Kisah Simardan dan Sekilas Perjalanan Terbentuknya Kesultanan Asahan
SI MARDAN
Oleh : Drs. Harunsyah Arsyad, MAP
Oleh : Drs. Harunsyah Arsyad, MAP
Dahulu
kala hiduplah seorang ibu bersama anak laki lakinya yg semata wayang. Mereka
berdua tinggal disebuah gubuk kecil berdinding bambu berlantai kayu dan beratap
jalinan daun nipah yg tersusun rapat lagi rapi.
Gubuk
kecil itu terletak di sebuah tepian teluk kecil pada sebuah sisi sungai besar
dan berair dalam. Sungai besar itu mengalir dari daratan tinggi pulau Andalas
(sekarang pulau Sumatera) berasal dari sebuah danau besar Tao Toba bermuara ke
laut sebuah selat besar yang memisahkan pulau Andalas dan Tanah Semananjung
(sekarang Malaysia).
Sungai
besar itu sehari hari disebut oleh si ibu Simardan "Aek Doras" dengan
logat daerah hulu campuran (aksen bahasa antara logat masyarakat Batak dari
gunung dengan masyarakat Melayu di pesisir). Sang ibu menamakan sungai besar
itu dengan Aek Doras, karena arusnya sangat deras mengalir dari hulu di sebelah
Barat Daya gubuk mereka menuju Utara ke Selat Malaka.
Ayah
Simardan sudah lama meninggalkan mereka. Sang ayah meninggal dunia karena
terserang penyakit malaria sehabis pulang bersama istri dan anaknya Simardan
bayi yg masih menyusui. Sepulang mencari rotan dari hutan yg banyak terdapat di
sepanjang daratan tepian sungai itu. Kala itu kawasan sepanjang tepian Sungai
Asahan di kiri dan kanannya masih tertutup hutan lebat.
Ayah
Simardan meninggal ketika anak tunggalnya masih bayi berumur sekitar setahun
lebih. Pada ketika itu mereka bertiga belum lama pula bersama meninggalkan
kampung asalnya di hulu. Baru lebih kurang delapan purnama yang lalu mereka
meninggalkan kampung kelahiran. Sebuah kampung di hulu Aek Doras (sekarang
sekitar Porsea). Ketika itu mereka berangkat menyusuri Aek Doras (Sungai Asahan)
menggunakan rakit bambu yg diberi kajang sebagai pelindung. Kajang itu dijalin
dari daun rumbia untuk tempat bernaung dan berlindung seadanya dari hujan dan
panas selama di perjalanan. Semua mereka persiapkan utamanya untuk melindungi
sang bayi yg masih rentan.
Setelah
ayah Simardan meninggal. Untuk menghidupi dirinya bersama sang anak tercinta
yang sedang pada masa masa pertumbuhan juga sedang lasak lasaknya itu, sang ibu
rela keluar masuk hutan bersama sang bayi mencari hasil hasil hutan yang dapat
dijual ataupun ditukarkan (di barter) dengan bahan makanan yg mereka perlukan
di pasar. Bila hasil yg didapatkanya berlebih maka ia tukarkan dengan bahan
bahan sandang untuk keperluan mereka. Biasanya si ibu turut membawa Simardan di
gendongan belakangnya keluar masuk hutan begitu pula saat menjual (membarter)
hasil jerih payah seharian dari hutan itu untuk dibawa ke pasar esok paginya.
Pasar itu terletak pada sebuah tanjung di pertemuan dua sungai. Kampung itu
sudah lebih ramai penduduknya dibanding dengan kampung kampung lainnya di
daerah sekitar hilir kedua sungai itu.
Kampung
beradanya pasar itu terletak di sebuah tanjung di pertemuan du sungai, Aek
Doras dengan sebuah sungai yg lebih kecil sedikit. Sungai itu disebut
masyarakat setempat dengan Sungai Silo. Sungai Silau ini membelah sisi Selatan
dan sisi Utara kampong itu dari Barat ke Timurnya.
Karena
posisi Sungai Silau yg mengalir dari Barat ke Timur sehingga sinar matahari
sepanjang hari senantiasa menaunginya dari sejak mulai terbit di pagi hari sampai
tenggelamnya pada sore hari. Sinar matahari yg dipantulkan permukaan air Sungai
Silau ini menyilaukan mata penduduk kampung tanjung. Merekapun menamakannya
Sungai Silau.
Agar ia
dan anaknya Simardan tinggal tidak begitu jauh dari kampung tempat keberadaan
pasar itu sang emak mendirikan gubuk di belakang kampung tanjung di balik
sebuah teluk kecil sedikit ke hulu dari kampong tanjung. Sebelumnya ia bersama
mendiang suami ketika masih hidup mendirikan gubuk tempat tinggal mereka
bertiga bersama sang bayi di sekitar daerah perladangan yg mereka buka. Disana
di hamparan tanah yg lain sudah ada beberapa perladangan penduduk lainnya.
Perladangan mereka itu terletak lebih ke hulu Aek Doras lagi di daratan sekitar
tepian sebuah teluk yg airnya cukup dalam (sekarang Teluk Dalam). Disinilah
mereka dahulu pertama sekali menetap setelah meninggalkan kampung kelahiran di
hulu lalu ayah dan ibu Simardan membuka
perladangan baru tak jauh dari gubuknya itu.
Setelah ditinggal sang suami untuk
kebutuhan pangan sang ibu tidak begitu khawatir, karena tersedianya lahan yang
cukup luas untuk bercocok tanam. Namun karena tubuhnya yg sudah tak begitu kuat
lagi tergerus usia yg sudah mulai menua. Seorang diri ia hanya membuka hutan
dekat gubuknya yg baru seperlunya saja serta bercocok tanam semampunya.
Hari telah berganti hari, tahunpun
telah berganti tahun. Kini Simardan kecil telah tumbuh remaja. Wajahnya tampan
berkulit sawo matang, tidak putih namun tidak pula terlalu hitam. Wajah
tampannya ditopang pula bentuk badan tinggi
kekar karena sedari kecil sudah tertempa
dari pekerjaan sehari-hari rajin membantu emak di gubuk maupun di ladang. Sosok
Simardan sangatlah elok dipandang mata.
Oleh karena sudah tumbuh besar,
Simardan kini semakin sering ditinggal sendiri di gubuk oleh ibunya saat pergi
ke pasar. Terkecuali bila sang emak pergi masuk hutan atau ke ladang maka
Simardan tetap minta dibawa agar dapat membantu ibunya.
Bila sekembali pulang dari pasar sang
ibu tak pernah lupa membawakan sesuatu sebagai buah tangan buat sang anak.
Sering sang ibu membawakan bola yang terbuat dari anyaman rotan sejenis bola
keranjang bila bola Simardan sudah rusak ataupun mulai usang.
Simardan sangatlah senang bermain
bola rotan ini di hamparan ladang tepian sungai itu pada bagian kosongnya
ataupun hamparan yg baru selesai dipanen. Dalam bermain bola keranjang itu ia
sendiri, sering pula bersama teman teman sebaya. Terkadang mereka sampai-sampai
ia lupa waktu.
Pernah suatu hari ibunya di gubuk
gelisah menanti kepulangan sang putera sibiran tulang. Hari sudah mulai
beranjak gelap namun Simardan belum jua tampak batang hidungnya. Sang emak
sangat cemas, kuatir akan keadaan anaknya di ladang. Hatinya bertanya-tanya
jangan-jangan anaknya sudah menjadi mangsa binatang buas atau mungkin juga
telah dilarikan perompak yang sering masuk bersembunyi di daerah mereka itu
akhir akhir ini. Para bandit lanun itu lari bersembunyi kesana karena dikejar
kejar penduduk dari kampung tanjung yg terletak tak jauh di Utara gubuk mereka.
Para kawanan lanun itu biasanya baru beraksi di laut memangsa para pelayar
yang sedang membawa barang untuk didagangkan ke negeri lain dengan perahu
layar. Atau juga para saudagar dari kampung tanjung hendak berdagang ke negeri
seberang atau sebaliknya.
Bulan sudah mulai menampakkan
senyumnya mewarnai langit kuning kemerahan menjadi indah temaram. Dari kejauhan
tampaklah samar samar Simardan remaja berlari-lari kecil sesekali melompat
lompat melewati aral rintangan sambil menenteng nenteng bola rotan ditangan
kembali pulang menuju gubuknya.
Legalah hati sang ibu yg sangat
mengkuatirkan keadaan sang putera sedari tadi. Lalu ia beranjak bangkit ke
dapur. Disiapkannya makanan kesukaan sang putera, yaitu sebuah masakan
perpaduan antara gulai arsik sebuah masakan khas dari kampungnya di hulu
berpadu dengan gulai ikan masyarakat setempat yg memakai bumbu asam potong
yaitu buah glugur yg telah dikeringkan
ditambah asam belimbing sunti yg banyak tumbuh di ladang Simardan. Rasanya
asam-asam pedas beraroma bunga kincung yg turut dicampurkan ke gulai sebagai
pengganti buah andaliman yg tak dapat dijumpai ibu Simardan lagi sejak pindah
kesana. Simardan menyebut gulai ikan emaknya itu dengan "gule asam".
Bila emaknya memasak gulai itu lauk
kesukaan Simardan adalah memakai ikan baung yang banyak sekali didapat dari
sungai Aek Doras itu.
Sudah menjadi kebiasaan bagi
Simardan, sebelum naik ke gubuk mereka ia terlebih dahulu pergi mandi
membersihkan badannya di tepian sungai. Tepian itu tepat berada di halaman
depan gubuk mereka.
Simardan belia mandi berendam
kemudian naik sambil membasuh basuhi badannya di atas sebuah batang kelapa yg
telah dipotong potong sebagai lantai jamban
bertiang batang nibung. Jamban
ini juga berfungsi sebagai tempat mencuci sekaligus berfungsi pula sebagai
kakus tempat membuang hajat besar dan kecil, kotorannya langsung jatuh ke air
sungai di bawah seketika juga berlalu terbawa arus.
Dalam membersihkan badan itu ia
bersiul siul merdu sambil bersenandung-senandung kecil. Suaranya enak didengar.
Tak jarang sampai meneteskan air mata sang ibu yg diam diam mendengarkan dari
dalam gubuknya di atas. Ia terbawa lamunan terkenang akan mendiang suaminya
yang telah tiada.
Dahulu suaminya juga punya kebiasaan
seperti itu, senang bersenandung senandung dengan aksen logat hulunya. Kini
puteranya pula sebagai penerus bersenandung senandung ketika mandi walau aksen
hulunya sudah bercampur logat pesisir.
Suatu sore di satu bidang hamparan
ladang kering. Ladang kering itu padinya baru selesai dipanen beberapa hari yg
lalu dan sampai kini masih belum ditanami menunggu musim hujan tiba. Sawah
disitu masih sistem tadah hujan, mereka belum mengenal irigasi dan masa
panennyapun hanya setahun sekali. Di tepian sungai atau di tempat tempat
seperti itulah biasanya Simardan bermain bola bersama teman teman sebaya.
Begitu pula bila ia bermain hanya seorang diri mengasah asah kemampuannya
ataupun sekedar mengisi kekosongan waktu menunggu sang emak kembali dari pasar.
Sore itu Simardan lagi seorang diri
sedang asik bermain main bola di tepian sungai yg daratannya ditutupi pasir
seperti lazimnya tekstur tanah di kawasan itu. Sementara itu teman temannya yg
lain sedang sibuk membantu orang tuanya masing masing memanen padi di sawahnya.
Sementara sawah ibu Simardan sudah selesai mereka panen berdua sejak semalam.
Di tepian berpasir itu Simardan
seorang diri mengeluarkan kelihaian dan kepiawaiannya dalam memainkan si rotan
bundar. Berganti-ganti anggota badan lalu berpindah-pindah tempat bola itu
dialirkannya di bahagian bahagian tubuhnya itu. Mulai dari permainan di kaki,
paha, dada, bahu sampai kepala. Seni olah bolanya sangat terampil sekali
sangatlah asik untuk dilihat. Bola rotan itu seakan sudah menyatu dengan
dirinya. Dapatlah dibayangkan dia bagaikan seorang pesenam profesional di
masa kini yang sedang memainkan bola-bola pada sebuah panggung pertunjukan.
Di tengah keasikan Simardan dengan
permainannya itu tanpa disadari sejak tadi rupanya telah diperhatikan oleh tiga
pasang mata liar dari balik rimbunan semak-semak di tepian itu. Satu
diantaranya seorang pria brewokan berbadan besar memakai bando merah menutup
kepalanya yg plontos berbisik pada dua temannya yg lain. Seperti ada sesuatu
yang mereka rencanakan. Niat jahat mereka
untuk menculik Simardan.
Ternyata kawanan penjahat itu adalah
para lanun yang baru gagal dalam sebuah aksinya di laut. Mereka dikejar kejar
para pelaut yg memergoki kemudian melawan menantang para perompak ini. Pada
pertempuran itu kelompok mereka banyak yg tewas kapal mereka dibakar massa.
Mereka yg selamat melarikan diri masuk ke Aek Doras, lalu bersembunyi di paluh
paluh masuk ke hutan hutan di tepian.
Sementara itu di tempat lain, sang
ibu baru saja menambatkan perahu kecilnya di sebatang nibung yang sengaja
dipancangkan pada tepian sungai depan gubuknya. Ia baru saja kembali dari
pasar. Seekor udang galah melompat dari balik tiang nibung yg terguncang karena
disenggol sisi perahu sang ibu. Udang besar itu terkejut tatkala ibu Simardan
buru-buru menambatkan perahunya di tiang nibung itu. Karena buru buru si ibu
sama sekali tak memperhatikan udang
galah itu, ia tergesa gesa menuju gubuknya.
Tak heran pada masa itu air Aek Doras
(sekarang Sungai Asahan) masih bersih dan jernih. Berwarna bening
kehijau-hijauan. Tidak keruh berlumpur
seperti saat ini. Ikan ikan kecil berombong rombongan berenang kesana kemari di
dalam air tepian sungai tampak jelas dilihat dengan mata telanjang. Rimbunan
pohon-pohon besar dimana-mana tumbuh dengan suburnya.
Rupanya suasana hati dan perasaan ibu
Simardan sedang tak enak. Fikirannya tetap sajactertuju pada anak semata
wayangnya, kemana gerangan sang anak. Ia was was dan bertanya tanya dalam hati
mengapa tak kedengaran suara anaknya. Padahal biasanya Simardan selalu menunggu
kepulangannya di depan pintu di atas tangga gubuk mereka itu.
Dengan sigap sang ibu melompat dari
perahunya ke darat bergegas menuju gubuknya dengan tergesa-gesa. Didalam
hatinya berkecamuk perasaan kuatir penuh tanda tanya. Tak biasanya sang putera
meninggalkan gubuk ataupun bermain terlalu lama bila ia pergi ke pasar.
Pastilah telah terjadi sesuatu pada Simardan putra tunggalnya, kata hatinya.
Di tempat lain, Simardan sudah berada
dalam cengkeraman para penjahat. Tangan dan kakinya diikat. Simardan
digelandang menuju perahu penduduk yg mereka curi mereka sembunyikan di
sela-sela rerimbunan semak belukar pada paluh kecil dekat tempat bermain
Simardan itu.
Bertahun-tahun
lamanya sudah Simardan telah meninggalkan ibunya hidup sendirian di tepian
teluk kecil itu tanpa kabar berita. Sang emak kini terlihat sudah semakin tua.
Rambutnya memutih dan dibiarkan memanjang tak diurus. Kulitnya kering semakin
menjadi berkeriput, badannya kelihatan semakin kecil karena sudah kurus. Sejak
hilangnya sang putera tercinta dari kehidupannya sang ibu jiwanya terguncang
hebat sehingga menjadi sedikit terganggu.
Bila hari
telah gelap sepanjang malam ia habiskan waktu dengan bersenandung pilu seorang
diri di keheningan malam yg sepi. Ratapan sedih menyayat hati bagi siapa saja
yg mendengarnya darii tepian sungai itu.
Bila sudah
sampai pada puncaknya ia seperti terpapar halusinasi. Sudah seperti itu lalu
iapun turun ke bawah gubuk berlari ke arah tepian sungai. Disana ia memukul
mukuli tiang pancang dari batang nibung di tepian itu memanggil manggil
anaknya. Bagaikan gendang tiang nibung itu dipukulinya menyebut nyebut nama
anaknya sambil meliuk liukkan tubuh bagaikan kesurupan. Luapan emosional dari
rasa sedih dan rasa rindu yg tak tertahankan memenuhi kalbu serta sanubarinya.
Akhirnya hilang nelangsa saat halusinasi melanda akal normalnya. Semakin
kencang pukulannya, semakin kencang pulalah tariannya disitu.
Bila malam
semakin larut, larut pulalah alam pikiran si nenek tua. Jiwanya telah kosong
terbang jauh melayang masuk ke alam halus makhluk lain. Akhirnya ia dirasuki
makhluk makhluk halus yg mendiami kawasan itu. Kawanan makhluk halus itu
akhirnya masuk menumpang di raganya yg sudah mengalami lemah jiwa.
Bila siang
hari saat matahari bersinar emak Simardan lebih banyak tidur di atas ranjang
tuanya. Andaipun di suatu siang ia tak tidur, maka pastilah ia akan mendatangi
ladang kosong tempat Simardan biasa bermain-main dahulu. Seolah tiada lagi hari
baginya tanpa terkenang akan Simardan baik siang maupun malam, terkecuali
terlelap dalam tidur.
Ada
kalanya sesekali ia rindu aktivitasnya dahulu semasa bersama Simardan. Bila ia
rindu ke dapur maka dimasaknyalah makanan kesukaan anaknya dahulu. Gulai masam
ikan baung lengkap dengan sayur anyang pakis nya yg ditaburi serundeng kelapa.
Hidangan itu kemudian dibawanya ke sungai. Sesampai disana lalu dihanyutkannya
sambil bersenandung pilu. Ia bagaikan tengah melakukan sebuah ritual jejamuan
di tepian sungai itu.
Akibat
dari kebiasan sang ibu tua itu dari hari ke hari lama kelamaan ia pun dapat
berkomunikasi secara ghaib dengan para jembalang jin penunggu di wilayah itu.
Mereka telah menjalin persahabatan aneh yg tidak wajar dan normal. Si nenek
sudah bersahabat dengan para jembalang tanah, jembalang sungai, jembalang batu,
jembalang pohon dan segala makhluk halus lainnya disana.
Sejak saat
itu para penduduk sekitar dan orang-orang di kampung tanjung di Utara gubuknya
itu menyebut si nenek sudah "bapuako".
Untuk diketahui pembaca bahwa dimasa
Simardan hidup ajaran agama Islam belum sampai kepada orang tua mereka sejak
lahir semasih tinggal di hulu dahulu sampai bermigrasi dan telah bermukim di
daerah pesisir di hilir Aek Doras itu. Mereka masih animisme menganut
kepercayaan pelbegu secara turun temurun dari nenek moyangnya. Mereka biasa
memuja dan menyembah roh para leluhur, alam (seperti gunung, sungai, laut,
dll), benda benda mati juga makhluk hidup lain yg tampak maupun tak tampak yang
mereka yakini punya kekuatan dapat menolong dan melindungi diri mereka.
Sementara itu negeri negeri lain yang
sudah punya hubungan dagang dengan negeri luar di masa itu, ajaran Islam sudah
mulai masuk awalnya pada lingkungan bangsawan istana karena mereka banyak
berinteraksi juga bersahabat dengan para saudagar dari jajirah Arab. Ataupun
juga adanya pengaruh karena saling berinteraksi persahabatan dan kerjasama
dengan para bangsawan negeri sahabat yg sudah lebih dahulu menerima ajaran
agama baru ini. Secara masif terus
menyebar sampai ke seluruh pelosok di negeri negeri pesisir.
Pada mulanya para saudagar dari
jajirah Arab itu datang untuk berdagang sambil mencari barang barang yg
dibutuhkan penduduk negerinya untuk dibawa pulang didagangkan kembali disana.
Para saudagar dari jajirah Arab itu sejak dahulu jauh sebelum era Simardan
sudah ada yg sampai di pantai Barat pulau Andalas. Waktu itu pulau Andalas
masih disebut Swarnadwipa (pulau emas) ataupun Swarnabhumi (tanah emas).
Sebelum itu pernah juga dikenal dengan pulau Percha. Lain pula namanya dahulu
sewaktu seorang penjelajah bangsa Yunani sampai kemari berlayar dari negerinya
setelah melanjutkan pengembaraan dari India. Pelayar Yunani itu menyebut pulau
Andalas Taprobana yg berasal dari bahasa Sansekerta Tamrapani yg artinya daun
perak.
Kemudian setelah besarnya sebuah
kerajaan Islam di ujung Barat pulau Andalas yaitu Kerajaan Samudera Pasai di
Aceh. Suatu waktu kerajaan besar Islam ini dikunjungi seorang penjelajah dunia
dari Maroko bernama Abu Abdul Ibnu Battuta. Sepulang ke negerinya ia menulis
dan menceritakan tentang negeri ini. Ia yg tak fasih menyebutkan kata Samudera
dengan logat negerinya menjadi Shumutra. Dari tulisan Ibnu Batutah inilah
akhirnya pulau Andalas dikenal dunia menjadi Sumatera, berawal dari penyebutan
Shumutra yg tak tepat akan maksudnya Samudera Pasai.
Bahkan sebelum itu pada zaman Mesir
kuno jauh sebelum kedatangan Ibnu Batutah telah sampai para pelayar dari Persia
dan Ceylon ke negeri Barus. Negeri yg terletak di pantai Barat pulau Andalas.
Mereka waktu itu datang tertarik untuk mencari suatu bahan pengawet yg sangat
tinggi nilainya pada masa itu. Bahan itu untuk mengawetkan jasad para raja raja
Mesir kuno ygmeninggal dunia (Fir'aun) untuk disimpan dan diabadikan dalam
sebuah bangunan tinggi pyramida besar. Disamping itu bahan tersebut dapat pula
dipakai sebagai bahan dasar pembuatan wewangian (parfum) yg sangat diminati.
Bahan itu adalah kapur dari ekstraksi cairan sejenis pohon camper yang banyak
terdapat di negeri Barus. Kapur dari Barus ini mempunyai kualitas terbaik di
dunia. Sangat tinggi harganya karena banyak diminati para bangsawan dan
orang-orang kaya.
Setelah lahirnya agama Islam sekitar
awal abad ke 7 (610 M) kemudian sekitar tahun 625 M sudah ada ditemukan
pemukiman orang Arab di negeri Barus itu. Ini menandakan bahwa di awal awal
kelahiran agama Islam, ajaran agama ini telah sampai pula ke negeri Barus.
Darisinilah awalnya Islam menyebar ke seluruh Nusantara. Sementara itu di
periode yg samadengan awal masuknya Islam itu di belahan lain pulau Andalas di
kawasan pesisir Timurnya, negeri negeri disana masih kental menganut
budaya-budaya kepercayaan Hindu. Tak heran, karena negeri negeri pesisir itu
(Melayu Baru) sejak lama di bawah kekuasaan dan pengaruh dari kerajaan-kerajaan
Hindu dan Budha. Namun seiring perkembangan Islam dan semakin besarnya Kerajaan
Samudera Pasai kerajaan Melayu Tua (Sriwijaya, Dharmasraya, Pagaruyung) mulai
melemah. Kerajaan Hindu yg berpengaruh besar atas negeri negeri pesisir Timur
Andalas adalah Kerajaan Melayu Dharmasraya yang berkuasa pada periode 1183 M -
1347 M. Sebelum itu sebagian besar negeri negeri Nusantara di bawah pengaruh
dan kekuasaan kerajaan Budha Kerajaan Sriwijaya (600 M-1300 M). Tiga kerajaan
Melayu Tua sebelumnya yg menganut kepercayaan Budha, yaitu Kerajaan Sriwijaya,
Kerajaan Gunung Marapi dan Kerajaan Dharmasraya melebur menjadi Kerajaan
Pagaruyung. Beberapa masa kemudian kerajaan ini sudah mulai dipengaruhi agama
Islam..
Janganlah heran bila budaya budaya
Hindu dan Budha seperti memberikan jejamuan dan sesajian untuk sesembahan
terhadap benda benda alam atau makhluk ghaib menjadi bagian budaya masyarakatnya
dan sudah menjadi tradisi turun temurun mendarah daging di lingkungan
masyarakat ini yg amat sulit dihilangkan begitu saja. Apalagi bila pemahaman
agama Islamnya masih dangkal.
Kita tinggalkan dahulu romantika
sejarah kehidupan darat di pesisir Timur dan Barat pulau Andalas itu. Jauh
disana, di tengah laut disebuah pulau karang kecil bersemayamlah seorang raja
lanun. Dialah Raja Rompak sedang duduk di singgasananya di atas kapal bertiang
layar (lancang) berwarna hitam dengan panji hitam bergambar tengkorak
bersilang. Lancang Hitam itu sangatlah menakutkan bagi para pelaut dan para
saudagar yg melintasi Selat Malaka. Bila malam tiba banyak diantara mereka yg
menepi melabuh jangkar menunda perjalanan sampai besok pagi. Bila tetap
meneruskan perjalanan di malam hari maka berusaha sedapat mungkin menghindari
pengintaian dari kapal lanun itu. Ada lebih dari 25 orang anak buahnya yg
berbadan kekar. Mereka terampil dan cekatan sudah terlatih dalam ilmu bela diri
serta sangat mahir menggunakan senjata. Tangguh di laut dan di darat walaupun
hanya pasukan kecil. Sudah teruji mereka mampu mengalahkan lebih dari 100 orang
prajurit kerajaan yang suatu waktu pernah mengepung menyerang mereka dengan
tiba-tiba.
Kerajaan-kerajaan Besar di sepanjang
Selat Malaka sebagai pelindung negeri negeri kecil di kawasan itu bertanggung
jawab atas keamanan jalur pelayaran Selat Malaka. Mereka telah menerima upeti
dari negeri negeri kecil untuk itu. Oleh ulah komplotan lanun Lancang Hitam ini
mereka senantiasa telah dibikin sibuk. Sejak adanya kelompok lanun itu kerajaan
kerajaan pelindung dibuat pening memeras otak mengatur strategi untuk
melumpuhkan para bajak laut itu dengan terus memperkuat armada perang serta
pasukannya.
Pasukan lanun yg sangat ditakuti itu
dipimpin oleh seorang panglima laut yg amat gagah dan tampan. Dia dihormati dan
disegenani para anak buahnya. Ia adalah anak angkat sang Raja Rompak sang
majikan kapal. Seorang pemuda tampan yg gagah berbadan kekar. Pembawaannya
berkharisma, amat tenang penuh wibawa walau agak pendiam. Namun matanya tetap
awas tajam bagaikan mata elang dengan alis mata yg hitam dan tebal. Dialah
Simardan, putera dari Selatan kampung tanjung. Kampung yg terletak di sebuah
tanjung di pertemuan dua sungai. Kini Simardan telah tumbuh menjadi seorang
pemuda yg sedari remaja sudah diasuh sang ayah angkat di kapal itu.
Sudah
sekian tahun Simardan hidup berpetualang bersama komplotan lanun ini di
perairan Selat Malaka. Sejak diculik sedari remaja dilarikan dari kampung dan
secara terpaksa ikut bergabung menjadi
bagian dari bajak laut itu. Pemuda tampan itu diasuh oleh Raja Rompak sang
penculiknya dahulu kini telah menjadi ayah angkatnya. Sejak bergabungnya
Simardan dengan mereka tampak nyata perkembangan dan kejayaan komplotan bajak
laut tersebut. Bahkan setelah Simardan tumbuh menjadi pemuda oleh sang ayah
angkat sang Raja Rompak diberikan kepercayaan sebagai kapten kapal Lancang
Hitam memimpin para anggota lanun yg
menakutkan para pelaut itu. Kapal itu berukuran sedang dengan tiang layar utama
yg kokoh dan tinggi. Kapal layar itu dapat dibangun oleh Raja Rompak dan
komplotan tak lama berselang setelah Simardan diculik ikut bersama mereka. Tuah
Simardan akhirnya mereka dapat memiliki sebuah kapal yg kencang dan tangguh.
Mereka membangun kapal layar sejenis phinisi itu bersama ahli pembuat kapal yg
sengaja didatangkan dari negeri Bugis. Sebuah negeri yg cukup jauh di Timur
Nusantara. Negeri yg pada masa itu sudah mereka kenal memiliki pengrajin
pengrajin yg ahli dalam membuat kapal berkualitas baik sehingga menjadikan
pelautnya handal menjelajahi samudera.
Sejak memiliki kapal Lancang Hitam itu maka makin tersohor pulalah sepak
terjang komplotan bajak laut itu ke seantero negeri-negeri di pesisir selat.
Sang Raja
Rompak sangat menyayangi dan bangga dengan putera angkat pembawa tuahnya ini.
Seorang remaja yang dahulu diculik lalu dilarikan bersama dua anggotanya dari
sebuah teluk kecil di Aek Doras (Sungai Asahan). Teluk kecil itu di balik
sebuah tanjung di pertemuan dua buah sungai. Kini lelaki remaja itu telah
menjelma menjadi seorang pemuda tampan gagah berani yg ditakuti lawan disegani
kawan.
Dalam
asuhan sang ayah angkat, Simardan sangat sangat diperhatikan serta
dimanjakannya. Kesenangan serta kesukaan Simardan sewaktu kecil dahulu semasa
masih dipangkuan ibu sampai kini tetaplah diteruskan oleh ayah angkatnya itu.
Gulai masam tetap menjadi menu favorit di kapal itu walau ikannya bukan lagi
ikan sungai berganti dengan ikan laut seperti kakap dan pari. Sesekali ikan
mayung, badukang atau ikan sumbilang yg mereka dapat dari memancing ikan di
sekitar bila mereka sedang beristirahat sambil mengintai intai tak jauh dari
tepian pantai yg tersembunyi.
Simardan
juga tetap bermain bola raga (bola keranjang) dari rotan itu bila sampai di
pulau markas persembunyian mereka. Ia bermain bersama anak buah anggota kapal
bajak laut itu bergembira sambil menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh.
Disamping itu ia rajin melatih mengasah ilmu bela dirinya memperdalam kemahiran
menggunakan senjata.
Sampai
saat itu cuma satu keinginan Simardan yang tak dapat dipenuhi oleh sang ayah
angkat dan tak akan mungkin dipenuhinya, yaitu keinginan Simardan pulang untuk
melihat lihat kampungnya dibesarkan mengenang kembali masa kecil sambil menziarahi
kuburan ibunda tercinta. Menurut penuturan sang ayah angkat kepada Simardan
bahwa sang ibu telah meninggal dunia beberapa tahun yg silam karena mengalami
sakit tua dari kabar berita yg diterima si Raja Rompak dari kaki tangannya
disana.
Padahal
tidak begitu. sang Raja Rompak berusaha menutupi keadaan sebenarnya. Ia kuatir
bila Simardan pulang menjenguk ibunya nanti, bisa bisa ia tak mau kembali lagi.
Atau mungkin saja disana ia dapat ditangkap masyarakat karena ada yg
mengenalnya sebagai kepala lanun. Banyak orang yg memburu mereka untuk
mendapatkan hadiah dari kaki tangan raja negeri seberang. Para kaki tangan
kerajaan itu telah disebar kemana mana dan mungkin saja sudah sampai kesana.
Atau juga hal hal lainnya yang bisa saja nantinya dapat melemahkan kesolidan
komplotan lanun itu.
Sampai
suatu hari menjelang senja, langit di ufuk Barat mulai merona merah kejinggaan.
Angin laut bertiup lembut menyapu kulit. Burung-burung camar dan burung burung
laut lainnya terbang berombong rombongan mulai pulang ke darat memenuhi
pucuk-pucuk pohon yg berbaris di tepian pantai.
Di haluan
kapal Lancang Hitam itu tampak Simardan tengah duduk melamun sambil menjuntai
juntaikan kakinya ke bawah. Kapal dengan layar dikembangkan beberapa saja
melaju pelan ke arah Timur meninggalkan pulau tempat markas persembunyian
mereka.
Entah
gerangan apa di petang itu Simardan kalbunya dilanda rindu. Ia teringat akan
ibu. Wajah sang ibu terbayang bayang bermain main di pelupuk mata. Ia rindu
pelukan serta belaian sang bunda. Rindu yg menerpa menyesak di dada. Hatinya
sampai saat itu ia belum yakin benar bila ibundanya telah tiada. Firasatnya
seakan mengatakan bahwa ibunya masih ada di sana, jauh di Selatan.
Simardan
kembali ke geladak kapal menuju bilik peristirahatan ayah angkatnya. Diintipnya
dari kisi lobang angin kamar. Disana sang Raja Timpal sedang mendengkur
tertidur pulas. Setelah memastikan ayahnya sedang lelap tertidur, diapun
berbalik arah melangkah mendatangi ruang nakhoda.
Dengan perlahan lahan Simardan
membuka pintu ruang nakhoda agar tak menimbulkan suara yg dapat membangunkan si
Raja Rompak di bilik tepat di belakang ruang nakhoda.
Nakhoda
kapal kaget lalu melirik ke pintu yg terlihat olehnya dibuka dengan perlahan
lahan. Ia curiga dan berwaspada. Akhirnya buyar, setelah dilihatnya yang masuk
adalah Panglima Kapal. Disambutnya Simardan dengan senyuman sembari membungkuk
setengah badan setelah melepaskan tangannya dari kemudi.
Simardan
menepuk bahu sang nakhoda dengan lembut sambil memintanya untuk memutar haluan
kembali ke arah Barat menuju muara Aek Doras. Simardan berbisik meminta sang
nakhoda agar malam itu mereka mencari pelayar yang berasal dari Aek Doras.
Usahakan bertemu sebelum Raja Rompak terbangun dari tidurnya. Simardan
menjelaskan ciri ciri khusus kapal ataupun perahu layar asal sana. Dapat
ditandai dari bentuk perahu kapalnya yg agak berbeda dengan perahu kapal negeri
lain. Nampak pada perbedaannya bentuk pada haluan yg tidak tinggi dan
buritannya agak melebar (perahu tongkang). Nanti setelah bertemu dengan pelaut
dari Aek Doras itu, kapal kembali ke arah Timur menyergap sasaran yg sudah lama
mereka intai dan tunggu tunggu keberangkatannya sesuai perintah pimpinan mereka
si Raja Rompak.
Malam ini
sesuai perintah sang majikan bahwa target mereka adalah sebuah kapal besar
milik seorang saudagar muda. Saudagar muda itu baru saja menikahi puteri
seorang saudagar kaya negeri Malaka. Malam itu sesuai informasi dari mata mata
komplotan lanun kepada sang Raja Rompak beberapa hari yg lalu diperhitungkan
kapal besar itu sudah keluar dari perairan di bawah kekuasaan Kerajaan Malaka.
Malam ini sesuai perhitungan bila tak meleset ataupun target merubah rencana
ataupun malam ini mereka berlabuh di suatu tempat menunda perjalanan sampai
besok pagi atau juga hal hal lainnya. Pastilah di malam ini mereka sudah masuk
ke kawasan laut bebas.
Mata mata
sang Raja Rompak banyak disebar di daratan di negeri negeri pesisir. Mereka
ditugaskan untuk mencari informasi tentang segala sesuatu para target lalu menyampaikan
kepada sang Raja Rompak melalui kurir yg menyamar sebagai nelayan. Menurut
informasi yg mereka terima bahwa sang saudagar muda menantu saudagar kaya negeri Malaka itu akan
membawa banyak barang barang bagus di kapal besarnya. Kapal saudagar muda itu
berlayar dari negeri Malaka di Tanah Semenanjung membawa banyak barang barang
dagangan untuk didagangkan ke negeri Siak di pesisir Timur pulau Andalas.
Saudagar muda itu rupanya membawa serta istrinya yg cantik rupawan ingin
berbulan madu disana.
Menurut
hikayat itulah kapal Sikantan yg telah diintai intai oleh Raja Rompak dengan
menyebar orang orangnya. Melakukan penyamaran sebagai orang biasa di negeri
Malaka dan Siak. Sebagian lagi disebar di perairan berdekatan dengan kedua
negeri itu menyamar sebagai nelayan.
Dibawah
tekanan Panglima Lanun dengan terpaksa akhirnya nakhoda memutar haluan kapal
balik ke arah Barat. Sang Panglima meminta pada nakhoda agar melaju dalam
kecepatan normal saja agar sang raja tak terusik tidurnya. Untuk itu dimintanya
kapal dapat menggunakan separuh saja dari seluruh jumlah layar yg ada.
Sebenarnya
kapal layar Lancang Hitam itu sangat cepat bila menggunakan seluruh layar,
yaitu ada 6 layar utama dan 12 anak layar. Disamping itu, bila keadaan mendesak
dapat pula ditambahi kecepatannya dengan dibantu 10 pendayung di sisi kanan dan
10 pendayung lagi di sisi kiri yg terdapat pada palka bawah lambung kapal.
Ruangan pendayung ini digunakan bila keadaan darurat sekali misalnya saat
mengejar sasaran yang melarikan diri. Atau pula saat kapal Lancang Hitam
melarikan diri untuk bersembunyi dari kejaran armada laut kerajaan kerajaan di
pesisir Selat Malaka itu. Bentuk kapalnya sangat aerodinamis buatan ahli kapal
layar dari negeri Bugis. Sangat cepatnya melaju membelah ombak. Didukung pula
kapal itu terbuat dari bahan kayu yang sangat baik kualitasnya.
Setelah
Lancang Hitam berbalik haluan kembali ke arah Barat. Tak berapa lama mereka
sudah mendekati kuala Aek Doras (Sungai Asahan). Simardan tahu itu, karena
sepengamatan dia ketika mereka berbicara di ruang kemudi tadi kapal itu baru
saja melewati kuala Aek Doras dari perjalanan mereka meninggalkan pulau markas
persembunyian (sekarang sekitar pulau Berhala) menyisir Selat Malaka menuju
Timur.
Ketika
kapal Lancang Hitam hampir memasuki perairan kuala Sungai Asahan, sang Panglima
memerintahkan nakhoda untuk segera menurunkan semua layar, mematikan pelita
pelita penerangan baik di bilik bilik maupun di lorong lorong kapal. Pelita itu
wadahnya ada yg terbuat dari kuningan. tembaga, dan perak. Ada juga berbahan
batu pualam. Ada yg berukuran besar, sedang dan banyak pula yang berukuran
kecil-kecil diletakkan di dinding dinding kapal dari wadah berbahan tembikar.
Bahan bakar lampu lampu itu berasal dari lemak hewani.
Setelah
melepas jangkar berlabuh disitu, nakhoda secara senyap senyap tanpa berisik
banyak menggunakan bahasa isyarat memerintahkan kepada para kelasi kapal untuk
segera menurunkan layar serta mematikan lampu-lampu, terkecuali lampu di bilik
Raja. Mereka tidak dibenarkan masuk ke sana. Takut nanti sang majikan
terbangun.
Tak berapa
lama setelah mereka berlabuh dalam kegelapan malam itu, dari kejauhan tampak
samar samar bayangan layar sebuah perahu berwarna putih bergerak datang dari
hulu sungai menuju kuala. Semakin dekat semakin jelas itu adalah sebuah perahu
berukuran sedang bermuatan penuh barang.
Tiga orang
penumpang perahu layar itu terkejut kaget dan sangat ketakutan. Dari kapal
Lancang Hitam gelagat mereka itu tampak terlihat. Lalu buru-buru hendak
berputar haluan kembali masuk ke arah hulu kuala. Nakhoda perahu layar itu
sangatlah ketakutan sekali setelah melihat dengan jelas bahwa kapal yg sedang
berlabuh menunggu sasaran lewat itu adalah kapalnya bajak laut yg sangat
ditakuti para pelaut. Mereka teperogok sesuatu yg tak mereka inginkan sesuatu
yg mereka hindari tak nyana bersua disitu. Apes sungguh.
Terlambat,
kapal perompak segera mengejar mereka dan merapat disisi kanan perahu.
Kelihatan besar kapal lanun amat tak sebanding dengan ukuran perahu mereka yang
kecil itu. Secara sigap dengan sekali ayunan tubuh Simardan melompat ke perahu
layar di bawah itu. Dengan sekali gebrakan ia langsung melumpuhkan tiga orang
penumpang perahu layar.
Setelah
ketiganya dilumpuhkan, Simardan lalu bertanya kepada ketiganya siapa diantara
mereka pemilik perahu itu.
Seorang
pria paruh baya yg jatuh tertelungkup di buritan perahu sehabis dihajar
Simardan mengaku bahwa dialah pemiliknya.
Kemudian
dengan tenang Simardan meminta kepadanya berbicara jujur. Menceritakan apa apa
yang diketahuinya tentang seorang perempuan tua yg tinggal di gubuk bambu
beratapkan nipah di tepian sebuah teluk kecil dibalik kampung tanjung. Bila dia
mau bercerita jujur
Simardan
berjanji akan melepaskan mereka semua bersama perahu dan isinya berupa barang
barang bawaan yg hendak didagangkan itu. Bila tidak maka jangan harap tak
satupun diantara mereka dapat melihat matahari besok pagi. Ancamnya.
Majikan perahu layar itu ragu akan
janji yg diucapkan Simardan. Seluruh badannya dibasahi keringat dingin. Wajah
pucat pasi badannya gemetaran dungkul dan sendi sendi tulang seakan mau lepas
karena ketakutan akan dihabisi nyawanya bila tidak mau menceritakan apa yg
dimintakan apalagi berbohong.
Ia belum mampu berkata kata. Dalam
hatinya bertanya-tanya siapakah gerangan pemuda tampan lagi gagah perkasa ini.
Mengapa ingin sekali tahu akan keadaan orang tua aneh berpuako di teluk sepi
lagi angker itu. Apakah ini putranya yang hilang itu? Tapi dia tak begitu yakin
melihat kondisi lelaki muda gagah itu bertolak belakang wsekali dengan nenek
tua gila itu.
Akhirnya dikuatkan juga semangatnya
menghilangkan rasa takut. Dengan terbata bata ia menanyakan apakah yang
dimaksud pemuda itu adalah seorang ibu tua
yang tinggal di sebuah gubuk di tepian teluk kecil di sisi Aek Doras di
Selatan di balik Kampung Tanjung. Pemuda itu mengangguk dan minta diteruskan
cerita kabar beritanya. Ia sudah tak sabar mendengarkan. Kelihatan mimik
wajahnya menunjukkan penasaran ingin tahu benarkah firasatnya selama ini bahwa
ibunya masih hidup.
Dengan badan masih gemetaran dan
mulut yg berat untuk berkata kata kembali ia melanjutkan ceritanya. Bahwa ia
sudah lama tidak mengetahui keberadaan sang ibu tua. Karena sejak kepergian
anaknya menghilang diculik orang tak tentu rimbanya daerah sekitar gubuk itu
menjadi angker. Penduduk di sekitar
kampung Tanjung takut mendekati kawasan itu apalagi ke gubuk itu. Banyak
anak-anak yang hilang dan tak diketemukan
lagi setelah masuk kesana. Bila malam hari sering terdengar suara suara aneh
ditingkahi suara nenek nenek
bersinandong pilu sangat menyayat hati. Menurut penuturan orang orang disana
bahwa perempuan tua itu sudah menjadi gila. Terganggu jiwanya memikirkan
keadaan anaknya yg hilang sepanjang waktu.
Bagaikan disambar geledek Simardan
terhenyak mendengarnya. Wajahnya yang semula tenang dan bersih mendadak
terlihat memerah dahinya berkerut, nafasnya menjadi tak teratur. Lalu sekonyong
konyong tanpa bias ditahan ia memekik dengan suara lantang. Simardan
memaki-maki ayah angkatnya dengan kata-kata tak pantas. Ia kesetanan karena
tahu Raja Rompak telah berbohong padanya selama ini. Untung saja saat itu teriakannya
tak sampai terdengar sang Raja Rompak yg sedang tertidur pulas di atas kapal di
bilik yang tertutup rapat. Ia mungkin sedang terbuai dalam mimpi indah.
Ketiga penumpang perahu layar itu
menjadi bertambah menggigil ketakutan. Pandangan mereka kosong seakan sudah tak
ada lagi harapan hidup. Mereka bertiga tak dapat lagi membayangkan apa yang
akan terjadi terhadap mereka sesudah
itu. Belati yang masih terselip di pinggang Simardan bagaikan hendak tercerabut
menghunjam menusuk ke dada mereka. Satu diantara mereka rupanya sudah tak tahan
lagi menahan takut langsung jatuh pingsan tak sadarkan diri.
Simardan kemudian menarik nafas
dalam-dalam mencoba menenangkan diri. Matanya yang memerah menatap tajam kedua
bola mata sang majikan perahu layar. Lalu berpindah ke temannya yang satu lagi.
Dengan mengacungkan jari telunjuknya ke mereka ia mengancam agar mereka semua
merahasiakan kebenaran berita ini.
Bila tidak nyawa mereka akan melayang. Ia akan mencari mereka kemanapun
bersembunyi.
Sambil menghela nafas panjang
Simardan meminta kepada mereka untuk melepas baju masing masing karena sudah
kotor ternoda muncratan darah dari mulut mereka sewaktu dilumpuhkan Simardan
tadi. Kemudian baju baju penuh darah itu
diambil oleh Simardan dan menyuruh mereka mengambil dan memakai pakaian yang
lain yang dibawa. Setelah itu Simardan lalu melepas ikat kepalanya yang unik
dan khas itu yg selama ini setia menutupi bagian atas rambutnya yang hitam
bergelombang terurai sebahu. Setelah itu Simardan meminta kepada mereka supaya
tetap diam di tempat, dia akan naik sebentar ke kapalnya untuk sesuatu urusan
dan segera kembali ke perahu.
Setelah
Simardan mengucapkan kata kata perpisahan pada ayah angkat sang Raja Rompak yg
masih terlelap dalam mimpi. Simardan berbalik kembali menuju geladak, menjumpai
nakhoda yang masih setia berdiri bersiaga ditempat semula. Ia lalu meminta
nakhoda memutar haluan kapal kembali menuju ke Timur. Sesuai rencana mereka
semula mengintai kapal dagang Sikantan. Menurut informasi dari kaki tangan
mereka beberapa hari yg lalu di sebuah tempat pertemuan, bahwa kapal besar
Sikantan akan bertolak dari pelabuhan Malaka seminggu setelah bulan purnama.
