SUNGAI BEROMBANG DARI MASA KE MASA
Setawar Sedingin
Kerinduan akan adanya sebuah karya tulis yang bercerita tentang Sungai
Berombang dan Sekitarnya yang begitu amat dan teramat langka dan boleh dibilang
tidak ada, maka penulis memberanikan diri untuk memulainya, karena bila tak
berani memulai sama saja pasrah dengan keadaan yang dekat dengan sebutan apatis
dan tak mau tahu.
Sumber-sumber informasi lain (karena tulisan dan dokumen tidak ada
dijumpai) berupa orang-orang yang mengetahui sejarah Sungai Berombang pun sudah
berpulang satu satu, jikalaupun masih ada juga merupakan pendengar dari
pendahulunya, bukan merupakan saksi sejarah.
Demikian susahnya untuk mencari informasi dan mengkonfirmasi hal-hal
yang selama ini penulis ketahui dari penuturan Atok, Nenek, Uwak Pakcik,
Makcik, Bunde, Abang, Kakak, serta masyarakat Sei. Berombang lainnya yang
penulis dengar dahulu.Terkadang penulis hanya berintuisi dibekali dengan
sejarah-sejarah daerah lain dan menganalogikannya dengan kultur, etnis,
geografis, dan social ekonomi masyarakat Sungai Berombang dihubungkan dengan
kondisi kekiniannya.
Mungkin dengan tulisan ini dapat memancing para penyimpan sumber
informasi mengeluarkan pendapat ataupun bukti-bukti sejarah yang dapat
dipertanggungjawabkan untuk koreksi karya penulis ini kedepan.
Semoga bermanfaat terutama bagi adik-adikku yang cinta kampong halaman.
Wassalam,
Medan, 20 Desember 2015
Drs. Harunsyah, M.AP
1. Masa Kerajaan Air Merah (Panai)
Gambar : Pangeran Panai
Pada
masa ini tidak banyak tulisan-tulisan di perpustakaan Indonesia yg dapat
dijadikan rujukan, boleh dibilang tak diketahui sama sekali, bahkan situs situs
peninggalan sejarahpun tak dapat kita jumpai. Mungkin pada masa itu kawasan ini
hanyalah sebuah kampung nelayan yg dihuni beberapa keluarga saja. Berbeda
halnya dengan Labuhan Bilik sebagai pusat kerajaan kecil Panai (Air Merah).
Sesuai
dengan topografinya, daerah ini adalah sebuah ujung tanjung dari sebuah daratan
di pesisir Timur Sumatera, tepatnya perbatasan antara Sumatera Utara dan Riau
Daratan. Mungkin saja masih hutan belantara dipedalamannya dan hutan mangrove
di pesisirnya. Ini dapat dibuktikan dari melihat sungai sungai kecilnya dan
perkebunan rakyatnya sekarang yg relatif masih orisinil dan muda. Begitu pula
dengan pemukiman dan infrastrukturnya. Sekali lagi berbeda dengan Labuhan Bilik
yg punya istana (sayang sudah hilang) dan Mesjid Rayanya. Begitu juga bila kita
lihat peninggalan berupa kuburan kuburan tua, tidak dijumpai di bawah tahun
1800an.
Lalu
lintas perdagangan pada masa itu yg menggunakan moda angkutan sungai dan laut,
menggunakan perahu perahu kayu memakai layar hanya melintasi kawasan ini saja
dari Panai ke Malaka atau sebaliknya. Bagi nelayan-nelayan
di Kerajaan Panai menjadikan tanjung ini sebagai tempat persinggahan ataupun
untuk beristirahat dengan menambatkan perahunya di paluh paluh (muara sungai
kecil) yg banyak terdapat disini), menunggu cuaca atau angin yg baik. Lama
kelamaan mereka bermukim disini dan membuka perkampungan. Sebagian nelayan itu
(kebanyakan para istri dan anak anaknya) bercocok tanam dan bertani (ladang
padi tadah hujan). Inilah cikal bakal maayarakat Sei. Berombang sebagai
masyarakat nelayan dan petani.
2. Masa Pendudukan Kolonial Belanda
Gambar : Tentera Belanda dari
Labuhan Bilik speksi ke Sungai Berombang sebagai Pos Pemantau Kuala Barumun
Sudah jamak pada masa dahulu
masyarakat sering menamakan suatu daerah dengan situasi, kondisi, dan keadaan
alamnya. Misalnya Air Merah, Pinang Sebatang, Air Hitam, Panipahan, Tanjung
Lumba Lumba, Si Jawi Jawi, dll.
Begitu pula dengan Sungai Berombang,
mungkin saja karena di tepian sungai sungainya banyak terdapat pohon pohon
berombang (termasuk spesies mangrove, tumbuhan pantai).
Sesudah pendudukan kolonial Belanda
di Sumatera Timur tepatnya setelah menduduki Kerajaan Besar Siak di Riau
akibatnya adanya perjanjian pertukaran daerah jajahan antara Kerajaan Belanda
dengan Kerajaan Inggris (Baca juga blog Harunsyah.blogspot.co.id).
Kerajaan Siak yg pada masa itu
condong berpihak dan dibantu Kolonial Inggris yg telah menguasai tanah seberang
(Semenanjung Malaysia) akibat perjanjian tersebut diserahkan kepada Belanda,
sebagai gantinya Malaka dan Tumasik (Singapura) diserahkan Belanda kepada
Kolonial Inggris (Gubernur Stanford Raffles).
Akibatnya, Kerajaan Siak dan
kerajaan kerajaan kecil di Sumatera Timur yg berada dibawah pengaruh Kerajaan
Siak seperti Kerajaan Asahan, Kerajaan Batubara, Kerajaan Serdang, juga sampai
Kerajaan Panai (Air Merah) jatuhlah dalam kekuasaan Belanda.
Tidak bisa kita pungkiri bahwa pada
masa pendudukan Belanda ini banyak pembangunan yg dilaksanakan Belanda di tanah
jajahannya untuk mendukung bisnis VOC dibidang perkebunan dan perdagangan. Maka
dibangunlah sebuah pelabuhan besar untuk kawasan ini (Sumatera Timur) di
Labuhan Bilik. Dengan adanya pelabuhan besar itu maka berkembanglah dengan
pesat kawasan Panai. Arus perdagangan yg menghubungkan Panai ke Tanah
Semenanjung Malaya, Asahan, Batubara, Deli, Bengkalis, dll setiap hari memenuhi
perairannya. Maka terkenallah Panai ke seantero Sumatera Timur dan Tanah
Semenanjung. Asimilisi kultur budaya serta penduduknya sudah menjadi kelaziman.
Banyak terjadi perkawinan diantara mereka begitu pula migrasi penduduk antar
wilayah ini.
