk mengadu nasib. Mereka datang juga mempergunakan rakit besar berpelindungan dari hujan dan panas. Diantaranya ada yg belum sampai ketujuan telah membuka kampung kampung baru disisi kiri dan kanan Sungai Bilah, seperti Silangkitang, Batu Badar (Aek Monang), Parlabian, Pangkatan, Kampung Sona, Aek Tampang, Si Jawi Jawi, dll.

Gambar : Sungai Bilah
Negeri Lama adalah salah satu kampung yg ada di sisi Sungai Bilah, namun negeri ini sudah ada sebelum kedatangan para pendatang hulu Sungai Bilah ini. Negeri Lama adalah sebuah kerajaan kecil Melayu Bilah, rajanya diberi gelar Tengku dan merupakan keturunan Raja Kota Pinang (Kerajaan Pinang Di Awan) yang masih bersaudara dengan Raja Panai (Kerajaan Air Merah). Raja Pinang Di Awan (Kota Pinang) adalah ayahda mereka berasal dari Pagaruyung.

Kota Pinang di sisi Sungai Barumun Rajanya yang pertama memberikan daerah daerah kepada putera puteranya, putera pertama di Kerajaan Bilah (Negeri Lama) disisi Sungai Bilah, dan putera kedua di pertemuan Sungai Bilah dan Barumun (Kerajaan Air Merah/Panai).

Pada awalnya disamping Kota Pinang, negeri kedua terbesar di wilayah ini adalah Negeri Lama, tetapi setelah pendudukan Belanda di Sumatera Timur, Belanda membangun pelabuhan besar di Panai (Labuhan Bilik), sejak saat itu kemajuan daerah ini mengalahkan negeri negeri lainnya di kawasan ini. Inilah yg membuat daya tarik masuknya migran dari hulu Sungai Barumun (Sibuhuan Palas) dan hulu Sungai Bilah (Sipiongot Sipirok Dolok Hole). 

Inilah awalnya banyak ditemukan di Panai dan Bilah masyarakat bermarga Hasibuan, Harahap, Lubis, Nasution, dll (dari hulu Barumun) serta marga Siregar, Ritonga, Rambe, Pohan, Dalimunthe, dll (dari hulu Sungai Bilah).


5. Japarimpunan Hasibuan Membuka Desa Sungai Sakat 


Tersebutlah seorang pemuda dari lima lelaki bersaudara berasal dari Batang Bulu Jae, Sibuhuan-Barumun yang terlahir di akhir abad 19 (1800 an akhir). 

Sudah lazim pada masa itu disana, suatu negeri yg dihuni beberapa keluarga saja dipimpin oleh seorang raja. Disana seorang Raja dipilih bisa karena kekuatannya, kekayaannya, maupun karena keturunannya. Pada masa itu juga di kampung kecil itu hidup seorang gadis cantik muda belia, bernama Nauli boru Lubis. Karena kecantikannya ia ingin dipersunting oleh Raja. 

Sementara itu sang gadis jelita selama ini telah menjalin hubungan asmara dengan Japarimpunan Hasibuan yg sudah diketahui oleh Raja. Oleh karenanya sang Raja ingin secepatnya melamar dan menikahi sang dara. Pihak orang tua sang dara jelita tak kuasa menolak lamaran sang Raja, masgullah hati Nauli br Lubis. Diam diam dijumpainya sang kekasih dan diceritakannya apa yg telah terjadi pada pujaannya. Larutlah mereka dalam kesedihan. Dalam kesedihannya terpikir oleh sang jaka untuk menceritakan kepada 2 abang dan 2 adiknya apa yg berlaku pada diri dan kekasihnya. 

Akhirnya diambil keputusan untuk membawa lari Nauli br Lubis ke luar dari negeri dan disetujui oleh sang gadis serta sang jaka. Namun kemana negeri yg akan dituju serta apa kenderaannya?

Mereka sudah lama mendengar dari cerita cerita orang dari kampung lain, bahwa di hilir Sungai Barumun ada sebuah bandar besar yg menjanjikan kemakmuran bagi masyarakat sekitar. Disana mudah pencari pekerjaan dan mudah mendapatkan kebutuhan yg diperlukan. Uang banyak beredar, barang banyak dijual dan hidup menjadi mudah.