Sikantan merencanakan itu untuk menghindari terangnya cahaya bulan purnama di
malam hari dari perjalanan mereka. Supaya tak terpantau kapal lanun Lancang
Hitam berpanji tengkorak hantu Selat Malaka itu.
Menurut
perhitungan Raja Rompak, malam inilah waktunya kapal Sikantan memasuki perairan
di luar jangkauan dan pengawasan dari armada laut Kerajaan Malaka maupun
Kerajaan Siak yg saling bersahabat itu.
Setelah
berpesan pada nakhoda lalu mengucapkan salam perpisahan, Simardan melompat ke
perahu layar di bawah disisi kapal. Di bawah sana perahu layar itu terombang
ambing diayun ombak. Ketiga penumpangnya tak berani melarikan diri masih
menunggu Simardan kembali.
Setelah
mendarat di atas perahu layar, dari bawah sana Simardan lalu mengisyaratkan
kepada sang nakhoda yg masih berdiri terpana berurai air mata di atas geladak
kapal agar memerintahkan kelasi segera mengangkat jangkar. Kapal berputar
haluan kembali ke Timur layar kayar kembali dikembangkan.
Simardan
dan sang nakhoda mereka saling melambaikan tangan. Diam tanpa kata kata sebagai
tanda berpisah. Berat nian hati sang nakhoda untuk meninggalkan Simardan di
perahu itu. Keputusan ini begitu sulit baginya. Gerangan apa nanti yg akan
dihadapinya bila majikannya tahu bahwa Simardan sudah tidak bersama mereka
lagi..
Jiwa dan
raga mereka yang selama ini telah ditempa kehidupan yg keras sebagai lanun di
lautan luas, ternyata punya sisi lemahnya juga. Air mata tampak menetes jatuh
di pipi dari sudut sudut mata Simardan. Begitu pula akan nakhoda juga para
prajurit lanun yg lain. Tatapan mata mereka seakan kosong mengikuti gerakan
perahu Simardan melaju pelan ke Utara bersama tiga penumpang lainnya. Lama lama
menghilang ditelan kegelapan malam. Terbayanglah masa masa yg sudah mereka
jalani bersama selama ini dalam suka maupun duka. Masa masa sulit saat mulai
mengembangkan komplotan mereka itu. Rupanya setelah tak bersama lagi menjadi
sebuah kenangan indah yg tak dapat mereka lupakan. Kemudian kapal lanun
perlahan mulai memutar haluan, kemudian berlayar laju menghilang di lautan
luas.
Sementara
itu di atas perahu layar terlihat Simardan sudah mengganti pakaiannya dengan
pakaian yg biasa dikenakan para pelaut. Pakaian itu sempat diambilnya di kapal
sebelum kembali ke perahu tadi. Pakaian lama yang telah dilepasnya itu kemudian
dibuangnya semua ke laut.
Majikan
perahu bersama dua sahabatnya yg lain hanya dapat diam memperhatikan tingkah
Simardan itu. Walaupun mereka ada bertiga seorang yg pingsan tadi telah siuman
kembali. Namun mereka tak punya nyali untuk menghadapi Simardan. Apalagi
sekarang Simardan ada pula membawa sebilah pedang lengkap dengan sebuah belati
terselip dipinggang.
Dengan
sedikit membentak Simardan memerintahkan sang majikan perahu agar meneruskan
perjalanan kembali menuju Utara, sesuai tujuan mereka semula.
Haripun
sudah menjelang subuh, cahaya terang terang tanah berkabut putih temaram mulai
menerangi permukaan laut tanda sebentar lagi akan menyembul sinar jingga
kemerahan senyuman sang mentari pagi dari balik lapisan awan awan tipis di ufuk
Timur.
Di perahu
layar berukuran sedang itu Simardan duduk bersandar ditiang haluan sambil melunjur
lunjurkan kedua kakinya lurus kedepan. Kedua tangannya berdekap bersilang di
atas perut. Wajahnya disembunyikan di balik topi berdaun lebar anyaman dari
daun pandan pantai. Matanya terlihat merem namun ia bukan tidur, indranya tetap
awas pada sekitar. Pedang masih dalam sarungnya terletak disisi kiri seakan
siap dikelebatkan oleh tangan kanannya bila sewaktu waktu ada serangan. Belati
bermata ukuran sejengkal orang dewasa masih terselip dipinggang kiri. Kupingnya
tajam mengamati suara-suara disekitar. Seekor anak ikan pedang pedang (ikan
timah) yang masuk terlempar ke perahu akibat dihantam haluan menjadi korban
sabetan pedang Simardan.
Begitu
pula pemilik perahu dan kedua temannya secara bergantian memegang kemudi dan
mengendalikan layar agar haluan tetap ke arah tujuan, sepicingpun tak dapat
lelap tidurnya. Masing-masing awas dan berjaga-jaga. Mereka takut dibunuh oleh
Simardan kapan saja.
Barulah
ketika cahaya mentari menerpa kulit mereka disana diatas perahu layar itu mulai
terlihat ada aktifitas. Salah seorang dari teman majikan perahu itu bergegas
tegas di buritan, seperti ia akan menyiapkan sesuatu untuk dimasak di subuh
itu. Semua aktifitas mereka itu tak luput dari pengawasan mata dan kuping
Simardan dari balik lobang lobang kecil anyaman topi pandan yg menutupi
wajahnya ditekuk di atas lipatan tangan di atas dada. Berbarengan dengan itu
sahabat sang majikan yg satunya lagi
sibuk pula membantu.
Tampaknya
persiapan bekal makanan selama di perjalanan di perahu itu kelihatannya cukup
dibawa mereka. Begitu pula bekal air bersih dan kayu bakarnya. Perut Simardan
yang sudah kosong semalaman serasa minta diisi. Ia tanpa reaksi dan kata kata
seakan akan merestui dan membiarkan apa apa yang mereka kerjakan di pagi itu.
Tempayan
sebagai wadah air bersih terbuat dari tanah yg dibakar (tembikar) berukuran
tinggi sepinggang orang dewasa terletak di pojok kanan buritan perahu berbentuk
tongkang itu. Bentuk perahu itu lebar di belakang meruncing ke depan. Sedangkan
air bersih dalam tempayan itu diambil dari Aek Doras (Sungai Asahan), mereka
ambil saat air pasang penuh. Warnanya bening dan jernih.
Air bersih
di tempayan itu masih penuh, permukaannya bergoyang-goyang pelan mengikuti
alunan perahu yang melaju tenang dihembus angin Timur. Pagi itu permukaan laut
agak lenang tidak ada gelombang besar. Air laut sedang pasang mati, bulan
sedang turun. Posisi bulan saat itu menuju garis sejajar antara matahari dan
bumi. Sehingga gravitasi bulan dan matahari terhadap air laut di bumi
berkurang, menjadikan air laut kurang berarus dan kurang hangat suhunya. Inilah
yg menyebabkan nelayan nelayan pada masa pasang mati kurang mendapatkan hasil,
karena ikan ikan diam di persembunyiannya saja tidak keluar mencari mangsa dan
makanan.
Periuk
tanah, gayung dan sudu dari batok kelapa, piring mangkok dari anyaman bambu,
serta peralatan dapur lainnya cukup tersedia di perahu itu walaupun cukup
bersahaja. Begitu pula bumbu bumbuan seperti cabai, jeruk nipis, garam, gula
aren, lada, asam glugur kering, dll. Juga ada minyak kelapa hasil olahan mereka
sendiri dari kampung disimpan dalam wadah guci tembikar berukuran kecil. Beras
dalam karung pandan teronggok di sisi kiri buritan berdampingan dengan beberapa
gandeng buah kelapa tua.
Untuk lauk
mereka juga membawa bekal berupa ikan yang telah dikeringkan dengan
disalai/diasapi maupun dengan diasinkan. Bahkan ada daging seekor ayam jantan
muda yg sudah direbus dan masih baik dibawa mereka dari kampung tanjung.
Tampaknya pagi itu akan menjadi lauk mereka sedang dipersiapkan.
Tampaknya
pagi itu mereka ingin menyajikan masakan istimewa buat tamunya Simardan juga
mereka bertiga. Ayam gulai lemak. Simardan sudah berdiri lalu ke butiran
mencuci mukanya. Ia mulai tampak tersenyum penuh persahabatan kepada mereka
bertiga. Untuk mencairkan suasana menghilangkan ketegangan di perahu itu, ia
lalu bersiul-siul kecil. Tingkah cerianya itu membuat penumpang lainnya di
perahu layar menjadi merasa lebih nyaman.
Sementara
itu puluhan mil disana di perairan sebelah Timur, pagi itu di atas kapal bajak
laut yang sedang bersembunyi di balik sebuah pulau kecil berbatuan karang.
Pulau karang ini di tengah selat besar di perairan Timur itu sebagai salah satu
tempat persembunyian Lancang Hitam bila sudah siang hari. Setelah sepanjang
malam berpatroli mengintai target sasaran korban. Pulau karang ini sangat
jarang didekati pelayar-pelayar karena berbahaya bagi kapal yg awam terhadap
situasi kondisi perairan disitu.
Pagi
itu sang Raja Rompak sudah terbangun dari tidur lelapnya. Kebiasaannya bila malam tidak beroperasi melakukan
aksi sergapan terhadap suatu kapal incaran, maka biasanya esok di pagi hari
sang Raja Rompak akan lama bangun dari tidur lalu pergi bermalas malasan
berendam berlama-lama di bak mandi. Bak mandi yg sudah dipersiapkan buat sang
majikan kapal lanun itu berbentuk oval berdiameter lebih kurang sehasta,
setinggi lutut orang dewasa. Bak mandi ini terbuat dari bahan kayu cendana
berkualitas sangat baik. Kayunya senantiasa mengeluarkan bau harum, wanginya
seakan beraroma terapi. Bak mandi sang majikan itu ditempatkan di dek di atas
buritan kapal.
Sebelum
menuju bak mandi Raja Rompak biasanya terlebih dahulu menemui nakhoda untuk
memastikan bahwa posisi kapal sudah aman. Kapal lanun itu bagaikan binatang
malam. Bila siang hari diam bersembunyi, tapi bila hari telah gelap barulah
mereka keluar beroperasi di lautan luas.
Dalam
mencari informasi untuk pengintaian terhadap kapal yang akan dijadikan korban,
biasanya memerlukan waktu berhari-hari. Informasi tentang kapal target
didapatkan dari para kaki tangan sesekali pada pelayar yg dibawah ancaman
mereka. Saat diperlukan merekapun terkadang sering turun ke darat dengan
melakukan penyamaran.
Sekali ini
sasaran mereka adalah kapal dagang Si mantan. Berminggu minggu mereka telah
menyebar para kaki tangan untuk mencari informasi yg akurat dari kedua
pelabuhan dua kerajaan Malaka dan Siak
di dua pesisir selat besar itu.
Pagi itu
sebelum sang raja lanun beranjak mandi seperti biasa nakhoda sudah menunggu
Raja Rompak datang menjumpainya untuk di ruang kemudi. Sesaat kemudian sudah
muncul yang ditunggu. Nakhoda sedang memainkan selamanya. Ia menangis terisak
isak sambil memegang ikat kepala Simardan beserta beberapa helai pakaian penuh
berlumur darah. Ia lalu menyungkur di kedua kaki sang raja. Sambil tersedu-sedu
dia menceritakan bahwa Simardan telah hilang saat bertempur dengan segerombolan
pelayar yang ingin mereka interogasi untuk mencari informasi tentang keberadaan
kapal Sikantan. Beberapa orang dari pihak musuh tewas sambil diperlihatkannya
beberapa potong pakaian di tangannya. Kemudian tangisnya makin menjadi jadi.
Dengan terisak isak ia menyebutkan Simardan telah hilang semalam setelah
terjatuh ke laut. Lalu mereka mencarinya semalaman. Sebelum pagi mereka sudah
beberapa kali berputar-putar mencari Simardan di perairan sekitar kejadian,
namun tidak juga bertemu kecuali hanya ikat kepalanya saja. Karena hari telah
mulai terang takut akan dipergoki armada laut kerajaan terdekat maka mereka
menghentikan evakuasi lalu berlindung ke pulau persembunyian.
Alangkah
murkanya sang Raja Rompak setelah mendengar cerita sang nakhoda. Drum drum kayu
yang ada di dekatnya beterbangan diterjang sang raja labuan yg diamuk angkara
murka. Hancur berantakan
beterbangan, isinya bertebaran ke mana-mana mengotori geladak kapal.
Nakhoda
sekujur badannya gemetaran sangat ketakutan. Keringat dingin bercucuran
membasahi tubuhnya. Para anak buah kapal lainnya menundukkan pandangan terdiam
terpaku tak sanggup bersuara sepatahpun.
Raja lalu
menghardik memerintahkan mereka segera mencari kembali di perairan sekitar juga
pulau-pulau kecil yg ada disitu menggunakan perahu-perahu kecil. Mana tau
Simardan dapat ditemukan disitu baik dalam keadaan hidup ataupun sudah menjadi
mayat. Perahu layar kecil itu dapat juga didayung, bermuatan 4 sampai 6 orang.
Perahu perahu itu selama ini mereka sembunyikan di paluh paluh pulau karang yg
tak diketahui para pelaut. Perahu itu mereka tutupi dengan dedaunan digunakan
bila saat melakukan penyamaran ke daratan dalam mencari informasi ataupun untuk
pelesiran bersenang-senang disana. Mereka bermain judi, minum minum arak lalu
ke tempat tempat hiburan mencari wanita penghibur.
Raja
Rompak memanggil seseorang yg dipanggilnya dengan nama Badogol. Salah seorang
anak buah kepercayaannya setelah Simardan. Badogol ini adalah seorang pemuda yg umurnya lebih tua
sedikit dari Simardan, rekrutannya dari negeri pesisir Timur pulau Andalas.
Pemuda itu berasal dari sebuah bandar kecil terletak di sebuah teluk yang
sepanjang pantainya penuh ditumbuhi pohonan mangrove sejenis kayu api-api
(bandar kecil itu diberi pelaut dengan nama Bagan Siapi-api).
Pemuda itu
nama sebenarya adalah Beng Dong Ghuong), seorang keturunan. Leluhurnya berasal
dari daratan Timur Laut (sekarang Tiongkok) datang berlayar dari daratan sana
membuka kampung nelayan disitu sejak turun-temurun. Karena susah menyebutkannya
maka Raja Rompak memanggilnya dengan Badogol saja.
Beng Dong
Ghuong alias Badogol ini dahulunya adalah seorang bandit kampung. Masa lalunya
ia seorang penjahat di kampung sendiri. Ia seorang centeng, jagoan beladiri dan
juga handal dalam memainkan senjata seperti pisau, pedang dan tombak. Jurus
ilmu silatnya agak berbeda dengan kebanyakan mereka yg ada di kapal itu. Gerakannya
lebih ditekankan kepada pengaturan nafas, kuda kuda, dan tenaga dalam. Ilmu
beladirinya itu berasal dari daratan Tiongkok dikenal dengan kungfu.
Untuk
menjaga kebugaran serta kekuatan pasukannya Raja Rompak mewajibkan mereka wajib
berlatih ilmu beladiri secara teratur konsisten dan berdisiplin bila sedang
tidak beroperasi. Mereka terus mengasah ilmu beladiri dan menggunakan senjata.
Ia juga mengajarkan ilmu tentang strategi tempur di laut. Ilmu yg didapatkannya
dari pengalaman menjadi lanun selama ini sedari muda dahulu.
Dalam adu
tanding antara para prajurit Raja Rompak di kapal itu semua sudah pernah
dikalahkan oleh Badogol. Kecuali ada 2 orang yg sampai kini belum mampu
dikalahkannya, yaitu Simardan dan Raja Rompak sang majikan yg belum pernah dihadapinya
beruji tanding. Sedangkan Simardan sang Panglima kapal lanun sudah pernah suatu
kali diadu oleh Raja Rompak bertanding secara sungguh sungguh dengan Badogol.
Pertama mereka saling berhadapan menggunakan tangan kosong. Keadaan masih
berimbang. Lalu berikutnya kepada mereka berdua masing masing dibenarkan
menggunakan senjata.
Dalam adu
tanding antara mereka berdua itu seharian belum juga ada yg menang dan kalah.
Mereka telah bertempur beradu kekuatan menunjukkan keahlian dan kelebihannya
masing masing. Berpuluh-puluh jurus andalan telah habis mereka keluarkan namun
sampai sore hari tak satupun diantara mereka dapat saling mengalahkan. Hingga
sampai akhirnya pada suatu jurus pamungkas Simardan yg halus dan ringan, dengan
sebuah gerakan salto menggunakan kelenturan tubuhnya. Jurus yg diramunya dan
dilatihnya sendiri. Mungkin bakat yg ada pada dirinya serta kebiasaannya sejak
dahulu dimana Simardan sejak kecil gemar bermain bola keranjang. Rupanya secara
tak sengaja telah menjaga kelenturan tubuh, tinggi dan ringannya lompatan,
refleks tendangan serta gerakan anggota tubuh lainnya menjadikannya lebih
unggul dari yg lain.
Dengan
sekelebat mata sejurus kemudian Simardan sudah melakukan gerakan melompat.
Tubuhnya seakan melayang di udara, lalu bersalto membalikkan tubuh dengan
lembut di atas. Tiba tiba kaki kirinya telah memukul pergelangan tangan kanan
Badogol membuat pedangnya terlepas dari pegangan. Lalu secepat kilat kaki kanan
Simardan secepat memukul rahang Badogol dengan telak sehingga jatuh tersungkur
di tanah. Akhirnya Badogol pun menyerah karena di kulit lehernya sudah menempel
mata pedang Simardan.
Kita
tinggalkan dahulu kapal lanun itu dengan para anak buahnya sedang sibuk kesana
kemari mencari keberadaan Simardan mengitari perairan sekitar menggunakan
perahu perahu kecil dengan penyamaran sebagai nelayan sejak pagi buta sampai
menjelang senja namun tak diketemukan juga.
Kita
kembali ke perahu yg ditumpangi Simardan. Malam ini perahu itu telah memasuki
malam kedua dalam mengharungi laut lepas menuju pantai Utara ke negeri
seberang. Angin Tenggara di malam ini berhembus sedikit kencang membuat laju
perahu semakin kencang. Gelombang laut mulai terasa mengayun-ayunkan perahu ke
kiri dan ke kanan. Perahu layar itu bagai sebongkah sabut kelapa tua yang
sedang dipermain mainkan ombak di tengah lautan tak bertepi. Bintang kejora di
ufuk Utara sebagai pedoman bekerlap-kerlip cahayanya sesekali tertutup awan
tipis yang berarak pelan di angkasa bersama mulai temaramnya malam tanpa cahaya
rembulan yang masih berbentuk sabit.
Karena
arah angin datangnya dari Tenggara sementara haluan mereka menuju Utara maka
layar haruslah diikatkan ke sisi sebelah kanan perahu agar layar dapat
menghempang datangnya angin dari Tenggara sehingga perahu terus melaju ke
tujuan. Kemudi senantiasa dijaga tekong
secara bergantian diantara mereka bertiga agar haluan tetap menuju Utara.
Udara
dingin di malam itu belum juga mampu membuka komunikasi diantara mereka.
Masing-masing sungkan dan menjaga diri walau malu malu sudah mulai cemistry di
antara mereka sejak makan bersama tadi pagi. Sampai akhirnya sang juragan mulai
memberanikan diri bertanya kepada Simardan hendak kemana gerangan tujuannya
agar mereka dapat menghantarkannya ke tempat tujuan.
Simardan
menarik nafas panjang, nampak ia mulai tenang. Lalu ia menjawab pertanyaan sang
juragan. Ia minta ikut sampai ke negeri tujuan mereka saja dan meminta dengan
sangat jangan menceritakan apa-apa yang terjadi terutama menyangkut dirinya,
baik di negeri tujuan maupun sesudah kembali ke negeri mereka semula. Bila
tidak, Simardan akan mencari mereka kemanapun dan tak akan sungkan membunuh
mereka semua bila berjumpa. Kemudian sang juragan dan temannya yg lain
bersumpah dan berjanji bahwa mereka akan tetap menyimpan semua rahasia diantara
mereka ini dimanapun dan sampai kapanpun. "Biarlah pecah di perut, asal jangan
pecah di mulut" ikrar mereka di hadapan Simardan.
Menjelang
larut malam sang juragan dan seorang lagi yang sedang tak bertugas sebagai juru
mudi nampak mulai dapat tertidur lelap. Mungkin karena kondisi mereka yg sudah
letih juga kekurangan tidur semalam ditambah pula sudah adanya keyakinan mereka
bahwa Simardan itu adalah sosok yg baik dan dapat dipercaya.
Tidak
demikian halnya dengan Simardan, ia masih awas dan waspada. Hal seperti ini
sudah terbiasa dalam kehidupannya yang keras sebagai seorang bajak laut.
Memangsa atau dimangsa.
Ditempat
lain, di atas kapal lanun Raja Rompak tidak habis habisnya menyumpah serapahi
para anak buahnya yang belum juga berhasil menemukan keberadaan Simardan bila
masih hidup, ataupun mayatnya bila telah mati. Tapi sang Raja Rompak begitu
yakin jikalau Simardan anak angkatnya itu masihlah hidup. Karena ia tahu akan
kemampuan anak angkatnya itu. Bila jatuh kelaut, ia handal berenang yang tentu
saja mampu mencapai bibir pantai ataupun pulau pulau kecil terdekat. Ia tahu
itu karena dahulu sudah pernah diujinya. Simardan mampu merenangi dua pulau
terpisah laut berjarak tempuh kira kira bila berperahu dayung bila berangkat dari
satu diantara dua pulau itu sejak matahari terbit sampai matahari itu hampir
tepat berada di atas kepala.
Beda pula
suasana hati Badogol (Beng Dong Ghuong). Dalam hatinya ia merasa gembira,
karena saingannya selama ini untuk menguasai kapal itu kini telah tiada.
Sehingga sang majikan sudah menjadi tidak begitu ditakutinya lagi. Kini sifat
aslinya mulai tampak yang selama ini rapi disembunyikan. Ia sudah lama menunggu
kesempatan ini datang. Secara sembunyi sembunyi tanpa diketahui raja lanun dia
telah membangun kekuatannya sendiri.
Ada kubu
yang masih loyal dengan sang Raja dan Panglima, tapi ada juga kubu yang
dibangunnya secara rahasia menjadi lebih tunduk pada perintah Badogol daripada
yg lain. Dengan operasi senyap sebagian anak buah sang majikan sudah lama
dipengaruhi oleh Badogol.
Cara cara
pendekatan yg dilakukan Badogol adalah melalui kesenangan serta kemewahan yang
diberikan Badogol kepada prajurit tak setia. Itu diberikannya sewaktu mereka
diberi waktu oleh majikan untuk pelesiran ke darat setelah berhasil merompak
sasaran besar hari hari sebelumnya. Sudah pasti mereka akan bersenang-senang
berfoya-foya ke tempat tempat hiburan.
Disamping
itu Badogol kerap memberikan berkeping keping uang perak dan barang-barang
berharga lainnya dari hasil rompakan mereka yang sebagian rupanya sudah
disembunyikan Badogol tanpa sepengetahuan Raja Rompak maupun Panglima kapal
lanun.
Hal itulah
yg membuat Beng Dong Ghuong alias Badogol disenangi oleh prajurit prajurit
lanun yang kurang setia pada majikan. Inilah kesempatan itu masa yang
ditunggu-tunggu Badogol dengan sabar untuk melakukan makar lalu menguasai kapal
lanun bersama barisannya.
Ternyata
selama ini sejak diambil oleh Raja Rompak sebagai orang kepercayaan sesudah
Simardan, Beng Dong Ghuong alias Badogol secara sembunyi sembunyi telah
memperkaya dirinya sendiri bersama kelompok rahasianya. Kelompok gelap ini
dibangunnya secara rahasia. Kaki tangan gelapnya ini diambil dari para prajurit
kapal yang mudah dipengaruhi oleh Badogol melalui iming-iming kekayaan.
Kekayaan yg akan mereka dapatkan dari pembagian hasil rompakan yg digelapkan.
Disamping itu juga akan mendapatkan kesenangan kesenangan lainnya untuk menarik
minat para prajurit prajurit yg kurang teguh dalam pendirian ataupun mereka yg
ingin cepat merobah keadaan. Mimpi menjadi orang kaya yg hidup penuh
kesenangan. Walau ditempuh dengan cara berkhianat sekalipun terhadap pimpinan
ataupun orang yg telah menolong kehidupannya juga membesarkannya selama ini.
Rupanya tipe dan watak
manusia seperti itu mudah dijumpai di dunia hitam itu. Disamping Badogol
mengambil orang orang seperti itu ada juga rekrutan baru dari para pelaut
ataupun para bajingan kampung di daratan yg mau ikut bergabung. Para kaki
tangan Badogol ini ditempatkannya di pos-pos khusus di pantai-pantai ataupun
pulau-pulau kecil tak berpenghuni tempat mereka menyembunyikan harta hasil
penggelapan itu. Bila pada masa itu ada lembaga audit lalu kekayaan Badogol
diaudit seorang auditor tentulah ditemukan bahwa kekayaan Badogol saat ini jauh
lebih besar dari kekayaan yg dimiliki sang Raja Rompak selaku majikan pemilik
sebenarnya kapal lanun itu.
Untuk mengelabui Raja
Rompak dan Simardan sang Panglima serta pasukan setia lainnya, sehari hari ia
tetap bersahaja dan berpura-pura menjadi pengabdi setia. Kekayaan kelompok
lanun itu sebagian besar telah dilarikan dan disembunyikannya pada pulau pulau
yg dijaga orang orangnya sendiri agar tak terendus. Bersama komplotan bawah
tanahnya mengatur sedemikian rapi penyimpanan dan pemakaian harta karun mereka
itu. Ketika pelesiran tiba keadaan mereka lebih hura hura dari anggota kapal
lanun yg masih setia. Dari pembagian yg diberikan Badogol mereka dapat
bersenang senang berfoya foya sepuas puasnya di tempat tempat hiburan di daratan
tanpa sepengetahuan majikan dan Panglima. Sementara itu sebagian dari hasil
penggelapan itu oleh Badogol dikirim ke kampung asal ke negeri Bandar Siapi Api
sana melalui jaringan gelapnya untuk memperkaya keluarga sang culas disana.
Saat waktu libur untuk
bersenang senang yg diberikan oleh Raja Rompak kepada seluruh anak buahnya
setelah bekerja keras berhasil merompak sebuah kapal target disitulah Badogol
mengambil waktu. Ia bersama pasukan khususnya menggunakan sebagian waktu
pelesiran itu untuk mengumpulkan kepala wilayah komplotan rahasia yg mereka
bentuk di negeri-negeri terdekat dari tempat mereka bersenang senang itu untuk
berkumpul bersama pada suatu tempat yang telah ditentukan. Biasanya mereka
bersenang senang di tempat hiburan sambil membahas siasat, strategi serta hal
lainnya guna memperkuat ataupun untuk melindungi komplotan itu. Biasanya mereka
juga bekerjasama dengan orang dalam kerajaan kerajaan yg bisa disuap dalam
mengamankan aksi aksi mereka. Para petugas orang dalam itupun pada umumnya ikut
bergabung dan larut dalam kesenangan di tempat tempat hiburan itu. Sebagai
pancingan untuk dapat diperalat oleh Badogol dalam mengamankan sepak
terjangnya.
Dalam mengumpulkan para kaki tangannya itu mereka
melakukan hubungan informasi langsung menggunakan mata mata kepercayaan yang
telah dibekali keahlian menggunakan bahasa bahasa sandi yg hanya dimengerti
oleh kalangan komplotan itu saja. Disamping itu mereka juga diberikan kemampuan
dalam bidang ilmu beladiri serta ahli menggunakan senjata senjata rahasia.
Mereka sangat militant sekali, sampai sampai rela membunuh temannya bahkan juga
membunuh diri mereka sendiri untuk menghilangkan jejak. Bunuh diri menjadi
jalan terakhir bila sudah sangat terdesak dan sudah tak ada lagi harapan untuk
selamat. Sungguh suatu pasukan yg sangat solid dan berintegritas tinggi kepada
pimpinan dan komplotan. Mereka bergerak bagaikan operasi senyap pasukan anjing
anjing setia.
Setiap kapal lanun
melakukan operasi perompakan terhadap suatu kapal korban maka pasukan gelap ini
akan ikut terlibat dalam penyergapan. Mereka diselipkan Badogol untuk turut
bertempur. Pada suatu aksi perompakans ebagian dari kaki tangan Badogol ini
terlebih dahulu bekerja menyatroni barang-barang korban sebelum dikuasai para
perompak yang setia pada Raja Rompak dan Panglima.
Dengan sigap pasukan
gelap Badogol itu memasukkan barang barang jarahan ke dalam drum-drum atau
bungkusan-bungkusan yg telah mereka persiapkan sebelumnya. Kemudian barang
jarahan ilegal itu diam diam mereka buang ke laut. Sebagian pasukan gelap
Badogol yg lain sudah siap menunggu di pantai-pantai pulau pulau terdekat.
Mereka bersiaga dengan perahu-perahunya. Disana mereka menunggu sampai keadaan
memungkinkan untuk beraksi dengan kode atau sinyal akan disampaikan dari
temannya yg di kapal. Seolah olah terluka karena serangan lawan para kaki
tangan Badogol di kapal lanun itu akan menjatuhkan diri ke laut. Tapi di sana
dipermukaan laut mereka hanya terapung-apung karena telah memakai pelampung
atau apapun yang dapat dipakai untuk tidak tenggelam. Pelampung atau sejenisnya
itu sebelumnya telah sedia mereka ambil dari kapal sebelum melompat ke laut
berpura pura menjadi korban musuh. Setelah suasana aman dan memungkinkan lalu
para pengkhianat yg pura pura mati telah mengambang di laut ini memberikan kode
berupa asap yg keluar dari senjata rahasia mereka, agar dapat dilihat oleh
teman teman komplotannya di pantai untuk segera datang mengevakuasi mereka
serta mengutip barang barang yg telah mereka buang ke laut tadi.
Ternyata tanpa disadari
Raja Rompak selama ini ia telah memelihara tikus-tikus yang menggrogoti
kapalnya sendiri. Sementara itu Simardan sudah lama mencurigainya namun belum
punya bukti kuat untuk menyampaikan pada sang ayah angkat. Lagi pula
gerak-geriknya setiap saat dipantau oleh mata-mata para pengkhianat-pengkhianat
kapal lanun itu. Setiap pulau tempat Badogol menyembunyikan harta gelapnya,
disitu pulalah ia ada menyimpan gundik isteri simpanan. Para perempuan simpanan
itu dijadikannya pula sebagai mata mata bagi komplotannya. Terkadang perempuan
perempuan cantik ini dijadikannya pula umpan untuk menjerat para petugas
kerajaan yg selama ini sulit ditundukkannya untuk ikut bekerjasama.
Bila teman-temannya yang
lain pergi pelesiran bersenang-senang ke tempat tempat hiburan menikmati bagian
hasil rompakan dan tips dari Badogol. Tapi tidak begitu halnya dengan Badogol.
Ia lebih asik mendatangi pulau-pulau penyimpanan harta ilegalnya sekaligus
menemui para gundik disana sambil bersenang senang pesta mabuk-mabukan.
Senja itu Beng Dong
Ghuong alias Badogol sedang mengatur sesuatu rencana bersama koki kapal. Juru
masak kapal lanun itu rupanya telah menjadi kaki tangan Badogol secara diam
diam dan penuh rahasia. Karena selama ini telah banyak menerima pemberian dari
Badogol lalu termakan budi akhirnya ia jatuh dalam pengaruh dan tekanan
Badogol. Ia belakangan ini sering menerima sesuatu hadiah berupa barang barang
yg mahal harganya sebagai buah tangan Beng Dong Ghuong apabila kembali ke kapal
sesudah ada sesuatu urusan dan tugas dari majikan ataupun juga sedang mengambil
waktu pelesirannya di darat.
Menjelang
malam itu mereka menjalankan rencana akan meracuni Raja Rompak melalui makan
malamnya. Menu makan malam nanti sengaja disiapkan secara istimewa. Sang koki
kapal akan menyiapkan masakan kesukaan sang Raja Rompak, yaitu sop sirip ikan
hiu berikut bebek ungkap.
Di kapal
lanun itu ada satu wadah khusus tempat menyimpan sirip sirip ikan hiu sebagai
persediaan. Sirip sirip ikan hiu itu mereka beli dari para nelayan dengan
menyamaran sebagai penduduk biasa. Mereka naik ke darat menggunakan perahu
perahu kecil.
Di kapal
itu juga ada satu kandang khusus, dibuat bersekat-sekat untuk menyimpan
beberapa ekor itik dan ayam yg turut dibeli di darat sebagai perbekalan
logistik kapal. Biasanya divisi dapur akan mempersiapan stok logistik untuk
operasional kapal buat kebutuhan selama satu purnama.
Kita
tinggalkan dahulu kapal lanun sejenak. Kembali ke perahu Simardan yg sudah jauh
meninggalkan kuala Aek Doras menyusuri Selat Malaka menuju Utara ke tanah
seberang.
Gelapnya
malam telah tiba tanpa sinaran rembulan. Langit gelap gulita menaungi
sekeliling lautan luas. Bulan dan bintang sama sekali tak tampak tertutup
tebalnya awan hitam berlapis lapis di angkasa. Awan hitam itu bergerak ke arah
Tenggara kemudian melambat karena bertemu dengan awan tebal lainnya. Lalu
semakin menggumpal. Sesekali mulai terlihat sambaran kilat di langit yg gelap
itu. Tak berapa lama ditingkahi pula suara dentuman halilintar memekakkan kuping.
Cahaya kilat di angkasa menyilaukan mata sambar menyambar seakan sampai ke
permukaan laut. Besertaan pula gelegar petir sambung menyambung tak putus putus
membuat takut segenap makhluk hidup disitu.
Seketika
tiba tiba angin Tenggara tadi berubah arah karena terhantam angin kencang yg
datang melaju dari arah Barat. Angin Barat yg sekonyong konyong muncul itu
berhembus sangat dahsyat dengan kecepatan yg tidak lazim.
Perubahan
arah angin yg sekonyong konyong tersebut menimbulkan sebuah turbulensi hebat di
udara maupun di permukaan laut. Gelombang ombak permukaan air laut naik
membesar bergulung gulung saling beradu. Pukulan dan benturan antar ombak
menimbulkan gelombang yg amat dahsyat.
Melihat
gelagat cuaca buruk itu secara refleks Simardan melompat ke tiang layar, dengan
cekatan melepaskan ikatan kain layar yg sedang terkembang di tiang
mengombang-ambingkan perahu ke depan ke belakang, bagaikan kuda binal yang
sedang meronta.
Setelah
berhasil menurunkan layar, dengan sigap pula Simardan mengambil alih kemudi
karena juru mudinya sudah terpelanting kesana-kemari di buritan perahu.
Simardan lalu mengendalikan perahu itu seorang diri. Diperintahkannya pada yang
lain untuk secepatnya mengosongkan muatan perahu membuang barang-barang yang
memberatkan perahu. Mereka semua juga diminta menanggalkan bajunya.
Tempayan
berikut isinya sudah terbang hilang entah kemana sejak badai dan taufan datang
di awal tadi. Begitu juga kajang atap nipah dan kayu penyangganya tempat mereka
berlindung dari sengatan sinar matahari kala di siang hari serta dinginnya
embun bila di malam hari juga telah melayang hilang diterbangkan badai.
Dengan
kekuatan fisik serta pengalamannya Simardan mencoba mengendalikan perahu di
atas permukaan gelombang ganas beserta hujan badai. Pengalamannya sebagai
pelaut selama ini, bila menghadapi keadaan cuaca buruk seperti itu adalah
berusaha membawa perahu menuju pantai atau pulau terdekat untuk berlindung.
Dengan wawasan dan pengalamannya selama ini dalam mengarungi selat itu iapun
tahu bahwa dengan posisi perahu mereka saat ini beberapa mil di sebelah Timur
mereka ada pulau kecil.
Untuk
menentukan arah haluan ke tujuan dengan tepat, dilihatnya gerakan gelombang air
saat itu lalu melihat ke gumpalan awan hitam bergerak ke arah mana. Itu semua
dapat dilihatnya pada saat kilat menyambar. Sesudah itu dapatlah ia pastikan
arah haluan perahu sudah tepat menuju ke Timur. Simardan yg usianya besar besar
di selat itu sangatlah mengetahui sekali seluk beluk serta kelaziman Selat
Besar itu.
Tak lama
ia sudah mulai menguasai keadaan. Ia berusaha tetap tenang agar yg lain tak
menjadi panik. Perahu dengan tiang layar telah patah itu dibiarkannya
terombang-ambing mengikuti alunnya. Simardan memahami itu. Akan buruk akibatnya
bila melawan alun gelombang yang sedang tidak bersahabat itu. Dengan membiarkan
perahu berayun ayun mengikuti alunan gelombang besar tapi kemudi tetap
dijaganya supaya tidak terlalu jauh menyimpang dari arah tujuan.
Mari kita
kembali ke kapal bajak laut yg sedang berada di tengah perairan pesisir Timur
Andalas. Rupanya kondisi buruk Selat Malaka di malam itu merata sepanjang
perairannya. Kapal lanun yang sudah jauh di Timur sana juga tak lepas terkena
amukan topan badai.
Rencana
mereka malam itu sesuai perintah sang majikan untuk mengikuti pergerakan kapal
Sikantan. Diperkirakan kapal Sikantan malam ini bila terus berlayar sudah
berada dikawasan laut bebas sudah di luar jangkauan armada laut Kerajaan Malaka
di Tanah Semenanjung negeri yg ditinggalkannya maupun oleh armada laut Kerajaan
Siak di tanah Andalas sebagai negeri tujuannya. Negeri Siak adalah tujuan
perdagangannya yg pertama sejak menikahi seorang dara cantik jelita puteri
saudagar kaya negeri Malaka. Ia berlayar dengan kapal barunya yg besar dan
megah pemberian sang ayah mertua.
Cuaca yg
sangat buruk di malam itu membuat kapal lanun kehilangan jejak akan targetnya.
Kapal Sikantan sudah masuk ke sebuah kuala melarikan diri. Disana dibalik
sebuah tanjung nakhoda melabuhkan kapal bersembunyi sambil menunggu cuaca
normal kembali lalu meneruskan perjalanan ke negeri Siak dari situ.
Rupanya
tanpa sepengetahuan Sikantan yg sedang tertidur pulas sehabis berbulan madu
bersama istrinya yg cantik jelita di kamar khusus di kapal itu, sang nakhoda
menjauhi kapal lanun menghindar dari kejarannya masuk ke sebuah sungai besar yg
belum dikenalnya. Saat nakhoda kapal Sikantan membawa kapal sembunyi di balik
sebuah tanjung di pertemuan dua sungai (sekarang Sungai Barumun dan Sungai
Bilah). Cuaca semakin memburuk, nakhoda memerintahkan pada anak buah kapal
segera melabuh jangkar disitu saja dahulu.
Suara
berisik membuat Sikantan bersama istrinya terjaga dari mimpi indahnya. Lalu
mereka berdua bergegas naik ke geladak kapal ingin melihat apa yg terjadi pada
kapalnya dan ingin memastikan perjalanan mereka sudah sampai dimana.
Betapa
kaget dan terkejutnya Sikantan yg berdiri berdampingan di geladak kapal dibawah
tiang layar bersama istrinya menyadari bahwa mereka saat itu tepat berada di
seberang gubuk tempatnya dilahirkan dan dibesarkan oleh sang ibu seorang diri
dahulu. Disitulah tanah kelahiran serta gubuk dan sang ibu yg selama ini
dirahasiakannya pada semua orang, terutama pada istri dan keluarga mertua.
Karena malu keadaan masa lalu. Kini setelah jaya dan telah pula memperistrikan
seorang gadis jelita lagi puteri seorang hartawan menjadikannya sombong pada
semua orang.
Disana di
gubuk reyot itu kini terbaring lemah karena sakit seorang perempuan tua yg amat
menantikan kepulangan anak tunggalnya Sikantan yg pergi merantau mengadu nasib
ke tanah seberang. Hujan lebat dengan kilat petir sambar menyambar di malam itu
membuatnya tak dapat memejamkan mata walau sekejap. Ia terus menerus memohon
kepada yg di atas kiranya sebelum ia menghembuskan nafas terakhir dapatlah
dipertemukan pada putera tercintanya walaupun hanya sekejap mata.
Badai
semakin kencang, ombak tampak mempermain mainkan kapal lanun di perairan Timur
dibalik kuala Barumun (sekarang Tanjung Bangsi). Begitu pula dengan kapal
Sikantan yg sedang bersembunyi lari dari kejaran kapal lanun berlabuh di balik
sebuah tanjung (sekarang Tanjung Lumba Lumba) di pertemuan dua sungai besar
berhadapan dengan sebuah sungai kecil (sekarang Sungai Durhaka, kemudian
berubah menjadi Sungai Merdeka di Labuhan Bilik). Kapal Sikantan yg besar dan
megah itupun tak luput dari terjangan ombak dan badai.
Tiang
utama layar kedua kapal itu telah patah. Panji berwarna hitam berlambangkan
tengkorak dengan tulang bersilang berwarna putih milik kapal lanun dan panji
berwarna merah berlambangkan ayam jantan milik kapal Sikantan telah
diterbangkan angin kencang melayang entah kemana. Drum-drum, peti-peti bahkan
bak mandi sang Raja Rompak juga telah hilang lenyap tak berbekas.
Seketika
Raja Rompak memerintahkan para anak buah agar membuang muatan yg memberati
kapalnya. Lain pula halnya dengan kapal yg satunya lagi, nakhoda meminta izin
pada Sikantan agar dapat memerintahkan para kelasi segera membuang barang
barang muatan kapal. Karena sombong akan kapalnya yg baru dan megah serta
adanya rasa rakus dan tamak akan kehilangan hartanya. Juga takabur karena yakin
tak lama lagi topan badai akan berhenti. Sikantan tidak memenuhi permohonan
nakhoda.
Akhirnya
hujan yg sangat lebat serta ombak yg teramat dahsyat disebabkan bertemunya dua
arus air bah dari dua buah sungai besar disitu lalu menenggelamkan kapal
Sikantan dan menewaskan semua penumpangnya yg tak dapat menyelamatkan diri.
Kapal dan mereka semua terbawa gelombang sampai ktengah Sungai Barumun. Rupanya
pada saat yg bersamaan dalam gubuk reyot di seberang kapal itu sang bunda Sikantan
juga tengah meregang nyawa dari sakit menahun yg dideritanya. Lalu
menghembuskan nafas terakhirnya tanpa ada yg menyaksikan.
Sementara
itu di kapal lanun. Cuaca buruk yg tak lazim itu tidak dapat mereka duga
sebelumnya, seperti yg biasa biasa mereka hadapi sewaktu waktu. Badai kali ini
amat dahsyat datangnya di luar perkiraan dan tak dapat mereka atasi dengan kemampuan dan pengalaman yg
ada.
Sajian
malam sebagai jamuan istimewa yang telah disiapkan sang koki atas suruhan
Badogol untuk santapan sang Raja Rompak pun tak sempat dihidangkan. Makanan
malam itu telah berserakan berhamburan akhirnya diterbangkan angin jatuh ke
laut yg sedang angkara murka.
Bangkai kapal Sikantan itu dari hari
ke hari terus ditutupi oleh lumpur yg tersangkut di sana terbawa arus sungai
dari hulunya. Lama kelamaan menjelmalah sebuah pulau delta yg sudah dapat
ditumbuh pohon pohon palam seperti kelapa, pinang, nipah dan pohon pohon
lainnya seperti mangga serta semak belukar. Ini disebabkan adanya bibit dari
bijian jenis pohon tersebut yg pada awalnya terbawa arus dari hulu tersangkut
disana, tumbuh lalu berkembang. Akhirnya pulau delta Sikantan itu terus meluas
sampai seperti sekarang. Mengenai pohon mangga yg buahnya pada cabang ke arah
laut rasanya asam dan pada cabang di darat rasanya manis itu sebenarnya karena
pengaruh tumbuhnya akar. Akar yg disebelah laut banyak menyerap air asin
mengandung garam membawa ke buah, membuat buah di cabang itu berasa asam.
Sementara akar yg sebelah darat kaya akan nutrisi dan hara tanah membuat buah
di cabang itu berasa manis. Begitu pula tentang kera putih jelmaan istri
Sikantan adalah mitos, cerita dari mulut ke mulut.
Raja
Rompak sang majikan kapal Lancang Hitam berteriak-teriak di atas geladak kapal
dekat anjungan. Memerintahkan kepada anak buahnya agar segera menurunkan semua
layar yg terpasang lalu mematikan lampu-lampu yg menyala agar tak sampai jatuh
diterbangkan angin ke permukaan lantai dari kayu itu. Bila tidak diantisipasi,
nanti bisa berakibat fatal membakar seluruh kapal dan isinya juga mereka semua.
Sang
nakhoda diperintahkan agar tetap mengawasi haluan, jangan sampai kapal dihantam
ombak besar yang datangnya dari samping. Ayah angkat Simardan itu paham betul
bilamana pukulan ombak menghantam sisi kapal akan lebih berbahaya daripada
ombak yg datang dari depan menghantam haluan. Kapal akan oleng ke sisi yg lain
membuat air laut masuk memenuhi kapal dan akhirnya akan tenggelam. Ia
mengingatkan nakhoda agar tetap tetap mengikuti alunan ombak jangan dilawan.
Sebisa mungkin kapal harus diposisikan mengikuti arah ombak. Bila terposisi
seperti itu kapal hanya naik turun hanyut dibawa gelombang besar sembari
menunggu badai reda.