Gambar
: Pelabuhan Labuhan Bilik, sekarang telah hilang tergerus abrasi air laut dan
erosi pantai
Berkembangnya Pelabuhan Panai
diikuti dengan pembangunan Infrastruktur dan suprastruktur. Terbangunlah jalan
yg bisa dilalui mobil mobil serdadu Belanda sampai ke Sungai Berombang untuk
memantau arus keluar masuk dan lalu lintas kapal kapal di muara Sungai Barumun.
Di ujung Sungai Berombang dijadikan pos pemantau oleh Belanda dan kapal
patrolinya serta kapal keruk untuk menjaga kedalaman Sungai Barumun agar mudah
dilalui kapal kapal besar di standby kan disini.
Dibangunlah kantor Douane (Bea
Cukai), Syahbandar, Tentera Laut Belanda, dll berbilik-bilik di sepanjang
Pelabuhan. Mungkin inilah masayarakat menamakan daerah ini dengan LABUHAN
BILIK.
Gambar
: Kapal-kapal dagang milik Belanda dan Eropa lainnya sering memasuki Sungai
Barumun
Berkembanglah kawasan ini menjadi
sebuah kota, dibangun pula Jawatan Listrik Belanda (PLNnya Belanda), Rumah
Sakit Umum, Sekolah Sekolah, Rumah Tahanan (Penjara), Stadion Olah Raga, dll.
Sementara itu Sei. Berombang turut
juga mulai ramai. Para pe-semokel (penyeludup) yg menghindari belesting (pajak)
dari Belanda menjadikan kawasan ini sebagai basis dan tempat persembunyian.
Mulailah masuk etnis Cina ke daerah ini untuk menyelundupkan candu dan ditukar
dengan hasil hasil alam seperti kopra, damar, rotan, dll.
Satu lagi yg perlu kita puji dari
masa pendudukan Belanda adalah mereka telah mengajarkan kepada petani kelapa si
Sungai Berombang cara berkebun kelapa dengan baik, sehingga hasilnya menjadi
lebih baik pula. Padahal tadinya kelapa (kelambir) ini adalah tumbuhan yg
tumbuh sendiri tanpa ditanam apalagi dibudidayakan. Belandalah mengenalkan budi
daya kelapa kepada penduduk Sei. Berombang. Mulai sejak itu sebagian nelayan
beralih membuka lahan perkebunan kelapa rakyat yg hasilnya (kopra):ditampung
oleh Belanda (dikirim ke Riau untuk diolah). Kemudian muncullah pabrik pabrik
kecil pengolahan kopra milik etnis cina disini.
Gambar : Kebun kelapa rakyat
setempat, hasil pendidikan budi daya tanaman dari Kolonial Belanda
3. Masa Masuknya
Masyarakat Mandailing Dari Hulu Barumun
Sungai
Barombang masyarakat aslinya adalah Melayu Panai, kemudian karena dibawah
pengaruh Kerajaan Besar Pagaruyung maka suku suku dibawah pengaruh kerajaan ini
banyak merantau ke daerah ini untuk mengadu nasib seperti suku Minang dan Riau
yang berbatasan langsung dengan daerah ini. Kemudian setelah dibukanya
Pelabuhan di Labuhan Bilik oleh Belanda, maka ramailah Sungai Barumun menjadi lalu lintas perdagangan. Disamping berdagang secara
legal banyak pula yang ilegal (menyelundup/semokel).
Pelaut-pelaut
suku Cina dari Riau (Panipahan, Bengkalis, Bagan Siapi Api, Dumai, dan
sekitarnya), dari Malaka, bahkan Singapura (dahulu Tumasik) masuk ke wilayah
Sungai Barumun untuk menyelundupkan barang barang dagangan menghindari pajak
Belanda. Banyak pula diantara mereka membawa masuk kesana barang yg dilarang
Belanda seperti candu dan alkohol. Mereka bersembunyi di paluh paluh (Sungai
Berombang).
Mulailah
sejak saat itu Sungai Berombang menjadi ramai, para nelayan disana mulai
berasimilasi dengan etnis Cina ini, mereka awalnya menjadi buruh dan anak kerja
etnis ini di kilang kilang padi, minyak kelapa, gudang, kapal dagang, kapal
penangkap ikan, jermal, dll. Dari asimilasi ini nelayan nelayan setempat
belajar membuat perahu, kapal, alat tangkap ikan, berdagang, bahkan
menyelundup.
Sekitar
akhir abad ke 19 (1800 akhir) masuklah pendatang pendatang dari hulu Sungai
Barumun. Kemajuan dan keramaian bandar di muara sungai ini sampai juga ke
telinga mereka disana. Banyaklah pemuda-pemudanya yang mencoba peruntungan ke
daerah ini menggunakan rakit menyusuri Sungai Barumun berhari hari bahkan berbulan
bulan lamanya. Oleh karenanya mereka sering berombongan dengan membawa keluarga
dan bontot yang cukup. Bila persediaan habis maka mereka berhenti di tempat itu
dan membuka lahan untuk bercocok tanam dan beternak. Inilah awal banyaknya
tumbuh daerah baru di sepanjang pesisir Sungai Barumun, seperti Tanjung Medan,
Meranti Paham, Gajah Mati, Aek Jamu, Tanjung Sarang Elang, Sungai Pegantungan,
Sungai Lumut, Sungai Sanggul, Sungai Sakat, dll. Inilah sejarahnya di daerah
ini mayoritas masyarakatnya mempunyai marga asal hulu Sungai Barumun, seperti
Hasibuan, Harahap, Lubis, dll.
4.
Pengaruh Masuknya Suku Mandailing Angkola Dari Hulu Sungai Barumun dan Hulu
Sungai Bilah
Seperti
telah diceritakan terdahulu, para migran dari hulu Sungai Barumun seperti marga
Hasibuan, Harahap, Lubis, dll masuk ke wilayah ini (Panai sekitar) membuka
kampung-kampung baru di sepanjang pesisir di kiri dan kanan Sungai Barumun.
Awal
keberangkatan mereka dari kampung halaman adalah untuk mencoba merubah nasib di
sebuah bandar di dekat muara Sungai Barumun (Labuhan Bilik) yang pada masa itu
tersohor ke seantero Sumatera sebagai bandar yang ramai dan maju
perdagangannya. Disana mudah mendapatkan barang-barang kebutuhan baik dari
dalam negeri maupun luar negeri (bayangkan seperti Batam sekarang). Sementara
kehidupan mereka di kampung asal sulit memperoleh kebutuhan sandang dan
kebutuhan sekunder lainnya, hanya sekedar kebutuhan akan makan dan papan yang
masih mudah diperoleh disana. Sesuai kodrat manusia tentu saja kebutuhannya
terus meningkat (dari kebutuhan pokok/primer terus meningkat kepada kebutuhan
sekunder bahkan tertier dan seterusnya) sesuai dengan level kehidupannya. Bagi
pemuda pemudanya tentu saja kepingin tahu dan tertarik untuk datang kesana
untuk mencoba peruntungan.