Mereka perhitungkan perjalanan akan memakan waktu yg lama maka mereka perlu dipersiapka rakit yg besar dan kuat, perlengkapan secukupnya serta harus didampingi. 

Malam itu secara sembunyi sembunyi mereka mulai mengerjakan rakit itu dan mempersiapkan barang barang serta makanan untuk bekal selama perjalanan. Keesokan malamnya selesailah pekerjaan mereka dan siap untuk berangkat. Siapa yg mendampingi?

Dari lima lelaki bersaudara ini 2 orang telah berkeluarga, maka dengan perhitungan dan pertimbangan yg matang maka yg tinggal adalah abang abang mereka yg telah berkeluarga, tiga orang pemuda Hasibuan dan seorang gadis boru Lubis dimalam bersejarah itu berangkat meninggalkan kampung halaman mereka demi cinta (cinta kepada kekasih dan cinta kepada keluarga). Keberangkatan bersejarah ini lahir dari adanya rasa CINTA, sehidup semati, susah senang bersama. Semua resiko akan mereka hadapi walaupun akhirnya nyawa taruhannya. 

Rakit itupun diluncurkan dari darat di tepian sungai hulu Barumun itu ke air sungai yg jernih lagi dangkal dan berbatu-batu. Rakit mulai dikayuhkan dengan batang bambu menyusuri tepian sungai, dipilih airnya yang lebih dalam agar mudah mengayuhkan rakit. Di darat abang abang Japarimpunan Hasibuan dengan deraian air mata dan lambaian tangan melepas tiga adik adik mereka dan seorang boru, berharap suatu hari nanti dapat dipertemukan kembali. Japarimpunan dan dua saudara laki-lakinya yang lain serta Nauli Boru Lubis juga tak dapat membendung tangis mereka, tanpa mau melepaskan pandangan kepada saudara saudara mereka yg masih berdiri terpaku di tepian sungai sampai akhirnya hilang dibalik tanjung. 

Lambaian tangan antara mereka seakan memberikan isyarat dan ikrar "jaga persaudaraan dan hubungan darah ini sampai akhir zaman wahai saudaraku, kamu yang tinggal dan kami yang pergi semoga dalam karunia Ilahi". Masih terngiang di telinga Japarimpunan dan mereka bertiga lainnya, pesan dari abang abang mereka sebelum berpisah "Kita telah menjadi keluarga dengan boru Lubis, kami menjadi saksinya. Jaga dan lindungi ia, sebagai kami menjagamu. Susah dan senang harus kamu jalani bersama, bagaikan kulitmu cubit di kiri kanan terasa. Belajarlah untuk mengenal hidup dan kehidupan di tanahmu yang baru, cari sahabat sebagai ganti saudaramu disana. Pelajari ilmu agama, karena itu yang akan membimbingmu. Mempelajari menjadi susah itu lebih sulit daripada belajar senang. Satu lagi pesan dari kami dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung". Dengan ijin Allah suatu saat nanti kita, atau mungkin keturunan kita akan dipertemukan kembali, semoga pertemuan nanti adalah pertemuan yang indah dan bahagia jauh dari keadaan seperti ini'. Japarimpunan dan Nauli seakan masih merasa usapan jemari jemari abang abang di kepala mereka.

Mulai dari Sibuhuan sampai dengan sekitar sebelum Aek Raso sekarang, medan sungai masih sangat deras dan berbatu-batu. Perjalanan masih jauh dan perbekalan semakin menipis. Mereka telah menempuh perjalanan selama beberapa hari, merekapun memutuskan untuk beristirahat di tepian karena sudah merasa aman dari kejaran Raja dan pengikutnya yang sangat murka.

Rakit mereka tambatkan pada sebatang pohon besar, mereka mulai mencari umbi-umbian di hutan itu untuk dikumpulkan sebagai tambahan bekal, begitu pula pucuk pucuk dedaunan yg dapat dimakan serta buah buahan hutan. Sumpit (sejenis senjata yg ditiup memakai peluru anak panah kecil) yg turut mereka bawa dipakai untuk berburu burung dan unggas unggas air. Di pinggiran sungai mereka menombak ikan yang banyak terdapat disitu. Ketika malam tiba mereka beristirahat di ujung-ujung tanjung yang aman dari binatang berbisa, binatang buas dan buaya. Keesokan paginya mereka berangkat kembali meneruskan perjalanan.