Ditengah
amukan badai besar Selat Malaka di malam yg semakin larut, kapal lanun itu
terlihat bagaikan sebongkah sabut kecil di tengah lautan. Sesekali terlihat di
pucuk ombak lalu kemudian lenyap seakan ditelan gulungan ombak saat kapal
berada di bawah gelombang
Keadaan
alam yang membikin panik seisi kapal itu rupanya tidak juga menyurutkan niat
Beng Dong Ghuong alias Badogol mencari cari kesempatan untuk melenyapkan sang
majikan. Karena rencana awalnya bersama sang koki telah gagal. Ia tahu bahwa
hidangan makan malam sang Raja Rompak yg diberi racun itu telah diterbangkan angin lalu disapu
gulungan ombak besar.
Suatu saat
ketika Raja Rompak lengah, lagi berteriak-teriak lantang memandu nakhoda juga
para kelasi pada sisi kapal yang sedang oleng. Sekonyong konyong tanpa terduga
dengan sebuah kuisan kaki Badogol menggeserkan sebuah peti di samping Raja
Rompak dengan keras. Seolah-olah ia sedang limbung dihantam goncangan ombak.
Lalu peti itu meluncur kencang tepat mengenai kedua betis sampai paha sang raja
lanun. Akibatnya sang pimpinan Bajak Laut itu terjungkal mencebur ke gelombang besar
di bawah sana bersama serpihan peti.
Semua anak
buah kapal lanun menjadi panik. Mereka sibuk mengambil sesuatu tindakan untuk
menyelamatkan sang majikan. Bahkan beberapa diantara mereka secara spontan
melompat ke bawah menyelamatkan sang majikan. Sementara itu para anak buah
kapal yang masih berada di atas kapal melego tambang-tambang dari atas kapal ke
permukaan laut yg sedang mengamuk membara itu. Tambang tambang yg dilemparkan
itu dimaksudkan agar dapat dipegangi
sebagai tali pengaman mereka yang menceburkan diri ke laut dalam usaha mencari
dan menyelamatkan sang majikan. Apabila nanti sang majikan telah ditemukan lalu
dievakuasi ke atas kapal menggunakan tambang itu. Ataupun hal terburuk terjadi
apabila pencarian gagal dan mereka sudah tak berdaya di bawah sana maka nanti
akan segera ditarik kembali naik ke atas kapal.
Kita
tinggalkan dahulu Simardan yg berjuang menyelamatkan perahu dan penumpangnya
dan Raja Rompak yang tercebur ke laut sedang berjuang menyelamatkan diri dari
amukan badai. Mereka masing masing berada di perairan yg berbeda walau masih di
Selat Malaka itu.
Kita ke
daratan sejenak meninggalkan amuk Selat Malaka. Jauh di sana di sebuah teluk di
tepian Aek Doras di Selatan Kampung Tanjung dalam sebuah gubuk tua. Disana
terlihat seorang perempuan tua berambut panjang penuh uban sedang menyiapkan
sesuatu rebusan untuk pengobatan seorang laki-laki paruh baya. Lelaki itu
terbaring di lantai bambu beralaskan tikar tua dari anyaman daun pandan.
Di lantai
di atas tikar tua itu sang lelaki sedang mengerang erang kesakitan. Perutnya
seperti terluka berbalut
daun lebar panjang berwarna kemerahan seperti sejenis pohon bakung. Di dekatnya
sibui seorang perempuan tua. Walau sudah berumur namun masih kelihatan cekatan
dan cukup bertenaga bila dibanding dengan usianya, dialah emak Simardan.
Di gubuk
reyot itu ia ditemani seekor kera putih dan seekor anjing hitam. Si kera putih
melompat lompat kesana kemari seakan tak mau diam sambil memperhatikan tingkah
laku tuannya dari atas tingkap kecil yang mungkin memang diperuntukkan
untuknya. Sementara itu si anjing hitam sedang tidur-tiduran menggulung diri di
depan pintu depan yg terbuka.
Kita surut
ke belakang sejenak mengikuti kisah sang ibu tua bersama kedua peliharaannya
itu. Monyet putih itu adalah sejenis kera pantai yang ditinggalkan induknya di
sekitar itu semasa masih bayi karena terlihat aneh berbeda dari anak-anaknya
yang lain. Secara biologi itu karena pengaruh pigmen pembawa sifat dalam sperma
induknya sehingga salah satu keturunannya dapat menjadi albino pada proses
pembentukannya semasa dalam kandungan. Atau mungkin juga dapat disebabkan
penyakit kulit Vitiligo, yaitu penyakit autoimun yang menyerang sel penghasil
pigmen. Kondisi imun yg bekerja dengan sendirinya ini menyebabkan hilangnya
produksi pigmen sebagai pembuat warna kulit.
Bayi kera
putih yg ditinggal induknya di dekat situ terjumpa oleh sang nenek lalu
dipungut dan dipelihara. Anak kera putih itu diasuh dan diberinya nama Si
Merdeng. Ia mengasuh dan memanjakannya bagai anak sendiri. Begitu pula dengan
Si Mardong, nama yang diberikan sang nenek pada seekor anak anjing liar
berwarna hitam berkilat. Kala itu anak
anjing ini terpisah dari induknya lalu tersesat masuk sampai ke perladangan
sang nenek yg tengah mengerjakan ladangnya seorang diri.
Kedua anak hewan itu diperlakukan sang nenek bagakan pengganti Simardan anaknya yg
hilang tak pernah kembali. Makan dan tidurpun mereka tetap bersama. Ketiga
makhluk yang berbeda jenis ini rupanya dapat juga hidup rukun bersatu dalam
ikatan naluri kasih sayang dari sang inang pengasuh. Mereka berdua karena telah
diasuh serta dibesarkan sedari kecil seakan sudah saling mengerti juga memahami
percakapan diantara mereka begitu pula dengan si nenek tua, walau masing masing
menggunakan suara berbeda dan tidak sama. Kedua anak-anak asuhnya ini sangat
patuh dan setia pada inang pengasuhnya itu. Mereka berdua saling membantu si
nenek dalam mencarikan bahan lauk pauk dari tepian sungai buat dimakan bersama.
Mereka disana mencari udang udang kecil dan anak anak ikan di tepian sungai. Si
Mardong itu bahkan dapat berenang sampai agak sedikit jauh ke tengah sungai.
Untuk
mencari bahan makanan buat membantu sang nenek mereka mencaril dari kebun
sendiri ataupun dari hutan sekitar. Mereka terlatih mencari buah-buahan,
umbi-umbian, sayuran dan lainnya untuk dimasak si nenek sebagai santapan mereka
bersama sehari-hari di gubuk itu.
Sementara
itu kita cari tahu siapa laki-laki paruh baya yg sedang dirawat itu. Rupanya ia
adalah seseorang yang ditemukan para penghuni gubuk itu sekembali dari ladang.
Ketika itu si Mardong menyalak ngakak karena mengendus sesuatu. Si Mardong
menemukan lelaki terluka itu di pojok belakang dari halaman gubuk mereka. Lalu
mereka bersama-sama menyeret dan menariknya
ke atas gubuk untuk diobati. Ia seperti terkena tusukan senjata tajam
pada bagian perut. Si lelaki paruh baya itu adalah seorang penjahat yang
melarikan diri dari kejaran orang orang kampung tanjung yg marah.
Si nenek
sejak ditinggal putera semata wayangnya kini hidup menyepi bersama kedua anak
asuhnya disitu. Walau tinggal ditempat sepi tapi ia kini tetap merasa ramai
karena disamping sudah punya dua anak asuh iapun kini sudah pula berteman
dengan makhluk-makhluk halus tidak kasat mata (ghaib) disitu.
Kini
kawasan itu auranya menjadi terasa angker. Gubuk begitu pula tanaman si nenek
sudah tak ada yg berani mengganggu. Anak-anak maupun penduduk yang tinggal
berjauhan dari gubuk itu tidak berani mengusik hasil tanaman maupun binatang
ternak mereka.
Pernah
suatu kali sekelompok anak-anak sedang masa masa kenakalannya masuk ke kawasan
gubuk itu ingin mencuri buah-buahan dari kebun si nenek yg lagi berbuah lebat
karena saat itu sedang musim buah. Pohon buah-buahan seperti rambai, rukam,
jambu air, jambu susu jambu bertih, jambu bol, nangka, cempedak, langsat,
manggis, durian, glugur, sentul, namnam, mangga, bacang, mempelam serta banyak
lainnya. Begitu pula pohon jenis palem seperti aren, rumbia, kelapa, pinang,
asam kelubi, dll.
Seorang
anak yang agak lasak dan pengawasan
orang tua yg lengah mengajak teman-temannya mencuri buah dari kebun si nenek.
Sementara si nenek saat itu masih di ladang yg agak jauh letaknya dari gubuk
dan kebunnya itu sedang bersama kedua anak asuhnya.
Sesampai
di kebun sang nenek, mereka lalu memanjati pohon-pohon yang sedang berbuah
lebat itu. Ada yang memetik langsung memakannya di atas pohon itu, ada pula
yang menjatuhkannya ke bawah untuk dipungutinya kembali nanti setelah turun.
Anak-anak itupun memakan sepuasnya apa apa yang mereka inginkan sesuka hati.
Karena
hari sudah semakin sore mereka bersepakat untuk bersiap kembali pulang ke rumah
mengakhiri pesta buah dihari itu lalu akan mengulangnya kembali kapan-kapan
mereka mau lagi.
Rupanya
salah seorang anak diantara mereka tak mengikuti kesepakatan bersama. Secara
sembunyi-sembunyi dia mendatangi kembali kebun si nenek meninggalkan teman
temannya di tengah perjalanan yg sedang menuju pulang. Pohon-pohon yang
sebagian buahnya sudah dirontokkan si anak nakal ke bawah ia kutipi kembali.
Tidak semua buah matang yg gugur, banyak pula diantaranya buah yg belum matang
pun ikut berontokan jatuh ke bumi karena ulahnya itu.
Dalam
keasikannya tanpa disadari teman-temannya yang lain yg sudah jauh
meninggalkannya sendirian di tengah kebun haripun senja. Si anak bandal itu
mulai membungkus buah-buah yang dikumpulinya tadi menggunakan daun pisang lalu
diikatnya. Sebuntilan penuh bermacam buah buahan diletakkannya di pundak.
Kemudian dengan memundak buah buahan itu iapun melangkah pulang.
Apa lacur,
sedari tadi ia berputar putar terus mengelilingi kebun si nenek. Pandangannya
gelap tak menemukan jalan keluar untuk pulang. Hari pun semakin gelap dan
malampun tiba, ia telah ghaib disembunyikan makhluk tak kasat mata (makhluk
halus) kawan si Nenek. Rupanya para makhluk halus itu selama ini telah membantu
menjaga gubuk juga kebun si nenek. Karena si nenek sering menjamu mereka dengan
saji-sajian atau sesajen.
Simardan
masih berjuang melawan badai menyelamatkan perahu dan para penumpangnya menuju
sebuah pulau kecil yang mulai tampak samar-samar di kejauhan bagai sebuah
noktah hitam hilang hilang timbul
ditutupi ombak.
Di
perairan Timur di selat yg sama di balik
kuala Sungai Barumun (sekarang Tanjung Bangsi), Raja Rompak yang tercebur jatuh
dari kapalnya berhasil meraih potongan potongan kayu serpihan pecahan sebuah
peti. Dia bergelayut di potongan kayu itu sekedar mengapungkan diri agar tak
ditelan ombak ganas. Ia hanyut sudah jauh terpisah dari kapalnya, terbawa ombak
dan arus.
Sementara
itu di belahan lain, emak Simardan sedang berjuang pula menyelamatkan nyawa
seorang laki-laki paruh baya korban senjata tajam. Menurut pengakuan si korban
sudah dua hari dia tertusuk benda tajam lalu mencari pengobatan dan akhirnya
jatuh pingsan di situ.
Keadaan
sang lelaki paruh baya itu sudah sangat payah akibat pendarahan. Bekas lukanya
sepertinya sudah mulai terserang infeksi. Suhu badannya tinggi dan kondisi
badannya melemah. Sesekali bola matanya
terbelalak ke atas meninggalkan putih matanya saja.
Pertolongan
yang telah dilakukan emak Simardan sejak petang tadi tampaknya belum
menunjukkan perubahan apa-apa. Upaya pamungkas kini dia sedang menyiapkan
sesuatu yang mulai dikerjakannya sedari senja tadi saat hujan mulai turun
membasahi bumi dengan derasnya. Ia sedang menyiapkan sesuatu tampaknya berupa
sesajian (sesajen) buat mengundang sahabat sahabat tak kasat matanya datang
untuk diminta bantuan mereka.
Dupa sudah
mulai dibakar. Asapnya memenuhi ruangan mengeluarkan aroma mistis kemenyan.
Simerdeng dan Simardong mereka tak tahan mencium asap beraroma kemenyan putih
itu lalu keduanya lari pindah ke bawah kolong gubuk itu.
Mulai
terdengar suara sang nenek dari dalam gubuk bersinandong memanggil manggil para
jin jembalang para sahabat halusnya itu. Senandung mistis yg dapat menaikkan
bulu kuduk siapa saja mendengarnya.
Lama
kelamaan suara sang nenek terdengar semakin memberat lalu melemah pelan.
Kemudian tiba tiba ia terlihat seakan akan berdialog dengan sesuatu makhluk.
Bahkan dari dalam gubuk itu terdengar suara riuh ramai walaupun tak dapat
dilihat mata awam.
Dari dalam
gubuk itu kedengaran suara suara aneh sangat berisik dan gaduh. Si korban yang
sudah terbaring lemah tak berdaya mensengar suara suara itu dalam mata jatuh
pingsan terkulai tak sadarkan diri.
Lolongan
Simardong dari bawah gubuk terdengar melolong lolong panjang tak henti henti,
seakan ia melihat sesuatu yg sangat mengerikan. Sesuatu yg tak bisa dilihat
mata manusia biasa. Ia melolong dengan mengangkat dan menengadahkan kepalanya
ke langit membuka kedua rahangnya yg mengeluarkan cairan berlendir dari sela
sela giginya yg tajam di bawah gubuk itu. Simerdeng yg ketakutan lari ke atas
pohon sentul. Disana ia bersembunyi dibalik sebuah cabang yg dahannya berdaun
rimbun.
Di dalam
gubuk sang nenek sedang naik kerasukan (naek puako). Dia mulai menari-nari
sambil memukul-mukul dinding dan lantai. Kadang berguling kadang
memanjat-manjat di dinding. Setelah itu kembali berdialog lagi dengan suara
yang semakin pelan dan berat. Lalu dia bertanya pada teman-teman mistisnya itu
siapakah diantara mereka yang sanggup mengobati sang lelaki terluka. Untuk itu
dia sudah siapkan sesajen sebagai pemberian untuk jamuan bagi mereka.
Dari
dialog antara si nenek dengan sahabat sahabat halusnya itu, tahu pulalah si
nenek bahwa tadi ada sekelompok anak mengambil buah buahan hasil kebunnya.
Seorang diantaranya kini sudah menjadi tawanan mereka. Mereka akan melepaskan
sang tawanan itu bila orangtua sang anak datang langsung ke wilayah itu meminta
anaknya dilepaskan dengan syarat membawa sesajian untuk mereka berupa seekor
ayam putih serta kembang tujuh rupa dan tak mengulang perbuatannya itu lagi.
Setelah
itu mereka kembali melanjutkan dialognya tentang permasalahan si korban. Bahwa
mereka menyanggupi mengobati sang lelaki paruh baya korban tusukan senjata
tajam itu dengan syarat sang nenek dapat mempersembahkan kepada mereka sepasang
ayam berwarna hitam untuk jantan dan putih untuk betina beserta bertih (beras
yang digongseng/goreng kering sampai kembang merekah) dalam suatu wadah mangkok
tanah.
Dari
perjanjian gaib itu akhirnya sang nenek bersedia memenuhi juga akan
menambahinya dengan sesajian lain berupa bubur beras ketan (pulut) hitam dan
putih pada tetamu sahabat tak kasat mata itu bila mereka bersedia memulangkan
si anak bandel sampai ke batas kampung terdekat. Tanpa harus dijeput bersyarat
oleh orang tuanya langsung. Si nenek sudah merelakan buah-buahan hasil kebunnya
dicuri anak nakal itu. Ia meniatkan bahwa buah-buahan yg telah dicuri sang anak
dari kebun yg ditanamnya bersama Simardan itu akan sampai kepada anaknya
tercinta yg jauh terpisah disana.
Bahwa
menurut berita mistis yang telah disampaikan sahabat makhluk halusnya
menyebutkan bahwa puteranya masih hidup berlayar jauh di tengah lautan. Jauh
disana di suatu wilayah yg sudah di luar jangkauan serta kekuasaan mereka semua
yg sedang berkumpul di sekitar gubuk itu.
Sesajian
ini juga dimaksudkannya bagi kesembuhan lelaki paruh baya yang sedang terbaring
pingsan tak sadarkan diri di atas lantai beralaskan tikar di gubuk itu.
Dari dalam
gubuk itu terdengar suara suara berisik menakutkan. Suara itu sesekali seperti
melengking, terkadang mendesah berat lamat lamat, adakalanya pula terdengar suara
yg bergema mendesing memenuhi ruangan.
Suara
suara itu sangat menakutkan yg menaikkan bulu kuduk bagi telinga manusia biasa
yg mendengarnya. Itulah sebabnya sejak sang nenek hidup sendiri sejak anaknya
Simardan diculik dilarikan lalu dibawa merompak oleh ayah asuhnya si Raja
Rompak, tak ada lagi penduduk yang berani dan tinggal bermukim disekitar gubuk
tua itu.
Simardong
tak henti-henti menolong lolong panjang seakan melihat sesuatu yg menakutkan.
Ia mengangkat lalu menengadahkan kepalanya ke atas ke langit yg gelap mengikuti
lolongan seramnya ke langit yang gelap merindingkan bulu kuduk.
Di atas di
kawasan sebelah Utara sampai Timur kelihatan langitnya hitam pekat. Jilatan
jilatan cahaya kilat di langit sana tampak bagai lampu blizt dari Kampung Tanjung.
Itu menunjukkan bahwasanya disana di perairan dimana Si Raja Rompak begitu pula
di posisi kapal lanun dan kapal Sikantan saat itu berada sedang terjadi hujan
badai dahsyat dengan angin topan yg disertai ribut petir yang
sambung-menyambung. Malam itu sedang terjadi bencana Selat Malaka di kawasan
itu. Disana lebih ke Utara sedikit putera tercintanya Simardan sedang berjuang
pula menyelamatkan perahu bersama isinya menghadapi gulungan ombak ganas menuju
sebuah pulau kecil.
Disaat yg
besertaan itu pulalah para sahabat tak kasat mata emak Simardan menyetujui dan
berjanji akan memenuhi dua permintaan sang nenek bila dipenuhi tambahan syarat
sesajian. Yaitu menjamu penguasa Aek Doras yaitu Raja kerajaan halus tak tampak
mata manusia biasa. Ia bersama bala tenteranya menunggu dijamu. Untuk jamuan
itu nanti mereka meminta si nenek dapat menaburkan beras bertih, menghanyutkan
bubur pulut hitam dan putih dalam sebuah wadah serta menyembelih ayam jantan
hitam dan ayam betina putih di tepian sungai. Darah sepasang ayam itu separuh
dihanyutkan di Aek Deras dan separuhnya lagi dapat diminumkan pada si lelaki yg
terluka itu. Kesemua itu sudah harus disediakan malam ini juga, karena
jembalang sang penguasa Aek Doras sedari tadi sudah menanti. Bila itu semua
tidak dapat dipenuhi ia akan murka.
Mendengar
penjelasan sahabat halusnya sang utusan Raja Kerajaan Gaib Aek Doras, Si nenek
kecut juga. Tapi karena ingin membantu sesama makhluk, dari sudut hatinya yang
bersih dia rela dan bersedia untuk itu walau jiwa sebagai taruhan.
Lalu ia
memanggil Simardong yang tengah melolong lolong panjang di bawah seperti
melihat makhluk-makhluk halus yg sedang kumpul ramai disana. Sang nenek juga
memanggil Simerdeng yang tengah ketakutan sedang bersembunyi di pucuk pohon
sentul di balik rerimbunan daunnya.
Setelah
mendengar suara panggilan dari si nenek, sekonyong mereka berdua sudah datang
menghampiri sang ibu asuh. Si nenek memerintahkan kepada mereka berdua untuk
segera membawakan seekor ayam jantan hitam dan seekor ayam betina putih dari
ternak peliharaan mereka di belakang gubuk.
Seperti
biasanya ayam ayam peliharaan mereka ini bila malam hari tidurnya di
pohon-pohon disekitar gubuk. Bila siang hari ternak ternak itu berkeliaran
bebas mencari makan kemana saja sesukanya. Si nenek sendiri tak tahu berapa
sudah jumlah ayamnya itu saat ini.
Malam
semakin larut, hujan belum berhenti. Simardong dan Simerdeng seakan mengerti,
mereka berbagi tugas menjalankan perintah si nenek. Sementara itu digubuk si
nenek sibuk pula memasakkan bubur dan bertih permintaan tamu-tamu halusnya
utusan Raja Kerajaan Gaib Aek Doras.
Hujan
turun semakin lebatnya diterangi sambaran sambaran petir bersama suara guntur
sambung menyambung yg memekakkan telinga. Tiba tiba dari bawah tangga sudah
muncul Simardong hitam dan Simerdeng putih sambil membawa sepasang ayam yg
dimintakan si nenek. Kedua ayam itu masih hidup meronta-ronta di jepitan rahang
mereka masing masing.
Segala
persiapan ritual jamuan mistis telah siap dikemas untuk dibawa ke sebuah tepian
Aek Doras (Sungai Asahan) pada sebuah teluk kecil di Selatan sebalik Kampung
Tanjung (sekarang di seberang Utara pulau Simardan, letaknya antara pangkal
jembatan Tabayang sampai wilayah tepian Selat Lancang).
Malam
semakin larut hujan masih saja turun dengan derasnya ditingkahi suara petir yg
menggelegar sambung menyambung menimbulkan cahaya menyilaukan kawasan itu pada
saat sengatan listrik angkasa itu berkelebat. Pucuk-pucuk pohon seakan
menari-nari diterpa hembusan angin kencang seperti mengikuti gerak tubuh sang
nenek yang kerasukan makhluk halus. Istilah penduduk pesisir disana saat itu
sang nenek sedang naek puako.
Tubuh
gemuk sang lelaki yang masih tak sadarkan diri di dalam gubuk itu lalu di
geserkannya ke depan pintu sesuai permintaan para sahabat tak kasat matanya.
Kemudian bersama Simardong dan Simerdeng mereka berjalan mengikutinya. Si nenek
menjunjung bungkusan kain putih di atas tampah dari anyaman kulit luar bambu,
lalu mereka bertiga menuruni tangga menuju tepian sungai.
Dalam
bungkusan yang dijunjungnya itu ada satu wadah berisi bubur hitam, satu wadah
lagi berisi bubur pulut putih. Kemudian ada lagi wadah berisi bunga tujuh rupa
(bunga rampai), satu wadah lagi berisi bertih. Seperti permintaan sahabat
gaibnya turut juga dibawa satu mangkok dari batok kelapa berisi darah ayam
jantan hitam, dan satu mangkok batok kelapa berisi darah ayam betina putih
beserta bangkai sepasang ayam itu.
Mereka
turun dari gubuk sambil berlari-lari kecil di bawah rimbunan pohon mengelakkan
air hujan yg turun deras menggenangi tanah.
Sesampainya
di tepian di bawah pohon jabi jabi si nenek lalu membuka bungkusannya. Matanya
mendelik melotot ke kanan ke kiri sesekali ke atas dan ke bawah bagai mata
seorang penari Bali. Tiba tiba dia mulai basinandong dengan suara bergetar
berat dan mendesah desah. Syairnya pilu menyayat hati bagi siapa yang
mendengarnya. Kata katanya penuh magis membuat bulu kuduk merinding. Simardong
melolong panjang.
Kemudian
diapun meraih wadah berisi bertih lalu menaburkannya ke atas permukaan air
sungai besar itu. Saat itu airnya bagaikan tak berarus, hanya berombak ombak
beradu adu kecil karena diterpa angin kencang dan air hujan. Sesekali cahaya
terang menyilaukan mata menerangi permukaannya kala petir menggelegar di angkasa.
Suasana
malam itu begitu mencekam. Sambil menari nari kerasukan selanjutnya si nenek
mengambil wadah berisikan kembang rampai lalu ditaburkannya ke permukaan sungai
sambil terus bersinandong. Badannya sudah basah kuyup. Selanjutnya ia meraih sebuah
bungkusan putih yang terbuka sebagian pada bagian atasnya di atas nampan bambu
itu. Sepasang bubur beras ketan dua warna itu bersama bangkai sepasang ayam
tersebut dihanyutkannya ke Aek Doras. Terakhir diambilnya wadah berisi darah
sepasang ayam itu. Dilarungkannya setengah isi wadah darah segar itu ke
permukaan air sungai. Separuhnya lagi dari masing masing darah ayam tersebut ia
tinggalkan dan disimpan kembali dalam wadah itu.
Tiba-tiba
dengan sekonyong konyong terdengar suara keras menggelegar keras dari arah
gubuk disertai kilatan cahaya petir ditingkahi suara-suara aneh darisana.
Terdengar suara riuh rendah dari arah dalam gubuk. Lalu terdengar suara tertawa
lantang mengerikan. Simardong di dekat si nenek kembali melolong panjang.
Dengan rahang terbuka kepalanya menengadah ke atas Sementara itu Simerdeng sudah lari
bersembunyi ke atas pohon rambe.
Sehabis
itu hujan mulai mereda, angin kembali tenang. Si nenekpun sudah tersadar dari
kerasukannya. Lalu dia memanggil Simardong dan Simerdeng yg lagi sembunyi
ketakutan untuk bersama kembali ke gubuk.
Sekujur
tubuh ketiga makhluk berbeda itu sudah basah kuyup disiram hujan lebat. Mereka
cepat cepat kembali ke gubuk untuk berlindung sambil memastikan apa yang
terjadi disana.
Hujanpun
sudah mereda. Di langit sebelah Utara sampai Timur terlihat dari teluk kecil
dibalik Kampung Tanjung pun sudah mulai tenang tak terlihat sambaran-sambaran
cahaya lagi. Menunjukkan bahwa di belahan sanapun badai telah reda.
Hampir
menginjakkan kakinya ke anak tangga, tiba tiba betapa kagetnya sang nenek. Ia
melihat ada seonggok tubuh di bawah tangga yang hampir saja terinjak olehnya.
Sambil mengkibas-kibaskan kulitnya yang basah Simardong mengendusi tubuh yang
terlempar jatuh dari atas gubuk. Simerdeng menaik-naikkan kulit tipis di atas
bibirnya sehingga keempat taringnya terlihat jelas. Ia melompat-lompat di sisi
tubuh yang kelihatan mulai bergerak-gerak itu.
Dengan
berhati hati secara perlahan lahan si nenek membuka balutan daun bakung yg pada
bagian dalamnya telah dilumuri adonan obat dari jenis temu-temuan dan akar akar
pohon tertentu untuk menutupi luka yg menganga pada perut si laki laki paruh
baya itu.
Alangkah
gembiranya hati si nenek. Senyumnya mengembang dari bibirnya yang telah keriput.
Ketika dilihatnya luka si korban telah sembuh tanpa meninggalkan bekas sama
sekali. Suhu badannya pun sudah kembali normal. Tangan dan kakinya mulai
bergerak-gerak. Walau matanya masih terpejam kemudian terlihat mulai
bergerak-gerak mau terbuka.
Si nenek
lalu meminumkan kepada si korban sisa darah sepasang ayam sesajian tadi melalui
sebuah wadah mangkok berwarna hitam berkilat terbuat dari batok kelapa. Darah
segar dari sepasang ayam berbeda warna bulu sisa dari sesajen ritual
persembahannya bagi jembalang Aek Doras yg dilarungkan si nenek bersama
sesajian lainnya tadi.
Tak lama
mata sang lelaki itu terbuka. Ia mulai mengamati sekitar dengan nanar. Sampai
ketika ia melihat ke arah si nenek yang sedang menyingkir darinya karena baru
selesai menegukkan sesuatu padanya. Ia kaget dan terkejut bukan kepalang.
Dengan sangat ketakutan sekali spontan ia melompat bangun lari lintang pulang
tak tentu arah.
Simardong
bangkit hendak berlari mengejarnya namun dicegah sang nenek. Si nenek meminta
kepada kedua anak asuhnya itu untuk membiarkan si lelaki pergi berlalu dari
situ, ia sudah sembuh.
Kemudian
mereka bertiga kembali naik ke gubuk. Si nenek melepas semua pakaian yg
dikenakannya lalu pergi ke belakang membersihkan seluruh tubuhnya. Setelah itu
ia kemudian mengganti pakaiannya yang basah tadi dengan pakaian lain.
Setelah
bersalin ia lalu beranjak berbaring ke atas dipan di pojok gubuk untuk
beristirahat tidur seolah tanpa kejadian apapun. Tak lama haripun telah
menjelang subuh.
Dinihari
itu sebelum memejamkan mata si nenek meraih sesuatu dari bawah kolong dipan
bambunya. Lalu dari guci tembikar itu ia meminum beberapa teguk isinya.
Sepertinya minuman herbal dari berbagai daun daunan, temu temuan dan akar
akaran hasil ramuannya sendiri. Cairan itu cukup untuk menghangatkan tubuhnya
yang kedinginan setelah lama didera hujan lebat tadi.
Seperti
biasa setiap menjelang tidur tak lupa sang bunda meminta pada "debata na
bolon" kepercayaannya. Ia belum mengenal agama (animisme) tapi menganut
suatu kepercayaan turun temurun yg memuja arwah para leluhur serta makhluk
makhluk dari alam lain. Kepercayaannya itu disebut pelbegu.
Ia berdoa
agar para leluhur dan alam melindungi puteranya dari mara bahaya, menjaga
puteranya dari hal hal buruk dan
menolong putera tercintanya bila ditimpa musibah. Ia tak lupa barang seharipun mendoakan
Simardan putera tercinta yang berada jauh entah dimana berpisah jarak darinya.
Sementara
itu disana jauh di belahan Utara Selat Malaka badai baru saja reda. Perahu yg
dikendalikan Simardan bersama tiga
penumpang lainnya terdampar pada sebuah pulau kecil.
Perahu itu
sudah hampir penuh air hujan bercampur air laut yg masuk. Seluruh pakaian dan
tubuh merekapun sudahlah basah kuyup. Ketiga teman Simardan di perahu itu sudah
tergeletak terbaring lemah di lantai dengan tangan terjuntai menggelantung di
sisi perahu. Tubuh mereka bertiga tampak lunglai tak berdaya sudah kehabisan
tenaga.
Lain
halnya dengan Simardan yang baru saja berjuang melabuhkan perahunya di pulau itu
dari hantaman ombak beserta tiupan angin kencang. Ia tetap tegar dan masih
tampak bertenaga.
Lalu ia
melompat ke daratan kemudian mengikatkan perahu pada sebatang pohon mangrove di
tepian. Pulau itu tanahnya merah kekuning kuningan berpasir. *Bila ditelisik dari ilmu pertambangan jenis
tanah seperti itu lazimnya banyak mengandung kadar bauksit, bahan baku
pembuatan alumunium.
Simardan
mulai curiga dengan pulau itu. Mengendap-endap ia memasuki pulau bauksit itu (sekarang dikenal dengan nama Pulau Bintan.
Disana terletak kota Tanjung Pinang sebagai ibukota Provinsi Kepulauan Riau).
Semakin ke
dalam Simardan masuk, kawasannya terlihat semakin bersih dan rapi. Tanaman
tanaman juga rumput disana terhampar tertata baik. Tanda tanda pulau itu ada
penghuninya.
Nun ke
dalam daratan sana pada subuh buta itu samar samar tampak bayangan sebuah rumah
panggung berukuran sedang. Lentera dan pelita penerangannya tidak menyala.
Mungkin sengaja dimatikan penghuninya karena takut dapat menimbulkan kebakaran
karena diterbangkan angin kencang tadi malam.
Semakin
mendekati gubuk Simardan semakin hati hati dan makin waspada. Agar tak
mengeluarkan suara ia menggunakan ilmu meringankan tubuh. Sesekali tampak
berlari dari balik sebatang pohon ke batang pohon lainnya. Kadang ia melompati
saja lalu mengendap-endap makin mendekat ke rumah panggung itu.
Tiba tiba
dengan satu hentakan pada ujung kaki
tubuhnya telah melenting ke atas bubungan rumah. Atap sirap yang terbuat
dari kulit
kayu
pilihan itu dibukanya satu. Dari lobang yg terbuka itu Simardan mengamati seisi
rumah.
Dilihatnya
ada enam kamar di rumah kayu bertiang itu. Satu kamarnya berukuran lumayan
besar terletak terpisah dari lima kamar lainnya.
Kamar-kamar
yang berukuran kecil itu dua terletak di ruang tengah berhadapan dengan kamar
besar itu, sedang tiga lagi terdapat di ruang belakang. Masing masing kamar
kecil itu diisi satu orang laki-laki berpakaian sama seperti pada kamar kecil
lainnya. Semua sedang tertidur pulas di atas ranjang. Kelihatannya baru saja
mereka terlelap.
Bagaikan
angin saja hampir tak mengeluarkan suara Simardan melompat ke bawah dan
berhasil masuk ke kamar utama. Lalu dengan mengendap endap ia mendekati
ranjang.
Mungkin
karena ada jebakan atau karena hal tak sengaja kaki Simardan menyentuh sesuatu
yang terhubung ke sebuah guci lalu jatuh ke lantai. Sepasang manusia di atas
tempat tidur besar itu tersentak bangun, terkejut ada orang masuk ke kamarnya.
Seorang wanita muda berparas cantik berkulit putih mulus dan seorang lelaki
berbadan kekar berkulit coklat kehitaman.
Simardan
selama ini sudah mengendus keberadaan pulau kecil itu. Salah satu pulau tempat
penimbunan harta gelap Badogol bersama gundik simpanannya.
Bila
Badogol kembali ke kapal lanun meninggalkan sang wanita, maka sang gundik kerap
melakukan perselingkuhan dengan para kaki tangan Badogol di pulau itu. Singkat cerita, gundik Badogol dan
laki-laki selingkuhannya tewas dibunuh Simardan.
Sementara
kaki tangan Badogol di rumah itu maupun yang tersebar di pos-pos di pulau itu
semuanya menyerahkan diri pada Simardan karena telah mereka kenal sebelumnya
yang tak lain adalah Panglima mereka di kapal bajak laut. Simardan dan Raja
Rompak mereka ketahui sejak lama telah dikhianati oleh Badogol namun tak berdaya
melawan kelicikannya.
Sebagian
dari para anak buah kapal lanun itu mereka terpengaruh oleh hasutan dan ajakan
Badogol bergabung menjadi prajurit bayangannya. Mereka diatur sedemikian rupa
dengan siasat dalam melarikan dan menyembunyikan sebagian hasil rompakan
kelompok lanun Lancang Hitam.
Mulai saat
itu di pulau bauksit ini Simardan bersama prajurit yg masih setia padanya
membangun kerajaan kecilnya. Dia bersama para anak buahnya memulai kehidupan
baru. Kehidupan yg meninggalkan dunia hitam penuh kejahatan, kekerasan dan tipu
muslihat. Harta simpanan Badogol di pulau itu menjadi harta pampasan sebagai
modal awal mereka memulai bisnis perdagangan yang legal.
Dengan
dibantu sang saudagar asal Kampung Tanjung pemilik perahu bersama dua temannya yg telah diselamatkan
Simardan. Kini mereka telah menjadi sahabat setia satu sama lain saling bantu
membantu.
Para
sahabat baru Simardan itu memang punya pengalaman dalam urusan perdagangan.
Mereka sebelumnya sudah banyak menjalin hubungan dagang dengan beberapa negeri
di Andalas maupun di tanah seberang.
Sejak saat
itu dengan modal awal dari timbunan harta gelap Badogol yg disita Simardan,
mereka mulai merintis membangun sebuah kerajaan bisnis perdagangan antar negeri
di kawasan Selat Malaka. Bahkan sang saudagar dan dua rekannya telah membawa
seluruh keluarga mereka dari negeri asal untuk tinggal menetap selamanya di
pulau itu. Mereka bersumpah setia bersama sama bahu membahu akan membantu
memajukan bisnis dagang Simardan.
Setelah
bertahun tahun dan merasa cukup kuat, pada suatu hari dengan dipimpin Simardan
mereka bersama para prajurit setia menyerang Badogol dan pasukannya di pulau
rahasia markas tempat persembunyian mereka yg telah diketahui Sumarman. Saat
itu kawanan pengkhianat itu sedang bersembunyi sambil beristirahat selepas
melakukan aksi perompakannya tadi malam. Kebiasan dan prilaku mereka seperti
itu serta kelemahan kelemahan lainnya sudah sangat dipahami oleh Simardan.
Akhirnya
Badogol pun tewas langsung ditangan Simardan. Pasukan yg masih setia pada
Badogol dihabisi, sedangkan mereka yg menyerah dan kembali ke pangkuan Simardan
diberi pengampunan. Kapal Bajak Hitam serta harta lanun lainnya disita sebagai
harta pampasan perang.
Jari
berganti hari waktu pun terus berputar. Pada masa itu sebuah kerajaan besar di
ujung Timur Andalas sudah ada Kerajaan Budha Sriwijaya yg kekuasan dan
pengaruhnya di kawasan Selat Malaka bahkan di Nusantara sudah mulai melemah.
Jalur perdagangan yang selama masa itu bersinar jaya mereka kuasai perlahan
mulai meredup.
Sampai
pada masa Simardan itu, dimana ada pula pengaruh dan kekuasaan yg datangnya
dari sebuah kerajaan besar di ujung Barat Andalas. Ialah Kerajaan Islam
Samudera Pasai, Aceh. Dimana pengaruh dan kekuasaannya telah mulai masuk hampir
ke seantero pesisir Timur Andalas. Begitu pula negeri-negeri kecil di
pulau-pulau di luar pantai Andalas yg masih di kawasan Selat Malaka itu sudah
dalam pengawasan armada laut dari kerajaan besar ini.
Seiring
perjalanan waktu, Simardan rupanya sudah menjadi salah satu rekan bisnis
kerajaan Aceh dan sudah pula diberikan kepercayaan untuk membantu Panglima
Selat Armada Laut Kerajaan Aceh.
Karena
posisinya itu Iapun diangkat sebagai keluarga kerajaan sebagai hadiah dan
penghormatan atas keberhasilannya dalam menumpas habis kelompok bajak laut
selat besar yg ditakuti itu. Sebuah
kelompok panin yg tak lain adalah Kapal Lancang Hitam berpanji tengkorak putih
bersilang. Kapal lanun yang selama ini menjadi momok bagi semua pelayar di
Selat Malaka.
Sudah lama
kelompok bajak laut itu menjadi musuh yg amat ditakuti kapal-kapal juga para
saudagar yang akan ataupun sedang melintasi selat itu. Para bajak laut ini
semakin menjadi jadi setelah kelompok mereka dipimpin oleh Badogol yang
terkenal sangat ganas, rakus dan tak berperikemanusiaan.
Sebelum
Simardan berhasil menumpas kelompok bajak laut Selat Malaka, sudah lama
raja-raja dari seluruh negeri ingin mengadakan pertemuan besar guna menumpas
kelompok lanun ini. Bahkan sebelumnya banyak diantara kerajaan kerajaan itu
telah pula mengadakan sayembara secara sendiri sendiri. Sayembara itu
disampaikan pada penduduknya masing masing. Bagi siapa saja yg dapat menangkap
pemimpin lanun, apalagi bila ia dapat menghancurkan kelompok rompak laut
Lancang Hitam berpanji tengkorak bersilang itu akan diberikan hadiah besar
serta jabatan penting dalam kerajaannya. Dia akan diangkat sebagai bangsawan
negeri atau ia dapat memilih puteri raja diantara kerajaan-kerajaan itu sebagai
istrinya.
Karena
Simardan telah berhasil menumpas bajak laut itu, oleh kerajaan besar Samudera
Pasai di masa sebelum masa Iskandar Muda, ia diberi gelar kebangsawanan
"Teuku" (oleh pengucapan
masyarakat pesisir Timur Andalas lainnya sedikit berbeda dengan logat
masyarakat Aceh. Dimana pertemuan dua vokal "e" dan "u"
pengucapannya menimbulkan bunyi konsonan "ng". Sehingga penyebutan
"teuku" menjadi "tengku").
Sementara
itu raja-raja negeri seberang di tanah semenanjung memberi gelar pula bagi
Simardan dengan "Hang" sang Panglima Laut.
Karena
kedua gelar itu melekat pada diri Simardan seorang. Lama kelamaan para pelayar
di selat itu akhirnya menjadi terbiasa
menyebut Teuku Hang dengan
menyingkatkannya saja agar mudah diucapkan menjadi Tek Hang Simardan. Lama
kelamaan pengucapannya disingkat pula berubah menjadi Tekong Simardan.
Begitu
pula halnya dalam permainan bola keranjang (takraw) yang dikenalkan Simardan di
negeri barunya kemudian meluas menjadi populer dan amat disenangi sampai ke
tanah semenanjung. Dimana dalam permainan itu salah satu posisi pemainnya,
posisi yg biasa ditempati Simardan dalam bermain disebut dengan
"tekong". Posisi itu menjadi pemimpin (kapten) tim di lapangan.
Mungkin
karena kebiasan itulah penamaan nakhoda bagi kapal kapal kecil di Selat Malaka
menjadi kelaziman disebut dengan "tekong". Menunjukkan Simardan
dahulunya adalah seorang pelaut yang amat tersohor dan terkenal. Ia sangat
dihormati dan disegani di Selat Malaka.
Kita
tinggalkan dulu perairan Selat Malaka yg penuh kepentingan dan dinamikanya itu.
Kembali sejenak kita ke daratan ke Kampung Tanjung. Sebuah kampung di pertemuan
dua buah sungai yg pada masa itu sudah mulai ramai didatangi dan disinggahi
penduduk dari negeri lain untuk berdagang ataupun mencari kehidupan baru
disana.
Beberapa
hari belakangan itu penduduk disana
terasa gelisah. Penduduk Kampung Tanjung resah karena ada seorang
pergajul muncul disitu. Ia seorang penjahat kampung yang sudah lama tersiar
kabar di tengah tengah masyarakat sana bahwa sang bandit mereka yakini sudah tewas akibat diramai
ramaikan penduduk beberapa tahun yang silam. Tapi kini tiba-tiba ia muncul di
sebuah kedai kopi dekat tangkahan umum tempat bertambatnya perahu perahu
pendatang.
Tangkahan
itu bersebelahan dengan pasar tempat berjualan. Tempat pertemuan antara
orang-orang yang akan menjual dengan orang orang yg akan membeli barang barang
kebutuhan hidup sehari hari. Orang orang setempat menyebutnya
"pajak".
Jual beli
di pasar itu bisa menggunakan uang logam berbentuk koin dapat pula secara
barter, yaitu tukar menukar barang dengan barang lainnya diantara mereka sesuai
kesepakatan bersama.
Sang
penjahat kambuhan yg hilang dan kini telah kembali itu dikenal orang orang
kampung setempat dengan panggilan Ongah Gombung. Dipanggil Ongah karena dari
urutan mereka bersaudara adik beradik kandung ia merupakan anak kedua yg berada
di tengah-tengah dari tiga orang bersaudara. Karena berperawakan gemuk dan
berperut buncit seperti gembung ditambahi orang panggilannya menjadi Ongah
Gombung.
Abang
Ongah Gombung yg tertua atau juga yg sulungnya dipanggil orang orang dengan
Ulong Incit. Ia sudah meninggal dua tahun yang lalu. Matinya juga tragis,
karena dibenam dan dihanyutkan penduduk di Sungai Silau dengan tangan dan kaki
dalam keadaan terikat. Ulong Incit tertangkap basah penduduk saat masuk pada sebuah
rumah disana. Dia ditangkap penduduk dan tak sempat melawan saat hendak
memperkosa anak gadis sang pemilik rumah. Lalu penduduk yg marah meramai
ramaikannya sampai tewas.
Setelah
meninggal diketahuilah bahwa rupanya abang Ongah Gombung itu banyak meninggalkan
istri. Ada empat orang istri yg ditinggalkannya. Mereka tersebar di beberapa
tempat yg berdekatan dengan Kampung Tanjung.
Ia juga meninggalkan keturunan yg cukup banyak. Ada sekitar 23 orang
anaknya putera dan puteri. Anak anaknya itu sebelum Ulong Incit tewas sebagian
sudah berkeluarga dan sudah pula mempunyai keturunan. Artinya mendiang Ulong
Incit banyak pula meninggalkan cucu.
Adik Ulong
Incit dan Ongah Gombung yang paling bungsu adalah seorang perempuan. Kini sudah
pula menjanda karena ditinggal hidup suaminya yg pergi merantau entah kemana.
Sudah bertahun tahun pergi dan tak pernah kembali lagi. Si bungsu mempunyai 9
orang anak. Perempuan janda ini sudah beberapa kali mengalami kawin cerai. Baik
karena kematian suami ataupun karena berpisah hidup karena ditinggal pergi
suami.
Terakhir
kali sebelum ini ia terdengar mengganggu suami orang. Penduduk Kampung Tanjung
menjadi muak padanya hingga bersama sama mengusirnya dari kampung itu. Tak
berapa lama setelah terusir, ia akhirnya meninggal di sebuah kampung di
seberang Kampung Tanjung.
Semasa
hidupnya wanita ini sering membuat fitnah diantara orang orang. Suka menebar
gosip berita yg tak benar. Jika pun benar sering menambah nambahi, melebih
lebihkan dari cerita yg sebenarnya. Ia juga gemar mengakal akali orang
lain, suka membual dan bercerita bohong
bila sedang dipasar ataupun ketika bertandang ke rumah orang. Ia suka pula
mengambil dan menguasai milik orang lain yg bukan miliknya. Ia seorang pengutil
dan panjang tangan.
Sifat tak
terpuji itu sepertinya menjadi warisan mereka adik beradik. Ternyata orang tua
mereka dahulu semasa hidupnya juga terkenal dengan kebejatannya. Mereka
adalah suami istri yg sering mengambil
hasil tanaman penduduk penduduk. Mereka juga senang mengutil barang barang pedagang
di pasar. Penduduk disana memanggil orang tua Ongah Gombung dengan gelar incek
Tansil, incek pantang silap dan istrinya dengan unde Baskom si bosar kombur.