Pada
masa itu sarana transportasi utama adalah air (sungai dan laut), jikalaupun ada
transportasi darat adalah dengan mempergunakan kuda melalui hutan perawan,
gunung dan lembah, karena jalan darat belum ada yang menghubungkan
daerah-daerah di Sumatera Utara bahkan di Nusantara.
Di
hulu Sungai Barumun pada masa itu belum mengenal perahu, maka dipergunakanlah
rakit-rakit besar yang terbuat dari batang-batang bambu yang disusun, dibuat
memakai atap daun rumbia untuk berlindung dari hujan dan panas serta menyimpan
perbekalan (seperti pondok pondok sawah) sehingga mampu menampung beberapa
orang (keluarga).
Rombongan
ini terkadang ditengah perjalanannya sering menghadapi rintangan, apakah itu
cuaca, keadaan air sungai, binatang air dan darat, penyakit, melahirkan,
kematian, kehabisan persediaan, dll. Inilah yang membuat terkadang diantara
rombongan itu berhenti pada suatu daerah dan membuka kampung sementara disana
sebelum sampai ke tempat tujuan, banyak pula menjadikan daerah baru ini sebagai
tempat menetap permanen. Itulah asal muasal terbukanya kampung-kampung di sisi
kiri dan kanan Sungai Barumun. Sebagai bukti dapat kita lihat dari marga,
budaya, adat istiadat, rumah dan corak cocok tanaman mereka sampai sekarang.
Pasti tidak jauh berbeda dari kampung asalnya. Inilah yang mempengaruhi
kehidupan masyarakat Panai secara keseluruhan, berbaurnya adat budaya antara
melayu pesisir (penduduk asli), Kubu (Riau), Pagaruyung, Mandailing dan Cina.
Ini
dapat dilihat dari pesta pernikahan masyarakat disana yang memadukan antara
adat budaya Melayu Pesisir (Sumatera Timur sampai Riau), Minang dan
Mandailing). Cina tidak begitu tampak karena perbedaan agama dan kepercayaan.
Juga
dapat dilihat dari bahasa daerah ini banyak dipengaruhi bahasa Riau dan Minang,
seperti penyebutan "ika" (dalam bahasa Minang dan Riau adalah iko)
yang maksudnya adalah ini.
Begitu
juga bahasa Mandailing (yang disebut masyarakat disana sebagai bahasa ulu,
karena berasal dari Hulu Sungai Barumun), dipakai sebagian masyarakatnya disana
sampai sekarang.
Sungai
Barombang oleh suku Cina disebut dengan "tuakak", penyebutan ini
populer bagi orang orang Cina sampai ke daerah lain. Pengaruh masyarakat Cina
ini lebih terasa bila kita melihat alat tangkap ikan disana, seperti jaring,
pukat, perahu, kapal, jermal. Bahkan penyebutan kapal besar dari kayu untuk
mengangkut balok "tongkang" adalah dari bahasa Cina, begitu pula
penyebutan beberapa nama-nama ikan seperti "pekcau", udang kelong,
dll.
Dilihat
dari rumah-rumah disana juga terasa dipengaruhi kampung asal, lihatlah rumah-rumah
yang dibangun oleh masyarakat ulu (biasanya di kampung-kampung di sekitar
Panai) bercorakkan rumah panggung mandailing. Kedai-kedai di pekannya
bercorakkan rumah "loteng" Cina.
Gambar
: Rumah Alm. Ibrahim Azhar Hsb (Tuan Kadhi Sei. Sakat)
Hampir
sama dengan kedatangan para migran dari hulu Sungai Barumun, demikian pula
halnya dengan pendatang dari hulu Sungai Bilah. Masyarakat di hulu Sungai Bilah
yaitu dari daerah sekitar Sipirok Dolok Hole yang bermarga Siregar, Ritonga,
Rambe, Pohan, dll mendengar kabar adanya bandar yang ramai dan maju di
pertemuan Sungai Bilah dan Sungai Barumun. Bandar ini maju perdagangannya serta
menjadi pintu masuk barang barang dari negeri seberang yg sangat diminati dan
dibutuhkan masyarakat pada masa itu seperti pakaian, roti, obat obatan,
tekstil, pupuk, pecah belah, dll.
Pada
masa itu kota Rantau Prapat hanyalah sebuah hunian kecil tempat para amtenar
perkebunan Belanda yg ditempatkan disana mengawasi perkebunan Belanda sekitar
Aek Nabara sampai Marbau.
Masyarakat
pendatang dari hulu Sungai Bilah ini hampir persis sama dengan masyarakat di
hulu Sungai Barumun datang ke daerah Panai ini pada mulanya untuk mengadu
nasib. Mereka datang juga mempergunakan rakit besar berpelindungan dari hujan
dan panas. Diantaranya ada yg belum sampai ketujuan telah membuka kampung
kampung baru disisi kiri dan kanan Sungai Bilah, seperti Silangkitang, Batu
Badar (Aek Monang), Parlabian, Pangkatan, Kampung Sona, Aek Tampang, Si Jawi
Jawi, dll.
Gambar
: Sungai Bilah
Negeri
Lama adalah salah satu kampung yg ada di sisi Sungai Bilah, namun negeri ini
sudah ada sebelum kedatangan para pendatang hulu Sungai Bilah ini. Negeri Lama
adalah sebuah kerajaan kecil Melayu Bilah, rajanya diberi gelar Tengku dan
merupakan keturunan Raja Kota Pinang (Kerajaan Pinang Di Awan) yang masih
bersaudara dengan Raja Panai (Kerajaan Air Merah). Raja Pinang Di Awan (Kota
Pinang) adalah ayahda mereka berasal dari Pagaruyung.
Kota
Pinang di sisi Sungai Barumun Rajanya yang pertama memberikan daerah daerah
kepada putera puteranya, putera pertama di Kerajaan Bilah (Negeri Lama) disisi
Sungai Bilah, dan putera kedua di pertemuan Sungai Bilah dan Barumun (Kerajaan
Air Merah/Panai).
Pada
awalnya disamping Kota Pinang, negeri kedua terbesar di wilayah ini adalah
Negeri Lama, tetapi setelah pendudukan Belanda di Sumatera Timur, Belanda
membangun pelabuhan besar di Panai (Labuhan Bilik), sejak saat itu kemajuan
daerah ini mengalahkan negeri negeri lainnya di kawasan ini. Inilah yg membuat
daya tarik masuknya migran dari hulu Sungai Barumun (Sibuhuan Palas) dan hulu
Sungai Bilah (Sipiongot Sipirok Dolok Hole).