Setelah berhari-hari perjalanan menyusuri Sungai Barumun sampailah mereka ke daerah Kerajaan Pinang Di Awan (Kota Pinang). Pada masa itu Kerajaan ini sudah diduduki Belanda, kekuasaan Raja telah dibatasi, pemerintahan dibawah kendali Belanda, Raja hanya diberikan sewa atas tanah yang dikuasai kerajaan tetapi kebunnya dikelola oleh Belanda. Kerajaan hanya sebagai simbol pemerintahan saja, dimana raja dan keluarganya dinina bobokkan oleh Belanda dengan kemewahan dan kesenangan, tetapi kondisi rakyat jelata disana dalam keadaan menderita oleh penindasan penguasa dan penjajah (inilah nanti akhirnya menjadi sumber terjadinya revolusi sosial Sumatera Timur tahun 1946 di awal awal kemerdekaan R.I, dimana rakyat jelata yg diopinikan mereka adalah korban penindasan disulut kemarahannya oleh oportunis politik berhaluan kiri).

Untuk melengkapi kebutuhan mereka dalam melanjutkan perjalanan menuju Bandar besar di muara Sungai Barumun (Labuhan Bilik) perlu juga ke poken (pasar) yang ada di negeri ini. Beberapa ekor burung dan ikan hasil buruan dan tangkapan ingin mereka tukarkan dengan barang-barang lainnya. Tetapi Japarimpunan dan rombongan takut juga mendarat secara terang-terangan, karena mereka menyangka di daerah ini masih ada kaki tangan raja dari negeri Batang Bulu Jae-Sibuhuan yang mencari mereka. Mereka tunggu waktu malam hari untuk merapat ke tepian sekitar Kota Pinang, mereka beristirahat disana. Esok paginya barulah mereka naik ke daratan dan berjumpa dengan masyarakat disana untuk menanyakan dimana poken (pasar) untuk mencari barang kebutuhan. Masyarakat disini mengerti bahasa leluhur Japarimpunan yaitu bahasa Mandailing, karena Raja disini asal usulnya adalah keturunan bermarga Nasution yg berasal dari Mandailing juga, dimana leluhur mereka berasal dari Pagaruyung. Jadi banyak keluarga raja dan masyarakat di negeri ini adalah orang Mandailing Hulu (sekarang Madina yg berbatasan dengan Rao dan Pasaman). Dari sinilah muncul banyak marga marga Mandailing Hulu seperti Nasution, Lubis, Rangkuty, Daulay, dll di pesisir Sungai Barumun (mulai dari Kota Pinang sampai Sungai Berombang).

Tenanglah perasaan mereka bahwa tidak ada yg mencari cari mereka disini, barang-barang keperluan perjalananpun terpenuhi. Bahkan ada pemuka masyarakat di negeri itu bermarga Nasution (masih keluarga Raja) menahan mereka untuk menginap beberapa hari disini untuk memulihkan tenaga. Tawaran itu tak dapat mereka tolak, merekapun menginap disana selama tiga hari. Disanalah pasangan Japarimpunan Hasibuan dan Nauli Boru Lubis dinikahkan secara Islam dengan saksi wali dari pihak mempelai wanita adalah Tuan Nasution. Merekapun melalui malam pertamanya di rumah ini.

Tawaran dari ahli bait untuk menetap atau paling tidak tinggal lebih lama di negeri ini dengan berat hati tidaklah dapat dipenuhi oleh Japarimpunan dan rombongan karena mereka terikat janji dengan abang-abangnya. Negeri tujuan mereka adalah bandar besar di muara Sungai Barumun, bukanlah disini. Keluarga Nasution ini adalah sebuah keluarga yg amat pemurah dan sangat berempati kepada kondisi dan keadaan para pelarian ini, tanda sayang dan besarnya perhatian keluarga Nasution, kepada mereka diserahkan sebuah sampan yg berukuran sedang lengkap dengan logistiknya, cukup untuk perjalanan sebulan. Kepada mereka juga dititipkan sebuah surat untuk disampaikan kepada Raja di Labuhan Bilik, isinya agar mereka diterima dengan baik disana serta dapat diberikan sebuah daerah baru (Raja Panai-Kerajaan Air Merah adalah keturunan dari Raja Pinang Di Awan atau Kota Pinang sekarang). Dengan doa bersama diiringkanlah keberangkatan mereka mencapai negeri impian. 