Bila mereka berhutang kebiasaannya payah membayar, bila berjanji susah
menepati, bila dipuji lupa diri, bila disanggah sering berulah, bila dingatkan
sering berpura pura tak ingat, bila disalahkan mereka tak mau menerima. Saat di
tengah orang orang tak mau dikebelakangkan ingin tetap dikedepankan, tapi
begitu diberi kesempatan untuk tampil ke depan malah bersembunyi ke belakang.
Mereka berdua suami istri punya sifat yg sama, sering lempar batu sembunyi
tangan tak mau bertanggung jawab pada suatu masalah yg dibuat mereka sendiri.
Banyak lagi sifat-sifat tidak terpuji yg mengalir dari darah keluarga yg
dibenci masyarakat ini.
Siang itu
kedai kopi Wak Bagan nama sang pemilik sontak menjadi ramai. Ongah Gombung
sedang mentraktir semua yang makan dan minum di kedai kopi itu. Mimik wajahnya
datar saja di tengah orang ramai itu seolah tanpa beban. Dikesempatan itu iapun
mulai bercerita panjang lebar. Tak berapa lama kedai kopi itupun penuh
pengunjung, bangku bangkunya penuh terisi. Orang orang saling berdesakan
disana. Saat itu iapun mulai "mangulok" membual tentang dirinya.
Menurut
pengakuannya dihadapan orang orang disitu ia kini sudah jaya. Dahulu dia pergi
dari kampung ini merantau ke sebuah negeri untuk merubah nasib. Setelah
berkelana kesana kemari akhirnya ia sampai pada suatu negeri. Disana dia banyak
menuntut ilmu perdukunan. Kini dia sudah
dapat mengobati segala macam penyakit. Disamping itu dia kini juga punya ilmu
kebal. Karena kini ia ada memiliki sebuah jimat "rantai babi" yang
dahulu ditemukannya dari sebuah hutan belantara. Jimat itu sekarang ada
dibawanya. Bila orang orang disitu ada yang berminat, ia rela melepasnya bila
ditukar dengan sebuah perahu berukuran sedang lengkap dengan isinya. Isinya
boleh berupa hasil hasil ladang ataupun boleh juga hasil hasil hutan yg dapat
dijual. Atau boleh juga diganti dengan uang mas maupun perak yang nilainya
setara dengan itu.
Rupanya
diam-diam Wak Bagan pemilik warung itu akan dijadikan Ongah Gombung sebagai
target korban penipuannya saat itu. Ulok dan bualnya yg maut serta didukung
kemampuan bicaranya dalam meyakinkan para pendengar bak seorang penjual obat.
Dia dapat meyakinkan orang ramai serta Wak Bagan bahwa jimatnya itu juga dapat
mendatangkan keberuntungan. Bila memilikinya dapat menjadikan pemiliknya kaya
raya. Bila dibawa berdagang dia akan mujur dan bila dibawa melaut ataupun
berladang dia nanti akan mendapatkan hasil yg berlimpah ruah.
Trik Ongah
Gombung nampaknya berhasil. Akhirnya si pemilik warung tergoda juga. Ia tergiur
untuk dapat memiliki jimat itu. Wak Bagan pun berjanji akan membayarnya dalam
waktu beberapa pasang besar nanti ia akan memenuhi semua yang dimintakan Ongah
Gombung. Dan mulai hari itu sampai dipenuhinya kesepakatan mereka Ongah Gombung
boleh tinggal menginap serta makan dan minum sepuasnya di kedai kopinya itu.
Malam itu
Ongah Gombung tidur dengan lelapnya di rumah pemilik kedai kopi. Keesokan pagi
setelah sarapan di kedai kopi yg menjadi bagian depan dari rumah pemiliknya itu
Ongah Gombung kelihatan segar. Menghadap ke jalanan kakinya diselonjorkan di
atas sebuah bangku panjang dengan badan bersandar lurus pada dinding. Sambil
menikmati segelas kopi panas bergula aren. Di atas meja di depannya terletak
seikat gulungan kecil rokok daun pucuk nipah. Disamping seikat rokok daun itu
ada pula sebuah uncang kecil dari kain yg bagian atasnya terbuka berisi
gumpalan tembakau kering berwarna coklat kehitaman.
Kemudian
ditariknya sebatang rokok daun dari ikatannya, lalu sebatang lagi. Kedua
gulungan rokok daun itu dibuka dari bentuknya yang bergulung menjadi melebar.
Setelah itu kedua lembar rokok daun itu dilapis bertindihan dilinting menjadi
satu. Setelah rapi lalu ditambahkannya dengan sejemput tembakau kering sampai
hampir memenuhi separuh dari lebar rokok daun itu. Setelah berisi tembakau lalu
rokok daun itu digulungnya kembali membungkus tembakau.
Dengan
santai rokok daun yang telah berisi tembakau itu diselipkannya di sela bibirnya
yang hitam sedikit tebal itu. Tampak bentuk barisan giginya yg tak beraturan.
Rapat berlapis satu sama lain bertimpa dan tak pula rata bentuknya. Warna
giginya kuning kehitaman bekas noda getah tembakau yg menempel di sela sela
bawahan gigi.
Setelah
rokok daun itu siap bibir iapun beranjak bangkit menuju tungku pemasakan kopi.
Diambilnya sebatang kayu api dari tungku itu yang masih berbara pada ujungnya.
Lalu disulutnya rokok daun yang sudah terselip diantara bibirnya yg sudah siap
menanti sang api.
Ketika
bara kayu itu ditampilkannya pada ujung rokok daun itu, lalu dihisapnya dalam
dalam. Akhirnya menyala, asap rokok keluar dari kedua lobang hidungnya yang
rada besar. Iapun kembali ke kursi panjang duduk menselonjorkan kedua kaki
sambil menyandarkan badannya ke dinding mengarah ke jalanan.
Satu-satu
pengunjung mulai berdatangan singgah di kedai kopi itu. Mereka adalah para
nelayan yang akan berangkat ke laut. Ada juga para pedagang ataupun pembeli yg
akan berangkat ke pasar. Pengunjung satu satu mengisi bangku bangku yang
disediakan di warung itu sambil memesan minuman ataupun makanan ringan disitu
berupa penganan kue kue yang dimasak kukus seperti lepat, ketupat, ombus-ombus,
ubi rebus, pisang rebus, dll.
Setelah
melihat pengunjung kedai sudah mulai ramai, Ongah Gombung mulai menjalankan
rencananya. Ia mulai "mangulok mambongak" (membual) di hadapan orang
orang di kedai itu. Dia membesar besarkan dirinya. Menyebutkan bahwa dirinya
selama ini telah berhasil diperantauan. Itu semua berlaku setelah ia memakai
sebuah jimat yg didapatkannya dari sebuah hutan rimba. Dia pada waktu itu
sedang berjuang mengobati luka di tubuhnya.
Dalam
uloknya ditambahkan pula bahwa ia telah mempelajari berbagai ilmu pengobatan
dari banyak orang sakti. Salah seorang gurunya adalah seorang sakti yg
memelihara seekor monyet putih dan seekor anjing hitam yang dapat mengerti
pembicaraan tuannya. Katanya pula mengarang ngarang bahwa gurunya itu ada
mempunyai seorang anak laki laki yang sangat nakal. Sering membentak menghardik
ibunya bila si ibu tidak segera memenuhi permintaannya. Karena sudah sangat
keterlaluan dan juga sudah mengancam akan membunuhnya, si ibu lalu mengusir
sang anak dari rumah mereka. Sekarang anak durhaka itu pergi entah kemana tak
tahu dimana rimbanya.
Ongah
Gombung kembali melanjutkan bualan kombur malotup dan bongaknya di kedai itu.
Orang-orang pun semakin ramai berdatangan ingin mendengarkan cerita si Ongah
Gombung yang katanya sudah punya banyak kelebihan dan reputasi. Memang Ongah
Gombung orangnya pandai berbicara, menarik untuk didengarkan membuat orang
orang senang berlama lama mendengarkan ocehannya. Dia sangat piawai meyakinkan
orang orang yg terhipnotis mendengar bualannya bagai seorang tukang obat
pinggir jalan yg pandai memancing orang orang datang merapat mendengarkannya.
Tanpa
terasa rokok daunyapun sudah hampir habis seikatan dihisap sambung puntung.
Komburnya semakin menjadi-jadi meletup letup. Ia lalu melanjutkan uloknya,
bahwa si orang sakti gurunya itu setiap bulan purnama tiba harus mengambil
korban seorang anak sebagai tumbal untuk dipersembahkan pada dewa dan darahnya
diminum sang guru.
Orang-orang
semakin mendekat sambil berbisik-bisik mengatakan pantaslah banyak anak-anak
yang hilang. Baru saja kemarin ada anak yang hilang. Setelah beberapa hari si
anak ditemukan kembali di suatu kampung yg lain dalam keadaan kumal dan
linglung.
Rupanya
bisik-bisik mereka itu didengar oleh Ongah Gombung. Lalu secara spontan iapun
meramunya sedemikian rupa. Dengan penuh percaya diri seolah olah tahu, dia lalu
mengatakan bahwa beberapa hari yang lalu di satu kampung di pinggiran Kampung
Tanjung ini ia telah membebaskan seorang anak. Anak itu awalnya akan menjadi
korban si orang sakti yang tak lain gurunya sendiri. Karena si orang sakti tak
mau melepaskan si anak, maka secara terpaksa dia harus melawan gurunya itu
seorang diri. Ia menghadapi si orang sakti gurunya itu yg dibantu kedua
binatang pendamping setianya sekaligus. Kata si Ongah Gombung sebenarnya ilmu
mereka berimbang tapi dia masih dapat mengungguli mereka karena dia memakai
sebuah ajimat. Lalu si anakpun berhasil
ia bebaskan. Itulah sebabnya sejak itu kemudian pergi menghindar karena tak
tega membunuh gurunya sendiri.
Sejak saat
itu berkembanglah cerita dari mulut ke mulut di tengah tengah masyarakat
Kampung Tanjung dan sekitarnya bahwa di Selatan Kampung Tanjung ada seorang ibu
tua yang mempunyai seorang anak lelaki durhaka. Anak durhaka itu sekarang
merantau entah kemana. Karena sang ibu merasa menyesal telah mengusir anaknya
sendiri jiwanya goncang menjadi gila dan membenci setiap anak anak. Ia kini
kerap memangsa anak-anak bila masuk atau tersesat ke wilayahnya untuk dijadikan
persembahan ritual ilmunya.
Cerita
dari mulut ke mulut masyarakat Kampung Tanjung yang pada awalnya adalah
rekayasa dan disebarkan oleh Ongah Gombung si raja kombur itupun menjadi
meluas. Dari waktu ke waktu ceritanya mengalami perkembangan di masyarakat
sehingga menjadi cerita Simardan Anak Durhaka. Padahal tidak seperti itu
adanya.
Hari ini
masuk hari ketiga sudah si raja ulok Ongah Gombung makan tidur di kedai itu.
Hebatnya sejak adanya Ongah Gombung disitu kedai kopi Wak Bagan semakin ramai
pengunjungnya. Pemilik kedai menjadi semakin yakin ini semua karena ada
pengaruh dari jimat yang dibawa Ongah Gombung. Semakin kuatlah hatinya untuk
memiliki jimat itu.
Waktu
terus berjalan. Siang itu menjelang tengah hari saat dimana warung sedang
ramai-ramainya pengunjung yg akan menghapus dahaga ataupun sekedar mengisi
perut yg sudah keroncongan. Bersamaan
itu melintas pulalah di depan warung seorang yg anggota badannya lumpuh dan
matanya buta. Ia dipandu seorang anak muda. Mereka pengemis yg sedang melintas
meminta minta pada orang-orang yang lalu lalang disitu dekat kedai kopi Wak
Bagan tempat Ongah Gombung menginap.
Sekilas
Ongah Gombung melihat mereka. Bak seorang dermawan yg berempati pada sesama ia
lalu memanggil pengemis itu dan menyuruh mereka segera masuk ke kedai. Lalu
merekapun masuk.
Setelah
pengemis itu masuk Ongah Gombung meminta orang-orang di warung untuk
mengosongkan dan membersihkan sebuah meja. Di atas meja itu kemudian mereka
beramai ramai membaringkan si pengemis yg buta dan lumpuh itu.
Setelah
sang pengemis yg lumpuh dan buta itupun dibaringkan, Ongah Gombung lalu
mengambil sebuah uncang kecil dari balik baju dan membukanya. Kemudian Ongah
Gombung mengambil sebuah batu hitam seukuran buah rukam. Kemudian batu hitam
itu ia lulur-lulurkan di sekujur tubuh pasiennya. Mulai dari tapak kaki sampai
ke ubun-ubun sang pengemis. Mulut Ongah
Gombung nampak komat-kamit seperti mengucapkan mantera. Sesekali ia seakan
bersenadap dengan kedua telapak tangannya, dijumpakannya sejajar dada seakan
bersemedi. Seolah mengumpulkan tenaga dalam lalu dialirkannya ke tubuh si
lumpuh.
Sekonyong konyong tubuh si lumpuh
sontak terlempar dari meja itu dan tak dinyana seketika itu ia dapat mulai
berdiri tanpa bantuan lalu mencoba berjalan.
Kemudian
si Ongah Gombung terlihat meniupkan nafas bertenaga dalam tepat pada ubun-ubun
si pengemis yg buta dan lumpuh itu. Setelah itu ditiupkannya pula pada mata dan
kedua kuping sang pengemis.
Pada saat
Ongah Gombung akan menghembuskan tenaga dalam pada kuping si pengemis, saat itu
dia sempatkan membisikkan sesuatu agar mereka berdua cepat berlalu dari situ.
Nanti mereka berjumpa di suatu tempat yg telah mereka sepakati bersama
sebelumnya. Nanti mereka akan menerima upah dari Ongah Gombung atas sandiwara
mereka itu.
Rupanya
mereka adalah sebuah komplotan penipu yang telah mengatur siasat sebelum
melakukan aksi penipuan terhadap para calon korbannya.
Dipendekkan
cerita. Malam itu seseorang sedang mengintai kedai kopi Wak Bagan tempat Ongah
Gombung menginap itu. Pengintai itu adalah seorang penduduk pendatang baru di
kampung tanjung. Awalnya ia dahulu masuk kesana dengan menumpang perahu layar
milik seorang saudagar disana. Seorang saudagar yang sering berlayar dari Tanah Deli di Barat Laut
Kampung Tanjung untuk berdagang. Pengintai rumah Wak Bagan itu penduduk baru
Kampung Tanjung asal suku masyarakat gunung Tanah Karo. Ia bernama Kala Purba.
Namanya
itu adalah pemberian orang tua. Dumana sewaktu ibunya berjuang hendak
melahirkannya dahulu saat itu persalinannya dibantu seorang dukun beranak.
Ketika berjuang hendak melahirkannya itu sang ibu melihat seekor kalajengking
sedang merayap di cangkul suaminya yang bermarga Purba. Cangkul itu seperti
biasa ditaruh suaminya dibalik pintu di pojokan rumah. Setelah puteranya itu
lahir diberilah dengan nama Kala lalu diikuti marga dari sang suami sehingga
nama sang anak menjadi Kala Purba.
Sejak
semula si Kala Purba ini ketika memasuki
kampung tanjung ia berniat ingin menjadi centeng disana. Menjadi jagoan kampung
agar mudah mencari penghidupan disana.
Begitu ia
mendengar dari orang-orang di kampung tanjung bahwa ada tamu yang menginap di
kedai kopi itu seseorang yang sakti karena memiliki sebuah ajimat. Iapun
tergerak untuk mencurinya.
Akhirnya
tengah malam itu ia berhasil masuk ke rumah pemilik kedai kopi itu ke kamar
dimana Ongah Gombung tertidur pulas. Lalu Kala Purba melarikan sebuah uncang
kecil dari bawah bantal si raja ulok yang sedang mendengkur tertidur pulas.
Setelah
berhasil mencuri uncang Ongah Gombung yang berisi jimat, dengan tergesa gesa
Kala Purba mengendap-endap keluar dari kedai kopi itu melalui tingkap yg
dirusaknya tadi. Iapun kabur dari kampung itu menghilang di kegelapan malam.
Setelah
merasa cukup aman, iapun beristirahat di suatu tempat di bawah pohon rindang di
tepi sebuah hutan. Disitu dengan penuh kehati hatian dia mencoba membuka uncang
curiannya itu. Dari dalam uncang dikeluarkannya sebuah benda liat berlendir
berbentuk kalung. Ia yakin itulah jimat rantai babi itu. Lalu tanpa berfikir
panjang dengan cepat dikalungkannya
benda itu ke lehernya.
Tak berapa
lama setelah benda itu dikenakan di lehernya, kulit lehernya terasa sangat
gatal. Lalu kulit yg gatal itu digaruk-garuknya untuk menghilangkan rasa gatal
yg amat sangat itu. Pertama dengan perlahan-lahan saja lalu semakin dan semakin
kencang.
Bukannya
rasa gatal di kulit lehernya itu menjadi hilang malah kini menjadi terasa
sangat panas dan perih. Rupanya lendir dari jimat itu telah masuk ke dalam
kulit lehernya yang luka karena digaruk terus menerus dengan kuat.
Jimat yang
disebut Ongah Gombung dengan "rante babi" itu ternyata hanyalah cuma
akar-akaran dari sejenis pohon hutan yg berbisa yg telah dilumurinya dengan
lendir ikan buntal ditambah getah kayu jelatang dan daun serta kulit pohon
berbisa lainnya.
Sekeliling
leher Kala Purba sudah mulai terluka dalam lalu mengucurkan darah kental
berwarna merah kehitaman akibat terkena racun. Sampai hari hampir pagi Kala
Purba masih terus bergelinjang kesana kemari di tempat sepi itu. Kondisinya
semakin payah akibat menahankan gatal yg amat sangat serta rasa perih lukanya
itu. Ia sudah tak sadarkan diri disana dan tak ada seorangpun yg tahu. Lama
kelamaan lehernya mulai keras membiru kemudian menjalar keseluruh badannya
menjadi kejang tak bergerak lagi. Akhirnya matilah ia disana.
Matahari
tersenyum cerah di ufuk Timur. Pagi itu Ongah Gombung si raja kombur bangun
meninggi hari. Ketika terbangun dia lalu bergegas bangkit dari kasurnya.
Seperti biasa, Ongah Gombung bila bangun pagi selalu mengangkat bantal yg
ditidurinya untuk melihat memastikan apakah uncang uncangnya sudah diambil
orang atau masih ada disitu. Ternyata pagi itu satu uncang kecilnya telah
hilang. Hebohlah ia di kedai itu. Ia mencak mencak disaksikan orang-orang yg
sedang lalu lalang maupun orang orang yg berada di sekitar situ.
Wak Bagan
sang juragan kedai kopi merasa tak enak hati dengan kejadian itu. Orang banyak
menjadi tahu bahwa tamunya telah kehilangan sebuah barang di dalam kedainya.
Kejadian itu juga disaksikan para pelanggannya yg sedang mampir.
Menutup
malunya Wak Baganpun berjanji akan mencari barang yang hilang itu dengan
perjanjian Ongah Gombung dapat tinggal dan makan tidur sepuasnya di rumahnya
sampai ditemukan kembali jimatnya yang hilang itu.
Beberapa
hari berlalu namun jimat si raja bongak belum juga ditemukan. Ongah Gombung
terus tinggal dan berlaku sesuka hatinya di kedai itu. Akhirnya Wak Bagan
menjadi bosan juga melihat tingkah si tukang ulok ini. Tingkahnya memuakkan dan
semakin menjadi-jadi.
Wak Bagan menyusun
rencana. Bersama orang orang bayarannya diaturlah sebuah siasat untuk
melenyapkan Ongah Gombung. Apalagi mereka tahu kini si raja kombur sudah tak
sakti lagi karena jimat rante babi sudah hilang darinya.
Suatu sore
seperti kebiasaan Ongah Gombung selama tinggal di rumah Wak Bagan. Sore hari
berjalan jalan mencuci mata. Bila sudah puas mencuci mata di pasar, Ongah
Gombung lalu berkemas pergi mandi ke salah satu cekungan di sebuah sisi Sungai
Silau di Kampung Tanjung itu.
Seperti
biasa sebelum mandi di sungai itu, Ongah Gombung lebih dahulu mendatangi sebuah
tempat. Ia pergi dengan mengendap-endap
di balik semak-semak lalu menuju rerumpunan pohon bambu di tepian sungai.
Tempat itu
adalah sebuah cekungan lain dari sisi sungai yg sama. Disini tempat anak anak
dara dan emak-emak mencuci, mandi ataupun sekedar membuang hajat. Para wanita
itu hanya dengan berkainkan pembalut tubuh saja. Berkain ke atas. Malah ada
pula diantara mereka begitu masuk ke dalam air sungai langsung menanggalkan
seluruh pelindung tubuh. Polos telanjang tanpa pembalut tubuh.
Kawasan
tempat anak dara dan perempuan dewasa mandi itu secara tersirat adalah tabu dan
terlarang untuk dimasuki oleh kaum lelaki.
Walaupun dia masih anak anak ataupun sudah dewasa.
Para anak
dara dan emak-emak yg asik berendam diri di sungai itu penuh tawa dan canda
ria. Mereka tak menyadari ada sepasang mata binal lagi menikmati mereka.
Sepasang mata itu terus mengikuti tingkah laku mereka sejak saat mereka mulai
menanggalkan pakaian pelindung badan satu persatu, menampakkan lekuk lekuk
keindahan tubuh seorang wanita. Sampai sesekali terlihat pula bahagian bahagian
tubuh yg paling sensitif berbalut kulit halus mulus mengguncang birahi.
Pemandangan
seperti itu selalu ditunggu Ongah Gombung. Jantungnya menjadi berdebar debar
kencang karena naiknya libido. Semakin lama semakin banyak ia menelan air
liurnya sendiri. Nafasnyapun menjadi tak menentu, dadanya naik turun tak
beraturan.
Para
perempuan muda di cekungan tepian sungai itu tidak peduli karena tidak tahu
sedang diintip. Mereka terus asik saling bersenda gurau sambil memain mainkan
air, memercik mercikkan kearah temannya yg lain. Adapula yg duduk bermalas
malasan di tepian sambil menjuntai-juntaikan kakinya memperlihatkan pahanya
yang mulus. Terkadang tak sengaja tersingkap sampai ke belahan atas. Semua
menjadi santapan liar mata jalang Ongah Gombung.
Dara-dara
tersebut terus asik membasuh seluruh badannya dari ujung jari kaki sampai ujung
rambut. Sedikitpun tak menyadari mereka sedang diintip sepasang mata nakal
jelalatan penuh nafsu. Sampai ketika mereka bersalin mengganti pakaian. Disitu
terkadang dengan sengaja mereka melepas kain bawahan pembalut tubuhnya. Dilepas
begitu saja meluncur ke bawah diantara kaki-kaki mulus semampai, membuat
jari-jari Ongah Gombung bergerak gerak. Pemandangan indah itu memberi keasyikan
tersendiri bagi Ongah Gombung yg tengah sembunyi sembunyi mengintip di balik
lebatnya rumpunan bambu.
Bersamaan
dengan itu tanpa disadari Ongah Gombong, ia sedari tadi telah diperhatikan oleh
empat pasang mata. Mereka kemudian menyergap Ongah Gombung yg terkejut tanpa
perlawanan. Lalu mereka menyumpal mulut dan mata Ongah Gombung dengan kain.
Kemudian mereka mengikatnya.
Ongah
Gombung akhirnya mereka habisi disitu dan ditinggalkan begitu saja dalam
keadaan mengambang di pinggir sungai di bawah rumpunan bambu.
Kita
tinggalkan sejenak Kampung Tanjung dengan segala dinamika dan romantika
kehidupan yg sedang terjadi disana. Karena berita bohong yg disebarkan Ongah
Gombung membuat percaya sebagian masyarakat disana pada masa itu bahwa Simardan
anak celaka karena durhaka pada ibunya.
Cerita itu
tersebar luas di tengah tengah masyarakat disana melalui kombur-kombur para
lelaki di kedai kopi. Makin meluas karena para emak emaknya ikut pula menggosip
saat bertandang dari rumah ke rumah sembari saling mencari kutu rambut diantara
mereka di atas anak tangga di depan pintu rumah panggung disana.
Kita
tinggalkan itu dahulu. Mari kita surut sejenak kebelakang melihat sewaktu
peristiwa amuk Selat Malaka tempo hari. Saat ayah angkat Simardan si Raja
Rompak yg dijatuhkan Badogol alias Beng Dong Ghuong ke laut.
Rupanya
dengan kehendak yang maha penguasa alam jagat raya, ia masih bisa selamat dari
sapuan dan gulungan ombak badai. Ketika tercebur ke laut itu ia masih sempat
meraih sepotong kayu dari serpihan pecahan sebuah peti dari atas kapal. Lalu ia
bergelayut di atas kayu itu terombang ambing kesana kemari dipermainkan ombak.
Sewaktu
Badogol terbawa gelombang air laut itu rupanya hanyut sampai membawa tubuhnya
yg pingsan ke sebuah tanjung berdekatan
dengan sebuah selat kecil (sekarang Selat Panjang) di pesisir Timur Andalas.
Tanjung kecil itu sekarang bernama Sinaboi di Riau, dimana kala itu hanya
dihuni beberapa rumah penduduk berbentuk panggung seperti kebanyakan rumah
rumah nelayan di kawasan itu. Rumah rumah panggung itu bertiang nibung,
berdinding bambu dan beratap nipah.
Setelah
peristiwa yg hampir merenggut nyawanya, sejak saat itu dia sadar atas prilaku
buruknya selama ini. Iapun insyaf lalu meninggalkan dan melupakan semua
kehidupan masa lalunya yg hitam kelam. Ia kini hidup mengasingkan diri
menjauhkan diri dari hiruk pikuk kehidupan dunia.
Raja
Rompak kini telah menanggalkan segala atribut dunianya, mengambil pilihan
sebuah jalan hidup baru. Kini ia berubah menjadi seorang biksu. Ia tinggal di
sebuah kelenteng kecil di kampung itu. Segala kebutuhan hidupnya sehari hari
berasal dari pemberian serta bantuan penduduk yg ada disitu. Penduduk disana
masa itu semuanya menganut satu kepercayaan yang sama.
Sementara
itu jauh disana di pulau Bintan. Kerajaan bisnis Simardan kini semakin maju
jaya. Ia telah membina hubungan dagang dengan hampir seluruh negeri negeri di
pesisir Timur pulau Andalas begitu pula dengan tanah seberang di pesisir Barat
Tanah Semenanjung. Begitu juga dengan negeri negeri kecil yg tersebar di Selat
Malaka itu.
Suatu hari
datanglah menghadap Simardan utusan dari Kerajaan Tumasik, suatu kerajaan di
sebuah pulau yang hanya terpisah sebuah selat kecil dengan ujung Tanah
Semenanjung. Sekarang negeri itu bernama Singapura.
Mereka
datang menghadap Simardan untuk menyampaikan undangan dari raja Tumasik agar
kiranya dapat berkenan menghadiri pesta kerajaan. Pesta itu dilangsungkan dalam
sebuah acara Pertemuan Pemimpin Negeri Negeri Kawasan Selat Malaka.
Dalam
acara itu raja Tumasik juga telah mengundang tamu-tamu istimewa dari seluruh
raja-raja di kawasan Nusantara. Juga turut pula diundang rekan-rekan dagang
dari daratan Eropa dan Tiongkok.
Pada masa
itu benua Amerika dan Australia belum dikenal dan masih asing bagi
pelaut-pelaut di kawasan itu sehingga tak turut diundang raja. Hanya negeri
negeri dari daratan Eropa dan Tiongkok lah yg kala itu sudah sangat besar
pengaruhnya di kawasan itu. Seperti negeri-negeri Prancis, Inggris, Portugis,
Belanda, Spanyol, Yunani, dll dari daratan Eropah serta Mongol Tibet, Mansuria,
dll dari belahan daratan Tiongkok.
Raja
Tumasik pada masa itu sudah mulai mengenal dan mempelajari suatu agama baru
dimasa itu yaitu Agama Islam. Agama baru ini dibawa masuk oleh para
saudagar-saudagar dari jazirah Arab. Mereka pada awalnya datang untuk berdagang
ke negeri Tumasik. Ataupun hanya sekedar transit singgah disana sebelum
melanjutkan sampai ke negeri tujuan.
Pengaruh
Agama Islam pada waktu itu yg sudah mulai sampai di kawasan Selat Malaka
rupanya berpengaruh besar pada kerajaan kerajaan Hindu dan Budha. Sebuah
kerajaan besar dimasa penghujungnya yaitu Kerajaan Sriwijaya yg terletak di
ujung Selatan pulau Andalas. Kerajaan itu masih beragama Budha pada masa itu
kejayaannya sudah mulai memudar.
Sementara
itu di ujung Barat pulau Andalas muncul pula sebuah kerajaan besar Samudera
Pasai. Raja dan penduduk kerajaan besar
baru ini sudah menganut agama Islam.
Begitu
pula di negeri negeri di Tanah Semenanjung. Pengaruh agama Islam sudah mulai
masuk menggeser pengaruh kepercayaan lama mereka. Kepercayaan yg dibawa oleh
nenek moyang mereka dahulu ke negeri ini dari Hindia Belakang, yaitu agama
Hindu dan Budha.
Secara
geografi Kerajaan Tumasik ini letak pulaunya sangatlah strategis sekali sebagai
pintu masuk para pelayar dari Laut China menuju Lautan Hindia atau sebaliknya
melalui Selat Malaka.
Karena
letaknya yg strategis itu membuatnya sejak lama tersohor menjadi tempat
persinggahan para saudagar saudagar berbagai belahan bumi bila sedang melintasi
Selat Malaka. Akibat tersohor dan banyak disinggahi lama kelamaan negeri
Tumasik inipun menjelma menjadi bandar besar yg ramai. Penduduknya makmur
sejahtera.
Karena
kemakmuran negeri mereka semakin mashyur maka semakin dilirik pula oleh
negeri-negeri lain. Terutama negeri negeri dari daratan Eropa dan Tiongkok.
Akibatnya
Raja Tumasik kuatir juga akan masa depan kerajaan dan rakyatnya bila tak
diperkuat dari sekarang. Ia takut suatu saat negerinya akan dikuasai oleh
negeri-negeri pengincar di luar sana.
Berhari
hari ia merenung dan berfikir mencari jalan keluar dari bayangan buruknya itu.
Sebuah ancaman dari luar terhadap keberadaan negeri yg dicintainya itu.
Sampailah suatu hari, saat berjalan jalan pada sebuah taman istananya (sekarang
Raffles Park Singapore) ia mendapatkan petunjuk untuk memperkuat kerajaannya.
Menjodohkan puteri tunggalnya dengan Simardan, seorang perjaka tampan gagah
berani kini berpengaruh di Selat Besar itu. Lelaki yg sangat disegani seantero
negeri di kawasan itu. Tersohor karena telah berhasil menghancurkan kerajaan
lanun yg sangat ditakuti. Ia dapat menghancurkan kelompok bajak laut itu sampai
ke basisnya bukan karena mengejar hadiah para raja negeri negeri sekawasan.
Akan tetapi lebih kepada kesadaran dan tanggung jawabnya terhadap keamanan
jalur pelayaran disitu yg selama ini telah menghidupi dan membesarkannya.
Selain masalah pribadi untuk membalaskan dendam ayah angkatnya pada Badogol.
Simardan
kini telah menjelma menjadi seorang pemuda yg kaya raya. Ia berhasil membangun
sebuah kerajaan perdagangan yg jaya di pulau Bintan.
Setelah
dipertimbangkan dari gagasannya itu ada juga rasa kekuatiran sang raja. Ia ragu
apakah raja di negeri ujung Barat (Samudera Pandai) dan Selatan Andalas
(Sriwijaya) akan merestui? Karena menurut kabar kabar burung yang sampai ke
telinganya, kedua Kerajaan itupun berlomba lomba mendekatinya. Mereka para
kerajaan besar itu sangat membutuhkan kekuatan dan pengaruh Simardan di kawasan
itu.
Oleh sebab
itulah ia membuat gelaran pesta pertemuan ini untuk mengatur siasat dan rencana
agar kedua kerajaan besar itu dapat memberikan restu padanya kelak nanti.
Berbulan-bulan
sebelum acara itu dilaksanakan dilakukan segala persiapan. Apakah itu menyangkut
penginapan para tetamu undangan, makan minumnya, menu pesta, tempat tempat
pagelaran untuk hiburan, destinasi rekreasi, acara perlombaan, dll.
Kita
tinggalkan dahulu negeri Tumasik. Beralih dulu ke Simardan. Setelah menerima
undangan dari Raja Tumasik dan sembari menunggu waktu pelaksanaannya tiba, ia
mengutus sahabatnya sang saudagar asal Kampung Tanjung didampingi lima orang
pengawal untuk berlayar ke hulu Aek Doras. Dari sana melewati Kampung Tanjung
juga gubuk ibundanya menuju sebuah negeri.
Negeri
yang dimaksud oleh Simardan adalah sebuah kerajaan kecil (sekarang Bandar
Pulo). Raja pertamanya yg membuka negeri kecil itu adalah adik kandung mendiang
ayahnya sendiri. Dahulu mereka berdua membawa keluarga masing masing sama sama
meninggalkan kampung di hulu di tepian Tao Toba. Waktu itu mereka berangkat
meninggalkan kampung asal menggunakan rakit menyusuri Aek Doras menuju hilir.
Setelah
kedua orang tua tiada mereka diusir oleh abang tertua mereka dari kampung di
hulu. Sang abang ingin menguasai seluruh areal peladangan tanah peninggalan
orang tua mereka di tepian Tao Toba (sekarang Porsea). Untuk mengusir mereka si
abang rela menebar fitnah yg menzolimi mereka berdua.
Tak tahan
terus menerus teraniaya menanggung derita merekapun akhirnya keluar dari
kampung meninggalkan tanah leluhur. Dari sana mereka mengembara mencari untuk
membuka negeri baru. Si adik membuka perladangan baru dan membangun negeri
Bandar Pulo. Sementara itu si abang yaitu ayah Simardan membuka perladangan
pertama kali di daerah lebih ke hilirnya lagi. Sebuah teluk yg lubuknya sangat
dalam (sekarang Teluk Dalam). Daerah itu melewati sebuah tanjung berbatu besar
(sekarang Aek Batu). Di sekitar Teluk Dalam itulah ayah bunda Simardan awalnya
membuka perladangan setelah meninggalkan kampung asal sampai akhir hayatnya.
Sang ayah meninggal dan dikuburkan disana. Ia dikuburkan bersama harta warisan
yang sempat dibawa sang ayah dari kampung asal dari hulu sana berupa bentuk
pedang, pisau dan gelang. Semuanya itu oleh ibu Simardan turut ditanamkan
bersama mayat sang suami.
Setelah
ayah Simardan meninggal dan karena ladang mereka itu masih sepi juga letaknya
jauh dari Kampung Tanjung tempat si ibu biasanya menjual hasil pencarian sehari
hari dari hutan ataupun hasil hasil ladangnya. Kampung tempat membeli sekedar
kebutuhan hidup mereka.
Akhirnya
sang bunda membawa Simardan pindah ke luar ladang. Dia membangun sendiri sebuah
gubuk yg menghadap langsung ke sebuah teluk di balik di sebelah Selatan Kampung
Tanjung.
Kepada
sahabatnya yg menjadi pimpinan rombongan utusan, Simardan berpesan agar
menyempatkan mendatangi gubuk ibundanya di Selatan Kampung Tanjung, untuk
memastikan keberadaannya saat ini. Bila ia masih hidup mohon dibawa serta
sepulangnya nanti untuk tinggal bersama di pulau Bintan. Nanti Simardan akan
membangun sebuah istana buatnya dan sang ibu. Mereka akan tinggal di sebuah
pulau kecil di seberang Pulau Bintan (sekarang pulau Penyengat, negeri Ali Haji
sang Raja Gurindam 12). Tapi bila ibundanya sudah tiada, mohon dibuatkan tanda
disana sebagai ganti kuburannya.
Sesudah
itu para utusan diminta singgah di Teluk Dalam untuk mencari dan menziarahi
kuburan ayahnya disitu. Ia meminta kuburan ayahnya dibina sebagai tanda agar
tak hilang ditelan waktu.
Terakhir
Simardan berpesan pada pimpinan utusan untuk menyampaikan pesan darinya kepada
raja di Bandar Pulo. Tapi sebelumnya mereka harus mengenalkan diri terlebih
dahulu agar sang raja maklum dengan memperlihatkan gelang Simardan sebagai
warisan dari ayahnya pemberian sang ibu. Gelang itu turut dititipkan Simardan
pada mereka, agar nanti raja percaya.
Simardan
berpesan kepada sang sahabat selaku pimpinan rombongan utusan agar menyampaikan
permintaannya kepada sang paman untuk tetap menjaga dan melindungi kerukunan
masyarakat Kampung Tanjung dari prilaku orang-orang pendatang yg ada juga
berniat tak baik. Terutama dari orang orang yang ingin menguasai bandar. Sebuah
kawasan pertemuan orang orang pendatang dan penduduk setempat. Kawasan itu
selalu ramai karena dekat dengan pasar dan tangkahan bertambat para nelayan.
Disana selalu berkumpul para saudagar, nelayan, petani dan juga para penduduk
dengan segala penghidupannya.
Simardan
juga berpesan sang sahabat menyampaikan permintaannya agar istana sang paman
sebagai pusat kerajaan di Aek Doras dimasa itu dapat dipindahkan dari Bandar
Pulau ke Kampung Tanjung saja supaya mudah berhubungan dengan negeri negeri
lain untuk memajukan negeri dan penduduknya. Tanah di seberang Bandar Pulo yang
biasa digunakan raja sebagai tempatnya beristirahat dari kesibukan (sekarang
Pulau Raja) dapat diserahkan pada anak keturunan sang paman saja dan tetap
dalam perlindungan serta pengawasannya.
Akan
tetapi bila raja belum bersedia memindahkan istana sebagai pusat kekuasaannya
dari sana, Simardan memohon kiranya dapatlah segera membentuk kerajaan baru di
Kampung Tanjung dengan menobatkan anak keturunannya menjadi raja kecil disana.
Kerajaan baru yg masih dibawah pengawasan dan perlindungan Kerajaan Bandar Pulo
yg dipimpinnya.
Simardan
menuturkan pada sahabatnya semua yang diketahuinya selama ini dari ibunya
semasa kecil dahulu. Semua dikisahkannya panjang lebar pada utusannya untuk
memahami agar penyampaiannya nanti dapat meyakinkan sang paman raja di Bandar
Pulo.
Tibalah
waktunya rombongan utusan berangkat. Dengan dibekali perbekalan yg cukup
lengkap untuk perhitungan selama perjalanan pergi dan pulang. Merekapun
berangkat mengarungi Selat Malaka. Berlayar dengan sebuah kapal layar berukuran
sedang dari negeri Bintan.
Sementara
itu, di Kerajaan Tumasik terlihat kesibukan disana sini. Segala persiapan untuk
kenduri negeri hampir rampung. Aneka rupa bingkisan dan cendera mata buat para
tetamu undangan nanti juga sudah disimpan dan dijaga dengan baik pada suatu
tempat penyimpanan. Aula besar istana yg akan dipakai sebagai tempat pertemuan
para raja raja bersama undangan kehormatan lainnya telah ditata dengan indah
dan megahnya sedemikian rupa. Lampu-lampu kristal aneka bentuk dan rupa terpasang di jalan-jalan dan lorong-lorong
istana membuat suasana lingkungan istana semakin megah cemerlang. Begitu pula
hewan hewan sembelihan untuk santapan jamuan semua sudah dikandangkan dalam
sebuah lapangan besar. Begitu juga dengan segala bahan penganan beserta bahan
bahan bumbunya sudah diamankan rapi dalam sebuah gudang besar.
Tamu-tamu undangan dari negeri negeri
yg jauh letaknya dari negeri Tumasik sudah pula mulai bergerak. Mereka
sudah berlayar dari negerinya untuk menyesuaikan dengan waktu perjalanan agar
tiba di tujuan sesuai dengan hari pesta Kerajaan Tumasik. Diantara undangan itu
ada yang lama perjalanannya memakan waktu tiga sampai empat purnama menggunakan
kapal layar, seperti negeri negeri dari daratan Eropa yg jauh di ujung sebelah
Barat sana.
Sementara
itu Raja Samudera Pasai merencanakan dalam perjalanannya nanti sebelum sampai
ke negeri Tumasik, dia akan singgah di pulau Bintan. Dia berniat mengundang
Simardan untuk datang berkunjung ke kapalnya nanti saat mereka sudah mendekati
Pulau Bintan. Untuk itu ia harus mengirimkan utusan ke sana terlebih dahulu
untuk menyampaikan pemberitahuan pada Simardan.
Singkat
cerita, berlabuhlah kapal besar Raja Samudera Pasai, Aceh di depan pulau
Bintan. Bertemulah disana Simardan dengan Raja Aceh di atas kapal layarnya yang
mewah dan megah. Simardan di kapal besar itu dijamu dengan sangat istimewa.
Dalam pertemuan itu banyak hal yang mereka bicarakan. Mulai dari cerita tentang
kondisi negeri negeri di sepanjang Aek Doras, terkhusus Kampung Tanjung sampai
membahas tentang situasi kondisi Selat Malaka selama ini. Terutama dalam hal
menyangkut keamanan keselamatan para pelayar yang melintasi perairan itu.
Pada
pertemuan itu Raja Aceh bersedia menyanggupi segala apa saja yang diperlukan
oleh Simardan guna mengamankan kawasan itu. Oleh Raja Aceh Simardan akan
diberikan kewenangan menarik upeti kepada kerajaan kerajaan kecil di kawasan
itu yang selama ini dibawah pengaruh kekuasaan dan tunduk pada Kerajaan
Samudera Pasai.
Panjang
lebar mereka berdua saling berbagi pengalaman bertutur kata sampai akhirnya
pembicaraan mengarah kepada hal hal bersifat pribadi Simardan.
Sang Raja
Aceh diam diam rupanya ingin pula menjadikan Simardan sebagai bagian
keluarganya. Sang Raja ingin menjodohkan Simardan dengan salah seorang puteri
dari adik-adiknya. Dimana sang Raja Aceh sendiri dia tak mempunyai anak
perempuan. Bila Simardan menyetujui, Raja Aceh berjanji akan menjadikannya
Sultan pada sebuah kerajaan baru nanti di tanah yg dicintainya, yaitu negeri di
kawasan Aek Doras.
Namun
dengan secara halus Simardan meminta waktu untuk mempertimbangkannya sebelum
mengambil keputusan. Akan tetapi bukan karena hubungan pernikahan itu, Simardan
berharap kiranya Raja Aceh tetaplah memperhatikan negeri Kampung Tanjung
bersama sebuah kerajaan kecil dihulunya, yaitu kerajaan Bandar Pulo yg rajanya
adalah pamannya sendiri.
Raja Aceh
akhirnya memaklumi juga dan meminta kepada Simardan untuk tidak terlalu lama
sudah dapat mengambil keputusan.
Sang
rembulan telah beberapa kali berganti purnama. Dekatlah sudah hari akan
dilangsungkannya pertemuan antar negeri di Tumasik. Tamu-tamu berbagai negeri
dari belahan bum telah mulai berdatangan ke Kerajaan Tumasik. Pulau itu kini
bak gadis rupawan lagi bersolek. Tumasik telah berhias diri. Ia kelihatan indah
dan megah, dimana mana sepelosok negeri ditata sedemikian rupa membuat orang
betah tinggal berlama lama disana. Negeri itu tampak semakin ramai dan dengan
penduduknya yg memancarkan wajah riang gembira dimana mana.
Di
sekeliling pulau di luar pantainya yang berpasir putih di lautnya yg biru
bersih tampak telah berlabuh kapal kapal layar berbagai bentuk dan ukuran
dengan kemegahan dan kemewahannya masing masing. Bertaburan mengelilingi pulau
bagaikan kembang warna warni di taman yg indah.
Di istana
tampak para pelayan semuanya sibuk dengan pekerjaannya masing masing. Begitu
pula aktifitas di halaman istana dan taman taman kota. Tampak pula
dimana-mana di setiap lapangan ataupun
aula yg ada di negeri itu dipersiapkan pentas terbuka hiburan rakyat.
Bagaikan
hari raya sepanjang hari, orang orang berpakaian baru dan bagus bagus. Makanan
dan minuman gratis disediakan istana dimana-mana di semua sudut negeri di pulau
itu.
Hari yg
ditunggupun tiba. Di pagi yg indah itu di atas mimbar kehormatan sang Paduka
Raja Tumasik membuka secara resmi pertemuan antar negeri sekawasan diiringi
pemukulan canang bersama tamu kehormatan. Kemudian dilanjutkan dengan temu
ramah sambil menikmati penganan ringan diiringi hiburan seni musik dan tari
khas negeri Tumasik. Setelah itu dilanjutkan dengan pertemuan majelis membahas bersama tentang
keberadaan Selat Besar dengan membina hubungan kerjasama diantara
negeri-negeri. Terutama peningkatkan kerjasama
dalam bidang perdagangan, ilmu pengetahuan dan seni budaya. Mereka
sepakat hal ini perlu dijaga bersama demi kelangsungan hidup berdampingan
secara aman dan damai.
Acara demi
acara telah dilalui. Pada hari ketiga setelah jamuan makan siang, tibalah pada
acara khusus sebuah acara sisipan yang direncanakan sebelumnya oleh pihak istana
sebagai acara kejutan saja bagi para tetamu. Sebuah acara selingan dimana Raja memperkenalkan kepada
segenap undangan yg berhadir akan puterinya yang amat cantik rupawan.
Saat
diperkenalkan mereka semua yg berhadir menjadi terkesima, terpesona melihat
kecantikan sang puteri yg duduk anggun di atas panggung disisi kiri ayahnya.