Inilah
awalnya banyak ditemukan di Panai dan Bilah masyarakat bermarga Hasibuan,
Harahap, Lubis, Nasution, dll (dari hulu Barumun) serta marga Siregar, Ritonga,
Rambe, Pohan, Dalimunthe, dll (dari hulu Sungai Bilah).
5. Japarimpunan Hasibuan
Membuka Desa Sungai Sakat
Tersebutlah
seorang pemuda dari lima lelaki bersaudara berasal dari Batang Bulu Jae,
Sibuhuan-Barumun yang terlahir di akhir abad 19 (1800 an akhir).
Sudah
lazim pada masa itu disana, suatu negeri yg dihuni beberapa keluarga saja
dipimpin oleh seorang raja. Disana seorang Raja dipilih bisa karena
kekuatannya, kekayaannya, maupun karena keturunannya. Pada masa itu juga di
kampung kecil itu hidup seorang gadis cantik muda belia, bernama Nauli boru
Lubis. Karena kecantikannya ia ingin dipersunting oleh Raja.
Sementara
itu sang gadis jelita selama ini telah menjalin hubungan asmara dengan
Japarimpunan Hasibuan yg sudah diketahui oleh Raja. Oleh karenanya sang Raja
ingin secepatnya melamar dan menikahi sang dara. Pihak orang tua sang dara
jelita tak kuasa menolak lamaran sang Raja, masgullah hati Nauli br Lubis. Diam
diam dijumpainya sang kekasih dan diceritakannya apa yg telah terjadi pada
pujaannya. Larutlah mereka dalam kesedihan. Dalam kesedihannya terpikir oleh
sang jaka untuk menceritakan kepada 2 abang dan 2 adiknya apa yg berlaku pada
diri dan kekasihnya.
Akhirnya
diambil keputusan untuk membawa lari Nauli br Lubis ke luar dari negeri dan
disetujui oleh sang gadis serta sang jaka. Namun kemana negeri yg akan dituju
serta apa kenderaannya?
Mereka
sudah lama mendengar dari cerita cerita orang dari kampung lain, bahwa di hilir
Sungai Barumun ada sebuah bandar besar yg menjanjikan kemakmuran bagi masyarakat
sekitar. Disana mudah pencari pekerjaan dan mudah mendapatkan kebutuhan yg
diperlukan. Uang banyak beredar, barang banyak dijual dan hidup menjadi mudah.
Mereka
perhitungkan perjalanan akan memakan waktu yg lama maka mereka perlu
dipersiapka rakit yg besar dan kuat, perlengkapan secukupnya serta harus
didampingi.
Malam
itu secara sembunyi sembunyi mereka mulai mengerjakan rakit itu dan
mempersiapkan barang barang serta makanan untuk bekal selama perjalanan.
Keesokan malamnya selesailah pekerjaan mereka dan siap untuk berangkat. Siapa
yg mendampingi?
Dari
lima lelaki bersaudara ini 2 orang telah berkeluarga, maka dengan perhitungan
dan pertimbangan yg matang maka yg tinggal adalah abang abang mereka yg telah
berkeluarga, tiga orang pemuda Hasibuan dan seorang gadis boru Lubis dimalam
bersejarah itu berangkat meninggalkan kampung halaman mereka demi cinta (cinta
kepada kekasih dan cinta kepada keluarga). Keberangkatan bersejarah ini lahir
dari adanya rasa CINTA, sehidup semati, susah senang bersama. Semua resiko akan
mereka hadapi walaupun akhirnya nyawa taruhannya.
Rakit
itupun diluncurkan dari darat di tepian sungai hulu Barumun itu ke air sungai
yg jernih lagi dangkal dan berbatu-batu. Rakit mulai dikayuhkan dengan batang
bambu menyusuri tepian sungai, dipilih airnya yang lebih dalam agar mudah
mengayuhkan rakit. Di darat abang abang Japarimpunan Hasibuan dengan deraian
air mata dan lambaian tangan melepas tiga adik adik mereka dan seorang boru,
berharap suatu hari nanti dapat dipertemukan kembali. Japarimpunan dan dua
saudara laki-lakinya yang lain serta Nauli Boru Lubis juga tak dapat membendung
tangis mereka, tanpa mau melepaskan pandangan kepada saudara saudara mereka yg
masih berdiri terpaku di tepian sungai sampai akhirnya hilang dibalik tanjung.
Lambaian
tangan antara mereka seakan memberikan isyarat dan ikrar "jaga
persaudaraan dan hubungan darah ini sampai akhir zaman wahai saudaraku, kamu
yang tinggal dan kami yang pergi semoga dalam karunia Ilahi". Masih
terngiang di telinga Japarimpunan dan mereka bertiga lainnya, pesan dari abang
abang mereka sebelum berpisah "Kita telah menjadi keluarga dengan boru
Lubis, kami menjadi saksinya. Jaga dan lindungi ia, sebagai kami menjagamu.
Susah dan senang harus kamu jalani bersama, bagaikan kulitmu cubit di kiri
kanan terasa. Belajarlah untuk mengenal hidup dan kehidupan di tanahmu yang
baru, cari sahabat sebagai ganti saudaramu disana. Pelajari ilmu agama, karena
itu yang akan membimbingmu. Mempelajari menjadi susah itu lebih sulit daripada
belajar senang. Satu lagi pesan dari kami dimana bumi dipijak disitu langit
dijunjung". Dengan ijin Allah suatu saat nanti kita, atau mungkin
keturunan kita akan dipertemukan kembali, semoga pertemuan nanti adalah
pertemuan yang indah dan bahagia jauh dari keadaan seperti ini'. Japarimpunan
dan Nauli seakan masih merasa usapan jemari jemari abang abang di kepala
mereka.
Mulai
dari Sibuhuan sampai dengan sekitar sebelum Aek Raso sekarang, medan sungai
masih sangat deras dan berbatu-batu. Perjalanan masih jauh dan perbekalan semakin
menipis. Mereka telah menempuh perjalanan selama beberapa hari, merekapun
memutuskan untuk beristirahat di tepian karena sudah merasa aman dari kejaran
Raja dan pengikutnya yang sangat murka.
Rakit
mereka tambatkan pada sebatang pohon besar, mereka mulai mencari umbi-umbian di
hutan itu untuk dikumpulkan sebagai tambahan bekal, begitu pula pucuk pucuk
dedaunan yg dapat dimakan serta buah buahan hutan. Sumpit (sejenis senjata yg
ditiup memakai peluru anak panah kecil) yg turut mereka bawa dipakai untuk
berburu burung dan unggas unggas air. Di pinggiran sungai mereka menombak ikan
yang banyak terdapat disitu. Ketika malam tiba mereka beristirahat di
ujung-ujung tanjung yang aman dari binatang berbisa, binatang buas dan buaya.