Perahu itu dihiasi kalungan rangkaian daun pandan dan untaian kembang warna warni di haluannya, sebuah balai bertingkat tiga berisikan pulut dan telur dihiasi bendera-bendera kuning lambing kerajaan diletakkan di tengah perahu, buritannya dipenuhi bendera-bendera kecil berwarna kuning emas, payung kuning emas bertingkat tiga memayungi pasangan seorang jaka dan seorang dara, pertanda penumpangnya ada sepasang pengantin baru. Ini semua dikerjakan oleh para jiran tetangga dan handai tolan ahli bait sebagai tanda suka cita dan telah menjadi adat kebiasaan disana sejak kerajaan ini ada.

Dengan ditaburi beras kuning oleh Tuan Nasution dan Istri (Putri Raja Pinang Di Awan), para keluarga, jiran tetangga serta handai tolan yang turut mengantar di tangkahan kecil di pinggiran Sungai Barumun itu yang sedang naik pasang airnya, mataharipun tersenyum ceria tersembul di balik rimbunan pohanan pantai di sebelah Timur. Perahupun dikayuh menuju Utara, kecipak air dibelah kayu pendayung di kiri dan kanan perahu oleh kedua adik adik Japarimpunan mengeluarkan irama harmoni bagaikan simponi alam yang indah, sepasang burung elang melayang-layang bercengkerama ria di atas Sungai Barumun yang sedang pasang penuh, burung-burung bernyanyi riang di pepohonan pantai. Ada air mata gembira dan sedih di sudut mata para pengantar dan yang diantarkan. Lambaian tangan saling berbalas-balasan. Sampai akhirnya perahupun hilang tak terlihat lagi dibalik tanjung.


Kala malam tiba mereka beristirahat di ujung-ujung tanjung yang aman, begitu pula saat cuaca tidak bersahabat ataupun arus lagi deras ke hulu mereka mencari tempat untuk beristirahat. Setelah lepas seminggu mengayuhkan perahunya sampailah mereka di sekitar Meranti Paham sekarang, air Sungai Barumun bergerak naik pasang. Dari kejauhan mereka melihat ada sekitar 4 sampai 5 perahu berlawan arah mengarah mendekat ke perahu mereka. Mereka sangat ketakutan sekali, terlintas difikiran mereka jangan-jangan itu adalah pengikut para Raja di Hulu Barumun yang selama ini mencari-cari mereka. Mereka saling berpandangan di perahu itu, wajah mereka pucat, lutut gemetar dan keringat dingin mulai membasahi pakaian. Sama-sama mereka berdoa pada Yang Maha Kuasa supaya dijauhkan dari marabahaya.

Perahu-perahu dari arah Utara itupun mulai dekat, terlihat mereka tangan-tangan melambai bersahabat dan bersorak-sorak gembira, namun mereka kurang memahami apa yang dibicarakan mereka (menggunakan bahasa Melayu Panai). Tapi dari raut wajah serta bahasa tubuh yang disampaikan, mengertilah mereka bahwa yang datang itu adalah para nelayan pencari ikan di daerah Panai sekitarnya. Mereka datang karena melihat perahu pengantin baru ada melintas.

Sudah menjadi kebiasaan di daerah Kerajaan Panai ini bila ada perahu berhias lewat di Sungai Barumun, berarti itu adalah perahu pengantin baru. Apalagi ini mempunyai payung bertingkat tiga, menunjukkan pasangan ini adalah keluarga raja (bangsawan). Bila nelayan disana mendapatkan terubuk, maka terubuk terbaik (besar bulat, karena padat telurnya) akan baik peruntungannya nanti bila memberikannya pada pasangan pengantin baru. Bagi pengantin baru benih dan keturunannya Inshaa Allah banyak dan berbudi baik.

Pahamlah Japarimpunan Dkk, merekapun menerima masing-masing 1 ekor ikan terubuk yang besar dan bulat bentuknya dari masing-masing perahu. Kata mereka saat ini adalah saat yang bahagia karena Sungai Barumun sedang musim ikan terubuk, rakyat disana sangat gembira. Ikan terubuk ini juga simbol Kerajaan Panai, menjadi ikan yang dilindungi dan dijaga kerajaan kelestariannya. Masa itu ada dibuat peraturan dan ketentuan bagi nelayan untuk menangkapnya.