Sang
Puteri Tumasik sungguh anggun cantik rupawan. Tubuhnya yg indah molek tinggi
semampai berbalut pakaian kebesaran seorang puteri raja berwarna putih kemilau.
Rambutnya yg hitam panjang tergerai rapi sepinggang mengenakan mahkota tiara
bertabur intan berlian menambah pesona.
Diam-diam
sepasang mata di pojok belakang, Simardan yang duduk di meja undangan bukan di
barisan utama takjub memperhatikan dengan jantung berdesir seakan ada sebuah
perasaan. Ada sebuah perasaan hati yg belum pernah dialaminya selama ini.
Sungguh kini ia sudah terpikat jatuh hati pada pandangan pertamanya. Seumur
hidupnya baru pertama ini ia melihat keanggunan dan kecantikan seorang wanita
seperti itu.
Ditenang
tenangkannya hatinya untuk tidak terlihat sebagai seorang pemuda picisan
yg sedang terpesona dipermain mainkan
hatinya. Diam diam dia terus mencuri curi pandang.
Saat itu
terlintas pula ingatannya akan permintaan Raja Aceh sewaktu pertemuan mereka di
kapal. Hal itu membuat hatinya semakin kacau berkecamuk menjadi tak menentu.
Haruskah nanti saat raja Aceh menuntut janji ia akan mengikuti kata hatinya
saja daripada akal fikiran?
Dihadapan
para tetamu undangannya paduka raja Tumasik dengan hati terbuka menyampaikan
niatnya ingin menjodohkan sang puteri dengan seorang perjaka. Perjaka yg
dimaksudkan adalah seorang pendekar pahlawan Selat Besar tak lain adalah
Simardan. Seorang pemuda yg menumpas habis gerombolan lanun bajak laut Lancang
Hitam. Pemuda yg kini kerajaan dagangnya sedang maju berkembang.
Di pojokan
belakang tampak Simardan menunduk malu tak begitu merasa terkejut. Karena
sebelumnya dia sudah menduga. Namun ia tak menyangka bila sang puteri secantik
itu. Sungguh dalam bayangannya sama seperti wanita cantik lainnya saja.
Ternyata ia keliru, puteri Tumasik sangatlah cantik jelita.
Dia lalu
melirik dengan ekor matanya sekilas ke arah meja Raja Aceh yang duduk di depan.
Simardan melihat Raja Aceh nampak sedikit gelisah, kemudian berdiri bangkit
dari tempat duduknya meminta izin kepada Raja Tumasik serta tetamu undangan
lainnya untuk meminta dapat berbicara sedikit mengusulkan sebuah pendapat.
Inilah
sebenarnya sejak awal yg selalu menghantui perasaan Raja Tumasik. Tetapi dengan
penuh kebesaran hati yg membuat para tetamu semakin segan dan takjub padanya,
kemudian oleh Raja Tumasik sang Raja Aceh diberikan kesempatan untuk
mengusulkan pendapatnya.
Raja Aceh
dengan penuh percaya diri meminta hal itu dapat dibicarakan nanti setelah
diadakan sebuah pertandingan.
Pertandingan segitiga yg hanya diikuti tiga peserta saja, yaitu antara
Kerajaan Tumasik, Kerajaan Aceh, dan Tim Simardan.
Siapa
nanti yg menjadi pemenangnya maka dialah yg berhak menentukan sikap dan pilihan
tentang perjodohan Simardan. Supaya kepentingan diantara mereka diputuskan
secara berkeadilan tanpa saling merendahkan.
Para
tetamu nampak gelisah. Begitu pula Raja Tumasik. Ia terlihat agak menahan
suasana hatinya namun karena tuan rumah ingin menghormati para tetamu, apalagi
tamu itu adalah seorang tamu yang berkuasa amat disegani di kawasan itu.
Akhirnya iapun berlapang dada mengabulkan permintaan sang Raja Aceh tamu yg
dihormatinya.
Kedua
pihak akhirnya menyepakati. Sementara itu Simardan hanya bisa manut dan
mengiyakan saja karena ia tak punya kuasa untuk menyanggah kedua penguasa itu.
Para undangan lain yg menyaksikan hanya terdiam saja di tempat duduknya dan
menjadi penasaran semakin ingin tahu apa perkembangan selanjutnya. Mereka semua
ingin mengikuti kelanjutannya.
Untuk
menentukan waktu, tempat serta aturan perlombaan akan dirundingan bersama
antara Raja Tumasik, Raja Aceh dan Simardan pada sebuah tempat setelah acara
jamuan makan malam di istana nanti.
Setelah
selesai acara jamuan makan malam di istana.Tiga pihak yg akan bertanding
segitiga yaitu Raja Aceh, Raja Tumasik dan Simardan masuk pada suatu ruangan
khusus yg terpisah dari tempat pertemuan para raja raja antar negeri. Mereka
bertiga melangsungkan pembicaraan tentang pertandingan yg akan mereka
laksanakan.
Pada tamu
tamu lainnya yg menunggu mereka mengambil kesepakatan dihidangkan makanan dan
minuman ringan dengan hiburan pengiring berupa tari-tarian yg dipersembahkan
puteri-puteri negeri Tumasik yang cantik-cantik. Gadis gadis cantik itu
menarikan tari tarian dengan lemah gemulai mengikuti irama musik gendang
bernuansa Melayu.
Akhirnya
dari hasil musyawarah mufakat diantara mereka bertiga diambil kata sepakat
mereka akan mengadakan
pertandingan segitiga. Pertandingan
itu tidak mempergunakan senjata ataupun kekuatan kanuragan ilmu bela diri. Akan
tetapi hanyalah pertandingan menghibur, sebuah seni permainan yg tujuannya
dapat pula menghibur para tetamu undangan sekalian.
Mereka
bertiga sepakat akan bertanding segitiga satu sama lain. Permainan yg dipilih
adalah sepak raga bola keranjang yg dilangsungkan pada sebuah tempat netral di
luar pulau Tumasik.
Mereka
sepakat memilih pulau sepi yg masih sedikit penduduknya masa itu di seberang
pulau Tumasik. Pulau itu letaknya berhadapan dengan pulau Tumasik. Tidak
terlalu jauh bila didatangi dari negeri Tumasik sehingga akan memudahkan
akomodasi para tetamu yg akan menonton sebagai hiburan tambahan diluar rencana
sebelumnya.
Kepada
para tetamu seluruhnya tanpa terkecuali dimintakan melalui penyelenggara
dimintakan Raja Tumasik agar kiranya sudi memundurkan jadwal kepulangannya
barang sehari dua hari dari yg direncanakan semula. Ternyata seluruh undangan
sangat antusias dan bergembira menyambutnya.
Pulau sepi
di seberang pulau Tumasik yg direncanakan sebagai tempat pertandingan itu
adalah sebuah pulau yg luasnya hampir seukuran Pulau Tumasik. Tanahnya sama
berwarna kemerah merahan. Di pulau itu banyak ditemui batu-batu berwarna
kehitaman. Batu batu ini bisa dihamparkan ataupun disusun susun (ampar). Mereka
menyebut "batu ampar". Lama kelamaan karena agar mudah mengucapkannya
mereka singkatkan saja menjadi "batam". Sekarang pulau itu disebut
dengan pulau Batam asal singkatan dari Batu Ampar.
Berburu
waktu segala sesuatupun dipersiapkan pihak penyelenggara untuk pertandingan
segitiga di pulau itu. Para tamu undangan rajapun sudah pula menunda kepulangan
mereka ke negeri masing-masing. Mereka semua pada tertarik untuk dapat
menyaksikan langsung pertandingan itu.
Kapal-kapal
layar mereka yg semula berlabuh di depan pantai pulau Tumasik satu persatu
mulai angkat jangkar berlepas ke pulau di seberang pulau Tumasik.
Matahari
pagi tersenyum cerah di ufuk Timur. Tibalah hari yang pertandingan sepak raga
segitiga antara Tim negeri Aceh, Tim negeri Tumasik dan Tim Simardan.
Pertandingan itu digelar pada sebuah lapangan terbuka yang dibentuk sedemikian
rupa di atas tanah kosong disana.
Para
pendukung masing masing tim serta para tamu undangan raja Tumasik telah duduk
rapi berjejer berlapis lapis disekeliling lapangan. Mereka masing-masing duduk
di atas batu hitam yg dihamparkan dengan rapi. Sementara masyarakat pengunjung
dan para penonton lainnya penuh berdiri dibelakang garis pemisah dengan para
undangan tetamu raja sebagai penonton istimewa.
Sebagai
juri (wasit) lengkap dengan pembantu pembantunya telah dihunjuk dari perwakilan
pihak rombongan negeri negeri Tanah Semenanjung.
Begitu
pula dengan jadwal pertandingan, telah disusun agenda pertandingan oleh
penyelenggara selaku tuan rumah yaitu darivpihak Kerajaan Tumasik.
Pada
pertemuan mereka bertiga sebelumnya telah disepakati bahwa setiap tim hanya
terdiri dari tiga orang pemain tanpa ada pemain cadangan. Dimana pada
pertandingan pertama sebagai pembukaan akan bertemu Tim Simardan menghadapi Tim
Tumasik. Setelah itu kepada kedua tim yg bertanding itu akan diberikan waktu
istirahat untuk jeda minum. Sisa waktu dapat digunakan untuk hal hal lain
seperti mengganti pakaian pertandingan yg sudah kotor. Setelahnya nanti
dilanjutkan pula pertandingan antara Tim Simardan dan Tim Aceh. Kemudian
pertandingan terakhir akan berjumpa antara Tim Aceh dengan Tim Tumasik.
Secara
halus tampaknya jadwal pertandingan sudah diatur oleh pihak penyelenggara
dengan sedemikian rupa agar Tim Tumasik mempunyai waktu istirahat yg lebih
banyak dari lawan-lawannya.
Tibalah
waktu pertandingan. Pada pertandingan pertama yg mempertemukan antara Tim
Simardan melawan Tim Tumasik dengan hasil akhir dimenangkan oleh Tim Simardan.
Dalam pertandingan itu tampak Simardan bermain sepenuh hati. Mengeluarkan
segenap kemampuannya untuk segera memenangkan pertandingan.
Simardan
yang sedari dahulu memang handal dan jagoan dalam permainan itu dengan mudah
dapat mengalahkan Tim Tumasik tanpa banyak kehilangan angka.
Kemudian
selanjutnya pada pertandingan kedua dimana Tim Simardan berhadapan dengan Tim
Aceh. Pertandingan berlangsung sengit dengan perbedaan angka yg sangat tipis.
Tanpa diketahui penonton tampaknya Simardan memang sengaja melepaskan
kemenangannya kali itu.
Simardan
seolah olah terlihat kepayahan. Ia seakan akan terlihat sangat lelah sudah
kehabisan nafas akibat tadinya baru saja selesai bertanding dengan Tim Tumasik.
Pada pertandingan kedua itu hasil angka atau skor
antara kedua tim yg berhadapan terlihat susul menyusul. Mereka saling kejar
kejaran angka. Pertandinganpun berlangsung dengan waktu yg cukup lama serta
melelahkan.
Rupanya
tak seorangpun tahu kalau itu adalah siasat dari strategi Simardan. Ia ingin menutupi kesan pemikiran Raja Aceh
bahwa sebenarnya ia lebih memilih puteri Tumasik daripada keluarga Kerajaan
Samudera Pasai.
Akhirnya
setelah Simardan melihat Tim Aceh sudah tampak kepayahan sekali dan memastikan
mereka sudah kehabisan nafas serta stamina. Disitulah waktunya Simardan melepas
angka yg memberikan kemenangan kepada pihak Tim Aceh.
Tibalah
pada puncak pertandingan yang akan menentukan siapa juara pertandingan segitiga
ini. Bila Tim Aceh dapat mengalahkan Tim Tumasik maka Tim Aceh lah yg akan
keluar sebagai juaranya.
Para
penonton semakin bersemangat untuk menyaksikan pertandingan itu termasuk pula
Simardan. Didalam lubuk hatinya sesungguhnya ia sangat mengharapkan bila Tim
Tumasiklah yg akan keluar sebagai pemenang. Bila itu terjadi akan membuat
keadaan menjadi berimbang. Ketiga tim sama sama sekali menang dan sekali kalah.
Kedudukan kembali berimbang diantara tiga tim itu. Sehingga pertandingan
segitiga itu akhirnya tanpa pemenang.
Benar saja
dugaan Simardan. Tim Tumasik yang masih segar serta mendapat dukungan pula dari
sebagian besar penonton. Pendukung tuan rumah sedari mula pertandingan tak
henti hentinya bersorak sorai memberikan semangat mendukung Tim Tumasik.
Akhirnya
Tim Tumasik dapat mengalahkan Tim Aceh yg sudah kepayahan akibat dipermainkan
Simardan sebelumnya. Pada pertandingan sebelumnya Simardan tadi memang dengan
sengaja mengulur ulur angka untuk mengkuras tenaga Tim Aceh. Walaupun juga pada
akhirnya dia sengaja mengalahkan timnya. Ia mengatur strategi sedemikian itu
maksudnya agar tim Aceh nantinya tidak akan keluar sebagai juara. Mereka tidak
juara bukan karena dikalahkan timnya melainkan oleh tim Tumasik.
Sampai
pertandingan ketiga ini belum juga ada didapat siapa juaranya. Skor sekarang
menjadi sama bagi ketiga tim. Sama sama mengalami sekali menang dan sekali
kalah.
Pada
pertandingan itu kedua tim tidak menurunkan rajanya masing masing. Mereka takut
akan kalah. Oleh karenanya tim mereka diperkuat dari orang-orang pilihan yg
sangat mahir bermain sepak raga. Raja Aceh dan Raja Tumasik hanya sebagai
kapten tak bermain yg memimpin dan mengatur timnya dari luar lapangan.
Strategi
Simardan mengulur ulur waktu dan angka untuk menghabiskan tenaga Tim Aceh
akhirnya berjalan mulus. Walaupun pada akhirnya dia dengan sengaja mengalahkan
timnya tapi tim Aceh tidak keluar sebagai juara. Bukan karena dikalahkannya
melainkan karena dikalahkan oleh tim Tumasik. Itulah strateginya dalam menjaga
marwah kedua orang yg diseganinya itu.
Selanjutnya
untuk menentukan siapa yg menjadi pemenang diambil sebuah keputusan bersama
mempertemukan dua tim dengan cara mengundi. Kedua tim yg akan berjumpa di
partai puncak dengan diundi ini untuk menentukan siapa juara pertandingan
segitiga itu yg akan berhak menentukan jodoh atas diri Simardan sesuai
perjanjian semula.
Sebelum
pengundian Simardan berharap semoga yg berjumpa adalah Tim Tumasik berhadapan
dengan Tim Aceh kembali. Ia merasa yakin Tim Tumasik akan mengalahkan kembali
Tim Aceh yg sudah habis.
Diluar
harapan Simardan akhirnya terundilah dua tim yang akan berjumpa di pertandingan
penentuan. Mempertemukan antara Tim Simardan melawan Tim Aceh.
Rupanya
tanpa sepengetahuan Simardan, sedari tadi di belakang sana Puteri Raja Tumasik
turut juga menonton. Dengan dipayungi dayang dayang sang puteri menonton
pertandingan dari kejauhan. Ia juga dikawal beberapa pengawal istana.
Setelah
tahu bahwa Tim Simardan akan menghadapi Tim Aceh bukan Tim Tumasik, diapun
datang kepada ayahanda memohon izin kiranya dapat menyaksikan lebih dekat.
Dengan
berat hati sang ayahanda menyetujui juga. Walau ia kuatir puterinya nanti tak
kuat mental bila tim Simardan mengalami kekalahan.
Diam diam
ayahanda sang puteri berdoa semoga Simardan dapatlah bermain dengan
sungguh-sungguh, sama seperti ketika Simardan mengalahkan timnya di
pertandingan pertama tadi pagi.
Dua Tim
hasil undian yg akan saling berhadapan di partai puncak telah berkumpul di
lapangan. Masing masing tim membentuk lingkaran. Disitu mereka diberikan arahan
oleh kaptennya, masing masing saling mengatur strategi.
Simardan
selaku kapten mengarahkan pada dua anggota timnya untuk
bermain bertahan saja. Tak perlu
menyerang. Hanya melayani lawan sampai terkuras habis tenaganya.
Dipihak
lain Tim Aceh yang dipimpin seorang panglima kerajaan menginstruksikan pada
timnya agar bermain penuh konsentrasi menyerang sedari awal tanpa memberi
peluang sedikitpun bagi lawan untuk menyerang balik. Menghindari sedapat
mungkin bola jatuh ke Simardan. Baik di kaki, kepala ataupun badannya. Dia
harus dijaga dan jangan diberi kesempatan untuk mengendalikan permainan.
Sementara
itu di salah satu sisi lapangan pertandingan sang Puteri Tumasik dengan restu
ayahanda sudah dapat duduk di sebelahnya. Ia dibolehkan duduk disitu setelah
dapat meyakin sang ayah bahwa ia akan tetap tegar apapun hasil pertandingan
nantinya. Setelah yakin barulah sang raja mengizinkan puteri tercintanya
menonton lebih dekat lagi ke sisi lapangan bermain.
Di depan
tempat duduk puteri dan raja sengaja dikosongkan dari halangan apapun agar mata
mereka bebas menyaksikan permainan. Sementara itu dayang-dayang masih tetap
setia memayungi sambil mengipasi sang puteri.
Sepasang
bola mata jeli sang Puteri yg hitam indah berbinar sedari tadi tak lepas
lepasnya memperhatikan setiap gerak laku Simardan. Sesekali sudut matanya
mencuri pandang pada gestur tubuh Raja Aceh di seberang lapangan yg kelihatan
sudah tak tenang.
Hati sang
Puteri sudah tak sabar menunggu pertandingan dimulai. Duduknya pun tak bisa
tenang di sebelah ayahnya yang juga mulai gelisah. Mulutnya terlihat
komat-kamit seperti berdoa. Disapu-sapunya pundak anaknya supaya bersikap
tenang dan tetap tegar.
Sang
Puteri lalu menyandarkan kepalanya dibahu ayahnya seakan meminta dilindungi dan
diberi kekuatan.
Terlihat
kedua tim sudah mulai memasuki lapangan. Di lapangan anggota tim Aceh
masing-masing menadahkan kedua tapak tangannya. Mereka berdoa menurut adab
Islam, menunjukkan mereka semua sudah Muslim.
Sementara
itu Simardan terlihat duduk di tanah tidak bersila kaki menghadap ke Selatan ke
arah kampungnya, sambil berujar dalam hati meminta restu pada ibunya yg jauh
disana untuk memberinya kekuatan. Seperti kebiasaan yang dilakukannya selama
ini bila memulai sesuatu tugas berat ataupun sedang menghadapi sebuah ujian.
Tibalah
waktunya, permainanpun sudah dimulai. Tim Aceh terus menerus menggempur menekan
Tim Simardan tanpa memberi kesempatan untuk membalas berupa pukulan pukulan
bola keras dan penempatan bola di luar Simardan.
Saat bola
raga dari anyaman rotan itu berada pada pihak Simardan maka mereka berlama-lama
memainkannya mengulur ulur waktu. Dimasa mereka itu belum ada peraturan
permainan sepak takraw seperti sekarang yg hanya boleh memainkan maksimal tiga
kali sentuhan bola pada satu tim saat bola berada di zona lapangan mereka.
Saat bola
lagi dikuasai Simardan, disitu iapun mengeluarkan semua keahlian dan
kemampuannya dalam mengolah bola. Seni dan kemampuan bermainnya memang berada
jauh di atas yang lain. Bila bermain ia tampak seakan menari-nari kala
menyeimbangkan bola di sekujur tubuhnya yg atletis itu.
Kadang
bola itu dipermainkannya di kaki, lalu ke dada, lalu ke kepala, kembali ke paha
bahkan bola sampai pada pundak dan tengkuknya.
Bola itu
seakan mudah dijinakkan dan dikendalikannya. Setelah berlama lama mempermainkan
bola itu lalu diseberangkannya tanpa niat mengambil poin.
Bila bola
mati di pihak lawan, maka setelah diseberangkan bola pun akan mati pula di
pihak Simardan. Bila bola mati di pihak Simardan, maka Simardan akan mematikan
bola lawan dengan pukulan kerasnya yang amat kuat. Pukulan yg tak akan pernah
bisa dikembalikan oleh lawan manapun.
Namun
anehnya sejak pertandingan dimulai poin belum satupun ada di kedua belah pihak.
Sampai-sampai Tim Aceh sering meminta waktu kepada juri untuk diberi jeda
minum. Mereka semua terlihat sudah kepayahan sekali.
Sang
Puteri tampak gelisah duduknya. Sesekali ia bangkit dari tempat duduk, matanya
yg indah mulai terlihat berkaca-kaca. Ia menyembunyikannya di balik tengkuk
ayahnya yang juga tampak gelisah.
Di
seberang lapangan Raja Aceh diam diam memperhatikan semua itu. Lain pula halnya
Simardan, sejak awal ia memang menghindari untuk beradu pandang dengan sang
Puteri.
Mataharipun
mulai meninggi hampir tepat di atas ubun ubun. Para juri yg berjumlah tiga
orang itu, satu orang di tengah berdiri di atas sebuah bangku di belakang tiang
jaring dan dua lagi masing masing satu berdiri di belakang lapangan tim yang
sedang berlaga. Ketiga juri saling berpandangan seolah olah memberi isyarat
bahwa pertandingan sudah dapat dihentikan sejenak guna memberikan waktu
istirahat makan siang serta keperluan lainnya bagi pemain dan segenap penonton.
Akhirnya
merekapun mendatangi pihak pelaksana pertandingan untuk merundingkannya.
Setelah berunding dan mendapat persetujuan dari Raja Tumasik dan Raja Aceh
selaku kapten tak bermain, maka pertandingan itu dihentikan sementara. Dengan
kesepakatan bersama akan dilanjutkan kembali setelah air laut mulai naik pasang
di hari itu yaitu sore hari.
Akhirnya
dengan kesepakatan bersama pertandingan dihentikan sementara untuk memberikan
waktu istirahat bagi kedua tim yg sudah kelelahan serta para pendukung juga
penonton yg menyaksikan pertandingan itu.
Kedua tim
bersama para pendukungnya dan semua penonton sudah kembali ke kapalnya masing
masing untuk beristirahat makan siang serta urusan lainnya.
Tak lama
setelah Raja Aceh mengirimkan utusan untuk menyampaikan pesannya pada Simardan.
Simardan diundang raja segera datang seorang diri ke kapal mereka tanpa
diperkenankan membawa pendamping sama sekali. Mereka minta pada Simardan hal
itu jangan sampai bocor. Jangan sampai diketahui pihak pihak di luar mereka
siapapun tanpa terkecuali. Utusan itu menyampaikan bahwa ini adalah pesan
rahasia dari Raja Aceh langsung.
Tanpa ada
yg mengetahui saat itu Simardan dibawa beberapa prajurit raja dengan menggunakan
sekoci menuju kapal Raja Aceh yang sedang berlabuh agak jauh dari pantai pulau
Batu Ampar.
Di kapal
Aceh itu Simardan sudah ditunggu oleh sang Raja. Dia sudah menunggu dihadapan
sebuah meja yang di atasnya telah terhidang berbagai makanan dan minuman untuk
santap siang. Lengkap juga disitu dengan aneka buah segar.
Sebelum
duduk Simardan diminta sang raja untuk mandi dan membersihkan diri dahulu. Lalu
Simardan diantar seorang pelayan.
Setelah
mandi dan bersalin kemudian Simardan kembali menghadap ke meja sang raja.
Dengan tawaran sang raja lalu mereka berdua makan bersama disitu.
Sambil
makan minum dalam suasana santai mereka mengobrol-ngobrol ringan dan
bercengkrama saja.
Suasana
sangat cair dan rileks. Kemudian sang Raja Aceh menepuk nepuk pelan tangan
Simardan di hadapannya yg ketika itu akan mengambil sesuatu cemilan di atas
meja. Tanpa diduga sang Raja seketika mengucapkan selamat pada Simardan. Dia
menyatakan telah merestui Simardan memilih jodohnya yang lain.
Iapun
mengungkapkan bahwa pada pertandingan tadi sebenarnya Simardan dapat saja
memenangkannya lebih awal bila mau. Ia tahu Simardan tak mau menang, tapi juga
tak mau kalah. Sang raja berterus terang mengakui bahwa timnya tadi sebenarnya
sudah kalah. Walaupun dalam pertandingan itu belum ada kalah menang di
lapangan.
Rupanya
tadi secara mencuri curi pandang ia memperhatikan puteri Tumasik dari seberang
lapangan. Sempat ia melihat ada tetesan air mata di sudut matanya yg bening.
Menunjukkan
betapa besar dan tulusnya perhatian Puteri Tumasik pada Simardan. Itu semua
terpancar dari sikap dan gerak lakunya saat menyaksikan pertandingan itu.
Walaupun sang Puteri menyembunyikan tangisnya di belakang pundak sang ayah.
Ketika itu ia terlihat seakan sudah tak sanggup lagu untuk menyaksikan pertandingan.
Sesudah
ini nanti malam sang Raja Aceh meminta Simardan untuk datang lagi ke kapalnya.
Ada hal penting yang ingin disampaikan padanya secara langsung. Sekarang
Simardan dimintanya segera bergegas agar jangan terlambat tiba di lapangan.
Para
penonton sudah tak sabaran. Mereka mulai berdatangan memenuhi arena sekeliling
lapangan di belakang barisan tempat duduk tamu tamu kehormatan.
Raja
Tumasik didampingi beberapa pengawal sudah duduk di bangku khusus. Akan tetapi
satu bangku disebelah kirinya itu masih kosong. Tak tampak tuan puteri disana.
Ternyata
sang Puteri Tumasik tak ikut serta menyaksikan kelanjutan pertandingan itu. Ia
sedari tadi mengurung diri di kamar di kapal ayahnya. Disitu ia menangis
seorang diri sambil berdoa memohon kiranya tim Simardan diberikanNYA
kemenangan.
Sang
Puteri sudah tak sanggup lagi untuk menonton babak akhir pertandingan. Ia malu
pada sang ayah yg tak mampu tegar sampai akhir sesuai janjinya semula.
Sementara
itu di seberang lapangan tampak bangku Raja Aceh masih kosong. Timnya juga
belum kelihatan hadir di lapangan. Sementara itu Simardan dan timnya sudah
bersiap-siap di pinggir lapangan.
Simardan
terlihat tenang tak ingin menunjukkan sesuatu yg sudah diketahuinya. Sesekali
ia mencuri pandang ke bangku Raja Tumasik, dilihatnya disana bangku sang Puteri
masih kosong. Sampai sekarang ia belum juga hadir.
Lalu
diarahkannya pandangan ke bangku Raja Aceh, disana juga masih juga kosong. Dia
bertanya tanya dalam hati ada apa gerangan. Simardan mengkuatirkan
jangan-jangan Raja Aceh sekarang telah berubah fikiran.
Para juri
masih menunggu kehadiran tim Aceh. Raja Tumasik yang sudah terduduk menunggu
sedari tadi dipayungi pengawal kelihatan tak tenang, duduknya gelisah.
Setelah
beberapa waktu tampaklah dari kejauhan
di pantai sana sebuah sekoci mulai merapat ke pantai. Kemudian tampak
Raja Aceh dengan diiringi beberapa orang pengawal turun dengan gagahnya dari
sekoci itu lalu berjalan menuju arena lapangan. Tapi tak kelihatan timnya turut
disana.
Kemudian
dia berjalan menghampiri tim juri. Sebelumnya ia memohon izin pada Raja Tumasik
untuk dapat menyampaikan sesuatu dihadapan semua pihak serta para tetamu
sebagai penonton yang kelihatan sudah
tak sabaran ingin menyaksikan kelanjutan pertandingan. Mereka semua
ingin tahu hasil akhirnya nanti.
Dengan
membalas penghormatan kemudian Raja Tumasik memperkenankan sahabatnya Raja Aceh
untuk berbicara. Di pinggir lapangan tampak Simardan bersama timnya sudah
bersiap siap untuk memulai pertandingan. Di pojok lapangan Simardan berdiri
terpaku sambil menunggu Raja Aceh menyampaikan suatu maklumat.
Raja Aceh
pun memulai penyampaiannya dengan terlebih dahulu menghaturkan permintaan maaf
kepada Raja Tumasik beserta rombongan. Juga kepada para juri, para tetamu
undangan, para penonton yang berhadir serta Tim Simardan beserta rombongan yg
sudah rela menunggu.
Dengan
berat hati ia menyatakan bahwa timnya tidak dapat melanjutkan pertandingan
karena salah seorang diantara tiga pemainnya mengalami cedera, saat ini sedang
dalam perawatan di kapal. Sesuai dengan peraturan pertandingan sebelumnya telah
ditentukan dan disetujui bersama bahwa tidak ada penggantian pemain selama
pertandingan.
Oleh
karena itu ia atas nama tim menyatakan menyerah pada Tim Simardan. Maka pada
pertandingan itu Tim Simardanlah sebagai pemenangnya.
Tanpa
menunggu keputusan dari pihak mana ia telah merestui Simardan menjadi
pendamping hidup Puteri Raja Tumasik. Dia selaku Raja Aceh sejak saat itu
sampai selanjutnya nanti berjanji senantiasa akan berada bersama mereka baik
kala suka maupun duka.
Melalui
kesempatan itu Raja Aceh secara tidak resmi menyatakan pada khalayak bahwa
Simardan adalah bagian dari keluarga Kerajaan Samudera Pasai dan nanti akan
diberi gelar Teuku sebagai suatu gelar keluarga bangsawan di negerinya.
Akhirnya
membahanalah sorak sorai dan tepuk
tangan para penonton yang hadir disitu riuh rendah. Mereka semua mengucapkan
selamat pada Simardan serta paduka Raja Tumasik.
Simardan
lalu menghampiri Raja Aceh yang sudah berdiri berdampingan yg tadi didekati
Raja Tumasik di sebelahnya. Simardan kemudian membungkukkan badannya sebagai
tanda penghormatan lalu menyalami keduanya. Saat itu Simardan lalu dipeluk
mereka bergantian tanda telah mendapat restu dari mereka berdua.
Kemudian
Raja Acehpun memberikan ucapan selamat kepada Raja Tumasik. Disitu dia
mengundang sang Raja Tumasik sahabatnya sekaligus calon besannya bersama sang
Puteri untuk kiranya berkenan hadir nanti malam dalam acara jamuan makan malam
bersama di kapalnya.
Sementara itu di istana Tumasik malam
itu sedang berlangsung acara penutupan dan jamuan makan malam. Acara jamuan
makan malam sekaligus penutupan dan perpisahan dengan para tetamu memenuhi aula
istana sampai memakai tempat ke taman-taman sekeliling istana. Besok pagi sebagian besar para tetamu kerajaan akan
meninggalkan Tumasik kembali ke negerinya masing-masing.
Pada jamuan malam itu pada para
tetamu undangan disuguhkan aneka ragam makanan serta minuman yang lezat cita rasanya.
Diiringi pula dengan hiburan dendangan lagu dan tarian dari berbagai negeri.
Panggung berlatar belakang dekorasi yg indah dan megah.
Pada pembukaannya acara jamuan makan
malam itu dibuka langsung oleh Raja Tumasik. Namun setelah jamuan malam itu berjalan
digantikan oleh Menteri Utama Kerajaan Tumasik.
Rupanya tanpa disadari para tetamu
undangan yg berhadir, diam diam Raja Tumasik bersama sang Puteri sudah lebih
dahulu meninggalkan istana. Mereka berdua diiringi beberapa pengawal sedang
menuju dermaga. Mereka sedari tadi sudah ditunggu utusan Raja Aceh sebagai
penjemput. Mereka berdua sedang ditunggu Raja Aceh di atas kapalnya.
Malam itu juga secara terpisah dengan
acara di istana Tumasik, Raja Aceh
mengundang Raja Tumasik dan tuan Puteri makan malam bersama di kapalnya.
Dalam acara yg bertajuk temu ramah dan makan malam bersama merajut tali asih
dan kekeluargaan.
Rupanya di istana tadi sang Puteri
sedari sore telah mempersiapkan diri dengan berhias dan memakai pakaian
kesenangannya. Dengan memakai tenaga perias istana dia berias diri. Terlihat
sang Puteri semakin cantik sungguh demikian anggunnya. Semua perlengkapan diri
yg dikenakannya malam itu mulai sepatu, gaun, mahkota bahkan wewangian (parfum)
adalah miliknya yg terbaik. Wajah rupawannya semakin memancarkan aura seorang
puteri yg anggun. Dagu bagai lebah bergantung, badannya tinggi semampai,
kulitnya halus putih, sangat serasi pula berbalut gaun putih indah. Matanya yg
hitam berbinar-binar seakan bercahaya
dihiasi bulu mata yg lentik. Alis mata bagai semut bersusun berpadu pula dengan
hidungnya yg bangir mancung, sungguh sangat serasi. Bibir halusnya terlihat
seakan basah merona, bila tersenyum mekar memerah delima. Rambutnya hitam
berkilauan bak mayang mekar, jatuh bergerai rapi dipinggulnya yang langsing.
Keningnya yg halus putih berkurung mahkota intan berlian, dipadu pula dengan
kalung bertatakan mutiara berliontin safir mengelilingi lehernya yang halus
jenjang dan putih mulus. Menjadikannya malam itu ia bak Puteri 1001 Malam. Sang
Puteri tampak semakin anggun, mempesona siapapun yg memandangnya.
Ternyata di atas kapal sudah menunggu
Raja Aceh bersama Simardan yang telah tiba lebih dahulu tadi. Tak mau kalah
rupanya Simardan malam itu juga terlihat sangat gagah. Ia bagaikan arjuna dengan
wajahnya yang tampan gagah perkasa. Badannya tinggi kekar berotot. Walau
dibalut pakaian sederhana dengan kesan seadanya. Namun terasa semakin
menunjukkan kejantanannya. Belahan baju bagian dada dibiarkan sedikit terbuka
memperlihatkan dadanya yang bidang. Aksesoris kalung dan gelang dari kulit
hewan dengan pernak pernik dari batu akik menghiasi leher dan tangannya. Ikat
kepala etnik membalut indah rambutnya yang hitam bergelombang sebahu.
Kebersahajaannya semakin bagus saja dipandang karena menambah kegagahannya.
Pedang kecil terselip dipinggang membuatnya tampak semakin berwibawa.
Raja Tumasik dan sang Puteri pun tiba
dengan diiringi para pengawal penjemput. Mereka disambut Raja Aceh dengan penuh
penghormatan di atas kapal. Lalu dibalas
Raja Tumasik dengan memberikan salam kembali. Kemudian di belakangnya
diikuti oleh sang Puteri sambil mencium tangan sang Raja Aceh. Lalu kemudian ia
hendak bersujud menyungkur mencium kaki sang Raja Aceh. Namun cepat dicegah
sang Raja Aceh, dia dengan sigap menahan bahu sang Puteri untuk tidak perlu
melakukanitu.
Kemudian mereka berdua dibawa Raja
Aceh menuju ruang tempat dilangsungkannya acara makan bersama. Ia mempersilakan
Raja Tumasik dan Puteri mengambil tempat duduk yg berhadapan dengan Simardan
yang menempati empat duduk disebelahnya.
Beberapa pelayan sibuk keluar masuk
membawa lalu menghidangkan berbagai menu santap malam di atas meja besar itu.
Piring gelas dari kristal buatan Eropa tersusun rapi di atasnya. Sebuah jamuan
istimewa pada undangan kehormatan raja di kapal Aceh itu. Setelah semua
terhidang, Raja Aceh mempersilahkan para tamu istimewanya untuk mencicipi
makanan yg telah terhidang dengan sepuasnya.
Sambil menikmati makanan yg lezat
lezat itu, sesekali Simardan mencuri curi pandang pada sang Puteri yg duduk di
seberangnya. Sering mata mereka beradu pandang, membuat keduanya menjadi salah
tingkah dan akhirnya senyum senyum sendiri. Sang Puteri tersenyum malu malu
lalu menundukkan mukanya kala keduanya tak sengaja meraih makanan yang sama.
Sang Puteri menarik kembali tangannya. Raja Aceh dan Raja Tumasik saling
mengobrol ringan seolah-olah tak melihat tingkah dua sejoli itu. Mereka terus
bersenda gurau.
Selepas santap malam sembari
menikmati hidangan cuci mulut lengkap dengan aneka buah serta makanan ringan
dan minuman segar. Raja Aceh pun mulai masuk pada pembicaraan serius.
Disampaikannya adapun maksud mengundang mereka bertiga malam ini disamping
sebagai salam perpisahan karena besok pagi rombongannya akan bertolak kembali
ke Samudera Pasai. Akan tetapi sebelum ia melanjutkan ke pembicaraan lainnya.
Ia bertanya terlebih dahulu pada Simardan, apakah dia bersedia masuk ke dalam
agama Islam seperti mereka. Karena selama ini mereka tahu bahwa Simardan belum
beragama, ia seorang animisme. Rupanya tanpa menunggu lama Simardan pun
menyatakan dirinya bersedia masuk Islam.
Setelah itu iapun diajari seorang
penasehat Raja Aceh mengucapkan lafaz bersahadat di kapal itu. Malam itu
dihadapan ayah angkat, calon mertua dan calon istrinya Simardan pun
bersyahadat. Ia dengan lancar mengucapkan dua kalimah syahadat. Sejak saat itu
iapun resmi masuk ke dalam Agama Islam.
Malam itu oleh Raja Aceh nama
Simardan diganti menjadi Aziz Abhar Bahri, yg bermakna Terkuat dan Berseri di
Lautan. Sang ayah angkat juga menyampaikan hal-hal penting lainnya sebagai
amanah pada Simardan menyangkut hubungan antar negeri sekawasan dan hal hal
bagi pengamanan jalur pelayaran Selat Malaka.
Diringkaskan saja. Ada beberapa hal yang disampaikan Raja
Aceh kepada anak angkatnya Simardan yang telah bersahadat masuk Islam diberi
nama menjadi Aziz Abhar Bahri dan diberi jabatan Pembantu Panglima Laut
Samudera Pasai Pemangku Kuasa Selat Besar.
Prosesi acara dadakan itu berlangsung secara sederhana dan
bersahaja saja tanpa persiapan resmi. Lalu kepada Simardan diserahkan sebilah
rencong oleh Panglima Perang kerajaan. Acara penabalan itu hanya disaksikan
oleh Raja Aceh bersama Panglima Perang dan beberapa penasihat yg ada di kapal
itu dalam rombongannya. Juga disaksikan pihak calon besan sang Raja Tumasik
bersama puterinya.
Raja Aceh nanti akan
mengirimkan kepada anak angkatnya Aziz Abhar Bahri seorang guru
spiritual dari negeri Aceh untuk mengajarinya tentang Agama Islam, hukum-hukum,
tata cara ibadah, membaca Al Qur'an, mempelajari Hadits-Hadits Rasul dan tulis
baca dalam huruf jawi yaitu bahasa Melayu dalam tulisan Arab. Juga hal hal lain
menyangkut hidup dan kehidupan dalam Islam. Guru spiritual itu adalah seorang
ulama Aceh yg lama menimba ilmu di tanah suci.
Ia juga berjanji akan
mengirimkan seorang penasehat yg ahli strategi peperangan dan ahli pula
dalam bidang hubungan antar negeri. Dia nanti menjadi sebagai penasehat pribadi
Aziz Abhar Bahri sebagai pemangku kuasa Selat Besar sebagai perwakilan sebuah
kerajaan besar dimasa itu.
Sementara itu dalam pertemuan raja-raja dan para saudagar
negeri negeri sekawasan Selat Malaka di negeri Tumasik kemarin telah melahirkan
beberapa keputusan penting. Pembacaan keputusan itu disaksikan pula oleh
beberapa negeri peninjau dari daratan Eropah dan Tiongkok.
Salah satu keputusan hasil pertemuan itu yang dibacakan Raja
Tumasik pada penutupan acara sebagai kesepakatan bersama adalah secara resmi memberikan
nama atas Selat Besar itu menjadi Selat Malaka.
Raja Aceh dan Raja Tumasik selanjutnya melanjutkan
pembicaraan tertutup membahas alotnya pada sesi perumusan keputusan dalam
pertemuan raja raja di Tumasik kemarin itu. Dalam pengambilan keputusan tentang
penamaan Selat Besar untuk disetujui menjadibSelat Malaka awalnya adalah atas
usulan dari pihak Kerajaan Malaka.
Sebagai pertimbangan awal bagi tim perumus, pihak Kerajaan
Malaka menyampaikan bahwa sejak dahulu, jauh sebelum besarnya Kerajaan Samudera
Pasai yg terletak di ujung Barat selat besar itu dan ketika masa masih jayanya
lagi Kerajaan Sriwijaya di ujung Timur selat, Kerajaan Malaka telah mengenalkan
nama Selat Malaka pada banyak negeri. Apakah itu negeri negeri sekawasan maupun
negeri negeri di seantero Nusantara meliputi negeri Champa, Mindanao, Borneo
dan lainnya. Bahkan sampai dikenal berbagai belahan dunia. Bahwa sejak dimasa
itu Kerajaan Malaka telah banyak
mempunyai peranan dalam urusan menjaga dan mengamankan Selat Besar. Terutama
dari ancaman gangguan para perompak liar. Bila usulan mereka berterima semua
pihak, maka pengamanan terhadap selat itu seterusnya akan menjadi tanggung
jawab mereka sepenuhnya.
Pada pertemuan itu Raja Aceh dapat menerima usulan Raja
Malaka untuk penamaan selat itu, tetapi dalam hal urusan pengamanannya ia minta
adalah menjadi urusan yg di bawah pengawasan dan kendali Kerajaan Samudera
Pasai. Untuk biaya operasionalnya akan ditanggung renteng secara bersama sama negeri sekawasan.
Para Raja-Raja di sepanjang pesisir Timur pulau Andalas
maupun di pesisir Barat Tanah Semenanjung wajib memberikan upeti untuk
pembiayaan pengamanan itu.
Dengan landasan berkeadilan oleh karenanya pihak Kerajaan
Malaka dikenakan kewajiban membayar upeti lebih besar. Karena diterimanya
usulan mereka atas penamaan selat itu.
Dalam pertemuan itu saran pendapat dari Raja Aceh ini
ditolak oleh Kerajaan Siak sebagai negeri sahabat Kerajaan Malaka setelah
melakukan pembicaraan dengan utusan dari British Raya Inggris. Memang dua kerajaan
ini sejak lama telah bersahabat dan menjalin hubungan dengan Kerajaan Britis
Raya. Mereka menolak, berkeberatan atas besarnya upeti yg akan diberikan oleh
Kerajaan Malaka nantinya.
Juga dalam pertemuan itu pihak Kerajaan Tumasik bersama
sahabatnya utusan dari Negeri Tiongkok sebagai peninjau menengahi. Setelah
rapat berjalan alot akhirnya semua pihak dapat menerima dan bersepakat atas
usulan Kerajaan Samudera Pasai. Maka sejak pertemuan di Kerajaan Tumasik itu
resmilah selat itu bernama Selat Malaka.
Raja Aceh dalam pertemuan tertutup dengan Raja Tumasik di
kapal itu sekali lagi mengingatkan untuk bersama sama mereka harus mewaspadai
adanya kepentingan asing dari daratan Eropa dan Tiongkok atas kawasan itu. Ini
terlihat dari campur tangannya mereka walaupun secara tak langsung dalam
pengambilan keputusan negeri negeri Sekawasan.
Sebelum mengakhiri pertemuan malam itu, Raja berpesan pada
A.A. Bahri alias Simardan selaku Pembantu Panglima Laut di kawasan itu agar
tetap mewaspadai gelagat dari Kerajaan Malaka dan Kerajaan Siak yang diam diam
telah membuka pintu bagi masuknya pengaruh Kerajaan British Raya Inggris.
Begitu pula Tiongkok yg mencoba mempengaruhi negeri Tumasik.
Melalui negeri Malaka yg terletak di Tanah Semenanjung dan
satu lagi negeri Siak yg berada di tanah Andalas dikuatirkan dapat menjadi pintu masuk untuk menguasai
kedua pulau besar itu. Untuk itu pada dua negeri ini perlu diberi perhatian
lebih apalagi pengaruh mereka cukup besar pada negeri negeri kecil di wilayah
kekuasaannya.
Lalu kepada Raja Tumasik selaku calon besannya Raja Aceh berpesan untuk tetap
menjaga ujung Selat Malaka pada sebelah Timur dengan baik. Mereka dari pihak
Kerajaan Samudera Pasai bertanggung jawab pula akan menjaga ujung sebelah Barat
Selat Malaka dari masuknya kepentingan luar yg dapat mengancam keberadaan
negeri negeri kawasan Selat Malaka seluruhnya. Kedua pintu masuk selat ini akan
menjadi kunci terhadap ancaman dan gangguan dari luar.
Dapat diketahui pula bahwa secara geografi Kerajaan Samudera
Pasai Aceh adalah pintu masuk sebelah Barat Selat Malaka harus siap menghadapi
ancaman dari negeri negeri daratan Eropa. Sementara itu Kerajaan Tumasik harus
pula siaga menghadapi ancaman dari negeri negeri daratan Tiongkok. Walaupun
sebenarnya kedua negeri mereka itu antara Tumasik dan Tiongkok bersahabat dan
sudah pula menjalin hubungan kerjasama. Tapi bukan berarti tidak ada maksud
maksud lain yg tersembunyi.
Dengan manggut manggut semua pesan dari calon besannya itu
diaminkan oleh Raja Tumasik. Selanjutnya Raja Aceh menyatakan berjanji akan
terus membantu Kerajaan Tumasik dengan segala kemampuannya. Hubungan
persahabatan itu semakin terjalin nanti dengan adanya peran dari Aziz Abhar
Bahri alias Simardan selaku pemangku kekuasaan wilayah Selat Malaka Pembantu
Panglima Perang.
Pada kesempatan itu pula Raja Aceh berjanji akan hadir dalam pesta pernikahan Puteri Tumasik dengan anak angkatnya. Disitu nanti Raja Tumasik akan memberikan secara resmi gelar bangsawan kepada Simardan.