Keesokan paginya mereka berangkat kembali meneruskan perjalanan.
Setelah
berhari-hari perjalanan menyusuri Sungai Barumun sampailah mereka ke daerah
Kerajaan Pinang Di Awan (Kota Pinang). Pada masa itu Kerajaan ini sudah
diduduki Belanda, kekuasaan Raja telah dibatasi, pemerintahan dibawah kendali
Belanda, Raja hanya diberikan sewa atas tanah yang dikuasai kerajaan tetapi
kebunnya dikelola oleh Belanda. Kerajaan hanya sebagai simbol pemerintahan
saja, dimana raja dan keluarganya dinina bobokkan oleh Belanda dengan kemewahan
dan kesenangan, tetapi kondisi rakyat jelata disana dalam keadaan menderita
oleh penindasan penguasa dan penjajah (inilah nanti akhirnya menjadi sumber
terjadinya revolusi sosial Sumatera Timur tahun 1946 di awal awal kemerdekaan
R.I, dimana rakyat jelata yg diopinikan mereka adalah korban penindasan disulut
kemarahannya oleh oportunis politik berhaluan kiri).
Untuk
melengkapi kebutuhan mereka dalam melanjutkan perjalanan menuju Bandar besar di
muara Sungai Barumun (Labuhan Bilik) perlu juga ke poken (pasar) yang ada di
negeri ini. Beberapa ekor burung dan ikan hasil buruan dan tangkapan ingin
mereka tukarkan dengan barang-barang lainnya. Tetapi Japarimpunan dan rombongan
takut juga mendarat secara terang-terangan, karena mereka menyangka di daerah ini
masih ada kaki tangan raja dari negeri Batang Bulu Jae-Sibuhuan yang mencari
mereka. Mereka tunggu waktu malam hari untuk merapat ke tepian sekitar Kota
Pinang, mereka beristirahat disana. Esok paginya barulah mereka naik ke daratan
dan berjumpa dengan masyarakat disana untuk menanyakan dimana poken (pasar)
untuk mencari barang kebutuhan. Masyarakat disini mengerti bahasa leluhur
Japarimpunan yaitu bahasa Mandailing, karena Raja disini asal usulnya adalah
keturunan bermarga Nasution yg berasal dari Mandailing juga, dimana leluhur
mereka berasal dari Pagaruyung. Jadi banyak keluarga raja dan masyarakat di
negeri ini adalah orang Mandailing Hulu (sekarang Madina yg berbatasan dengan
Rao dan Pasaman). Dari sinilah muncul banyak marga marga Mandailing Hulu seperti
Nasution, Lubis, Rangkuty, Daulay, dll di pesisir Sungai Barumun (mulai dari
Kota Pinang sampai Sungai Berombang).
Tenanglah
perasaan mereka bahwa tidak ada yg mencari cari mereka disini, barang-barang
keperluan perjalananpun terpenuhi. Bahkan ada pemuka masyarakat di negeri itu
bermarga Nasution (masih keluarga Raja) menahan mereka untuk menginap beberapa
hari disini untuk memulihkan tenaga. Tawaran itu tak dapat mereka tolak,
merekapun menginap disana selama tiga hari. Disanalah pasangan Japarimpunan Hasibuan
dan Nauli Boru Lubis dinikahkan secara Islam dengan saksi wali dari pihak
mempelai wanita adalah Tuan Nasution. Merekapun melalui malam pertamanya di
rumah ini.
Tawaran
dari ahli bait untuk menetap atau paling tidak tinggal lebih lama di negeri ini
dengan berat hati tidaklah dapat dipenuhi oleh Japarimpunan dan rombongan
karena mereka terikat janji dengan abang-abangnya. Negeri tujuan mereka adalah
bandar besar di muara Sungai Barumun, bukanlah disini. Keluarga Nasution ini
adalah sebuah keluarga yg amat pemurah dan sangat berempati kepada kondisi dan
keadaan para pelarian ini, tanda sayang dan besarnya perhatian keluarga
Nasution, kepada mereka diserahkan sebuah sampan yg berukuran sedang lengkap
dengan logistiknya, cukup untuk perjalanan sebulan. Kepada mereka juga
dititipkan sebuah surat untuk disampaikan kepada Raja di Labuhan Bilik, isinya
agar mereka diterima dengan baik disana serta dapat diberikan sebuah daerah
baru (Raja Panai-Kerajaan Air Merah adalah keturunan dari Raja Pinang Di Awan
atau Kota Pinang sekarang). Dengan doa bersama diiringkanlah keberangkatan
mereka mencapai negeri impian.
Perahu
itu dihiasi kalungan rangkaian daun pandan dan untaian kembang warna warni di
haluannya, sebuah balai bertingkat tiga berisikan pulut dan telur dihiasi
bendera-bendera kuning lambing kerajaan diletakkan di tengah perahu, buritannya
dipenuhi bendera-bendera kecil berwarna kuning emas, payung kuning emas
bertingkat tiga memayungi pasangan seorang jaka dan seorang dara, pertanda
penumpangnya ada sepasang pengantin baru. Ini semua dikerjakan oleh para jiran
tetangga dan handai tolan ahli bait sebagai tanda suka cita dan telah menjadi
adat kebiasaan disana sejak kerajaan ini ada.
Dengan
ditaburi beras kuning oleh Tuan Nasution dan Istri (Putri Raja Pinang Di Awan),
para keluarga, jiran tetangga serta handai tolan yang turut mengantar di
tangkahan kecil di pinggiran Sungai Barumun itu yang sedang naik pasang airnya,
mataharipun tersenyum ceria tersembul di balik rimbunan pohanan pantai di
sebelah Timur. Perahupun dikayuh menuju Utara, kecipak air dibelah kayu
pendayung di kiri dan kanan perahu oleh kedua adik adik Japarimpunan
mengeluarkan irama harmoni bagaikan simponi alam yang indah, sepasang burung
elang melayang-layang bercengkerama ria di atas Sungai Barumun yang sedang
pasang penuh, burung-burung bernyanyi riang di pepohonan pantai. Ada air mata
gembira dan sedih di sudut mata para pengantar dan yang diantarkan. Lambaian
tangan saling berbalas-balasan. Sampai akhirnya perahupun hilang tak terlihat
lagi dibalik tanjung.
Kala malam tiba mereka beristirahat
di ujung-ujung tanjung yang aman, begitu pula saat cuaca tidak bersahabat
ataupun arus lagi deras ke hulu mereka mencari tempat untuk beristirahat.