            Japarimpunan dan Istri serta kedua adiknya diajari mereka cara memakannya setelah dibakar, karena ikan ini disamping rasanya yang manis, lemak dan gurih juga mempunyai banyak tulang-tulang halus (duri), maka harus berhati-hati serta pandai dalam memakannya. Kepada Nauli Boru Lubis diberikan telur terubuk, karena baik bagi benih dan keturunannya kelak nanti.

Bahasa diantara mereka masih susah untuk saling berkomunikasi, dengan bahasa tangan dan isyarat dapat jugalah mereka saling bercengkerama. Para nelayan-nelayan ini sangat ramah-ramah dan baik hati, sebentar saja mereka sudah menjadi akrab. Merekapun ditawarkan untuk diantarkan kepada Raja Panai (Labuhan Bilik) untuk menyampaikan surat yang diamanahkan kepada mereka disampaikan langsung ke tangan raja.

Selepas beristirahat sejenak sehabis menyantap ikan terubuk bakar dengan telurnya dengan beras ladang pemberian nelayan sambil menunggu air sungai surut (air menuju ke hilir, memudahkan dalam berperahu dari Meranti Paham menuju Labuhan Bilik), berangkatlah mereka ke Labuhan Bilik. Setelah melewati beberapa tanjung terlihatlah pulau Si Kantan dan di seberang sana telah terlihat bubungan-bubungan rumah di pantai Labuhan Bilik. Mereka takjub, baru pertama ini mereka melihat negeri yang besar. 

Negeri itu besar pelabuhannya, banyak pula kantor-kantor yang mengurusi administrasi pelabuhan, ekspor impor, bea cukai, nelayan, buruh, hukum, keamanan, dll berbaris di kiri kanan pelabuhan berbilik-bilik. Masyarakat pendatang yang masuk kenegeri ini agar mudah mengingat dan menyebutnya disebut dengan negeri Labuhan Bilik (pelabuhan yang banyak mempunyai kamar-kamar ruang kerja kantor).  

Kapal perang Belanda berwarna putih terlihat berlabuh di pertemuan antara Sungai Bilah dengan Sungai Barumun mengarah ke Utara ke Selat Malaka. Di dermaga Labuhan Bilik terlihat bersandar beberapa kapal barang. Mereka terkagum-kagum serta ada rasa ciut juga di hati. Seakan masing-masing bertanya pada diri sendiri “Sanggupkah kami hidup di bandar yang besar dan ramai ini? Ya Allah Yang Maha Kuasa lindungilah dan peliharalah kami, mudahkanlah urusan kami. Dengan menyeru namaMU kami langkahkan kaki memulai hidup baru kami., dengarkan dan kabulkanlah pinta hambuMU yang lemah ini. Aamiin Ya Rabb”.

Sampailah mereka pada sebuah tangkahan milik Raja, tidak jauh dari dermaga Labuhan Bilik (kira-kira di depan Mesjid Raya Labuhan Bilik). Perahu Japarimpunan dan rombongannya beserta perahu-perahu pengantar ditambatkan disana. Air sudah surut, tangkahan itu kelihatan tinggi dan harus dinaiki melalui tangga yang disediakan, bentuknya dibuat landai. Di atas dermaga ada beberapa masyarakat yang ingin melihat siapa “pengantin baru” itu, disana juga ada beberapa petugas kerajaan yang mengawasi dan menjaga dermaga milik raja itu.



Merekapun naik ke dermaga dengan berhati-hati, karena airnya baru turun tangga masih basah dan licin. Japarimpunan Hasibuan menuntun istrinya Nauli Br Lubis dengan mesra. Di atas mereka disambut masyarakat karena dikira adalah pasangan ‘Pengantin Baru” keluarga Raja yang baru tiba dari perjalanan jauh. Mereka dielu-elukan tetapi tidak dimengerti bahasanya oleh Japarimpunan Dkk, mereka tahu kalau itu adalah sebuah sambutan yang hangat. Tak lama setelah disalami dan dielu-elukan masyarakat yang dating ke dermaga itu, merekapun didatangi dua orang petugas kerajaan. Pihak nelayan yang mendampingi mereka menuju Labuhan Bilik tadi menjelaskan tentang perihal kedatangan mereka, yaitu ingin berjumpa Raja untuk menyampaikan sepucuk surat dari kerabatnya di Kerajaan Pinang Di Awan (Kota Pinang). 