Untuk sementara saat ini secara tak resmi dia dengan
disaksikan yang hadir memberikan gelar Hang pada Simardan. Gelar Hang biasanya
melekat pada nama panggilan atau nama kecil. Nanti pada saatnya akan diberikan
gelar bangsawan Tuanku dalam sebuah acara resmi kerajaan.
Sebenarnya gelar Teuku, Tengku dan Tuanku itu sama saja
maknanya. Cuma karena penyebutan disebabkan perbedaan bahasa, dialek, dan
kebiasaan dari sebuah negeri pengucapan gelar itu terdengar sedikit berbeda.
Awalnya gelar Tuanku berasal dari Kerajaan Melayu Tua Dharmasraya
di Pagaruyung pulau Andalas (sekarang Sumatera Barat). Kemudian meluas sampai
Kerajaan Malaka. Kemudian akhirnya berkembang sampai keseluruh negeri negeri
Melayu di Tanah Semenanjung.
Gelar bangsawan ini dalam perkembangan selanjutnya
disebabkan karena adanya hubungan antar kerajaan sampai pula ke negeri Aceh.
Oleh sebab adanya perbedaan logat bahasa terjadi perubahan sedikit pada
penginapannya menjadi Teuku. Sedangkan gelar bangsawan pada raja disebut Sultan
berasal dari Bahasa Arab. Pada gilirannya gelar gelar bangsawan tersebut sampai
pula ke negeri-negeri yg berada di bawah kekuasaan mereka yaitu kerajaan
kerajaan kecil yg di bawah pengaruh dari Kerajaan Melayu Dharmasraya
Pagaruyung, Kerajaan Malaka maupun Kerajaan Samudera Pasai. Negeri negeri ini
terdapat di sepanjang pesisir Timur pulau Sumatera. Mulai dari Langkat, Aru,
Deli, Serdang, Bedagai, Batubara,
Asahan, Labuhan Batu, Siak, Riau Daratan dan Kepri. Dimana tadinya gelar
bangsawan Tuanku berubah ucapannya menjadi Tengku dan menjadi Teuku di Aceh.
Setelah Raja Aceh panjang lebar memberikan pandangannya lalu
pada Aziz Abhar Bahri alias Simardan diminta oleh Raja Aceh untuk menyampaikan
sepatah dua patah kata apa-apa yang ingin disampaikan apakah itu permintaan ataupun
berupa pesan.
Simardan mengucapkan terimakasih atas waktu yg diberikan
padanya juga atas jamuan dan pelayanan yg telah diterimanya. Lalu menyampaikan
bahwasanya ia tak punya permintaan maupun pesan. Hanya bila diberikan izin ia
ingin bercerita sedikit tentang masa lalunya agar mereka semua tahu siapa
dirinya yg sebenarnya. Terutama pada calon istrinya agar tak timbul fitnah dan
penyesalan di belakang hari. Dimana ia ingin membina rumah tangga mereka
nantinya atas dasar cinta dan kasih sayang semata bukan karena maksud lain
bukan karena kecantikan, harta, tahta serta nafsu duniawi yg membutakan hati.
Tersentuh mendengarnya tampak mata Raja Aceh mulai
berkaca-kaca melihat kejujuran ketulusan hati anak angkatnya itu. Inilah salah
satu yg sejak semula membuat ia tertarik dari sikap tingkah laku serta jiwa
Simardan yg polos suka berterus terang seadanya disamping beretika menghormati
orang lain. Walau begitu ia juga punya harga diri dan memegang prinsip. Karena
itulah semula ia ingin menjodohkan Simardan dengan puteri salah satu saudara
kandungnya.
Tapi sejak ia melihat ada benih-benih cinta yg suci murni yg
demikian tulus diantara kedua sejoli itu, walau dengan berat hati iapun
mengurungkan niatnya. Ia tak mau memaksakan kehendak secara sepihak takut muncul
hal hal tak baik nantinya yg membuat penyesalan.
Sebagai penguasa kawasan Selat Malaka dimasa itu, dia
sebenarnya sudah tahu kisah kelam masa lalu Simardan. Ia sudah tahu dari
informasi yang diterima melalui kaki tangannya yang banyak tersebar mulai dari
ujung Barat sampai ujung Timur di kawasan itu. Sumber informasinya itu dari
kaki tangan andalan yg sudah teruji dalam menjaga keamanan kawasan Selat Malaka
untuk melindungi keutuhan negeri negeri sekawasan terutama yg tunduk dalam
pengaruhnya.
Dia sudah tahu bahwa Simardan dahulu adalah seorang anak
remaja yg diculik sekawanan perompak. Gerombolan perompak yang sedang melarikan
diri dari kejaran prajurit sang raja Aceh di Selat Malaka. Kawanan perompak itu
setiba di daratan dalam berjuang untuk bertahan hidup akhirnya mencuri harta
penduduk disana. Karena berbuat onar di Kampung Tanjung lalu dikejar penduduk
disana. Merekapun lari bersembunyi dan akhirnya
selamat dari pencarian penduduk. Setelah berhasil melarikan diri lalu
membangun kembali komplotannya. Setelah itu sepak terjang komplotan lanun ini
malah semakin menjadi-jadi saja aksi kejahatannya. Hingga kemudian Simardan pun
tumbuh dewasa.
Dibawah pimpinan Raja Rompak bersama Simardan, komplotan lanun Lancang Hitam semakin jaya. Bahkan dimasa itulah mereka mampu memiliki sebuah kapal layar berbadan besar. Kapal lanun yg terkenal dan sangat ditakuti di Selat Malaka.
Raja Acehpun tahu dimana pada suatu malam telah terjadi
sebuah bencana besar di perairan Timur Selat Malaka. Pada malam bencana Selat
Malaka itulah Simardan melarikan diri dari kapalnya. Saat dimana komplotan
bajak laut itu sedang merencanakan memangsa kapal Sikantan. Mereka sudah
mengintai berhari-hari kapal seorang saudagar muda kaya. Kapal itu akan
berlayar ke negeri seberang di wilayah pesisir Timur pulau Andalas. Kapal itu
akan menyeberangi Selat Malaka bertolak dari Malaka negeri asal istrinya yang
sangat cantik puteri saudagar kaya disana menuju negeri Siak. Keluarga istana
Siak dan banyak saudagar disana adalah sahabat sahabat ayah isterinya. Negeri
Siak itulah tempat tujuan semula Sikantan berdagang. Ia membawa barang barang
bagus dari negeri Malaka untuk didagangkan disana dengan kapal besarnya
berkongsi dengan pihak mertua.
Pada malam bencana itu sebenarnya Sikantan sudah berhati
hati akan keberadaan perompak Selat Malaka. Sang nakhoda telah diperingatkan
oleh Sikantan agar waspada dan jangan sekali kali lengah.
Pada malam itu nakhoda kapal Sikantan dengan menggunakan
teropong berlensa tunggalnya telah melihat samar samar di kejauhan ada bayangan
hitam sebuah kapal. Sosok kapal yg dikenalinya sebagai kapal lanun
"Lancang Hitam" yg sedang bergerak mengincar mangsa. Lalu nakhoda
kapal Sikantan segera mengalih haluan untuk menghindari pemantauan dari kapal
Simardan.
Tanpa memberi tahu pada Sikantan sang majikan kapal yg
sedang berbulan madu di kamarnya, ia putarkan kapal masuk ke sebuah kuala
sungai yg cukup besar (Sungai Barumun). Kapal Sikantan itu terus dibawanya masuk menuju hulu. Hingga
sampailah kapal Sikantan itu pada sebuah tikungan tanjung lalu bersembunyi
disana di balik tanjung itu. Disitu rupanya tempat pertemuan dua buah
sungai (Sungai Barumun dan Sungai
Bilah).
Sesudah merasa aman dari kejaran kapal lanun, lalu sang
nakhodapun melabuhkan jangkar. Kapal Sikantan tanpa sepengetahuan sang nakhoda
tepat berada di hadapan sebuah sungai kecil (Sungai Durhaka, sekarang disebut
Sungai Merdeka Labuhan Bilik).
Setelah berlabuh disitu tiba tiba cuaca berubah menjadi
buruk. Angin berembus sangat kencang membuat ombak menggila karena dihantam
bertemunya dua aliran air sungai yg sedang meluap bagai air bah. Arus air bah
yg terjadi tiba tiba itu akhirnya bertemu disitu menimbulkan gelombang besar
dengan ombaknya yg amat dahsyat di kuala itu (sekarang Tanjung Lumba Lumba Lab.
Batu).
Karena guncangan kapal yg sangat kuat, akhirnya sang majikan
muda terjaga dari tidurnya. Dia baru saja terlelap setelah selesai naik ke
bulan berbulan madu bersama istrinya yg cantik di kamar.
Nakhoda tidak menyadari bahwa sebenarnya di seberang kapal
mereka yg sedang terombang ambing itu
adalah kampung kelahiran sang majikan. Selama ini sang majikan alias Sikantan
telah merahasiakan semua itu kepada mereka begitu pula pada isteri dan pihak
mertuanya. Sikantan malu diketahui orang akan asal usulnya. Ia kini telah kaya
mendapatkan istri yg cantik dari keluarga yg sangat kaya pula. Sikantan tak mau
kalau orang lain tahu tentang kampung asalnya. Ia takut nanti keluarga isteri
akan tahu pula asal usulnya dari seorang ibu tua yg malang yg kini sedang sakit
di gubuk tua karena merindukannya setiap hari. Dengan kuasa Tuhan mereka
dipertemukan untuk terakhir kalinya dalam sebuah bencana.
Sang Raja Aceh tahu bahwa pada malam bencana Selat Malaka
itu Lancang Hitam sedang mencoba mengejar kapal Sikantan tapi kehilangan jejak.
Akhirnya muncullah badai besar itu. Lancang Hitam terombang ambing di tengah
laut (di sekitar Tanjung Bangsi, Labuhan Batu). Tiang layar utama kapal lanun
itu patah. Saat itu pulalah pemimpinnya sang Raja Perompak jatuh diceburkan Beng
Dong Ghuong alias Badogol ke laut. Kemudian hilang ditelan badai. Tapi Raja
Aceh tak tahu bahwa Raja Rompak saat itu masih hidup dan setelah selamat dari
kejadian itu ia menjadi biksu di Timur (di Sinaboi, Riau).
Dari sumber informasinya Raja Acehpun tahu bahwa pada malam itu kapal Sikantan dalam persembunyiannya telah tenggelam (di tengah Sungai Barumun diantara daratan Labuhan Bilik dengan Tanjung Sarang Elang, Lab. Batu) karena dihantam angin kencang dengan ombak yg besar serta pusaran kuat dari bertemunya dua arus bah sungai disitu.
Raja Acehpun tahu jika Simardan yang melarikan diri dari
kapalnya pada malam itu telah selamat dari bencana Selat Malaka dan setelah itu
membuka negeri baru di pulau Bintan.
Akhirnya ia tahu bahwa anak muda ini pulalah yang telah
berhasil menumpas habis komplotan lanun
Selat Malaka. Anak muda itulah yg sampai kini terus menjaga keamanan jalur
pelayaran lalu lintas perdagangan yang melalui Selat Malaka.
Rupanya Raja Tumasik sang calon mertua Simardan sama juga
halnya seperti Raja Aceh dalam menyikapi itu. Mereka berdua seakan terlihat
seperti sudah janjian sebelumnya tiba tiba kompak menyatakan tak mau ambil
pusing akan asal usul Simardan begitu pula dengan masa lalunya.
Dari pertemuan mereka di malam itu membuat hati sang calon
mertua semakin mantap. Setelah ia sekian
lama mengikuti dan mengamati sepak terjang Simardan secara diam diam. Ia sudah
mengamati akan karakter, sikap, prilaku serta kepribadian sang calon suami
puterinya itu. Bahkan sejak Simardan membuka kerajaan dagangnya yg kini sudah
maju jaya di pulau Bintan itu.
Hatinya kini telah mantap memilihkan jodoh untuk sang
Puteri. Ia tak ambil pusing akan siapa ayah ibu Simardan serta darimana pula
asal usulnya. Dalam benaknya ia hanya
berlogika sederhana saja takkan mungkin air jernih di
hilir jika di hulunya keruh. Begitu pula sebaliknya. Itulah dasar
pertimbangannya dalam menilai Simardan.
Kemudian karena kedua pihak baik ayah angkat maupun calon
mertua sudah mengabaikan saja masa lalunya. Akhirnya Simardan hanya
mengingatkan kembali pada sang ayah angkat sebagai satu satunya permintaan
darinya. Ia memohon sudilah kiranya Raja Aceh sang ayah angkat dapat mewujudkan
janjinya untuk membangun sekaligus melindungi negeri tempatnya dibesarkan.
Negeri tempat ibundanya menutup mata bila kini ia sudah tiada. Bila memang ia
masih hidup tentulah disana negeri tempat ia menjalani sisa sisa hidupnya.
Simardan memohon pada sang ayah angkat segeralah membentuk
kerajaan kecil disana sebagai pusat pemerintahan yg dapat mengurusi dan
melindungi penduduk disana. Lalu iapun memohon kiranya nanti raja disana adalah
masih dari garis keturunan mereka sendiri.
Seiring perjalanan waktu rupanya permintaan Simardan ini
belum bisa diwujudkan sang ayah angkat dimasanya. Tapi nanti ke suatu masa
sesudah beberapa generasi selanjutnya setelah Simardan tiada. Di masa itu
Kerajaan Aceh sudah dibawah kepemimpinan seorang Sultan bernama Teuku Iskandar
Muda.
Dimasa kepemimpinan Iskandar Muda ini wilayah kekuasaan Kerajaan Aceh semakin besar dan amat berpengaruh di pulau Andalas. Walaupun pada masa itu kerajaan besar ini sudah menguasai hampir seluruh kerajaan kerajaan kecil di sepanjang pesisir Timur pulau Andalas, namun ancaman dari luar masih sangat besar. Terutama ancaman yg datangnya dari negeri seberang di Tanah Semenanjung. Kerajaan Aceh merasa terusik juga dengan adanya hubungan Kerajaan Malaka dengan Kerajaan Siak di pulau Andalas dengan menggunakan pengaruh dan kekuatan asing terutama dari Kerajaan British Raya.
Kedua kerajaan itu sering menjadi batu sandungan Kerajaan
Aceh dalam menyatukan Andalas di bawah pengaruhnya untuk memajukan negeri
negeri sekawasan. Kedua negeri yg saling bersahabat itu berlindung di balik
kekuatan British Raya Inggris yg pada
masa itu kekuatan armada lautnya sangat ditakuti dunia.
Sementara itu dimasa yg sama sebagian negeri negeri dari
daratan Eropa seperti Portugis, Spanyol, Belanda, Prancis, dan Yunani
pelayar-pelayarnya sudah sampai ke negeri negeri di Nusantara belahan Timur
seperti Papua, Ambon, Ternate, Tidore, Maluku, Sulawesi, Nusatenggara, dll
mencari rempah rempah yg sangat diminati bangsa Eropa.
Begitu pula halnya dengan para pendatang dari daratan
Tiongkok sudah pula mulai membanjiri kawasan Tengah dan Barat Nusantara seperti
Tanah Semenanjung, Borneo, Andalas, Jawa dan Bali. Bahkan Kerajaan Tumasik
sejak lama sudah menjalin hubungan baik dengan negeri negeri dari daratan
Tiongkok itu.
Dalam situasi seperti itu Sultan Iskandar Muda perlu
melakukan konsolidasi terhadap negeri-negeri yg dibawah pengaruh dan
kekuasaannya. Untuk meningkatkan keutuhan maka banyaklah kerajaan kerajaan
kecil yg dibawah kekuasaan Kerajaan Aceh dalam meneruskan sebagai pemangku
kekuasaan harus seketurunan sehubungan darah yaitu melalui sebab perkawinan
dengan Raja Aceh di masa itu. Konsep hubungan satu darah menjadi modelnya dalam
meningkatkan konsolidasi.
Karena konsep hubungan kekeluargaan dan satu darah itulah
maka tak heran para Sultan Kerajaan Aceh banyak menikahi para puteri raja di
Kerajaan Kerajaan Pesisir Timur Andalas (Sumatera).
Begitu pula halnya dengan Kesultanan Asahan salah satu
kerajaan baru dimasa itu. Kesultanan Asahan ini adalah sebuah kerajaan kecil di
pesisir Timur Sumatera bentukan Sultan Iskandar Muda dengan menobatkan
puteranya dari istrinya Puteri Ungu Selendang Bulan (Puteri Unai, seorang
puteri raja dari Kerajaan Panai, Lab. Bilik).
Dahulunya sebelum dibentuk Kerajaan Aceh menjadi Kesultanan
Asahan, daerah ini masih di bawah kekuasaan dan pengaruh sebuah kerajaan kecil
di Bandar Pulo. Rajanya berasal dari
suku pendatang dari hulu Sungai Asahan yg membuka daerah baru disitu,
yaitu adik kandung ayah Simardan.
Oleh karena letak Kampung Tanjung agak jauh dari pusat
kerajaan kecil Bandar Pulo, maka bandar ramai ini seakan akan negeri tak
memiliki pemerintahan di masa itu. Padahal bandar ini pada masa itu sudah mulai
ramai didatangi para pedagang maupun pendatang untuk mencari penghidupan baru
disana.
Barulah dimasa kepemimpinan Sultan Teuku Iskandar Muda
permintaan Simardan pada ayah angkatnya dahulu dapat dipenuhi penerusnya.
Dengan raja pertamanya adalah Sultan Tengku Abdul Jalil Rahmadsyah yg
dinobatkan langsung oleh sang ayah Sultan Teuku Iskandar Muda sang Raja Aceh
dengan salah satu istrinya Siti Ungu Selendang Bulan puteri raja Panai (Labuhan
Bilik).
Sementara itu Kerajaan Panai atau Kerajaan Air Merah. Kata
Panai itu sendiri berasal dari bahasa Minang "Painai" (berinai). Air
sungai di daerah kerajaan ini berwarna merah seperti berinai, karena sumber
airnya di hulu berasal dari daratan hutan gambut. Maka Kerajaan Panai dikenal
pula dengan Kerajaan Air Merah.
Bahasa minang banyak mempengaruhi bahasa setempat di
Kerajaan Panai ini, seperti penyebutan ini dalam bahasa Minang disebut iko dan
dalam bahasa Panai disebut ika. Tak heran karena asal usul kerajaan ini adalah
dari Kerajaan Pagaruyung (nanti di sesi terakhir gerbang ini penulis akan
menceritakan lebih lanjut).
Di Kesultanan Asahan ibu Sultan I Asahan sering dipanggil
dengan Siti Unai, berasal dari kata Panai nama negeri asalnya. Kuburan Siti
Unai sang ibu Sultan I Asahan sekarang masih dapat dilihat di Bandar Pulau.
Putera Siti Unai yaitu Sultan Tengku Abdul Jalil Rahmadsyah
kemudian dinobatkan sebagai Sultan I Kesultanan Asahan. Dinobatkan langsung
oleh suaminya sendiri Sultan T. Iskandar Muda sang Raja Aceh di masa itu. Raja
Aceh datang bersama rombongan ke Kampung Tanjung berlayar dari Kerajaan Aceh
dengan kapal besarnya menyusuri Selat Malaka lalu berlabuh di pertemuan Sungai
Silau dengan Sungai Asahan.
Setelah putera mereka dinobatkan menjadi Sultan I Kesultanan
Asahan mereka suami isteri berpisah. Ini memenuhi perjanjian dengan Bayak
Lingga Karo Karo sebagai pemenang adu ayam. Adu ayam itu dilangsungkan sewaktu
pertemuan rombongan putera putera Kerajaan Panai yg dipimpin Bayak Lingga Karo
Karo "orang pintar" dari Kampung Tanjung, disamping itu ia juga
pandai bahasa Aceh.
Rombongan itu menemui Raja Aceh di negeri Aceh untuk
menjemput 2 Puteri Raja Panai yg sekian lama dibawa ke Aceh sebagai pemberian
atas bantuan Raja Aceh mengatasi kudeta isteri siri raja di Kerajaan Panai.
Rombongan itu akan menjemput Siti Ungu dan adiknya Siti Meja. Namun hanya Siti
Ungu yg dikabulkan Raja Aceh untuk dibawa pulang apabila mereka menang adu ayam
nanti.
Memenuhi janjinya Raja Aceh akhirnya menceraikan Siti Ungu
secara baik baik. Kemudian Siti Ungu Selendang Bulan menikah lagi dengan Bayak
Lingga Karo-Karo. Setelah menikah, Bayak Lingga Karo-Karo ini bernama Raja
Bolon. Dari pernikahan mereka lahir puteranya yang bernama Abdul Karim. Putera
mereka itu diberi gelar bangsawan Datuk Muda (Bangsawan Bahu Kanan). Sesuai
perjanjian dengan Sultan T. Iskandar Muda gelar bangsawan Tengku pada
Kesultanan Asahan hanya diberikan kepada keturunan dari anak laki laki garis
langsung Sultan T. Iskandar Muda. Bila putera atau puteri dari seorang ibu
bergelar bangsawan Tengku menikah dengan suaminya yg bukan bangsawan Tengku,
maka anaknya itu tidak bergelar Tengku lagi tapi diberi gelar bangsawan Raja.
Dalam perjalanan waktu selanjutnya Bayak Lingga Karo-Karo
sang Raja Bolon suami kedua Puteri Unai itu menikah lagi dengan puteri Raja
Simargolang dari Kerajaan Bandar Pulo. Raja Simargolang di masa itu adalah
keturunan dari beberapa generasi penerus paman Simardan. Dari pernikahan itu
Raja Bolon alias Bayak Lingga Karo Karo memperoleh dua putra, masing-masing
bernama Abdul Samad dan Abdul Kahar. Kedua putranya ini juga diberi gelar
bangsawan Datuk Muda (Bangsawan Bahu Kiri).
Dalam penobatan Sultan I Asahan, Raja Aceh Sultan Teuku
Iskandar Muda mengamanatkan dan menegaskan kembali bahwa hanya putera dari
garis keturunan langsungnya sajalah yang berhak diangkat menjadi Sultan Asahan
penerus kerajaan. Kepada para mereka garis keturunan langsungnya ini berhak
mendapatkan gelar bangsawan Tengku.
Kita tinggalkan dahulu era Kesultanan Asahan. Mari kita
lanjutkan kembali kisah di masa masa Simardan beberapa generasi sebelum
berdirinya Kesultanan Asahan itu.
Malam itu dia atas kapal Raja Aceh. Setelah tak ada lagi yg
hendak disampaikan Simardan maupun dari calon besannya Raja Tumasik. Raja Aceh
kemudian memanggil para penasehatnya serta pelayan-pelayan yg membidangi
keprotokolan raja untuk segera masuk ke ruangan mereka. Setelah semua berkumpul
disitu lalu Raja Aceh menyampaikan maksudnya kepada mereka dan segera
mempersiapkan segala sesuatu untuk pelaksanaan acara prosesi penobatan Simardan
memangku amanah sebagai Panglima Muda Armada Laut Kerajaan Samudera Pasai untuk
Kawasan Selat Malaka membantu tugas tugas Panglima Perang Kerajaan Samudera
Pasai. Sekaligus penabalan nama Simardan menjadi Aziz Abhar Bahri. Acara
penabalan nama dan gelar akan dilakukan mengikuti adat budaya Aceh dan akan di
peusijuek.
Kemudian tampak salah seorang penasehat mendekati Raja Aceh.
Suaranya pelan seperti menyampaikan sesuatu yg tak perlu diketahui orang
lain. Sesudah itu tampak Raja manggut
manggut tanda memahami apa yg disampaikan penasehat.
Rupanya sang Penasehat memberikan pendapat pada sang raja
agar meninjau kembali putusannya tentang pemberian gelar bangsawan Aceh.
Dibenarkan bahwa dalam pemberian gelar kebangsawanan merupakan daulatnya sang
raja, namun untuk gelar "Teuku" berdasarkan kesepakatan keluarga
kerajaan turun temurun yg sejak dahulu haruslah kepada seorang putera yg sudah
akil baligh berasal dari hubungan kekerabatan kandung yg sedarah.
Akan tetapi bila baginda raja ingin juga memberi gelar
bangsawan pada seseorang putera dewasa bukan kerabat sedarah maka sebaiknya
diberikan gelar Laksamana. Penasehat menyampaikan pandangannya itu bukan untuk
maksud memaksa sang. Hanya bila raja berkenan dan boleh saja tidak mengikuti
apa yg disampaikannya itu. Penuh kearifan dan kebijaksanaan seorang raja
akhirnya Raja Aceh memaklumi dan menyetujui pendapat sang penasehat.
Sambil berjalan segala persiapan untuk sebuah acara
sederhana prosesi penabalan sudah dikerjakan para pelayan. Kemudian Simardan
dibawa masuk pada sebuah kamar di kapal itu untuk bersalin berganti pakaian.
Tampaknya pakaian itu memang sudah ada di kapal itu sebagai pakaian kebesaran
panglima Aceh.
Setelah itu Simardan di bawa ke sebuah ruangan yg agak luas.
Di ruangan itu sudah terhampar selembar
permadani Turki yang di atasnya telah diberi dudukan bantal duduk dilengkapi
dengan sandaran. Sekeliling tambak itu ditata sedemikian rupa bagai sebuah
pelaminan untuk satu orang. Di depan pelaminan itu tersaji sebuah wadah berisi
rupa-rupa untuk acara peusijuek (tepung tawar).
Kemudian Simardanpun didudukkan disana. Ia duduk bersila di
atas bantal duduk yg dipersiapkan itu. Simardan tampak gagah berwibawa berbalut
pakaian adat kebesaran Kerajaan Aceh.
Sebelum acara peusijuek dimulai, sang Raja Aceh memberikan
sepatah dua kata sambutan sekaligus menyampaikan amanat sebagai tanda penabalan
gelar kepada Simardan bergelar Laksamana Muda Aziz Abhar Bahri sebagai Panglima
Muda Selat Malaka Pembantu Panglima
Perang Kerajaan Samudera Pasai.
Setelah prosesi penobatan jabatan dan gelar selesai
dilanjutkan dengan acara penabalan nama Islami Simardan menjadi Panglima Muda
Aziz Abhar Bahri. Ia dipeusijuek yg berhadir disitu. Dimulai dari Raja Aceh,
lalu Raja Tumasik, kemudian para penasehat, seterusnya Panglima, dan diakhiri
beberapa orang dekat sang Raja Aceh yg ada di kapal itu sebagai rombongan dari Aceh.
Semua telah memberikan selamat dan tepung tawar kecuali
Puteri Tumasik. Ia tidak ikut diminta untuk memberikan peusijuek karena masih
terhalang secara adat.
Mulai saat itu resmilah Simardan sebagai pemangku
amanah Laksamana Muda Selat Malaka
Pembantu Panglima Perang Kerajaan Samudera Pasai. Sejak saat itu resmilah ia
menjadi bagian dari keluarga Kerajaan Aceh.
Selaku ayah angkat Simardan di malam itu dan di kapal itu
juga Raja Aceh melakukan peminangan terhadap Puteri Tumasik.
Mengikuti sunah Rasul dalam Walimatul Ursy dan adat
kebiasaan kedua belah pihak lalu Raja Aceh menanyakan kepada calon besannya
berapa mahar kawin, serta apa apa permintaan dari barang barang keperluan sang
Puteri sebagai tali asih. Itu semua nantinya sebagai hantaran pihak calon
mempelai pria yg akan mereka bawa pada hari pernikahan nanti. Setelah itu kedua
pihak lalu bermusyawarah untuk menentukan waktu acara akad nikah dan waktu
acara pesta pernikahan.
Raja Tumasik yg hatinya sedang berbunga bunga malam itu
semakin merasa dihormati sekali. Lalu ia
menyampaikan bahwa untuk mengikuti sunnah Rasul serta adat kebiasaan di negeri
mereka berdua, dia hanya sekedar meminta mahar berupa seperangkat alat sholat
dan sebuah mushab Al Qur'an. Untuk tanda kasih sayang dan lain-lainnya berupa
hantaran pihak pria ia tak meminta apa apa kepada pihak lelaki.
Dari hasil musyawarah mereka diputuskan waktu akad nikah
akan berangkai dengan acara pesta pernikahan. Mereka sepakat untuk menyegerakan
pesta pernikahan itu. Sampai besok
raja-raja dan para saudagar dari negeri-negeri sahabat masih berada
disini. Untuk itu malam ini juga harus segera disampaikan agar mereka dapat
memundurkan waktu kepulangannya beberapa hari saja kedepan sampai selesainya
pesta.
Dengan penuh pertimbangan akhirnya disepakati akad nikah
anak mereka akan dilangsungkan tiga hari
lagi dari malam ini untuk mempersiapkan segala sesuatunya.
Pesta pernikahan Puteri Tumasik itu nantinya diselenggarakan
menjadi sebuah pesta negeri Tumasik bersama seluruh takyatnya. Jadi nanti akan
dikemas sebagai pesta istana dan pesta rakyat. Nanti akan diadakan jamuan
istana bagi seluruh tetamu undangan dari luar begitu pula akan membuat jamuan
bagi seluruh penduduk Tumasik tanpa terkecuali. Supaya tamu dari luar tidak
jenuh maka pesta sudah dimulai sejak esok hari sampai tujuh hari kedepannya.
Malam itu juga Raja Tumasik di kapal Raja Aceh menulis surat
kepada Menteri Utama yg akan menutup acara pertemuan di Tumasik itu. Surat itu
disampaikan oleh pengawal yg mendampingi Raja Tumasik di kapal Raja Aceh.
Isi surat itu antara lain menyatakan bahwa Raja Tumasik
melalui maklumat ini mengundang seluruh tetamu undangan kiranya dapat
memberikan waktu serta meringankan langkah untuk menghadiri pesta pernikahan
puterinya dengan Simardan yg akan dilangsungkan tiga hari lagi dari sekarang.
Raja Tumasik memohon dengan penuh harapan kepada seluruh tetamu undangan yg
datang dari negeri jauh kiranya sudi menunda kepulangannya sekali lagi barang
beberapa hari sampai selesainya acara pernikahan sang Puteri.
Permintaan Raja Tumasik ini adalah untuk yg kedua kalinya
agar para tamu kerajaan dari negeri negeri jauh menunda hari kepulangannya.
Penundaan kepulangan yg pertama adalah sewaktu mereka diminta ikut menyaksikan
pertandingan bola raga segitiga antara Tim Tumasik, Tim Aceh dan Tim Simardan.
Karena merasa tertarik dengan antusias mereka semua
menyatakan akan hadir rela menunda kepulangan sampai berhari hari.
Apalagi jamuan makanan minuman, hiburan dan tempat rekreasi
serta pelayanan Kerajaan Tumasik sangatlah memuaskan sehingga mereka merasa
kerasan betah berlama lama mampu melupakan
negerinya barang sejenak.
Sebelum diakhirinya pertemuan tak resmi mereka di malam itu
di kapal Raja Aceh, Raja Tumasik mengundang secara langsung calon besannya
dapat hadir di pesta pernikahan puterinya. Raja Tumasik menghaturkan sembah
sepuluh jari memohon penuh harap kiranya sudi Paduka Raja Aceh beserta
rombongan menunda dahulu kepulangan barang beberapa hari sampai selesainya
acara walimatul ursy anak-anak mereka. Raja Tumasik pun meminta Raja Aceh
berkenan menjadi saksi dari pihak calon mempelai lelaki pada saat acara akad
nikah dilangsungkan nanti dan ia akan menjadi wali langsung bagi puterinya.
Berat sebenarnya Raja Aceh untuk menunda kepulangan
membayangkan sudah menumpuknya pekerjaan yg akan diselesaikan di negerinya.
Apalagi ini sudah penundaan yg kedua kalinya. Akan tetapi demi membahagiakan
dan membesarkan hati Simardan sang anak angkatnya serta calon menantu.
Disamping itu juga untuk menghormati calon besannya, dengan penuh pertimbangan
akhirnya Raja Aceh bersedia memenuhi undangan dan permintaan Raja Tumasik.
Kemudian setelah selesai acara yg pokok sambil menikmati
penganan ringan dengan suguhan hiburan berupa seni budaya negeri Aceh yaitu
tari saman dan seudati. Tarian itu
dibawakan beberapa pemuda pemuda dari Kerajaan Aceh yg muda muda dan
tampan. Mereka dibawa raja turut dalam rombongan di kapal itu untuk mengisi
salah satu acara hiburan pada Pertemuan Antar Negeri di Tumasik kemarin sebagai
partisipasi keikut sertaan sebuah negeri yg bersahabat.
Karena acara pokok sudah selesai, pada Simardan dan Puteri
Kerajaan Tumasik diberikan waktu oleh Raja Aceh dengan seizin calon besan
mereka dapat plesiran sejenak melihat-lihat seisi kapal Kerajaan Samudera Pasai
yang besar dan mewah itu.
Raja Tumasik mengizinkan dan memerintahkan beberapa orang
pengawal untuk mendampingi pasangan sejoli itu. Raja Tumasik mengingatkan
mereka agar dapat menjaga diri karena sedang masa masa "darah manis".
Tak menyia nyiakan kesempatan untuk dapat berdua saja. Lalu
Simardan menyodorkan tangannya pada sang Puteri untuk bangkit dari duduknya.
Mereka berdua berjalan berdampingan melalui lorong lorong
kapal besar itu. Kesempatan itu digunakan Simardan untuk mengetahui lebih jauh
tentang hati sang Puteri.
Dari pendekatan di malam itu Simardan semakin takjub akan
sosok pribadi sang puteri. Sungguh kecantikan yg sempurna, cantik luar dan
dalam. Simardan sungguh merasa sangat beruntung telah diberikan karunia dari
Yang Maha Kuasa mendapatkan jodoh seorang puteri raja secantik dan sesuci ini.
Setelah merasa semakin dekat dan akrab. Simardan mulai
memberanikan diri. Ia mulai menyentuh jemari halus lentik sang Puteri. Tak
bertepuk sebelah tangan Sang Puteri pun rupanya menyambut jemari Simardan yg
kuat dan hangat itu.
Simardan merasakan jemari sang Puteri yg halus dan lembut.
Jantung Simardan berdegup kencang begitu pula dengan sang Puteri yang seumur
hidupnya baru kali ini merasakan sentuhan seorang lelaki. Jikalaupun ada itu
adalah ayahnya yang amat menyayangi serta memanjakanya.
Tak lama sang Puteri mulai terlihat menempel ke sisi kiri
tubuh Simardan. Mereka berdua pun berjalan bergandengan. Lalu Simardan
menggandeng sang Puteri membawa ke atas geladak kapal lalu mereka menuju
haluan. Para pengawal hanya memperhatikan dan mengawasi sepasang sejoli itu
dari jauh kira kira beberapa langkah di belakang sepasang insan itu.
Malam itu langit terang temaram bermandikan cahaya bulan
yang hampir purnama. Bintang bertaburan menghiasi angkasa. Angin laut berhembus
sepoi-sepoi, udara terasa semakin dingin dan malam pun semakin larut. Cahaya
lampu kapal-kapal yang sedang berlabuh juga cahaya lampu-lampu taman dan lampu
lampu istana Kerajaan Tumasik nampak berkilauan membayang di permukaan air laut
yang sedang lenang. Sesekali terdengar pula suara ombak yg datang memukul
pantai. Menambah romantisnya nuansa malam itu.
Sejenak Simardan menghentikan langkahnya sebelum mencapai
tepat di pucuk haluan. Mereka mendekati sebuah peti di dekat haluan itu. Disitu
mereka duduk, di atas peti tempat penyimpanan tambang tambang kapal.
Kemudian perlahan Simardan merangkul sang Puteri yg sudah
mulai berani menyandarkan kepalanya di bahu calon suaminya. Aroma wangi rambut
sang Puteri yang tergerai indah merebak saat helai helai rambutnya terkirap
diterbang terbangkan angin. Lembut menyentuh nyentuh kulit hidung Simardan.
Untuk menghangatkan suasana yg hening Simardanpun mulai bercerita
tentang kisah masa lalunya. Kisah tentang negeri serta sang ibu. Kesemua kisah
itu tak sempat disampaikannya dalam pertemuan mereka tadi.
Melalui kisahnya itu sebenarnya Simardan ingin menguji akan
keteguhan hati sang calon isteri. Tapi tak seperti yg dibayangkan Simardan,
ternyata sang Puteri juga sudah
memaklumi dan dapat menerima keadaan dahulunya itu dengan ikhlas. Hati
sang Puteri sudah mantap, terlanjur jatuh pada pandangan pertamanya.
Begitu pula dengan Simardan, hatinya makin sayang dan
bertambah cinta. Adalah suatu anugerah baginya bila gadis secantik dan seanggun
itu bisa jatuh dalam pelukannya. Suatu hal yang belum pernah terbayangkan
olehnya bahkan walau sekedar datang dalam mimpi saja pun tidak. Dicubitnya
sendiri perutnya diam diam, masih terasa sakit. Berarti ini nyata bukan mimpi
kata Simardan dalam hati.
Sang Puteri meminta izin apakah ia boleh bernyanyi saat itu.
Ia ingin mencurahkan isi hati melalui bait bait pantun. Pantun seloka pantun
canda anak muda yg dimasa itu populer menjadi suatu gaya hidup kawula muda di
negerinya. Melalui syair syair pantun yg dinyanyikan Ia ingin menyampaikan isi
hati di malam yang indah itu di samping calon suaminya seorang pemuda tampan
gagah berwibawa.
Ia juga memohon satu permintaan lagi, bila ia bernyanyi
nanti dapatlah dipeluk dengan manja. Di malam itu rupanya ia terkenang akan
almarhumah ibunda yang telah mendahului sepuluh tahun yang lalu. Walau kini
ayahnya sudah kawin lagi dan ia telah punya ibu baru, tapi kasih sayang serta
belaian manja sang ibu kandung dirasa berbeda jua. Dulu semasa ia kecil, ibunda
Permaisuri sering menina bobokkannya dipangkuan sambil mendendangkan lagu
bersyair pantun pantun yg indah penuh kenangan. Lagunya sendu dinyanyikan
dengan suara yg merdu.
Simardan mengabulkan, lalu merebahkan sang Puteri dalam
pangkuan sambil membelai-belai rambutnya. Kemudian bernyanyilah Sang Puteri.
Suaranya merdu merayu bagai buluh perindu. Burung burung malam yang sedang
terbang melintas di atas kapal serasa berhenti sejenak ikut menikmati suara
merdu itu. Bulan tersenyum malu malu bersembunyi di balik awan merah jingga
temaram.
Syair dan nadanya merasuk sukma, menggoncangkan kalbu. Bait
bait pantun seloka bergenre Melayu lama indah syahdu terdengar lembut terbawa
angin laut yg turut bersahabat di malam indah itu.
Sebelum mereka berpisah di malam itu,
karena Puteri Tumasik yg bernama Tun Sri Banun Qomariyah sudah diingatkan
pengawal bahwa sebentar lagi untuk kembali menghadap ayahanda lalu bersama
meninggalkan kapal Raja Aceh. Begitu pula halnya dengan Simardan yg akan
kembali ke kapalnya.
Sebelum berpisah Simardan mendaratkan
kecupan sayang di kening sang calon istri. Bibir Simardan menempel lembut tepat
di bawah kerudung sutra sang Puteri menutupi rambutnya yg hitam mekar.
Sang rembulanpun tersenyum cemburu
ditingkahi cahaya kelap kelip bintang-bintang yg bertaburan memenuhi
langit di malam itu. Mereka seakan
menjadi saksi bisu kecupan pertama yg pernah diberikan oleh sang arjuna pada
seorang wanita. Kecupan pertama pula yg pernah diterima oleh sang dewi dari
seorang jejaka.
Malam itu ada perasaannya campur
aduk. Ada rasa gembira juga sedih teringat almarhum bunda. Ada rasa takut karena baru mengalami jatuh cinta
bercampur senang berbaur menjadi satu
dihati sepasang sejoli itu.
Di malam itu waktu yg berlalu terasa
begitu singkat. Mereka berdua seakan
enggan untuk berpisah walau cuma sesaat saja. Pengawal yg malu malu sedari tadi
berdiri membelakangi kembali mengingatkan sejoli
itu bahwa Paduka Raja sudah menunggu.
Sejoli itupun berpisah.
Setelah Raja Tumasik bersama Puteri
meninggalkan kapal, Raja Aceh pun menawarkan Simardan untuk beristirahat
kembali ke kapalnya. Simardan baru menyadari jikalau ia telah lama meninggalkan
teman temannya di kapal sedari siang tadi. Nanti ke kapalnya Simardan akan
diantar beberapa orang prajurit Raja Aceh. Ia diantar menggunakan sekoci.
Dalam sekoci itu turut pula seorang
tabib istana yg ikut dibawa bersama rombongan di kapal Raja Aceh. Rupanya malam
itu Simardan direncanakan Raja Aceh akan dikhitan di kapalnya.
Di kapal Simardan, setelah dikhitan
sang tabib memintanya beristirahat penuh barang beberapa hari ini agar pada
hari ijab kabul dan bersanding nanti kesehatan Simardan sudah pulih sedia kala.
Menurut perkiraan sang tabib bila tak ada sesuatu hal Simardan mudah mudahan
sudah bisa sembuh seperti sediakala dalam masa sepekan kedepan. Untuk itu sang
tabib berpesan Simardan dapat menjaga pola makan dan istirahatnya agar segera
sembuh sesuai harapan.
Satu lagi dipesankan sang tabib agar
Simardan dapat menahan dahulu gelora birahinya. Ia mengingatkan bahwa pada
malam sesudah bersanding nanti jangan dahulu menjadikan malam itu sebagai malam
pertama untuk bercinta naik ke bulan melakukan hubungan suami isteri demi
kebaikan dan kesehatan mereka berdua.
Setelah sang tabib memberikan pesan
dan nasehat, Simardan pun memaklumi. Setelah lewat tengah malam menjelang
dinihari akhirnya tabib Kerajaan Aceh dengan
beberapa orang pengawal memohon diri pada Simardan untuk kembali ke
kapalnya.
Sementara itu di kapal British Raya
malam itu berlangsung juga pertemuan tertutup utusan Kerajaan British Raya
dengan beberapa kerajaan sahabat. Seperti raja dari negeri Raja Malaka, Raja
Selangor, Raja Kedah dan Raja Siak dari Andalas. Selain itu juga beberapa
saudagar berbagai negeri yg telah menjalin hubungan baik selama ini bermitra
dengan Kerajaan British Raya.
Kita kembali ke kapal Simardan.
Setelah pengkhitanan selesai dan rombongan tabib telah kembali ke kapalnya.
Simardan pun segera beristirahat di kamar. Ia dijaga dua orang pengawal di
depan kamarnya.
Akan tetapi belum sempat terlelap
tidur, utusan utusan yg dikirimnya ke Kampung Tanjung dan Bandar Pulo tiba pula
merapat ke kapalnya. Melalui anak buah kapal, mereka minta disampaikan pada
Simardan memohon untuk menghadap. Mereka sebenarnya telah sampai di Pulau
Bintan tadi pagi. Oleh karena mendapat kabar bahwa tuan mereka sedang berada di
Tumasik, maka sehabis beristirahat sejenak melepas lelah dan berkemas kemas
lalu mereka berlayar kembali menuju Tumasik, karena ada hal-hal penting yg harus segera disampaikan
langsung pada Simardan.
Permohonan sahabat
Simardan untuk menghadap segera disampaikan pengawal. Simardan lalu
mengizinkan sahabat para utusannya ke Selatan itu untuk naik ke kapal. Ia
menunda istirahatnya karena bersemangat untuk ingin segera tahu gerangan
informasi apa yg mereka bawa dari sana. Bergegas kemudian pengawal kembali
menjumpai sahabat utusan, lalu
mempersilahkan satu orang saja yg boleh naik ke kapal mewakili mereka yg
berjumlah tiga orang itu. Dengan alasan sang majikan sedang dalam masa
perobatan.
Salah seorang sahabat Simardan yaitu saudagar asal dari
Kampung Tanjung naik ke kapal mewakili temannya yg lain. Ia lalu diantar
pengawal menemui Simardan yg sedang berbaring di kamar.
Sebelum sahabatnya bertanya akan dirinya maka Simardan menceritakan kejadian dan
peristiwa yg dialami hingga keadaannya seperti itu. Mendengar cerita Simardan
sahabatnya manggut manggut tanda sudah memahami, lalu iapun memberikan ucapan
selamat tanda turut bergembira.
Kini ia tahu bahwa tuannya sudah meninggalkan kepercayaan
lamanya dan kini telah memeluk agama Islam.
Iapun minta di Islamkan pula bersama keluarga serta para sahabatnya yg
lain.
Simardan berjanji kepadanya, nanti setelah semuanya
selesai akan dilangsungkan sebuah acara
pengislaman masal para anak buah dan kaki tangannya dan sekaligus membuat pesta
rakyat di negeri Bintan.
Setelah itu Simardan lalu meminta sahabatnya untuk menyampaikan informasi apa saja yg
mereka bawa dari misi perjalanan ke Selatan serta hasil pembicaraan dengan Raja
Bandar Pulo pamannya itu.
Lalu sang sahabat menuturkan dengan panjang lebar apa apa yg
telah mereka alami selama menjalankan misi ke Selatan itu.
Tetapi sebelumnya ia memohon maaf pada Simardan bila mereka
menyinggahi Kampung Tanjung baru diakhir perjalanan dari agenda yg telah
disusun sebelumnya karena pertimbangan waktu. Mereka menyinggahi Kampung
Tanjung saat berlayar kembali pulang menuju negeri Bintan setelah misi ke
Kerajaan Bandar Pulo selesai lebih dahulu.
Dari penuturan sang sahabat, saat mereka masuk agak ke hulu
dari Aek Doras akhirnya mereka sampai pada sebuah bandar kecil di sisi kanan
Aek Doras bila dari hilir. Disitu penduduknya sudah agak ramai.
Banyak penduduknya
berdagang barang barang disana terutama hasil hutan dan ladang juga
hasil tangkapan nelayan dari sungai besar itu.
Daerah itu penduduk disana
menamakannya Bandar Pulo. Disana mereka menemui raja lalu menyampaikan
pesan dari Simardan.