Setelah lepas seminggu mengayuhkan perahunya sampailah mereka di sekitar
Meranti Paham sekarang, air Sungai Barumun bergerak naik pasang. Dari kejauhan
mereka melihat ada sekitar 4 sampai 5 perahu berlawan arah mengarah mendekat ke
perahu mereka. Mereka sangat ketakutan sekali, terlintas difikiran mereka jangan-jangan
itu adalah pengikut para Raja di Hulu Barumun yang selama ini mencari-cari
mereka. Mereka saling berpandangan di perahu itu, wajah mereka pucat, lutut
gemetar dan keringat dingin mulai membasahi pakaian. Sama-sama mereka berdoa
pada Yang Maha Kuasa supaya dijauhkan dari marabahaya.
Perahu-perahu dari arah Utara itupun
mulai dekat, terlihat mereka tangan-tangan melambai bersahabat dan
bersorak-sorak gembira, namun mereka kurang memahami apa yang dibicarakan
mereka (menggunakan bahasa Melayu Panai). Tapi dari raut wajah serta bahasa
tubuh yang disampaikan, mengertilah mereka bahwa yang datang itu adalah para
nelayan pencari ikan di daerah Panai sekitarnya. Mereka datang karena melihat
perahu pengantin baru ada melintas.
Sudah menjadi kebiasaan di daerah
Kerajaan Panai ini bila ada perahu berhias lewat di Sungai Barumun, berarti itu
adalah perahu pengantin baru. Apalagi ini mempunyai payung bertingkat tiga,
menunjukkan pasangan ini adalah keluarga raja (bangsawan). Bila nelayan disana
mendapatkan terubuk, maka terubuk terbaik (besar bulat, karena padat telurnya)
akan baik peruntungannya nanti bila memberikannya pada pasangan pengantin baru.
Bagi pengantin baru benih dan keturunannya Inshaa Allah banyak dan berbudi
baik.
Pahamlah Japarimpunan Dkk, merekapun
menerima masing-masing 1 ekor ikan terubuk yang besar dan bulat bentuknya dari
masing-masing perahu. Kata mereka saat ini adalah saat yang bahagia karena
Sungai Barumun sedang musim ikan terubuk, rakyat disana sangat gembira. Ikan
terubuk ini juga simbol Kerajaan Panai, menjadi ikan yang dilindungi dan dijaga
kerajaan kelestariannya. Masa itu ada dibuat peraturan dan ketentuan bagi
nelayan untuk menangkapnya.
Japarimpunan
dan Istri serta kedua adiknya diajari mereka cara memakannya setelah dibakar,
karena ikan ini disamping rasanya yang manis, lemak dan gurih juga mempunyai
banyak tulang-tulang halus (duri), maka harus berhati-hati serta pandai dalam
memakannya. Kepada Nauli Boru Lubis diberikan telur terubuk, karena baik bagi
benih dan keturunannya kelak nanti.
Bahasa diantara mereka masih susah
untuk saling berkomunikasi, dengan bahasa tangan dan isyarat dapat jugalah
mereka saling bercengkerama. Para nelayan-nelayan ini sangat ramah-ramah dan
baik hati, sebentar saja mereka sudah menjadi akrab. Merekapun ditawarkan untuk
diantarkan kepada Raja Panai (Labuhan Bilik) untuk menyampaikan surat yang
diamanahkan kepada mereka disampaikan langsung ke tangan raja.
Selepas beristirahat sejenak sehabis
menyantap ikan terubuk bakar dengan telurnya dengan beras ladang pemberian
nelayan sambil menunggu air sungai surut (air menuju ke hilir, memudahkan dalam
berperahu dari Meranti Paham menuju Labuhan Bilik), berangkatlah mereka ke
Labuhan Bilik. Setelah melewati beberapa tanjung terlihatlah pulau Si Kantan dan
di seberang sana telah terlihat bubungan-bubungan rumah di pantai Labuhan
Bilik. Mereka takjub, baru pertama ini mereka melihat negeri yang besar.
Negeri itu besar pelabuhannya,
banyak pula kantor-kantor yang mengurusi administrasi pelabuhan, ekspor impor,
bea cukai, nelayan, buruh, hukum, keamanan, dll berbaris di kiri kanan
pelabuhan berbilik-bilik. Masyarakat pendatang yang masuk kenegeri ini agar
mudah mengingat dan menyebutnya disebut dengan negeri Labuhan Bilik (pelabuhan
yang banyak mempunyai kamar-kamar ruang kerja kantor).
Kapal perang Belanda berwarna putih
terlihat berlabuh di pertemuan antara Sungai Bilah dengan Sungai Barumun
mengarah ke Utara ke Selat Malaka. Di dermaga Labuhan Bilik terlihat bersandar
beberapa kapal barang. Mereka terkagum-kagum serta ada rasa ciut juga di hati.
Seakan masing-masing bertanya pada diri sendiri “Sanggupkah kami hidup di bandar
yang besar dan ramai ini? Ya Allah Yang Maha Kuasa lindungilah dan peliharalah
kami, mudahkanlah urusan kami. Dengan menyeru namaMU kami langkahkan kaki
memulai hidup baru kami., dengarkan dan kabulkanlah pinta hambuMU yang lemah
ini. Aamiin Ya Rabb”.
Sampailah mereka pada sebuah
tangkahan milik Raja, tidak jauh dari dermaga Labuhan Bilik (kira-kira di depan
Mesjid Raya Labuhan Bilik). Perahu Japarimpunan dan rombongannya beserta
perahu-perahu pengantar ditambatkan disana. Air sudah surut, tangkahan itu
kelihatan tinggi dan harus dinaiki melalui tangga yang disediakan, bentuknya
dibuat landai. Di atas dermaga ada beberapa masyarakat yang ingin melihat siapa
“pengantin baru” itu, disana juga ada beberapa petugas kerajaan yang mengawasi
dan menjaga dermaga milik raja itu.
Merekapun naik ke dermaga dengan
berhati-hati, karena airnya baru turun tangga masih basah dan licin.
Japarimpunan Hasibuan menuntun istrinya Nauli Br Lubis dengan mesra. Di atas
mereka disambut masyarakat karena dikira adalah pasangan ‘Pengantin Baru”
keluarga Raja yang baru tiba dari perjalanan jauh. Mereka dielu-elukan tetapi
tidak dimengerti bahasanya oleh Japarimpunan Dkk, mereka tahu kalau itu adalah
sebuah sambutan yang hangat. Tak lama setelah disalami dan dielu-elukan
masyarakat yang dating ke dermaga itu, merekapun didatangi dua orang petugas
kerajaan. Pihak nelayan yang mendampingi mereka menuju Labuhan Bilik tadi
menjelaskan tentang perihal kedatangan mereka, yaitu ingin berjumpa Raja untuk
menyampaikan sepucuk surat dari kerabatnya di Kerajaan Pinang Di Awan (Kota
Pinang).