Rombongan ditawari untuk rehat sejenak di anjungan Raja di dermaga itu  dan disuguhkan secangkir teh hangat ditemani pisang goreng hangat pula. Petugas kerajaan itu pamit meninggalkan mereka untuk melaporkan pada Raja.


             Gambar :Tari Pencak menyambut tamu datang

Di ujung jalan setapak terlihat dua orang petugas kerajaan berpakaian melayu berwarna hitam berpenutup kepala dari songket lengkap dengan keris dipinggang, berjalan rapi teratur dan berwibawa datang menuju anjungan raja di sudut dermaga raja tempat rombongan Japarimpunan Hsb Dkk beristirahat.

Kedua petugas itu mendekati Japarimpunan Hsb dan menyampaikan tata cara menghadap raja dengan dicampuri bahasa isyarat serta bahasa tubuh agar mereka mengerti dan faham. Setelah melakukan kursus singkat petugas itupun mempersilahkan untuk ikut bersama mereka. Japarimpunan Hsb bersama istri, adik-adiknya didampingi dua orang pendamping yang dipilih petugas berangkat menuju istana. 

Di istana sudah terlihat sedikit penyambutan, ada beberapa petugas istana yang berbaris di kiri dan kanan jalan menuju tangga istana berdiri sedikit membungkuk untuk memberikan tanda penghormatan. Dada Japarimpunan Hsb, istri serta adik-adiknya berdebar kencang. Hatinya berkecamuk dan gemetaran, baru sekali ini mereka menghadap seorang raja di istana yang cukup megah dibanding rumah (bukan istana) raja di Barumun sana. Apa gerangan yang akan raja sampaikan, pantaskah kami menghadapnya, apa yang akan kami sampaikan? Dan lain-lain seribu tanda Tanya bergejolak di hati mereka. Tak lepas-lepasnya mereka berdoa dalam hati agar Tuhan menolong mereka semua.

Sesampainya di istana mereka bersimpuh di depan raja mengikuti petunjuk petugas sebelumnya, dengan dipimpin petugas raja mereka mengucapkan kata-kata daulah kehadapan raja. Rajapun mempersilahkan mereka untuk duduk di lantai berkarpet merah itu di hadapannya yang duduk diatas singgasananya.

Raja menyampaikan kepada mereka bahwa dia telah menerima dan membaca surat dari kerabatnya di Kerajaan Pinang Di Awan (Kota Pinang) yang dibawa oleh Japarimpunan Hsb Dkk. Ia memaklumi dan menghormati isi surat tersebut, oleh karenanya ia ingin menyampaikan langsung kepada rombongan dengan disaksikan semua yang hadir bahwa dia akan menyerahkan sebidang tanah di hilir Kerajaan Panai, tepatnya di Utara Sei. Berombang yang kala itu berdasarkan perjanjian dengan Belanda dijadikan sebagai Pos Pemantau Kuala Barumun. Raja menginginkan daerah baru itu dapat dibuka dan dikelola dengan baik, karena daerah itu disamping sebagai kawasan lindungan yang ditetapkan Kolonial Belanda dalam “register”nya karena berada di jalur hijau sebagai penyangga tanjung Kuala Sungai Barumun dengan teluk di Riau (Panipahan, Bengkalis, Bagan Siapi Api, dll) yang kaya dengan flora dan faunanya juga ikan spesifiknya yaitu ‘terubuk” yang menjadikan Sungai Barumun dan Sungai Siak di Riau sebagai tempat ikan ini menetaskan benirnya.

Di tempat baru itu nanti mereka diperkenankan untuk bercocok tanam padi dan palawija. Boleh berkebun tetapi hanya tanaman kelapa, hanya ini yang diperbolehkan Belanda untuk pribumi di daerah pantai, disamping merupakan tanaman pantai yang tidak merusak ekosistem juga bukan merupakan komoditi dunia yang dikuasai Belanda di tanah jajahannya. Untuk berkebun kelapa nanti ada petugas kerajaan bidang penyuluh pertanian (telah dilatih dan dibimbing oleh Kolonial Belanda) cara-cara berkebun kelapa dengan baik, petugas penyuluh ini nanti akan melatih dan mendidik mereka sampai paham dan mengerti. Selama ini pohon kelapa disana hanya sebagai tumbuhan liar yang tumbuh dengan sendirinya di tepian-tepian tanpa dibudidayakan dengan baik. Selama pelatihan mereka boleh tinggal dipemondokan kerajaan dan semua kebutuhan hidup mereka ditanggung oleh kerajaan. Disamping cara berkebun kelapa yang baik, pemuda-pemuda Barumun ini juga diajarkan cara-cara penangkapan ikan dengan alat-alat tangkap ikan yang dibenarkan Kerajaan (notabene yang dibenarkan Kolonial Belanda juga). 