Raja itu adalah adik kandung ayah Simardan yg pada awalnya
tidak begitu percaya pada mereka. Tetapi setelah sang sahabat menceritakan
sesuai seperti apa yg dipesankan Simardan lalu menunjukkan gelang tuannya yg
sebelumnya dititipkan kepada mereka. Akhirnya rajapun percaya pada mereka.
Kemudian setelah mereka saling bercerita panjang lebar, lalu
Raja Bandar Pulo menanyakan keadaan abangnya yg tak lain adalah ayah Simardan
itu. Begitu juga dengan isteri dan anaknya. Kemudian sahabat Simardanpun
menyampaikan apa adanya. Ia sampaikan bahwasa ayah tuannya itu telah meninggal
dunia sewaktu Simardan masih kecil lagi. Jasadnya dikuburkan di daerah Teluk
Dalam di tanah bekas peladangan mereka dahulu sewaktu di awal membuka perladangan
di negeri baru. Negeri itulah akhir dari perjalanan mereka setelah berpisah
dengan adiknya yg lebih dahulu membuka perladangan dan negeri baru di daerah
Bandar Pulo dan menjadi raja disana.
Kemudian lanjutnya menuturkan. Setelah abang sang raja meninggal
di Teluk Dalam, sang isteri bersama putera tunggalnya membuka daerah baru lagi
agak ke hilir dari situ agar lebih dekat ke sebuah bandar baru yaitu Kampung
Tanjung tempat mereka menjual hasil ladangnya maupun hasil hutan. Disana ibunda
Simardan mendirikan gubuk untuk tempat tinggal bersama sang putera tercinta.
Sang raja semakin bersemangat mendengarkan penuturan mereka.
Sewaktu sang sahabat Simardan menceritakan tentang Kampung Tanjung lalu raja
memotong pembicaraan. Sang raja mengatakan bahwa ia sering kesana ke Kampung
Tanjung. Kampung itu masuk dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Bandar Pulo di masa
itu karena disana belum ada pemerintahan. Namun sebelumnya dia sama sekali tak
mengetahui bila istri saudara kandungnya ada tinggal disitu.
Setelah mereka saling bercerita panjang lebar barulah
kemudian sang utusan menyampaikan pesan tuannya kepada sang paman. Melalui
utusannya Simardan berpesan agar sang paman sudilah memindahkan istananya ke
Kampung Tanjung guna dapat lebih memperhatikan isteri mendiang abangnya yg
sudah semakin tua dan ringkih itu.
Tapi saat itu permintaan Simardan belum dapat dipenuhi sang
raja karena berbagai pertimbangan. Salah satunya adalah bahwa semakin maraknya
komplotan lanun maupun penjahat yg melarikan diri dari berbagai negeri
bersembunyi disitu. Sementara itu tentera kerajaan kecil Bandar Pulo saat ini
belumlah begitu kuat.
Sementara itu disisi lain ada pula ancaman yg datangnya dari
negeri negeri lain di luar Kerajaan Bandar Pulo. Deperti ancaman penaklukan
dari Kerajaan Batubara di Utara. Begitu pula ancaman dari Kerajaan Simalungun
di sebelah Barat. Kedua kerajaan ini selalu menjadi ancaman ingin menaklukkan
dan menguasai negeri mereka. Oleh karenanya kerajaan kecil yg belum kuat ini
tak boleh lengah dari musuh yg mengintai akibat terbagi bagi perhatiannya.
Raja menambahkan, sebelum dapat memindahkan pusat kekuasaan
ke Kampung Tanjung mereka perlu memperkuat diri terlebih dahulu. Akan tetapi
ada cara lain yg lebih mudah dan cepat untuk dilaksanakan yaitu meminta bantuan
pada sebuah Kerajaan Besar yg punya pasukan perang yg kuat seperti Kerajaan
Aceh yg amat kuat bala tentaranya ydimasa itu agar dapat melindungi mereka
semua disana.
Dari penjelasan panjang lebar sahabatnya itu kemudian
tampaklah Simardan manggut-manggut penuh antusias. Ia minta diteruskan
ceritanya sampai tuntas.
Dini hari itu di kapal Simardan pelayan masih bekerja
menghidangkan minuman bersama penganan ringannya lalu diletakkan di atas sebuah
meja kecil di samping ranjang tidur sang majikan buat dia dan tamunya. Sang
majikan terbaring dengan kain penutup tubuh bagian bawah berikat tali ke atas
langit langit kamar untuk memberikan keleluasaan bagi sebuah organ tubuh
Simardan yg sedang dalam tahap penyembuhan.
Malampun sudah hampir menjelang subuh, namun Simardan tetap
bersemangat mendengarkan kelanjutan cerita sang sahabat yg sedang duduk bersila
di lantai di sisi ranjangnya. Lalu Simardan mempersilahkan sang sahabat untuk
meneguk minumannya juga mencicipi makanan yg sudah terhidang itu selagi panas.
Setelah meminum beberapa teguk teh panas itu sang sahabatpun
melanjutkan ceritanya. Pada saat menghadap itu dia telah menyampaikan kepada
raja Bandar Pulo akan hal kemenakannya Simardan. Beberapa masa yg lalu
keponakannya itu menumpas habis komplotan bajak laut yg selama ini sudah
membuat resah para pelaut dan pelayar di perairan Selat Malaka. Oleh karena
jasanya itu ia diundang Raja Tumasik untuk menghadiri pertemuan antar negeri
membahas keamanan jalur pelayaran Selat Malaka. Walau sang sahabat tidak
mengikuti perkembangan dan hasil pertemuan itu karena menjalankan misi ke
Selatan sampai ia bertemu Simardan pada malam ini.
Sang sahabat kemudian melanjutkan ceritanya. Ia dan dua
orang pendamping pada misi itu menginap semalam di istana raja. Disana mereka
dilayani dengan amat baik. Keesokan harinyapun mereka bertolak pulang. Sebelum
berangkat pulang mereka dibekali sang raja dengan berbagai bahan makanan untuk
bekal selama perjalanan. Seperti ikan kering yg diasapi (ikan salai), telor
ayam dan telor itik, beras, kelapa, pisang, ketela juga sayuran. Padahal saat
itu persediaan yg mereka bawa dari pulau Bintan masih ada walaupun sudah
menipis.
Dalam perjalanan pulang meninggalkan istana, setelah
melewati Aek Batu (Air Batu) mereka bertemu sebuah teluk di sisi Barat Aek
Doras disitu terdapat lubuk yg airnya cukup dalam. Mereka meyakini itulah yg
dimaksud Simardan dengan Teluk Dalam, daerah pertama yg disinggahi orang tua
Simardan membuka perladangan baru. Menurut cerita Simardan daerah itulah tempat
ayahnya dikuburkan. Setelah merasa yakin dengan tanda tanda yg sudah diberikan
sang majikan sebelumnya, merekapun bertambat disitu lalu bertiga turun ke
darat.
Dalam perjalan pulang dari Bandar Pulo ke hilir Aek Doras
hingga sampai ke Teluk Dalam itu mereka belum mengembangkan layar perahu.
Mereka hanya berdayung dayung kecil sambil berhanyut hanyut mengikuti arus
sembari beristirahat di bawah naungan kajang walau tetap menjaga kemudi.
Setelah turun ke darat di Teluk Dalam itu bertemu dengan
semak belukar yg tumbuh subur banyak terdapat sejak dari tepian hingga
daratannya. Semak belukar itu mereka terangi dengan peralatan seadanya. Lalu
mereka terus masuk ke daratan sambil memandang kesana kemari mencari kuburan yg
dimaksud tuannya.
Mereka mencari cari rumpunan bambu yg tumbuh dekat sebatang
pohon haloban besar seperti petunjuk yg diberikan Simardan. Seakan dipandu, tak
berapa lama setelah memasuki darat dari kejauhan mereka sudah melihat sebatang
pohon besar dan rimbun yg disekitarnya ada rerimbunan pohon bambu.
Setelah didekati benar saja disana mereka menemukan sebuah
kuburan tua yg tidak terurus. Hanya berupa seonggokan tanah di bawah sebatang
pohon haloban yg besar dan rindang. Kuburannya pun nyaris sudah tak berbentuk
ditutupi tumbuhan perdu yg menjalar sudah kemana mana.
Suasana disitu amat gelap karena sinar matahari
terhalang ditutupi rimbunan pohon pohon
besar yg daunannya hampir bertaut bertemu satu sama lain menyelimuti daratan.
Mereka lalu mengumpulkan ranting ranting kayu kering lalu membakarnya untuk
sekedar dapat menerangi sekitar kuburan tua itu.
Setelah membersihkan kawasan itu mereka lalu merapikan
kembali batu batu kali yg disusun sebagai tanda sebuah kuburan. Kuburan tanpa batu nisan. Mereka lalu
menambah gundukan tanahnya sehingga menunjukkan disana ada sebuah kuburan.
Kemudian
sahabat Simardan melanjutkan ceritanya. Setelah dari Teluk Dalam mereka lalu
melanjutkan perjalanan juga dengan berhanyut hanyut terus ke hilir. Tak berapa
lama setelah melewati beberapa tanjung sampailah mereka pada sebuah teluk
kecil.
Teluk kecil itu berada sebelum bertemu Kampung Tanjung
setelah melewati Teluk Dalam.
Berdasarkan petunjuk Simardan terdahulu mereka pun yakin disitulah mungkin
letak gubuk ibunda sang majikan.
Sampai disana di teluk kecil itu merekapun menambatkan
perahu pada sebuah tiang dari batang pohon nibung yg terpancang membisu di
tepian. Sebuah tangkahan kecil berlantaikan batang kayu kelapa yg sudah melapuk
menyambut kedatangan mereka. Tangkahan kecil itu terlihat tua dan berlumut,
tanda sudah lama tak dipergunakan lagi. Dengan berhati hati mereka menaikinya.
Terlihat sebuah perahu kecil telungkup teronggok sepi di atas tepi daratan.
Hampir seluruh badan perahu kecil dari batang pohon yg dikorek itu sudah
ditutupi tumbuhan perdu dan rumput ilalang.
Mereka merasa seakan akan sudah seperti tak ada lagi tanda
tanda manusia tinggal disitu. Disana tak jauh dari tangkahan itu tampak sebuah
gubuk tua. Gubuk itu kelihatan sepi seperti sudah lama kosong ditinggalkan
penghuninya. Rerumputan dan pepohonan merambat tampak bersusun berlapis lapis
menutupi sampai ke tengah halaman, menunjukkan halaman itu sudah lama tak
diinjak orang. Di tengah jalan setapak yg mulai tertutup semak itu ada sebatang
pohon pinang yg sudah tumbang lama menghalangi jalan mereka.
Tiba tiba dari kejauhan terdengar suara seekor anjing sedang
menyalak. Suara itu datang dari tengah kebun yg sudah tak terurus lagi. Seekor
anjing hitam tiba tiba datang mengejar mereka. Lalu diikuti seekor monyet
putih. Monyet putih itu ikut mengejar mereka dengan melompat lompat berayun
dari pohon ke pohon yg lain sampai mendekati mereka.
Mereka bertiga sangat ketakutan. Tiba tiba dari arah gubuk
terdengarlah suara pelan memanggil. Suaranya berat terbata bata. Suara lirih
perempuan tua seakan memanggil pada kedua binatang itu. Merekapun menduga
pastilah itu suara emak Simardan.
Kemudian dari dalam gubuk mereka melihat seseorang mencoba
bangkit berdiri berjalan teroyong oyong ke arah pintu. Sosok seorang perempuan
tua dengan rambut panjang awut awutan yg sudah memutih semua. Badannya terlihat
ringkih sekali. Dari balik semak semak mereka melihat perempuan tua itu mencoba
meraih sisi pintu lalu berpegangan disitu. Tak lama kemudian kedua binatang yg
mengejar utusan Simardan sudah ada di sisi sang nenek.
Dari balik rerumputan ilalang di luar gubuk mereka bertiga
memperhatikan sang nenek seperti menanyakan sesuatu kepada kedua binatang itu.
Seolah mengerti lalu kedua binatang itu berlari turun ke bawah gubuk ke dekat
tangga. Disana kedua binatang itu lalu membawa ke atas gubuk melalui tangga apa
apa yg sudah mereka dapatkan selama seharian dikebun. Kedua binatang itu tampak
membawa hasil pencariannya dengan cara menjepit diantara kedua rahang mereka.
Bintang binatang itu kemudian menyalak-nyalak sambil
mengarahkan pandangan ke sahabat sahabat Simardan di bawah sana. Si nenek tua
itupun maklum kemudian memanggil mereka yg sedang sembunyi di bawah sana untuk
tidak merasa takut dan naik saja ke gubuk.
Dengan hati tak tenang penuh ketakutan merekapun terpaksa
naik mengikuti perintah sang nenek. Ada rasa takut bercampur suasana aneh di hati mereka bertiga
tapi harus dilawan demi menjalankan tugas dari Simardan.
Semakin antusias mendengarkan cerita sahabatnya, Simardan
lalu hendak bangkit duduk di atas ranjangnya. Tapi segera ditahan sang sahabat
agar tuannya tetap saja berbaring seperti itu.
Tak sabar Simardanpun lalu menyanyakan pada sahabatnya itu
tentang keadaan ibunya. Untuk memastikan dugaannya selama ini bahwa sang bunda
masih hidup tidak seperti informasi yg diterima dari Raja Rompak sang ayah
asuhnya bersama kaki tangannya semasa di kapal lanun dahulu.
Sahabatnya membenarkan bahwa ibu Simardan masih ada lalu
menambahkan bahwa ada juga kabar tentang ibunya masih hidup tapi sudah gila
adalah berita bohong dan tidak benar adanya. Hanya saja karena selama ini
kurang memperhatikan dan mengurus dirinya karena terus memikirkan akan nasib
anaknya yg hilang ia terlihat seakan kehilangan semangat hidup. Lalu sahabatnya
itu menyampaikan pada Simardan bahwa sang bunda sampai saat mereka bertemu itu
masih yakin bahwa anaknya masih hidup.
Setelah ia mendapat kabar dari mereka bahwa anaknya masih
ada. Emak Simardan langsung gembira,
semangat hidupnya bangkit kembali. Hari itu jiwanya yg selama ini kosong
kembali bergairah.
Spontan dapur yg sudah lama tak disentuhnya itu kini
didatanginya kembali untuk mempersiapkan sesuatu makanan buat mereka semua di
gubuk di sore itu. Para sahabat mencoba menahannya agar tak merepotkan.
Merekapun menyampaikan ada membawakan makanan untuknya sebagai buah tangan.
Hari pun hampir malam. Sebelum pulang mereka dibekali ibunda
Simardan dengan beraneka buah buahan yg sudah teronggok di bawah tangga
diambilkan kedua binatang peliharaannya
dari kebun. Demikianlah penjelasan sahabatnya itu dari hasil misi perjalanan
mereka ke Selatan itu.
Setelah mendengarkan cerita sang sahabat tampak Simardan
merenung. Pandangannya kosong menerawang menembus langit langit bilik kapal
menuju Selatan ke kampungnya jauh disana.
Tiba tiba dia menangis lalu meraung raung sambil mengatakan
bahwa dia selama ini sudah sangat berdosa telah menyia nyiakan dan
menelantarkan ibunya yg tua renta hidup sendiri disana. Hidup dan derita sang
bunda dipikulnya sendiri tanpa suami tanpa anak dan juga tanpa keluarga.
Simardan lalu berteriak kencang memaki maki ayah asuhnya si Raja Rompak yg
telah membohonginya selama ini. Begitu pula para pelayar dan pelaut asal
Kampung Tanjung yg pernah ditanyainya kala merompak dahulu. Dikarenakan takut
pada Raja Rompak lalu mereka semua manut merahasiakan padanya bahwa sang bunda
masih hidup.
Kemudian kepada sahabatnya itu Simardan mengatakan bawa
ingin berlayar kesana segera di malam
ini untuk menjemput emaknya. Untuk itu ia mohon dipersiapkan segala sesuatunya.
Melihat kondisi Simardan saat itu serta pelaksanaan acara yg
akan diikuti tuannya sang sahabat menyarankan sebelum berangkat ke Selatan
menemui sang ibu ada baiknya terlebih dahulu memberitahukan niatnya itu kepada
Raja Aceh. Janganlah nanti karena dia tak mengetahui rencana Simardan itu
sebelumnya lalu menjadi tersinggung dan murka. Bila nanti hal itu terjadi dapat
berakibat buruk bagi mereka juga semua pihak.
Begitu pula halnya pada calon mertua juga calon istri
Simardan perlulah diberitahu karena mereka kini pasti sedang sibuk
mempersiapkan segala sesuatu untuk pelaksanaan pesta pernikahan itu. Lagipula
perjalanan kesana untuk menjemput sang bunda pergi dan kembalinya memerlukan
waktu hampir dua pekan. Itupun bila keadaan cuaca dan angin berembus baik
selama menempuh perjalanan.
Mendengar saran dan nasehat sahabatnya itu Simardanpun
merenung lama. Ia mempertimbangkan keadaan dirinya yg sedang dalam masa
penyembuhan itu. Dimana tabib Kerajaan Aceh akan rutin setiap hari melakukan
pemeriksaan secara berkala sampai ia sembuh nanti. Tabib itu pasti akan datang
ke kapalnya untuk mengecek perkembangan pemulihan kesehatannya lalu memberikan
obat obat yg diperlukan. Obat obat itu pastilah obat obat terbaik dari sang
tabib supaya ia segera sembuh.
Perasaan hati Simardan menjadi kacau tak menentu, jadi serba
salah. Ia pun kuatir juga, bila nanti akibat menunggu terlalu lama sampai acara
pesta pernikahannya selesai, kemungkinan tak sempat lagi bertemu dengan sang
bunda tercinta yg kini sedang sakit itu.
Dalam lamunan Simardan terbayanglah kondisi emaknya yg saat
ini sedang payah dan ringkih. Dugaannya mungkin karena itulah makanya sang
bunda tak mau dibawa serta sahabatnya ke pulau Bintan. Sang ibu pasti sudah
merasa tak kuat lagi dan khawatir nantinya akan menjadi beban mereka saja
selama di perjalanan. Ataupun mungkin karena takut nantinya akan menyusahkan
puteranya setiba di sini.
Dalam kegalauannya itu terbayang pula ia kekecewaan sang
puteri bila ia pergi diam diam tanpa memberi tahu. Ia tak tega membuat kecewa
sang Puteri seorang gadis baik yg tak pantas untuk disakiti. Apalagi itu
disebabkan ketidak tahuannya akan situasi yg dialami sang calon suami karena
tak pernah disampaikan padanya selama ini. Begitu pula dengan sang calon
mertua.
Lain lagi nanti permasalahan yg dapat timbul dengan ayah
angkatnya sang Raja Aceh. Ia merasa berkepentingan sekali menjaga hubungan baik
dengan sang raja demi masa depan dirinya juga negeri tempatnya dibesarkan jauh
di Selatan itu.
Saat Simardan tengah menimbang nimbang keputusan apa yg akan
diambil, sahabatnya memohon diri karena dua sahabat mereka yg lain tentu sudah
lama menunggu. Sedari tadi mereka menanti di atas perahu yg merapat di sisi
bawah kapal Simardan itu.
Barulah Simardan sadar lalu mengizinkan sahabatnya itu untuk
kembali pulang sambil meminta kepadanya juga dapat disampaikan kepada
sahabatnya yg lain untuk tetap menjaga serta merahasiakan hal hal yg mereka
ketahui ini baik kepada sesiapapun di luar mereka.
Rupanya dari pertemuan mereka itu ada beberapa hal sensitif
yg tak turut disampaikannya tadi. Sang sahabat tak kuat untuk menyampaikan
bahwa emak Simardan sangat mengharapkan sekali bertemu dengan anak tercintanya
itu sesegera mungkin karena rasa rindu yg sudah lama ditahankan. Padahal dia
yakin bila nanti tuannya sudah bertemu dengan sang emak maka pastilah semangat
hidup si ibu tua akan pulih kembali. Begitu pula dengan penyakit kelainan jiwa
yg tengah dialami si nenek tua itu kemungkinan besar dapat sembuh sediakala.
Dia teringat kembali pada saat mereka diterima sang nenek di
atas gubuk lalu ketika mereka menuruni tangga menuju perahu untuk berangkat
pulang. Para sahabatnya sempat mendengar dari bawah sang emak Simardan
bersenandong lirih di pembaringannya. Selalu begitu apabila ia sedang terjaga
dari tidur sepanjang hari. Bila malam tak dapat memejamkan mata maka bersenandonglah
ia sepanjang malam sampai datang kantuknya. Senandongnya sungguh sangat
memilukan hati. Syair syairnya berangkai kata kata duka dengan membawa bawa
nama anaknya.
Sebenarnya sang sahabat merasa serba salah. Apakah
diberitahukan saja atau tidak, menunggu sampai waktu yg tepat. Ia menginginkan
masa depan dan kebahagian Simardan tidak terganggu. Ia tak mau merusak pesta
pernikahan sang majikan yg tentunya sudah dipersiapkan secara besar besaran
akan menjadi berantakan karena informasi darinya itu. Situasi serba pelik, tapi
inilah yg terbaik menurut kata hatinya.
Di ufuk Timur mentari pagi tersenyum cerah. Embun embun yg
membasahi permukaan dedaunan pelan pelan sirna. Di istana Tumasik terlihat
kesibukan disana sini. Menteri Utama bersama para menterinya juga para
penasehat raja mengadakan pertemuan tertutup di pagi itu. Mereka di balairung
istana mengadakan rapat pembentukan kepanitiaan untuk pelaksanaan walimatul
ursy puteri raja.
Padahal pesta rakyat sudah berlangsung sejak beberapa hari
lalu. Pesta rakyat itu sudah berlangsung sejak dimulainya acara pertemuan para
raja bersama unsur pimpinan tinggi antar negeri dengan membawa pula para
saudagar besar dari negerinya masing masing ke Tumasik sampai sekarang.
Hebatnya sampai hari ini para tamu undangan baik dari negeri
sekawasan maupun dari luar kawasan belum ada yg meninggalkan pulau Tumasik.
Mereka semua telah menunda kepulangan ke negerinya masing masing untuk dapat
menyaksikan langsung hajatan besar negeri Tumasik itu. Esok hari direncanakan
akan dilangsungkan akad nikah calon mempelai di Mesjid Raya Kerajaan Tumasik yg
masih dalam lingkungan istana.
Sementara itu di atas kapal Simardan, tabib bersama para
pembantunya telah tiba. Mereka berupaya semaksimal mungkin untuk penyembuhan
bekas luka khitanan Simardan. Paling tidak sudah dapatlah mengikuti prosesi
akad nikah sampai selesai. Kemudian esok harinya mudah mudahan tak ada juga
kendala. Simardan sudah dapat pula duduk bersanding bersama sang Puteri di
pelaminan.
Waktu terus berjalan tanpa bisa ditawar tawar, matahari pun
sudah kembali ke peraduannya. Malam itu di istana Temasuk dilangsungkan acara
Malam Berinai. Dalam acara itu sang
Puteri mengkhatamkan bacaan Al Qur'an nya. Acara itu hanya dihadiri oleh pihak
dalam keluarga raja dan permaisuri saja bersama para ulama dan tuan tuan guru
kerajaan.
Sementara itu di kapal Simardan tampak sudah dibolehkan sang
tabib untuk bangkit berdiri lalu berjalan dari ranjangnya. Walaupun diharuskan
masih mengenakan pakaian yg longgar longgar saja.
Dibolehkan berjalan lalu Simardan tampak menuju haluan
kapal. Disana ia duduk seorang diri sambil bermenung.
Pandangannya menatap bulan yg hampir penuh dua malam lagi
akan purnama. Cahaya sang rembulan yg terang temaram dihiasi bintang bintang
bertaburan di langit cahayanya berkelap kelip bagaikan hamparan mutiara
memenuhi angkasa. Suasana itu semakin membawa hati Simardan terkenang masa
lalu. Ingatannya melayang ke masa kecilnya dahulu. Tanpa terasa ia kini sudah
dewasa yg sebentar lagi akan meninggalkan masa lajangnya.
Hatinya mengharu biru terkenang masa dahulu. Masa masih
bersama sang emak juga teman teman sebaya di kampung yg jauh dimata. Semua
kenangannya seakan bermain main di mata melayang layang sampai kepada masa remajanya
dahulu saat ketika tumbuh remaja di kapal bajak laut. Dunia hitam yg telah
menempa keras diri dan kehidupannya. Kini semua itu sudah ditinggalkan hanya
menjadi kenangan.
Kapal Lancang Hitam dunia remajanya saat itu kini dalam
genggamannya. Ia sedang duduk melamun di haluan kapal itu. Kapal yg telah
diperbaikinya dengan mendatangkan langsung ahlinya dari negeri Bugis. Disana
sini kapal itu telah diperbaiki. Lancang Hitam dahulu yg telah patah dalam
bencana Selat Malaka kini telah berganti dengan lancang tiang layar utama yg
lebih besar serta tinggi dan kokoh.
Tiang lancang itu dipertahankannya masih berwarna hitam
sebagai ingatan dan kenangan. Walaupun kini panjinya sudah berbeda. Kini kapal
itu berpanji merah bergambar burung elang besar bermata tajam. Mata yg tajam
tanda sebagai pengawas dan pengawal yg handal. Tentangan sayap lebar kokoh nan
gagah tanda hidup yg berdaulat dan
disegani. Bercakar dan berparuh tajam nan kuat tandanya ia pelindung juga pembela
yg gagah lagi perkasa. Itulah salah satu kapal legenda Selat Malaka di zamannya yg kini menjadi miliknya.
Dalam lamunannya itu sesekali Simardan melayangkan
pandangannya ke daratan Tumasik. Sesekali pula ke kapal besar ayah angkatnya
sang Raja Aceh disana yg tengah berlabuh tak berapa jauh di sisi Selatan
kapalnya. Lalu sesekali pandangannya ke arah Tenggara ke pulau Bintan tempatnya
kini bermukim. Sesekali pula ia menatap jauh ke Selatan. Pandangannya
menerawang jauh ke arah kampungnya. Kampung tempatnya dibesarkan, negeri dimana
ibundanya kini tinggal seorang diri.
Hasrat hati ingin segera bersua sang bunda lalu dapat
membawanya bersama kemari agar turut menyaksikan pernikahan puteranya nanti
namun apalah daya. Dirinya merasa kecil tak berarti, tak berdaya mengikuti kata hati. Iapun sadar
ada suatu yg Maha Berkuasa atas hidup ini. Ada tekad dalam hatinya walau
seberat apapun kenyataan hidup akan dihadapinya.
Itulah pesan sang ayah yg tak sempat lama dikenalnya. Pesan
itu selalu disampaikan ibunya dahulu semasa kecil dahulu. Tekadnya sudah bulat Sekali layar terkembang surut untuk berpantang.
Mengisi kekosongan jiwa yg tengah nelangsa di malam yg
dingin itu, lalu tanpa sadar ia bersenandung senandung kecil mencurahkan
suasana hati yg sepi saat menghadapi hari bahagianya. Suasana hatinya bagaikan
antara duka dan suka bercampur menjadi satu. Terdengarlah suara merdunya di
malam yg semakin larut.
Duhai
bayu berembuslah dikau berembus, berembus sampai merasuk sukma Berlalulah dikau
berlalu, berlalu jauh ke Selatan sampai ke negeri tanah harapan
Malam sudah semakin larut. Angin malam berembus membawa
embun terasa dingin seakan menusuk tulang. Sebelum Simardan kembali ke peraduan
ia tampak menjumpai salah seorang anak buahnya di geladak kapal itu yg juga
belum beristirahat pergi tidur. Kepada anak buah kapal itu ia menitipkan
beberapa keping uang emas dan perak. Simardan meminta padanya agar esok pagi
pagi sekali sang anak buah dengan menggunakan sekoci kapal pergi ke daratan ke
pasar Tumasik untuk membeli lima ekor kambing jantan yg sudah berumur satu
tahun atau lebih. Kambing jantan itu harus sehat dan tidak ada cacatnya. Bila
tidak ada di jumpai di pasar, Simardan meminta padanya dapat dicari langsung
pada peternak atau penduduk yg memiliki kambing yg diinginkan untuk dibeli.
Setelah dibeli, kambing kambing jantan dewasa yg sehat dan tidak
cacat itu diminta Simardan segera disembelihkan pada lelaki dewasa yg beragama
Islam disana yg sudah biasa memotong hewan berkaki empat secara islami. Nanti
setelah dikuliti dan dipotong potong oleh orang orang upahan yg dapat dicari
disana maka daging beserta tulang tulang
kambing itu dapatlah dibagi bagikan pada penduduk disana untuk mereka masak dan
makan bersama keluarga.
Rupanya Simardan ingin beraqiqah mengikuti saran nasehat
sang ayah angkat yg disampaikan tabib sebelum ia pengkhitanan itu. Dua ekor
sebagai aqiqah almarhum ayahnya, dua ekor untuk aqiqah Simardan sendiri dan
satu ekor lagi untuk aqiqah emaknya. Pesan sang Raja Aceh sebaiknya aqiqah itu
sudah dapat ditunaikan Simardan sebelum pelaksanaan akad nikah besok menjelang
siang.
Tak lama setelah beristirahat tidur, subuh itu Simardan
sudah dijeput oleh beberapa pengawal Raja Aceh untuk segera berkemas guna
dibawa ke kapal mereka.
Di kapal Raja Aceh semua perlengkapan mandi beserta pakaian
persalinan sudah dipersiapkan untuk Simardan. Sebelum dibawa ke kamar mandi di
kapal itu sang tabib terlebih dahulu memeriksa kondisi Simardan. Lalu ia
mengganti pembalut luka di bekas khitanan itu. Tabib berpesan pada Simardan,
nanti sewaktu mandi jangan dahulu
mengguyur seluruh badannya dengan air. Hanya boleh membasuh badan di
luar bagian badan yg sedang masa penyembuhan itu. Ia berpesan sekali lagi tanda
harus diperhatikan. Hindari jangan terkena air dan badan disiram seperlunya
saja.
Selesai Simardan pergi mandi membersihkan lalu mengeringkan
badan. Kemudian seorang perias raja di kapal itu memakaikan pakaian
sepersalinan yg disebut Raja Aceh dengan Peukayan Linto Baro pada Simardan
untuk acara ijab kabul nanti.
Pakaian yg akan dikenakan Simardan itu adalah seperangkat
pakaian adat negeri Aceh yg bercorak gaya islami. Ia dikenakan mulai dari baju
dalaman dari bahan halus dan lembut berwarna putih polos.
Kemudian dipakaikan celana cekak musang berwarna hitam yg
bentuknya agak longgar dengan bagian bawahnya bersulam benang emas dan alas
kakinya. Celana itu sangat nyaman dipakai Simardan walau ia baru dua hari
khitanan. Raja Aceh biasa memakai celana seperti itu yg disebutnya dengan
celana Sileuweu, enak dipakai duduk bersila.
Sesudah itu Simardan dikenakan blazer hitam dari kain
berbahan tebal yg diberi sulaman indah dari benang emas pada kerah yg tertutup,
juga bersulam benang emas pada ujung lengan serta beberapa bagian depan. Raja
Aceh juga biasa mengenakannya dan disebutnya dengan Meukasah. Lalu sebagai
penutup kepala Simardan dikenakan pula sebuah topi berbentuk lunjung ke atas yg dibalut kain tengkulok. Topi ini
biasa dipakai Raja Aceh sehari hari yg disebutnya dengan Meukeutop, penutup
kepala.
Simardan pun hampir selesai disiapi oleh juru rias. Setelah
ia mengamati hasil pekerjaannya itu terasa ada sesuatu yg masih kurang. Sesuatu
yg kurang itu ada pada bahagian sensitif Simardan. Bagaimana caranya supaya
dapat melindungi bagian tubuh Simardan yg sedang dalam masa penyembuhan itu.
Bahagian itu sedang menggunakan pembalut tapi hanya dilindungi celana Sileuweu
yg tidak begitu tebal. Ia memutar otak bagaimana agar aman dari senggolan
tangan orang orang pada saat berlangsungnya acara tepung tawar ataupun
peusijuek nanti. Disamping itu memberikan rasa aman pula dari penglihatan iseng
para tetamu karena bagian itu mudah terlihat. Bagian itu tampak sedikit
menonjol karena berbalut.
Simardan rupanya tak kehabisan ide. Seketika ia lalu minta
disediakan sehelai kain sarung tebal. Perias lalu mencari kain itu di lemari
penyimpanan pakaian. Tak lama iapun sudah kembali lalu diberikannya sehelai
kain tenunan songket tanah semenanjung pada Simardan. Kain tenunan songket itu
tadinya adalah salah satu cenderamata Raja Tumasik pada Raja Aceh di acara
pertemuan kemarin.
Setelah menerima kain songket itu lalu Simardan melipat
duanya menjadi separuh dari tinggi kain sebelumnya. Setelah itu lalu
disarungkannya sebatas pinggang sampai sedikit di atas lutut.
Perias geleng geleng kepala atas ide Simardan. Ia takjub
karena disamping dapat menjaga bagian tubuh yg perlu dilindungi saat itu juga
dapat terhindar dari penglihatan mata nakal para tetamu.
Agar tampak lebih menarik lagi oleh sang juru rias kain itu
dilipat lipat indah membentuk kipas pada satu sisinya. Pada bagian atas
digulung sedikit terlihat semakin manis. Kemudian pada pinggang agak ke sebelah
kiri diantara kain songket itu dengan celana Simardan diselipkan sebilah
rencong milik kerajaan Aceh.
Kembali Simardan mengenakan blazer hitamnya yg tadi sempat
dilepaskan saat memakai kain setengah layar itu. Kemudian Simardan mengambil
gelang pemberian ibu. Sebuah gelang warisan ayahnya yg telah dikembalikan
sahabat yg dipinjamkan ketika menjalankan misi ke Selatan. Gelang itu ia
kenakan pada lengan kiri bagian atas di antara siku dan bahu. Gelang itu
disiarkannya sebagai mewakili ibu dan mendiang ayah di acaranya yg sakral itu.
Gelang itu adalah warisan ayah Simardan kepadanya dan selalu dibawa kemanapun
ia pergi. Gelang warisan leluhur Simardan yg turut dibawa sang ayah ketika
meninggalkan kampung di hulu dari Porsea dahulu.
Rupanya penampilan Simardan itu yg semakin menunjukkan
kegagahan dan kewibawaannya sejak saat itu menjadi populer di kalangan
masyarakat negeri negeri kawasan Selat Malaka. Para kaum muda lelakinya senang
mengenakan kain songket setengah gulungan di atas lutut menutupi celana panjang
bagian paha.
Pagi nan
indah itu di depan pintu utama istana Tumasik, sang Raja dengan didampingi
Permaisuri telah berdiri disana bersiap siap menyambut kedatangan tamu
kehormatan kerajaan dari rombongan calon mempelai pria.
Untuk penyambutan itu telah dihamparkan permadani merah
sejak dari pintu masuk taman istana sampai ke depan pintu masuk utama istana.
Para penari dan pemain pencak silat juga sudah bersiap siap
untuk menyambut tamu. Begitu pula sepasang jaka dan dara pemantun. Mereka
mewakili masing masing calon mempelai yg setibanya nanti rombongan pihak pria
akan saling berbalas pantun membawakan mata acara menghantarkan sampai sang
calon mempelai pria melaksanakan ijab kabul.
Suasana tampak meriah. Seisi ruangan istana ditata demikian
indahnya. Disana sini tampak kemegahan penuh hiasan dekorasi dari aneka kain
dan kembang warna warni. Di depan sebuah pelaminan yg besar dan anggun
bernuansa putih terbentang pula selembar permadani tebal. Disana nanti tempat
dilangsungkannya akad nikah.
Tak berapa lama rombongan calon mempelai pria pun tiba. Lalu
Simardan dan Raja Aceh dibawa Raja Tumasik masuk berjalan berdampingan bersama
Permaisuri diikuti rombongan. Setelah sampai di aula istana merekapun dijamu.
Setelah itu Simardan dan Raja Aceh bersama rombongannya diantar menuju Mesjid
Raya Kerajaan yg letaknya berdekatan. Mesjid besar dan indah itu masih satu
halaman dengan istana. Disana telah
dilakukan persiapan acara akad nikah. Terpisah dari rombongan lalu Simardan dan
Raja Aceh berdua saja dibawa pengiring istana ke sebuah altar berlapiskan
permadani tebal.
Disana seorang tua berjenggot putih berjubah putih dan
mengenakan serban putih pula sudah menunggu mereka yg sedari tadi sudah duduk
disitu berdiri menyambut dan menyalami mereka lalu mempersilahkan duduk pada
kursi yg telah dipersiapkan.
Rombongan pihak calon mempelai lelaki dan pihak keluarga
istana sudah duduk menyaksikan di barisan belakang dari altar itu. Simardan
duduk menghadap altar di sebelah kiri sang ulama istana yg bersorban putih itu.
Raja Tumasik duduk di seberang Simardan berhadap hadapan hanya dipisahkan
sebuah altar kecil.
Sementara itu Raja Aceh duduk berdampingan dengan Menteri
Utama Kerajaan Tumasik. Mereka berdua duduk berhadap hadapan dengan sang ulama
istana. Mereka duduk berhadap hadapan hanya dipisahkan altar kecil itu. Dalam
acara akad nikah itu Raja Aceh menjadi saksi dari pihak calon pengantin lelaki
dan Menteri Utama Kerajaan Tumasik selaku saksi dari pihak calon pengantin
perempuan.
Setelah semuanya lengkap duduk disitu kemudian sang ulama
membuka lembaran mushaf Al Qur'an. Ia membuka Surah An Nisa ayat 59 lalu
membacanya dimulai dengan melafazkan kalimah Ta'awudz dan Basmalah, yg artinya
:
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya".
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir".
Setelah itu sang ulama menutup mushaf Al Qur'an beralaskan
sejenis bantal kecil berlapis beludru itu. Lalu Al Qur'an bersama alasnya itu
diambil seorang pelayan untuk disimpan kembali ke tempatnya.
Setelah itu sang ulama dengan gestur tubuh penuh
penghormatan memohon pada Paduka Raja kiranya dapat mengulangi kata kata yg ia
ucapkan. Kemudian setelah itu dalam satu nafas disambut oleh Simardan. Ia
memberikan sedikit latihan pada kedua pihak yg akan melakukan ijab kabul itu
sebelum dimulainya prosesi akad nikah.
Setelah dirasa lancar dan sudah fasih, lalu ia meminta
Simardan dan Paduka Raja Tumasik untuk saling bersalaman. Setelah itu prosesi
walimatul urat pun dimulai. Mereka saling bersambut kata dalam satu tarikan
nafas mengucapkan kata kata akad nikah yg telah diajarkan sang ulama tadi untuk
sahnya pernikahan Simardan dengan sang Puteri.
Ijab kabulpun dilaksanakan. Dimulai dari Paduka Raja yg
mengucapkan kata kata "Aku nikahkan akan dikau puteriku Tun Sri Banun
Qomariyah bin Tuanku Sultan Ahmaddin Al Tumaseky dengan mahar seperangkat alat
sholat dibayar tunai", tanpa jeda waktu dan dengan sedikit mengencangkan
genggaman salamnya Simardan lalu menyambut "Aku terima nikah Tun Sri Banun
Qomariyah bin Tuanku Sultan Ahmaddin Al Tumaseky dengan mahar seperangkat alat
sholat dibayar tunai".
Masing masing saksi dari pihak perempuan dan lelaki dengan
kompak menyatakan sah. Maka sejak saat itu secara agama Islam sahlah sudah
kedua sejoli itu Simardan dengan sang Puteri Tumasik menjadi pasangan suami
istri dalam melayarkan bahtera rumah tangganya.
Selesailah sudah acara akad nikah. Kemudian para tetamu dari
rombongan pihak mempelai lelaki bersama undangan lainnya diundang raja dan
permaisuri untuk jamuan makan siang bersama di istana.
Lalu Raja Aceh dan para tetamu undangan dari mesjid itu
diantar ke satu aula yg telah dipersiapkan. Disana sudah terhidang aneka
makanan minuman yg lezat lezat cita rasanya lengkap dengan buah buahan.
Mereka juga dihibur dengan penampilan seni musik dan tari para
pemuda pemudi negeri Tumasik yg tampan tampan dan cantik cantik.
Selesai makan tampak Raja Aceh bersiap siap meninggalkan
istana bersama rombongannya kembali ke kapal untuk beristirahat. Esok hari akan
kembali hadir disini di pesta pernikahan anak angkatnya.
Sebelum Raja Aceh beranjak dari tempat duduknya tiba tiba
dari pelaminan terlihat Simardan bangkit berjalan mendekati sang ayah angkat
lalu minta izin untuk dapat duduk disebelahnya. Ada sesuatu yg ingin
disampaikannya.
Raja Aceh mempersilahkan Simardan duduk disebelahnya. Lalu
Simardan dengan suara sedikit dipelankan seakan hampir berbisik saja. Iapun
menyampaikan hajat hatinya bahwa esok pada tengah malam sesudah acara pesta
selesai akan berlayar ke Selatan. Rencananya ingin menjeput ibunda di Kampung
Tanjung yg menurut kabar dari orang kepercayaan saat ini sedang sakit tua.
Untuk lebih menyentuh perasaan sang raja ia menambahkan pula bahwa ibundanya
itu saat kini sudah sangat tua dan amat ringkih. Untuk itu perlu mendapatkan
perawatan dan penjagaan yg lebih. Ibunya kini terbaring seorang diri tanpa ada
yg mengurus di gubuknya yg jauh disana.
Sang ayah angkat lalu menepuk nepuk pundak Simardan tanda
ikut berempati sekaligus memberikan semangat. Ia dapat memaklumi, akan
tetapi Ia menyarankan ada baiknya hal
ini disampaikan juga pada mertuanya secara langsung. Sang ayah angkat meminta
Sumarman untuk dapat meyakinkan beliau. Andai bila belum direstui sang ayah
angkat meminta Simardan dapat menunda dahulu niatannya itu sampai waktu yg tepat.
Begitulah saran ayah angkatnya guna kebaikan bersama. Simardanpun memaklumi dan
menerima nasehat ayah angkatnya.
Dikesempatan itu pula,
Raja Aceh menyampaikan janjinya pada Simardan bahwa nanti suatu saat
kelak dia akan berkunjung kesana ke Kampung Tanjung. Dia senantiasa akan terus
memperhatikan dan menjaga negeri anak angkatnya itu kelak.
Tapi saat ini dengan berat hati ia tak dapat mendampingi
Simardan untuk mampir kesana karena ia bersama rombongan sudah terlalu lama
meninggalkan kerajaan dan istana. Tentu sudah banyak pekerjaan serta urusan yg
menunggu disana.
Simardanpun dapat memakluminya. Untuk membesarkan hati
Simardan terucap pula janji sang raja pada anak angkatnya itu bahwa bila nanti
Simardan dan istrinya telah dikaruniai seorang putera maka segera mengabarinya
di Aceh. Dengan izin Allah kelak ia akan menobatkan cucunya itu menjadi seorang
Sultan di kerajaan baru yang akan dibentuknya nanti disana di negeri Simardan.
Kerajaan itu nanti berada dibawah perlindungan dan daulah Kerajaan Samudera
Pasai.
Oleh karena itu ia meminta Simardan mulai sekarang dapatlah
mempersiapkan sebuah nama buat kerajaan baru itu serta letak istana yg akan
dibangunkan disana kelak. Simardan sangat gembira dan langsung mengaminkan.
Terakhir sang ayah angkat berpesan pada Simardan agar pandai
pandai menjaga diri memperlakukan istri, mertua dan keluarga mereka yg lain
dengan baik bagaikan orang tua dan keluarganya sendiri. Ia mengingatkan
Simardan bahwa ia bukan Simardan yg dahulu
lagi. Ada dua keluarga besar yg terjalin menjadi satu ikatan keluarga kini.
Kini dua negeri yaitu Kerajaan Aceh dan Kerajaan Tumasik telah bersatu
dikarenakan adanya ikatan perkawinan ini. Oleh karenanya ia mengingatkan
Simardan untuk pandai merasa, bukan merasa pandai. Ibarat kulit, cubit di kiri
kananpun merasakan juga. Bila mata kiri menangis, mata kananpun ikut menitik.
Artinya, dua negeri itu walau dalam keadaan bagaimanapun apakah diwaktu susah
ataupun dikala senang haruslah tetap bersama. Sekali kali jangan berkhianat, menikam teman seiring dari belakang. Ia
menamsilkan, tak akan kuat batang di
pohon, bila akar berniat daun. Begitu pula daun janganlah cemburu pada akar
karena dekat ke tanah. Semua ada bagian dan tugasnya masing masing membuat
pohon itu menjadi kuat sehingga tak akan dapat diterbangkan angin yg akan
datang dari segala penjuru.
Satu lagi pesan sang Raja Aceh pada Simardan sang anak
angkatnya, agar dapat memegang teguh sumpah dan janjinya dalam memangku jabatan
selaku Laksamana Muda Kawasan Selat Malaka Pembantu Panglima Perang Kerajaan
Samudera Pasai. Untuk itu Simardan dituntut tanggung jawabnya dalam menjaga
keamanan ketertiban jalur pelayaran di wilayah itu serta dapat menjaga masuknya
ancaman dari luar. Terutama masuknya ancaman yg datang dari negeri negeri Eropa
dan Tiongkok yg selama ini telah mengintai intai karena tergiur akan letaknya
yg strategis dengan tanahnya yg subur serta hasil alam yg melimpah ruah.
Simardan juga harus mewaspadai beberapa negeri negeri yg dapat dicurigai akan
mengkhianati kebersamaan di kawasan itu. Bisa saja negeri negeri itulah
nanti sebagai pintu masuknya kekuatan
asing yg mencengkeram kawasan. Pada mulanya mereka sebagai negeri yg saling
bersahabat lambat laun bersekongkol untuk menguasai negeri negeri di wilayah
itu.
Dapat dilihat bahwa selama ini dalam hubungan kerjasama
mereka itu hanya untuk memperkaya diri kedua pihak saja, bukan untuk
kemaslahatan semua negeri sekawasan. Tak kan pelanduk berkaki
belang, jika tidak ada berada.