Rombongan ditawari untuk rehat
sejenak di anjungan Raja di dermaga itu
dan disuguhkan secangkir teh hangat ditemani pisang goreng hangat pula.
Petugas kerajaan itu pamit meninggalkan mereka untuk melaporkan pada Raja.
Gambar :Tari Pencak menyambut tamu datang
Di ujung jalan setapak terlihat dua
orang petugas kerajaan berpakaian melayu berwarna hitam berpenutup kepala dari
songket lengkap dengan keris dipinggang, berjalan rapi teratur dan berwibawa
datang menuju anjungan raja di sudut dermaga raja tempat rombongan Japarimpunan
Hsb Dkk beristirahat.
Kedua petugas itu mendekati
Japarimpunan Hsb dan menyampaikan tata cara menghadap raja dengan dicampuri
bahasa isyarat serta bahasa tubuh agar mereka mengerti dan faham. Setelah
melakukan kursus singkat petugas itupun mempersilahkan untuk ikut bersama
mereka. Japarimpunan Hsb bersama istri, adik-adiknya didampingi dua orang
pendamping yang dipilih petugas berangkat menuju istana.
Di istana sudah terlihat sedikit
penyambutan, ada beberapa petugas istana yang berbaris di kiri dan kanan jalan
menuju tangga istana berdiri sedikit membungkuk untuk memberikan tanda
penghormatan. Dada Japarimpunan Hsb, istri serta adik-adiknya berdebar kencang.
Hatinya berkecamuk dan gemetaran, baru sekali ini mereka menghadap seorang raja
di istana yang cukup megah dibanding rumah (bukan istana) raja di Barumun sana.
Apa gerangan yang akan raja sampaikan, pantaskah kami menghadapnya, apa yang
akan kami sampaikan? Dan lain-lain seribu tanda Tanya bergejolak di hati
mereka. Tak lepas-lepasnya mereka berdoa dalam hati agar Tuhan menolong mereka
semua.
Sesampainya di istana mereka
bersimpuh di depan raja mengikuti petunjuk petugas sebelumnya, dengan dipimpin
petugas raja mereka mengucapkan kata-kata daulah kehadapan raja. Rajapun
mempersilahkan mereka untuk duduk di lantai berkarpet merah itu di hadapannya
yang duduk diatas singgasananya.
Raja menyampaikan kepada mereka
bahwa dia telah menerima dan membaca surat dari kerabatnya di Kerajaan Pinang
Di Awan (Kota Pinang) yang dibawa oleh Japarimpunan Hsb Dkk. Ia memaklumi dan
menghormati isi surat tersebut, oleh karenanya ia ingin menyampaikan langsung
kepada rombongan dengan disaksikan semua yang hadir bahwa dia akan menyerahkan
sebidang tanah di hilir Kerajaan Panai, tepatnya di Utara Sei. Berombang yang
kala itu berdasarkan perjanjian dengan Belanda dijadikan sebagai Pos Pemantau
Kuala Barumun. Raja menginginkan daerah baru itu dapat dibuka dan dikelola
dengan baik, karena daerah itu disamping sebagai kawasan lindungan yang
ditetapkan Kolonial Belanda dalam “register”nya karena berada di jalur hijau
sebagai penyangga tanjung Kuala Sungai Barumun dengan teluk di Riau (Panipahan,
Bengkalis, Bagan Siapi Api, dll) yang kaya dengan flora dan faunanya juga ikan
spesifiknya yaitu ‘terubuk” yang menjadikan Sungai Barumun dan Sungai Siak di
Riau sebagai tempat ikan ini menetaskan benirnya.
Di tempat baru itu nanti mereka
diperkenankan untuk bercocok tanam padi dan palawija. Boleh berkebun tetapi
hanya tanaman kelapa, hanya ini yang diperbolehkan Belanda untuk pribumi di
daerah pantai, disamping merupakan tanaman pantai yang tidak merusak ekosistem
juga bukan merupakan komoditi dunia yang dikuasai Belanda di tanah jajahannya.
Untuk berkebun kelapa nanti ada petugas kerajaan bidang penyuluh pertanian
(telah dilatih dan dibimbing oleh Kolonial Belanda) cara-cara berkebun kelapa
dengan baik, petugas penyuluh ini nanti akan melatih dan mendidik mereka sampai
paham dan mengerti. Selama ini pohon kelapa disana hanya sebagai tumbuhan liar
yang tumbuh dengan sendirinya di tepian-tepian tanpa dibudidayakan dengan baik.
Selama pelatihan mereka boleh tinggal dipemondokan kerajaan dan semua kebutuhan
hidup mereka ditanggung oleh kerajaan. Disamping cara berkebun kelapa yang
baik, pemuda-pemuda Barumun ini juga diajarkan cara-cara penangkapan ikan
dengan alat-alat tangkap ikan yang dibenarkan Kerajaan (notabene yang
dibenarkan Kolonial Belanda juga).
Raja Panai adalah keturunan Raja
Kota Pinang yang mempunyai leluhur dari Mandailing yang asalnya dari
Pagaruyung. Bahasa Mandailing yang disebut juga “bahasa ulu” sudah menjadi
bahasa kedua di lingkungan keluarga istana. Maka lancarlah komunikasi diantara
mereka. Japarimpunan Hsb Dkk mengangguk-angguk tanda mengerti dan setuju.
Satu lagi titah raja, karena ini
sudah merupakan ketentuan di Kerajaan Panai dalam hal pendistribusian dan
penyebaran penduduk secara merata guna membuka dan mengembangkan kawasan baru,
maka setiap pendatang legal yang datang berombongan kaum laki-lakinya harus
ditempatkan pada daerah yang berbeda. Diminta kepada kedua adik Japarimpunan
untuk memilih daerah sendiri-sendiri. Adik pertama Japarimpunan Hsb memilih
daerah Meranti Paham, karena daerah itu diingatnya sebagai daerah pertemuan
mereka dengan beberapa nelayan yang mengenalkan ikan terubuk dan akhirnya
membawa mereka ke istana, rajapun manggut-manggut tanda setuju, para pengiring
tersenyum tanda gembira dan tersanjung. Pada giliran adik kedua (si Bungsu)
Japarimpunan Hsb dia memohon kepada raja agar ikut bersama abangnya dahulu
sampai dia bekeluarga nanti baru mencari daerah baru, dia masih sangat muda dan
sangat menyayangi abang dan istrinya. Rajapun memaklumi dan mengijinkan dengan
perjanjian harus mendalami ilmu Agama Islam yang baik dahulu di istana untuk
kemudian nanti diteruskan dan dikembangkan di daerah barunya nanti. Diapun
dikirim ke Basilam (Babussalam-Langkat, masa itu sudah terkenal sebagai basis
pendidikan Islam di Sumatera Timur) untuk memperdalam ilmu agama.