Raja Panai adalah keturunan Raja Kota Pinang yang mempunyai leluhur dari Mandailing yang asalnya dari Pagaruyung. Bahasa Mandailing yang disebut juga “bahasa ulu” sudah menjadi bahasa kedua di lingkungan keluarga istana. Maka lancarlah komunikasi diantara mereka. Japarimpunan Hsb Dkk mengangguk-angguk tanda mengerti dan setuju.

Satu lagi titah raja, karena ini sudah merupakan ketentuan di Kerajaan Panai dalam hal pendistribusian dan penyebaran penduduk secara merata guna membuka dan mengembangkan kawasan baru, maka setiap pendatang legal yang datang berombongan kaum laki-lakinya harus ditempatkan pada daerah yang berbeda. Diminta kepada kedua adik Japarimpunan untuk memilih daerah sendiri-sendiri. Adik pertama Japarimpunan Hsb memilih daerah Meranti Paham, karena daerah itu diingatnya sebagai daerah pertemuan mereka dengan beberapa nelayan yang mengenalkan ikan terubuk dan akhirnya membawa mereka ke istana, rajapun manggut-manggut tanda setuju, para pengiring tersenyum tanda gembira dan tersanjung. Pada giliran adik kedua (si Bungsu) Japarimpunan Hsb dia memohon kepada raja agar ikut bersama abangnya dahulu sampai dia bekeluarga nanti baru mencari daerah baru, dia masih sangat muda dan sangat menyayangi abang dan istrinya. Rajapun memaklumi dan mengijinkan dengan perjanjian harus mendalami ilmu Agama Islam yang baik dahulu di istana untuk kemudian nanti diteruskan dan dikembangkan di daerah barunya nanti. Diapun dikirim ke Basilam (Babussalam-Langkat, masa itu sudah terkenal sebagai basis pendidikan Islam di Sumatera Timur) untuk memperdalam ilmu agama.

Si Bungsu inilah nantinya kelak menjadi guru mengaji Desa Sungai Sakat dan dikenal dengan sebutan “Ja Guru Pangajian”. Dia bersama seseorang temannya satu tarikat dari Basilam bermarga Hasibuan juga diajaknya kembali ke Panai. Kelak nantinya merekalah membuka “persulukan” sebuah lembaga pendidikan Islam sejenis pondok pesantren kecil di Desa Sei. Sakat.


Setelah tanah di wilayah Utara Sei. Berombang dibuka oleh Japarimpunan Hsb dibantu istri dan adiknya yang bungsu (sementara adiknya yang satu lagi membuka desa Meranti Paham). Disana mereka mulai mendirikan pondok-pondok berbahan dari bambu, batang kelapa liar serta kayu-kayu yang mudah didapatkan disitu. Pada masa itu daerah ini masih dipenuhi dengan semak belukar dan hutan belantara.

Dengan perlengkapan tani (parang, pisau, cangkul, kampak, tajak, dll) serta perbekalan logistik secukupnya pemberian raja kepada mereka dibukalah desa yang mereka beri nama Sungai Sakat. Asal usul pemberian nama ini hanyalah untuk mengingat saat mereka pertama kali menginjakkan kaki di daerah ini. Waktu itu mereka melihat disepanjang sungai kecil berair merah kehitaman (saat surut) banyak pohon kelapa liar yang tumbuh disela-sela pohon pondan pantai dan pohon nipah yang batangnya ditumbuhi pohon sejenis benalu berdaun panjang dan lebar, merekapun tidak tahu pohon apa itu dan mereka namakan saja pohon itu pohon sakat. Pemberian nama itu mengalir begitu saja, karena diwaktu mereka mau lebih kedalam lagi perahu mereka kandas (dalam bahasa Mandailing “sakat” atau sangkut) di bawah pohon kelapa liar berbenalu itu. Disitulah mereka menambatkan perahunya dan mendarat (kira-kira lokasinya sekarang di sekitar sungai  disamping rumah Almh. Wak Mardiah lewat garotak (jembatan Sungai Sakat) arah ke darat. 

Pada masa itu Belanda memberikan peraturan yang harus dijalankan Kerajaan Panai bila membuka daerah baru di tanjung kuala Sungai Barumun jaraknya minimal 1 mil dari laut ke pedalaman (masyarakat disana menyebutnya dalam “Bahasa Ulu” 1 mil dari “baro” ke “darat”). Itulah makanya tanah desa Sungai Sakat awalnya adalah sekitar dibelakang tanah pekuburan “Wakaf Keluarga” Ibrahim Azhar Hsb sekarang, bukan mengarah ke pantai (baro), karena tidak dibenarkan Belanda melalui Kerajaan Panai untuk menjaga ekosistem darat dan Sungai Barumun. Tetapi sekarang semua itu sudah diabaikan, makanya kerusakan lingkungan di zaman ini semakin parah saja.

Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun desa ini semakin berkembang dan semakin ramai dengan masuknya pendatang-pendatang baru serta banyak pula masyarakat muda Sungai Berombang (kode) yang baru menikah membuat rumah ke daerah baru ini. Si Bungsu pun mulailah menginjak dewasa. 

Sesuai perjanjian dengan raja dalam rangka untuk membesarkan Islam di Kerajaan Panai, maka bersama beberapa pemuda dari desa lainnya di Kerajaan Panai berangkatlah mereka menggunakan perahu layar yang dilepas oleh Raja Panai dari Labuhan Bilik dengan surat pengantar darinya menuju Basilam (Babussalam) di Kerajaan Langkat melalui Selat Malaka menuju ke arah Barat.

Perjalan mereka berminggu lamanya menyusuri tepian Selat Malaka menuju ke arah Barat. Bila air laut tenang dan angin berhembus baik mereka berlayar agak ketengah, bila udara buruk mereka menepi. Pelayaran perahu kecil mereka melintasi Kuala Sungai Kualuh, Kuala Sungai Asahan, Kuala Tanjung Tiram, Kuala Sungai Bah Bolon, Kuala Sungai Bedagai, Kuala Sungai Ular, Kuala Sungai Percut, Kuala Sungai Deli, Kuala Sungai Belawan, Kuala Sungai Hamparan Perak. Setelah berminggu lamanya akhirnya mereka sampai di Kuala Sungai Wampu, mereka masuk dan menuju ke hulunya ke arah Selatan menuju Tanjung Pura Sekarang dan terus ke hulu hingga akhirnya sampai di Basilam (Babussalam). (Bersambung)




Komentar

  1. Bacaan menarik.
    Orang tua atok saya dari ibu juga bermarga hasibuan dan sudah menetap di hasibuan sejak tahun 1800an.
    Saat ini masih banyak sodara yg tinggal di besilam dan mengikuti tarekat naqsabandiah di sana

    BalasHapus
  2. dari mana ajo dapat uwak penulis ka deh.
    longkap botul ku tengok.
    yg semula aku indak tau jadinya tau.

    kalo bagika sajarahnya seharusnya tompat kita enen udah manjadi kota bosar

    BalasHapus
  3. Mantap..saya orang yg lahir di labuhan bilik dan skrg menetap di medan sangat senang dgn artikel ini.

    BalasHapus
  4. Semoga bisa pula diulas tentang suku lama yg mandiami kampong berombang EN, supaya lebih jolas dan pendekatan nya dr sisi adat, budaya, pengobatan tradisional,dll agar supaya kita pun tau mana yg nenek moyangnya bamarga mana yg TDK.tks

    BalasHapus
  5. Kagum membaca sejarahnya,
    Lopas juga rindu ku ke kampung ku sungai berombang.

    BalasHapus
  6. Sungai brombang adalah tempat kelahiran q. Aq selalau merindukan a. Makasih mamak udh mempuplikasikan sungai barombang

    BalasHapus
  7. terimakasih sudah mengulas sejarah sungai berombang...kami pun lahir di sungai berombang...
    salam kenal pak

    BalasHapus
  8. Bangga rasanya jadi orang berombang bermarga hasibua, nantinya jadi tau menceritakan asal usul kampung halaman sendiri pada anak cucu.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tanjungbalai Dalam Foto

LEGENDA GUA "LIANG NAMUAP" DI SIBUHUAN SOSA