Si Bungsu inilah nantinya kelak
menjadi guru mengaji Desa Sungai Sakat dan dikenal dengan sebutan “Ja Guru
Pangajian”. Dia bersama seseorang temannya satu tarikat dari Basilam bermarga
Hasibuan juga diajaknya kembali ke Panai. Kelak nantinya merekalah membuka
“persulukan” sebuah lembaga pendidikan Islam sejenis pondok pesantren kecil di
Desa Sei. Sakat.
Setelah tanah di wilayah Utara Sei.
Berombang dibuka oleh Japarimpunan Hsb dibantu istri dan adiknya yang bungsu
(sementara adiknya yang satu lagi membuka desa Meranti Paham). Disana mereka
mulai mendirikan pondok-pondok berbahan dari bambu, batang kelapa liar serta
kayu-kayu yang mudah didapatkan disitu. Pada masa itu daerah ini masih dipenuhi
dengan semak belukar dan hutan belantara.
Dengan perlengkapan tani (parang,
pisau, cangkul, kampak, tajak, dll) serta perbekalan logistik secukupnya
pemberian raja kepada mereka dibukalah desa yang mereka beri nama Sungai Sakat.
Asal usul pemberian nama ini hanyalah untuk mengingat saat mereka pertama kali
menginjakkan kaki di daerah ini. Waktu itu mereka melihat disepanjang sungai
kecil berair merah kehitaman (saat surut) banyak pohon kelapa liar yang tumbuh
disela-sela pohon pondan pantai dan pohon nipah yang batangnya ditumbuhi pohon
sejenis benalu berdaun panjang dan lebar, merekapun tidak tahu pohon apa itu
dan mereka namakan saja pohon itu pohon sakat. Pemberian nama itu mengalir
begitu saja, karena diwaktu mereka mau lebih kedalam lagi perahu mereka kandas
(dalam bahasa Mandailing “sakat” atau sangkut) di bawah pohon kelapa liar
berbenalu itu. Disitulah mereka menambatkan perahunya dan mendarat (kira-kira
lokasinya sekarang di sekitar sungai
disamping rumah Almh. Wak Mardiah lewat garotak (jembatan Sungai Sakat)
arah ke darat.
Pada masa itu Belanda memberikan
peraturan yang harus dijalankan Kerajaan Panai bila membuka daerah baru di
tanjung kuala Sungai Barumun jaraknya minimal 1 mil dari laut ke pedalaman
(masyarakat disana menyebutnya dalam “Bahasa Ulu” 1 mil dari “baro” ke
“darat”). Itulah makanya tanah desa Sungai Sakat awalnya adalah sekitar
dibelakang tanah pekuburan “Wakaf Keluarga” Ibrahim Azhar Hsb sekarang, bukan
mengarah ke pantai (baro), karena tidak dibenarkan Belanda melalui Kerajaan
Panai untuk menjaga ekosistem darat dan Sungai Barumun. Tetapi sekarang semua
itu sudah diabaikan, makanya kerusakan lingkungan di zaman ini semakin parah
saja.
Hari demi hari, bulan demi bulan,
tahun demi tahun desa ini semakin berkembang dan semakin ramai dengan masuknya
pendatang-pendatang baru serta banyak pula masyarakat muda Sungai Berombang
(kode) yang baru menikah membuat rumah ke daerah baru ini. Si Bungsu pun
mulailah menginjak dewasa.
Sesuai perjanjian dengan raja dalam
rangka untuk membesarkan Islam di Kerajaan Panai, maka bersama beberapa pemuda
dari desa lainnya di Kerajaan Panai berangkatlah mereka menggunakan perahu
layar yang dilepas oleh Raja Panai dari Labuhan Bilik dengan surat pengantar
darinya menuju Basilam (Babussalam) di Kerajaan Langkat melalui Selat Malaka
menuju ke arah Barat.
Perjalan mereka berminggu lamanya
menyusuri tepian Selat Malaka menuju ke arah Barat. Bila air laut tenang dan
angin berhembus baik mereka berlayar agak ketengah, bila udara buruk mereka
menepi. Pelayaran perahu kecil mereka melintasi Kuala Sungai Kualuh, Kuala
Sungai Asahan, Kuala Tanjung Tiram, Kuala Sungai Bah Bolon, Kuala Sungai
Bedagai, Kuala Sungai Ular, Kuala Sungai Percut, Kuala Sungai Deli, Kuala
Sungai Belawan, Kuala Sungai Hamparan Perak. Setelah berminggu lamanya akhirnya
mereka sampai di Kuala Sungai Wampu, mereka masuk dan menuju ke hulunya ke arah
Selatan menuju Tanjung Pura Sekarang dan terus ke hulu hingga akhirnya sampai
di Basilam (Babussalam). (Bersambung)
Bacaan menarik.
BalasHapusOrang tua atok saya dari ibu juga bermarga hasibuan dan sudah menetap di hasibuan sejak tahun 1800an.
Saat ini masih banyak sodara yg tinggal di besilam dan mengikuti tarekat naqsabandiah di sana
Luar biasa informasinya..
BalasHapusdari mana ajo dapat uwak penulis ka deh.
BalasHapuslongkap botul ku tengok.
yg semula aku indak tau jadinya tau.
kalo bagika sajarahnya seharusnya tompat kita enen udah manjadi kota bosar
wah..baru tau awak neh..
BalasHapusMantap..saya orang yg lahir di labuhan bilik dan skrg menetap di medan sangat senang dgn artikel ini.
BalasHapusSemoga bisa pula diulas tentang suku lama yg mandiami kampong berombang EN, supaya lebih jolas dan pendekatan nya dr sisi adat, budaya, pengobatan tradisional,dll agar supaya kita pun tau mana yg nenek moyangnya bamarga mana yg TDK.tks
BalasHapusKagum membaca sejarahnya,
BalasHapusLopas juga rindu ku ke kampung ku sungai berombang.
Sungai brombang adalah tempat kelahiran q. Aq selalau merindukan a. Makasih mamak udh mempuplikasikan sungai barombang
BalasHapusterimakasih sudah mengulas sejarah sungai berombang...kami pun lahir di sungai berombang...
BalasHapussalam kenal pak
Bangga rasanya jadi orang berombang bermarga hasibua, nantinya jadi tau menceritakan asal usul kampung halaman sendiri pada anak cucu.
BalasHapus