Dengan dilepas Raja Tumasik bersama Permaisuri siang itu
Raja Aceh dan rombongan meninggalkan istana, kecuali Simardan. Dia harus
tinggal di istana Tumasik untuk persiapan segala sesuatunya dalam rangka pesta
pernikahannya besok.
Sebelum berpisah di hari itu Raja Tumasik dan Permaisuri
sekali lagi kembali menghatur pinta sepuluh jari menyampaikan undangan lisan
sebagai penghormatan kiranya Raja Aceh bersama rombongan berkenan hadir besok
hari. Bila ada waktu dan ringan langkah ia juga mengundang besannya untuk
berkenan hadir nanti malam dalam acara hiburan kesenian dan budaya Tumasik
serta temu ramah dengan para tetamu undangan pemuka pemuka negeri yg masih
bertahan belum meninggalkan negeri Tumasik sampai pesta pernikahan puterinya.
Waktupun terus berjalan. Bulan purnama bercahaya kemilau ke
permukaan laut. Sang dewi malam tersenyum indah menghias alam menemani
kegembiraan penduduk Tumasik.
Malam ini acara malam berinai di istana bagi pasangan sejoli
kedua mempelai. Di kamar pengantin, sang Puteri tengah didandani oleh perias
istana begitu pula dengan Simardan. Sebentar lagi mereka akan dinaikkan ke
pelaminan untuk ditepungtawari oleh pihak keluarga pengantin perempuan dan para
pembesar istana.
Saat ini di kamar pengantin mereka sedang berinai. Seluruh
kuku jari tangan dan kaki sepasang sejoli itu telah ditutupi adonan daun dari
pohon pacar yg telah dihaluskan. Inai itu akan didiamkan semalaman untuk
memerahkan kuku kuku sejoli itu. Besok pagi baru dibuka agar hasilnya baik.
Sementara itu di luar di halaman istana teratak teratak sudah dipenuhi tamu para tuan tuan guru dan
ulama ulama negeri. Malam itu juga akan dilangsungkan kenduri istana. Para tuan
tuan guru dan sanak keluarga bersama para tetamu lainnya akan membacakan bacaan
bacaan toyibah sekaligus mengirim doa bagi ahli keluarga istana yg telah
berpulang mendahului.
Rombongan rombongan dari luar negeri Tumasik beramai ramai
turun ke darat meninggalkan kapalnya berkeliling keliling pulau Tumasik
menyaksikan pesta rakyat semakin menambah semaraknya malam itu. Pada setiap
arena telah disediakan makanan minuman dan hiburan cuma cuma oleh pihak
penyelenggara istana buat seluruh masyarakat negeri Tumasik dan tetamu.
Menjelang larut malam selesailah acara kirim doa dan tepung
tawar. Lalu pengantin dibawa dayang dayang kembali ke kamar untuk beristirahat.
Di kamar pengantin, setelah para dayang dayang dan perias
meninggalkan kamar. Tinggallah Simardan dan istrinya saja berdua di kamar
pengantin itu. Suasana hening, Simardan mulai menggoda sang istri yg berbaring
di ranjang berhias indah itu. Ia sudah mengenakan baju tidur. Lalu kening sang
isteri diciumnya mesra sambil menggeser bantal guling.
Kemudian Simardan duduk disampingnya. Sang isteri bangkit
lalu ingin memeluknya. Seketika ia sadar bahwa jari jemari tangannya masih
berbalur inai, niatnyapun diurungkan.
Sang Puteri lalu duduk disamping sang suami, kedua kakinya
ditekuk. Kedua bahu mereka berdempetan saling merapat. Simardan mengecup lembut
bibir istrinya yg ranum memerah basah tanpa pewarna. Lalu sang istri membalas
kecupan Simardan dengan manja. Tangannya melingkar kaku karena jemari berbalur
inai melingkari leher Simardan. Pelukannya seakan tak mau melepaskan bibirnya
dari kecupan bibir sang suami.
Di tengah kenikmatan itu Simardan merasakan ada sesuatu
bergerak masuk diantara dua bibirnya, lidah sang istri. Simardan menyambut lalu
dengan mesra bergairah ia mempermain mainkan pula lidah lembut sang istri
dengan lidahnya. Kedua hitam bola mata sang Puteri mulai hilang terpejam
menikmati permainan bibir dan lidah Simardan.
Mereka hampir lupa diri sampai akhirnya Simardan merasakan
ada sesuatu yg sakit. Sesuatu itu menjadi membengkak membesar di bawah sana
dalam pakaian dalamnya. Sesuatu itu kini ingin meronta keluar dari balutan yg
tengah membungkusnya.
Simardan tersadar dan ingat pesan sang tabib bahwa malam ini
rupanya belumlah menjadi malam pertama mereka. Walaupun telah dihalalkan karena
mereka sudah berijab kabul tadi pagi.
Simardan melepas pelan kecupannya seraya berbisik mencandai
sang istri "turunkan layar, kapal belum siap berangkat" sambil
tersenyum senyum geli menunjukkan ke istrinya sesuatu di bawah sana yg masih
dalam proses penyembuhan.
Si istri dengan jemari tangan dan kaki yg kaku menjaga
jangan sampai inai terlepas dari kukunya menjadi geli tertawa cekikikan sambil
memukul mukulkan keningnya yg halus bening ke dada bidang Simardan.
Simardan menunggu sampai nafas istrinya kembali normal.
Sambil mengelus elus lembut rambut indah istrinya penuh kasih sayang. Disitulah
kesempatan Simardan mengutarakan niatnya untuk pergi berlayar ke Selatan
menjemput sang emak disana. Ia ingin membawa sang bunda hidup bersama mereka
diakhir sisa sisa umurnya. Apakah itu nanti menetap di Tumasik atau di Bintan
akan mereka rembukan bersama.
Simardan mencoba meyakinkan sang isteri bahwa waktu yg luang
itu setelah pesta usai kiranya dapat diizinkan untuk menjalankan niatannya itu.
Apalagi ia sedang dalam masa penyembuhan, belum bisa berbuat sesuatu untuk sang
isteri.
Walau berat hati sang Puteri tak dapat menahan. Namun ia
meminta dapatlah diikutkan turut serta mendampingi sang suami. Ia akan memohon
pada ayahanda raja kiranya dapat memakai kapal kerajaan beserta beberapa
prajurit dan petugas kapal.
Simardan dengan halus menolak meminta sang isteri untuk
tetap tinggal di istana sampai ia kembali. Perjalanan kesana memerlukan waktu yg
lama juga besarnya resiko selama perjalanan. Lagipula di kapal nantipun mereka
belum dapat berbulan madu. Menurut perkiraan tabib hubungan suami isteri mereka
baru aman dilakukan kira kira setengah purnama kedepan. Sembari menunggu pulih
alangkah baiknya digunakan untuk menjemput emaknya. Lagi pula ada baiknya juga,
karena bila diwaktu waktu seperti ini mereka sekamar berdua terus Simardan
kuatir akan bertambah lama sembuhnya. Simardan mencontohkan dari kejadian tadi
yg barusan mereka alami.
Walau kecewa dan berat hati sang isteri merestui juga, tapi
dengan satu permintaan sang suami haruslah menidurkannya dengan bersenandung
senandung lembut sambil membelai belai rambutnya sampai ia terlelap.
Akan tetapi nyatanya sepanjang malam kedua sejoli itu tak satupun
dapat memicingkan mata walau barang sejenak. Mereka terus asik bercumbu rayu,
membuat bekas luka Simardan mengalami pendarahan sedikit karena bolak balik
ereksi. Walaupun belum sempat dipergunakan.
Sesudah bekas luka Simardan
mengeluarkan darah itu barulah mereka tersadar dari gejolak birahi yg
kembali memuncak. Sang isteri menawarkan pada Simardan untuk dapat memberikan
perawatan pada sang suami. Awalnya Simardan malu malu manakala sang isteri
ingin melakukan penggantian pembalut pada bagian tubuhnya yg mengalami
pendarahan kecil itu. Sang isteri meminta suaminya tetap berbaring tenang
selagi dia mengerjakan agar lancar. Dilepaskannya pelan pelan celana tidur
Simardan, tampaklah olehnya sesuatu terbungkus kain kasa berlapis kapas sedang
membengkak mengeluarkan darah sedikit dari bekas lukanya. Satu satu gulungan
dari pembalut penuh bercak darah itu mulai dilepaskannya. Tampaklah olehnya
sesuatu yg belum pernah dilihatnya selama ini, sesuatu milik lelaki dewasa.
Tanpa disadari darahnya mulai mengalir kencang, dadanya bergemuruh, nafasnya
ditahan tahan tapi menjadi tak menentu. Tanpa disadari beberapa kali ia
tersedak menelan air liur.
Tibalah di hari puncak acara pesta negeri Tumasik. Pesta
pernikahan Puteri Puan Sri Banun Qomariyah dengan Laksamana Muda Aziz Abhar
Bahri.
Di atas pelaminan sepasang pengantin telah duduk bersanding.
Pengantin wanita cantik anggun mempesona siapapun yg memandangnya. Pengantin
prianya gagah tampan perkasa. Kedua pasangan yg serasi seperti pinang dibelah
dua mengenakan pakaian kebesaran kerajaan bagaikan pangeran dan puteri negeri
kahyangan.
Pelayan pelayan istana sedari tadi semuanya
sibuk hilir mudik membawakan hidangan
melayani para tetamu undangan yg berdatangan memenuhi aula utama istana.
Suasana ramai sangat berisik terdengar riuh rendah dari suara tetamu yg saling
bertegur sapa maupun sedang bercengkrama semua tampak bersuka ria. Sementara
itu Raja Tumasik yg didampingi permaisuri dan besannya Raja Aceh selepas
menerima ucapan selamat dari para tamu setelah jamuan makan siang lewat tengah
hari meninggalkan arena pesta. Mereka beristirahat ke kamarnya masing-masing yg
disediakan di istana siang itu.
Di pelaminan masih ada sang Puteri yg sesekali melirik
Simardan dengan ekor matanya yg jeli memikirkan belahan jiwanya akan berlayar
malam nanti meninggalkannya. Berat hatinya untuk melepas sang suami pergi jauh
ke Selatan menjemput ibunda yg juga adalah mertuanya sendiri. Mertuanya itu
kini sedang sakit tua dikampung. Walaupun kepergian suaminya itu telah mendapat
restu dari ayahnya serta ayah angkat sang suami.
Tampak kedua mempelai sudah gelisah di singgasananya. Mereka
berdua sudah mulai jenuh dan lelah. Ingin beristirahat kembali ke kamar namun
untuk menghormati para tetamu yg masih betah berlama lama mereka masih
bertahan. Dengan manja tampak jemari halus sang puteri mencoba meraih jemari
sang suami, Simardan menyambutnya. Di atas pelaminan itu mereka berdua saling
bergenggaman mesra.
Tetamu tampaknya belum juga menyusut. Tamu yg telah mengelak
sila dan yg berdatangan ke aula itu keluar masuk silih berganti. Seakan tiada
putus tamu yg datang untuk mengucapkan selamat pada kedua mempelai.
Singkat cerita hampir tengah malam pesta itupun usai yg
menyisakan kelelahan pada pelayan maupun para panitia pelaksana begitu dengan
kedua mempelai yg sudah masuk beristirahat ke kamar.
Malampun semakin larut, Simardan berkemas kemas dan telah
siap untuk diantar pengawal ke kapalnya. Kapal Lancang Hitam milik Simardan yg
berlabuh dekat pantai Tumasik itu telah siap pula membawa sang tuan berlayar ke
Selatan mengarungi Selat Malaka ke kampung tempatnya dibesarkan.
Sang Puteri terlihat sedih bermuram durja. Dengan mata
sembab sedari tadi terus menitikkan air mata sambil memeluk erat tangan sang
suami seakan belum rela melepasnya pergi jauh. Ia tak mampu berpisah walau
sekejap masa. Seakan tak mau melepaskan pelukannya iapun mengiring turut
mengantarkan Simardan sampai ke pintu gerbang taman istana.
Dengan langkah gontai dan berlinang air mata sang Puteri
memeluk erat sang suami lalu Simardan mengecup lembut dahi sang isteri. Sebuah
kecupan perpisahan. Simardanpun melangkah
berlalu meninggalkan pelataran taman istana menuju pelabuhan tempat
kapalnya bertambat. Ia diantar beberapa pengawal.
Dibelakang masih di pintu gerbang halaman sang puteri sambil
terisak berlari masuk ke istana lalu mengunci diri di kamar tak sanggup melepas
kepergian sang suami.
Di kapal Simardan sudah ditunggu tiga orang sahabatnya.
Mereka juga membawa beberapa orang kelasi yg akan mempunyai tugas tugas di
kapal itu selama berlayar. Semua penumpang kapal itu berjumlah tiga belas orang
termasuk Simardan. Tadinya ada beberapa prajurit Kerajaan Tumasik yg akan
diikut sertakan untuk melindungi Simardan selama perjalanan namun secara halus
dan dengan penuh etika ia menolak tawaran baik sang mertua dengan alasan
kepergian mereka hanya urusan pribadi saja dan mereka sudah berpengalaman
berlayar kesana.
Kapal Lancang Hitam Simardan itu memang ukurannya tidaklah
terlalu besar bila dibanding kedua kapal milik kerajaan mertua dan ayah
angkatnya. Akan tetapi cukup kuat dan
sudah teruji tangguh menghadapi terjangan ombak maupun angin kencang. Pada masa
itu kapal layar Simardan inilah yg paling kencang di Selat Malaka.
Dahulu semasa masih digunakan merompak, kapal Lancang Hitam
ini bila sudah mengejar suatu target mustahil sasaran dapat melarikan diri dari
kejaran dan sergapan mereka. Selama melakukan aksi perompakan di Selat Malaka
satu satunya kapal target yg pernah lolos
dari kejaran mereka adalah kapal Sikantan. Ketika pengejaran itu tiba
tiba cuaca berubah amat buruk. Dalam suasana langit ditutupi awan gelap hampir
datang badai itu lalu mereka ditinggal lari oleh kapal Sikantan. Dalam
melarikan diri untuk bersembunyi itu tanpa diketahui nakhoda rupanya kapal
mereka itu masuk ke kuala Sungai Barumun bersembunyi di balik sebuah tanjung.
Ternyata nakhoda kapal Sikantan tanpa disadarinya dan juga tanpa sepengetahuan
Sikantan telah membawa kapal itu bersembunyi tepat di seberang kampung Sikantan
dilahirkan dan dibesarkan. Tepat di seberang gubuk tua mereka dimana kini
disitu sang ibu sedang sekarat lagi memanggil manggil nama Sikantan sang anak
buah hatinya yg sangat dirindukan karena telah meninggalkannya bertahun tahun
di situ seorang diri tanpa kabar berita.
Malam itu dengan kehendak Sang Maha Kuasa terjadilah bencana
Selat Malaka. Kapal Lancang Hitam yg sudah ditinggal lari Simardan mengalami
kerusakan, layarnya patah. Di tengah bencana itu kapal Lancang Hitam terombang ambing
di sekitar perairan Tanjung Bangsi (sekarang sekitar di perbatasan antara
perairan Labuhan Batu Sumatera Utara dengan perairan Panipahan Riau).
Sementara itu di
waktu yg sama namun di tempat yg berbeda kapal Sikantan yg besar dan megah
tenggelam karena diterjang angin puting beliung entah mengapa besertaan pula
dengan datangnya gelombang besar dua arus sungai. Air bah yg datang dari hulu
Sungai Bilah bertemu beradu dengan air bah yg datang dari hulu Sungai Barumun
menimbulkan pusaran arus hebat di sekitar Tanjung Lumba Lumba itu.
Itulah satu satunya kegagalan mereka dalam menyergap korban
dengan kapal Lancang Hitam itu semasa merompak dahulu. Kapal itulah yg akan
membawa mereka malam ini ke kampung Simardan.
Lewat tengah malam saat waktu sudah menjelang dinihari
tampak kapal Simardan mulai membentangkan layar. Kelasi kapal bersiap siap
mengangkat jangkar untuk bertolak ke tengah lautan menuju Selatan.
Sementara itu kapal Raja Aceh sedari petang sudah berlayar
ke arah Barat menuju negerinya. Kapal kapal negeri lainpun satu persatu telah
pula meninggalkan pulau Tumasik berlayar pulang kembali ke negerinya masing
masing.
Perairan Tumasik yg tadinya sudah beberapa hari lamanya
dipenuhi beragam kapal kapal layar berbagai bentuk dan ukuran kini berangsur
sepi. Angin malam berhembus lembut membawa ombak ke pantai berdebur memukul
mukul menyenandungkan kidung sepi seakan mengucapkan salam perpisahan.
Bayangan ujung layar kapal Simardan disinari cahaya rembulan
di kejauhan lama lama semakin mengecil
lalu hilang ditelan horizon Selat Malaka.
Di istana Tumasik di kamar sang Puteri tampak ia belum jua
dapat memejamkan matanya barang sesaatpun. Ia terus menerus memanjatkan doa
memohon pada Yang Maha Kuasa semoga sang suami tercinta tak mendapat halangan
apapun dalam perjalanan. Semoga sang taruna kembali dalam pelukannya bersama
melayarkan bahtera rumah tangga menggapai pantai bahagia.
Terbayang kembali dimatanya kecupan mesra dari sang suami.
Begitu pula ciuman sang pujaan di dahi tadi saat akan meninggalkannya berpisah
untuk sementara waktu. Entah berapa hari lagi kelak akan berjumpa dan
bermesraan kembali.
Mencoba menahan gejolak hati dari rindu dan sepi yg meronta
di kalbu merenggut hari hari bahagianya. Namun ia berjanji akan tegar selalu
setia menunggu. Menunggu malam pertama mereka yg tertunda. Dalam doanya
terselip pinta semoga sang suami sehat sehat selalu dan sebelum kembali ke
Tumasik sudahlah pulih sediakala.
Di atas ranjang pengantin itu badannya berbalik ke kiri ke
kanan namun mata belum jua terpejam. Bantal gulingnya sudah basah oleh airmata.
Menjelang subuh barulah matanya dapat terpejam. Mungkin karena sudah lelah
melamun menatap kosong langit langit kamar lalu menangis, menghayal lalu
menangis lagi.
Sudah tiga malam Simardan berlayar mengarungi Selat Malaka.
Sudah tiga malam pula sang Puteri susah tidurnya. Pagi itu selepas mandi ia
meminta dayang istana melulur badannya. Sehabis memanjakan badan ia keluar
kamar berjalan jalan ke taman dengan membawa sepotong kain lengkap dengan
peralatan tenunnya.
Rupanya pagi itu ia mencoba mengisi kekosongan hari harinya
dengan kesibukan lain. Ia ingin kembali lagi menyalurkan bakat dan
kesenangannya dahulu. Merajut dan menyulam sesuatu sekedar untuk dapat
melepaskan bayang bayang sang suami yg selalu bermain di pelupuk mata. Bayangan
itu sudah tiga hari ini senantiasa bergelayut dalam lamunannya sepanjang siang
dan malam.
Di bangku taman sang Puteri mulai mengambil jarum dan
benang. Ia merajut sepotong pakaian bayi. Setelah siap lalu memberi sulaman
indah di beberapa sisi pakaian bayi itu sebagai hiasan. Hasil rajutan dan
sulamannya amat indah pasti membuat takjub bagi siapa yg melihatnya. Sejak
remaja dahulu ia memang berbakat pada keterampilannya itu.
Suasana hati yg dirundung sedih berbalut kesepian tertuang
dari pilihan warna sulamannya saat itu yg cenderung bernuansa sendu. Corak dan
lukisan yg ditampilkan gambaran dari kesunyian jiwa. Melalui sulamannya itu
sang Puteri seakan bercerita tentang dirinya yg sedang merindukan belaian dari
suami tercinta. Walaupun bernuansa kesedihan dan kesepian namun hasil karya
tangannya itu tetap tampak sangat indah sedap dipandang mata.
Hampir sepekan sudah kapal Simardan mengarungi Selat Malaka
menuju Kampung Tanjung. Selama perjalanan mereka itu belum ada menemui halangan
maupun hambatan hambatan yg berarti. Sejak bertolak dari negeri Tumasik sampai
dengan hari itu cuaca cukup bersahabat. Angin berhembus baik untuk berlayar. Air
laut pun cukup tenang hanya berombak ombak kecil saja.
Selama perjalanan sampai hari itu ada sekali turun hujan
renai renai tanpa diiringi angin kencang. Itu terjadi pada malam kedua
perjalanan Simardan meninggalkan sang istri. Alam pun turut bersedih kala
pasangan sejoli itu terlarut dalam kesedihan dilanda rindu yg dalam berpisah di
tengah tengah hari bahagia mereka. Masing masing saling merindukan membayangkan
kekasih sang pujaan hati yg kini sudah jauh berpisah jarak dan waktu. Keduanya
ingin secepatnya bertemu kembali dapat berbulan madu yg tertunda.
Sore itu menjelang malam keempat perjalanan mereka, dari
kejauhan telah tampak kuala Aek Doras. Garis pantai telah tampak di kejauhan.
Kiri dan kanannya bagai garis hitam saja yg sebenarnya disana dipenuhi dengan
berbagai jenis pepohonan pantai seperti berombang, nipah, bakau, api api dan
lainnya. Tak jauh di atas kapal di angkasa tampak burung burung camar
berombongan terbang mengikuti riak riak air yg ditimbulkan haluan kapal memecah
gelombang. Sesekali burung burung itu tampak menyambar ikan ikan kecil yg
timbul dipermukaan laut yg tak sengaja dihantam haluan kapal.
Di ruang kemudi sang nakhoda mengamati sekeliling. Ia yg
juga sahabat Simardan itu dahulunya adalah seorang saudagar asal Kampung Tanjung.
Tiba tiba melalui teropong berlensa tunggalnya ia melihat ada sebuah bayangan
hitam seperti sesosok kapal yg sedang berlayar memasuki kuala di kejauhan.
Akan tetapi sesudah nakhoda kapal Simardan melihat tiba tiba
kapal asing itu berputar haluan mengarah keluar kembali dari kuala Aek Doras.
Segera nakhoda memberi tahu Simardan. Lalu Simardan memakai
teropong sang nakhoda mencoba mengamati dan memastikan bayangan hitam
mencurigakan yg dimaksud sang sahabat.
Ternyata bayangan itu adalah sebuah kapal yg sudah dikenal
Simardan sejak dahulu. Kapal yg sudah dikenalnya semasa ia masih seorang bajak
laut Selat Malaka dahulu. Kapal layar itu dipastikannya adalah kapal milik
kerajaan Johor yg sedari dulu rutin berpatroli menyusuri Selat Malaka sepanjang
wilayah kekuasaannya saja. Tapi mengapa kapal itu kini ada di kuala Aek Doras
yg bukan wilayahnya menimbulkan tanda tanya bagi Simardan.
Rupanya tadi siang kapal
asing itu sedang melarikan diri untuk bersembunyi menghindari pengejaran
kapal Kerajaan Samudera Pasai yg pada saat bersamaan sedang melintas pula di
perairan itu. Mereka tidak tahu bahwa kapal Raja Aceh hari itu akan melintas di
wilayah itu. Berdasarkan perkiraan mereka Raja Aceh sudah melewati kawasan
itu beberapa hari yg lalu dalam
perjalanan kembali ke negerinya. Ternyata mereka keliru karena ada dua kali
penundaan kepulangan dari negeri Tumasik. Akhirnya siang tadi mereka melihat
kapal Raja Aceh melintas di kejauhan. Lalu mereka melarikan diri bersembunyi
masuk ke kuala Aek Doras sampai sore ini terpergok pula dengan kapal Simardan.
Dalam dugaan Simardan kapal negeri seberang itu tujuannya
tentulah akan ke Kedatuan Batubara atau
bisa juga baru kembali dari sana.
Masa itu negeri negeri kecil di pesisir Timur pulau Andalas
seperti kedatuan Batubara, Panai, Inderagiri (Riau), dll berhubungan dan masuk
dalam pengaruh kerajaan kerajaan tanah seberang. Diawali banyaknya penduduk dari negeri
andalas berlayar ke tanah Malaya yg saat itu sudah lebih maju peradabannya.
Dari tanah Andalas mereka membawa hasil hasil bumi lalu dijual. Sepulangnya
dari Semenanjung Malaya para pedagang itu membawa barang barang yg diperlukan
masyarakat negeri Andalas. Hubungan dagang antar masyarakat lintas negeri ini
kemudian saling pengaruh mempengaruhi. Terutama bagi masyarakat negeri negeri
Andalas yg notabene starata ekonomi dan peradabannya masih di bawah negeri
negeri Malaya. Oleh karenanya kehidupan, bahasa serta adat budaya negeri
seberang menjadi kebanggaan dapat diterapkan pula oleh negeri negeri di pesisir
Timur Andalas. Malah sering terjadi hubungan perkawinan diantara masyarakat
kedua negeri. Akhirnya lambat laun berimbas pula menyangkut kedaulatan dan
kekuasaan suatu negeri karena adanya campur tangan penguasa yg mendominasi.
Simardan mengira ngira mungkin saja kapal negeri seberang
itu mungkin sedang menjalankan misi kerajaan yg hendak mempengaruhi keluarga
ataupun kerabat istana atau bisa juga para pembesar kerajaan untuk berkhianat
pada sang raja yg sedang berada lama di Tumasik. Dipengaruhi untuk mengambil
alih kekuasaan yg sedang kosong lalu tunduk dan dilindungi kerajaan Johor.
Setelah itu kerajaan pelindung dapat mengambil upeti ke kerajaan kerajaan kecil
di kawasan itu. Simardanpun menduga mungkin saja kapal asing ini sudah sampai
ke negeri negeri kecil lainnya disitu sebelumnya.
Dalam pandangan Simardan mungkin saja secara sepihak tanpa
melalui sepengetahuan kerajaan lainnya sekawasan mereka ini telah menarik
upeti.
Simardan tahu betul jika kerajaan Johor dan kerajaan Malaka
adalah setali tiga uang sama saja perlakuannya. Bahwa sebelum adanya pertemuan
di Tumasik kedua kerajaan tanah Malaya itu selama ini telah menguasai jalur
perdagangan Selat Malaka yg ramai itu.
Memang pada masa itu dunia pelayaran Selat Malaka sangatlah
rawan dengan bajak laut. Mereka kerap memburu kapal Lancang Hitam kelompok
lanunnya Simardan menjadi momok yg menakutkan para pelayar bila sedang
melintasi Selat Malaka.
Ternyata dugaan Simardan benar. Kapal itu adalah kapal
kerajaan Johor yg sedang memanfaatkan situasi di Selat Malaka pekan pekan itu.
Dimana selama hampir satu purnama di perairan itu sedang sepi dari pengawasan.
Terutama pengawasan dari kerajaan besar Samudera Pasai-Aceh yg merasa
bertanggungjawab melindungi negeri negeri pesisir Timur Andalas dari pengaruh
kekuasaan dan tekanan tanah seberang.
Tiadanya pengawasan dari Kerajaan Samudera Pasai itu rupanya
dimanfaatkan pula oleh armada laut kerajaan Johor untuk menekan negeri negeri
kecil pesisir Timur Andalas untuk membuat perjanjian sepihak agar penguasa
negeri negeri kecil itu memberikan upeti kepada mereka.
Sialnya, setelah mereka kemarin lancar lancar saja dalam
memasuki wilayah beberapa negeri di pesisir Timur Andalas seperti kesultanan
Serdang dan kerajaan Bedagai selanjutnya akan ke Kedatuan Batubara. Akan tetapi
diluar perkiraan akhirnya di siang itu mereka melihat kapal Raja Aceh sedang melintas. Mereka sebelumnya tidak tahu
bahwa acara pertemuan di Tumasik itu bersambung sampai ke acara pesta
pernikahan puteri raja. Padahal menurut perkiraan mereka kapal Raja Aceh sudah
melintas disitu beberapa hari yg lalu.
Dalam pengejarannya kapal Kerajaan Aceh kehilangan jejak
karena kapal Kerajaan Johor sudah lari bersembunyi masuk kuala Aek Doras.
Karena lelah sudah menempuh perjalan jauh mereka lalu membiarkannya. Mereka
terus berlalu melanjutkan perjalanan kembali ke Aceh.
Akan halnya kapal Diraja Johor setelah sekian waktu
bersembunyi disitu menunggu kapal Kerajaan Aceh berlalu. Tiba tiba saat mereka
hendak berbalik haluan mau meninggalkan kuala Aek Doras untuk kembali pulang ke
negerinya disitu muncul pulalah kapal Simardan. Mereka terkejut dan karena
takut nanti tak akan mendapat bantuan karena sudah berada di luar wilayah
kekuasaan mereka lalu mereka melarikan diri. Kapal dipacu dengan kecepatan penuh.
Semua layar yg ada dibentangkan. Padahal layar itu tadi sebagian sudah
diturunkan ketika memasuki kuala untuk menghindari pengamatan para prajurit
kapal Aceh dari jauh.
Dengan pertimbangan kekuatan Simardan menahan nakhoda agar
jangan ikut memutar haluan mengejar mereka karena saat itu kapal mereka tidak
ada membawa prajurit. Begitu pula dengan persenjataan mereka yg tidak siap.
Dalam pelayaran Simardan kali ini hanya membawa petugas
kapal untuk beberapa bagian sebatas keperluan penting saja. Seperti divisi umum
dan rumah tangga kapal serta divisi perlengkapan dan perawatan kapal saja.
Semuanya berjumlah tigabelas orang saja termasuk Simardan dan sang nakhoda.
Setelah Simardan membiarkan kapal Kerajaan Johor itu berlalu
tak berapa lama sudah menghilang dari pandangan mata. Lalu Simardan
memerintahkan para kelasi kapal agar menurunkan seluruh layar kapal. Ia
memerintahkan nakhoda agar berhanyut
hanyut saja dari kuala itu memasuki sungai mengikuti arus air ke hulu yg kebetulan
sedang naik pasang itu.
Dengan mengingat kejadian yg baru terjadi tadi semakin
meningkatkan kewaspadaan mereka. Simardan pun teringat akan sebagian senjata
senjata tajamnya yg ada disembunyikan di kapal itu. Senjata senjata itu sudah
lama tak dirawat. Inilah saatnya kata Simardan dalam hati. Senjata senjata itu
dapat digunakan untuk melindungi diri dari ancaman musuh yg dapat saja datang
tanpa diduga. Senjata senjata itu sudah lama tidak digunakan disimpan dalam
sebuah peti yg disembunyikan pada suatu tempat rahasia di kapal itu.
Sebagai putera yg dibesarkan di daerah itu Simardan sejak
kecil sudah tahu bahwa di tepian Aek Doras banyak tumbuh sejenis rerumputan
semak belukar yg permukaan daunnya berbulu bulu halus. Daun daun itu dahulu
digunakan ayahnya mengasah parang tajak dan cangkul sebelum mereka sampai ke
ladang.
Simardan lalu menugaskan beberapa orang kelasi kapal naik ke daratan menggunakan sekoci mengambil
daun daun asahan itu untuk mengasah senjata senjata mereka itu. Setelah itu
sambil berhanyut hanyut memasuki Aek Doras merekapun mengasah dan menghaluskan
mata pedang, tombak, pisau dan senjata logam lainnya di kapal itu.
Sebagai ingat ingatan karena peristiwa yg dialami di senja itu, sejak saat itu mereka
menamakan Aek Doras dengan Sungai Asahan.
Penamaan sungai itu disamping mengenang kisah mereka bersua kapal Johor juga
terasa lebih enak diucapkan oleh para anak buah Simardan di kapal itu yg
semuanya berasal dari masyarakat pesisir.
Air laut sudah pasang penuh tak berapa lama haripun malam.
Setelah sekian waktu kapal Simardan berhanyut hanyut itu tampaklah dari
kejauhan kerlap kerlip cahaya pelita dari celah celah dinding rumah penduduk
Kampung Tanjung. Cahayanya berpendar pendar terpantul di permukaan air Sungai
Asahan. Begitu juga dengan rumah penduduknya yg tinggal di sebelah tepian
Sungai Silau. Kampung Tanjung itu memang terletak di dua sisi daratan di sebuah
tanjung pertemuan dua sungai. Malam itu Tanjung di pertemuan Sungai Silau dan
Sungai Asahan yg sedang pasang penuh tampak tenang dan indah. Dari atas kapal
Simardan tampak menitikkan air mata melihat kampungnya itu. Luapan rasa rindu
karena telah lama meninggalkannya.
Kapal mereka telah sampai di depan Kampung Tanjung tepat di
pertemuan dua sungai yg sedang pasang penuh itu. Simardan meminta anak buahnya segera melabuh jangkar disitu
karena tak dapat merapat ke tepian.
Setelah berlabuh Simardan meminta semua anak buahnya segera
naik ke daratan menggunakan sekoci. Mereka yg naik ke darat dapat bermalam di
Kampung Tanjung. Terkecuali dia, nakhoda dan dua orang sahabatnya yg lain untuk
tetap tinggal di kapal mendampinginya.
Sebelum anak buahnya turun ke sekoci Simardan berpesan bahwa
dia ada sebuah urusan pribadi yg
harus diselesaikan segera di Selatan
Kampung Tanjung itu. Besok mereka semua yg ditinggal akan disinggahi kembali
untuk pulang bersama. Kemudian Simardan membekali mereka masing masing dengan
senjata dan uang yg cukup. Terakhir sebelum berpisah Simardan berpesan agar
merahasiakan pada penduduk disana siapa mereka sesungguhnya. Bila ada yg
bertanya maka harus menyebutkan bahwa mereka adalah utusan Raja Aceh yg sedang
menjalankan suatu tugas untuk kebaikan kampung itu.
Sementara itu di sana di Kampung Tanjung masyarakat semua
menjadi gempar. Dengan cepat tersiar kabar bahwa penduduk di tepian ada melihat
sebuah kapal besar sedang berlabuh di tengah sana malam ini. Ada pula diantara
penduduk yg sering berlayar di Selat Malaka samar samar mengenal kapal itu
namun dalam hatinya ia tidak begitu yakin. Akan tetapi dengan penuh percaya
diri seolah sudah tanda betul dengan kapal itu lalu ia menakut nakuti penduduk
Kampung Tanjung yg sedang tertanya tanya itu. Dengan lantang ia mengatakan
bahwa kapal besar yg sedang berlabuh itu adalah kapal bajak laut yg sangat ditakuti
itu. Ada yg percaya namun banyak pula yg tak yakin karena setahu mereka melalui
berita yg dibawa dari tanah seberang bahwa kelompok lanun itu sudah lama
dihabisi Kerajaan Malaka.
Tapi tidak seorangpun diantara mereka yg tahu bahwa itu
adalah kapal Simardan kecuali hanya para anak buahnya sendiri yg tengah merapat
ke tepian. Setelah mereka sampai dan naik ke daratan langsung ditanyai penduduk
yg sedang penasaran. Mereka hanya menyampaikan apa yg telah dipesankan sang
majikan. Akhirnya penduduk Kampung Tanjung pun lega dan menerima serta melayani
mereka semua dengan baik.
Sudah dua hari sang Puteri jelita negeri Tumasik jatuh
sakit. Tidurnya selalu gelisah. Makanan dan minumannyapun tak lagi disentuh.
Selera makannya sudah hilang. Bayangan sang suami selalu bergayut di mata.
Senantiasa memikirkan keadaan sang pujaan yg sedang berlayar jauh. Rindu
dendamnya senantiasa mengusik jiwa. Entah mengapa kemarin sore saat menyulam di
taman jarinya tersusuk jarum hingga berdarah.
Sementara itu di belahan negeri yg lain emak Simardan senja
itu sudah terlelap tidur. Dalam tidur ia bermimpi bertemu akan puteranya semata
wayang belahan jiwa itu pulang kembali ke pangkuannya dengan membawa seorang
puteri yg cantik jelita. Puteri itu sangatlah cantiknya ia berkulit halus dan
berparas ayu memakai pakaian bak seorang puteri raja. Dalam mimpinya itu
Simardan melambai-lambai memanggil sang bunda dari kejauhan. Sang anak hanya
terlihat samar samar tertutup tabir kabut putih.
Masih dalam mimpi ketika ia hendak mendekati Simardan sang
anak terlihat menjauh hingga menghilang ditelan kabut. Lalu ia tersentak dari
mimpi dan terjaga dari tidurnya. Air mata sang bunda mengalir membasahi pipinya
yg keriput. Hatinya seakan nelangsa kosong entah kemana. Tanpa sadar mulailah
ia menyebut nyebut nama anaknya bersinandong sinandong pilu menyayat hati
siapapun yg mendengarnya.
Penyakit lamanya kambuh kembali. Iapun mulai "naik
puako". Menari nari sambil memukul mukul dinding atau apa saja yg ada di
dekatnya. Lama lama suaranya menjadi berat dan terdengar bagai bergema. Lalu ia
seakan akan sedang berbicara dengan seseorang. Benar, ia sedang berdialog mistis
pada teman teman gaibnya yg sudah hadir disitu.
Biasanya bila keadaan emak Simardan sudah seperti itu maka
kedua anak asuhnya Simordong sang anjing hitam dan Simerdeng sang monyet
putihnya menjadi takut. Mereka lari ketakutan menjauh masuk ke dalam kebun.
Nanti sesudah suasana kembali tenang barulah mereka berdua pulang kembali.
Biasanya mereka kembali sambil menjepit sesuatu diantara rahangnya. Membawakan
apa apa saja yg bisa diperoleh mereka dari kebun untuk dapat dimasak ataupun
langsung dimakan begitu saja oleh mereka bertiga di gubuk. Biasanya sebagian
dari makanan itu akan dihanyutkan oleh si nenek ke Sungai Asahan. Suatu
kebiasaan rutin yg dilakukan sang emak sebagai sesajian menjamu sahabat sahabat gaibnya disana. Dan satu
bagian pula dipersembahkan buat putranya Simardan yg menghilang entah kemana.
Dalam dialog mistis itu para sahabat gaibnya menyampaikan sebuah berita padanya. Mereka
menyampaikan bahwa anaknya Simardan sudah memasuki wilayah mereka. Ia datang
dengan sebuah kapal besar.
Si nenek lalu bertanya pada mereka para teman gaibnya itu
apakah Simardan ada membawa seorang wanita yg berparas sangat cantik. Sahabat
gaibnya menjawab bahwa mereka tidak ada melihat seorang wanitapun di kapal itu.
Jumlah mereka lebih dari ini. Sambil menunjukkan kedua telapak tangan mereka yg
kasar dengan jari jari panjang kehitaman serta berkuku runcing sangat panjang.
Lalu tambah makhluk makhluk gaib itu lagi bahwa saat ini Simardan dan
rombongannya hanya tinggal empat orang. Dengan menunjukan empat jari yg tak
kasat mata manusia biasa tapi tidak halnya dengan si nenek.
Lama mereka berdialog. Kemudian teman gaib sang nenek
melanjutkan bahwa putera sang nenek sudah sampai dengan batas wilayah kekuasaan
mereka. Akan tetapi dia diiringi oleh banyak prajurit dari jenis mereka juga yg
tidak diketahui Simardan. Para prajurit negeri gaib dari Timur Selat Malaka.
Ketika hampir memasuki wilayah kekuasaan para sahabat gaib
sang nenek para prajurit gaib negeri lain itu tidak ikut mengiring lagi. Mereka
bertahan di wilayah perbatasan itu. Tampaknya seperti menunggu saja disitu
sampai Simardan pulang kembali untuk dikawal sampai wilayah mereka nanti.
Rupanya pengaruh mistis kapal lanun itu masih ada sampai
saat itu. Dimana dahulunya semasa kapal itu masih beroperasi sebagai kapal
lanun yg sangat ditakuti para pelaut di perairan Selat Malaka.
Kapal bajak laut berpanji hitam bergambar tengkorak putih
bersilang sedapat mungkin dihindari orang orang bersua dengannya di Selat
Malaka. Rupanya dibalik keangkerannya kapal itu dahulu sering dijamu oleh Raja Rompak bersama Simardan dan kaki
tangannya. Mereka memberi sesajian pada makhluk makhluk gaib penguasa Selat
Malaka.
Inilah rupanya media yg membuat ikatan hubungan persahabatan
mistis secara gaib diantara mereka sejak dahulu. Simardan tidak menyadari itu
karena ketidak tahuannya. Ia belum mengenal agama Islam saat itu masih sebagai
penganut kepercayaan animisme yg memuja dan menyembah arwah para leluhur begitu
pula makhluk gaib ataupun alam dan benda benda yg dianggap punya kekuatan.
Ternyata persahabatan mistis secara gaib mereka itu tetap
langgeng sampai saat itu. Simardan sebagai manusia biasa tidak dapat melihat
keberadaan mereka para makhluk halus itu, kecuali pada orang orang tertentu yg
punya kelebihan.
Dalam agama Islam para ustad sering menyampaikan bahwa untuk
memutus persahabatan lintas dimensi itu perlu melakukan ruqyah pada diri si
korban. Para Da'i dan ustadz sering menyampaikan bahwa sebaik baik jin adalah
seburuk buruknya manusia. Dalam Islam manusia dilarang berteman dengan jin
ataupun makhluk gaib sejenisnya.
Simardan tak menyadari kapalnya tetap diikuti oleh makhluk
makhluk gaib yg tetap setia karena menunggu sesuatu sesajian seperti kebiasaan
dahulu. Sebenarnya mereka ingin menyesatkan manusia jatuh dalam kemusrikan
dengan mempercayai kekuatan lain selainNYA. Akhirnya sang manusia jatuh menjadi
hamba setan yg memuja dan menyembahnya untuk diberi kekuatan kekayaan ataupun
lainnya.
Kita kembali ke gubuk emak Simardan. Mendengar berita
kepulangan puteranya dari kabar gaib para sahabatnya itu ia sejak tadi sudah
bersiap siap menunggu kedatangan anaknya. Ia sudah menunggu di tepian teluk
kecil depan gubuknya. Disana sang bunda sudah mempersiapkan berbagai macam
sesajian dalam wadah wadah di atas baki bambu yg dialasi daun pisang. Dalam wadah wadah kecil itu ada bertih beras,
darah segar ayam hitam dan putih dan kembang
tujuh rupa atau bunga rampai. Tak lupa pula telah dipersiapkan sang ibu
gulai asam ikan baung beserta sayur anyang pakis kesukaan anaknya. Semua itu
berdasarkan petunjuk dan permintaan dari sahabat gaibnya.
Didalam penantiannya itu tak henti henti sang ibu bersinandong sinandong sambil menyebut nyebut
nama sang putera. Simordong dan Simerdeng pun sudah dipanggilnya untuk lebih mendekat
biar mereka semua sama sama menyambut kedatangan Simardan disitu.
Haripun sudah semakin malam namun Simardan belum jua muncul.
Sinandongnya pun semakin menjadi jadi membuat pilu menyayat hati.
Tiba tiba langit sekeliling menggelap tak satupun tampak
bintang di langit. Awan hitam berarak dengan kencang dihembus angin yg
bergemuruh. Petir kilat sambar menyambar.
Kita kembali ke kapal Simardan yg sudah mendekati teluk
kecil itu. Sebuah teluk di balik Kampung Tanjung. Ketika kapal Simardan hendak
berputar masuk ke teluk kecil angin berembus sangat kencangnya. Seketika datang
arus Sungai Asahan dari hulu mengalir sangat deras bagai air bah lalu bertemu
disitu dengan arus pasang besar yg tiba tiba kembali naik dari laut. Pertemuan
kedua arus besar itu menimbulkan gelombang raksasa yg saling hantam menghantam.
Gelombang besar bagai gunung itu berputar putar mengombang ambingkan kapal
Simardan disana. Kapal itu terseret dan tiba tiba sudah berada di seberang
tepian tepat di depan gubuk emaknya. Selepas itu hujanpun turun dengan amat
derasnya bagaikan air yg ditumpahkan dari langit diikuti gelegar guruh dan
kilat sambar menyambar.
Semua penduduk di Kampung Tanjung berlindung mengurung diri
di rumah. Para nelayan di perairan sekitar tergesa gesa menepi mencari
perlindungan. Sementara itu yg mau pergi melaut mengurungkan langkahnya.
Sang ibu, emak Simardan ketika datangnya amuk badai besar
itu rupanya sudah terjatuh tercebur ke dalam sungai. Badannya yg ringkih
kena hantaman angin kencang. Lalu ia
terseret ombak ke tengah teluk ke dekat kapal Simardan. Sang emak digulung
gulung ombak bersama dua anak asuhnya yg tetap setia bersama.
Sementara itu di kapal Simardan ia bersama ketiga sahabatnya
sedang berjuang mati matian menyelamatkan kapal dari tenggelam. Curah hujan yg
luar biasa hampir memenuhi seluruh ruangan kapal. Terlihat tenaga mereka
berempat sudah tidak cukup kuat untuk menguras air hujan yg turun demikian
derasnya itu memenuhi kapal. Ditambah lagi angin kencang dan ombak besar terus
menerus menghantam kapal.
Dari pandangan gaib secara tidak kasat mata manusia rupanya
saat itu disana telah terjadi pertempuran hebat. Pertempuran dua barisan
kekuatan makhluk gaib. Satu pihak dari makhluk gaib para sahabat mistis emak
Simardan yg sedang angkara murka atas perlakuan Simardan terhadap emaknya
karena mereka telah mendengar dari syair syair senandung lantunan pilu sang
ibu. Di lain pihak pula satu barisan makhluk gaib pengawal mistis kapal lanun
sedang mengamuk besar membela Simardan yg hendak dihabisi para jembalang Sungai
Asahan itu demi sang emak sahabat mistis mereka.
Emak Simardan yg mampu melihat itu lalu ia berusaha
mencegahnya dengan melarungkan semua sesajian ke permukaan sungai yg sedang
bergelombang dahsyat itu.
Kedua barisan makhluk gaib itu sudah berhadap hadapan tidak
perduli. Mereka bertempur satu sama
lain. Seluruh jin mambang maupun setan jembalang di kawasan itu murka karena
telah diserang oleh para prajurit gaib penguasa laut Selat Malaka. Bala bantuan
gaib kedua pihak berdatangan. Jumlah mereka semakin besar.
Sementara itu Simardan dan ketiga sahabatnya terus berjuang
dengan sisa sisa tenaga. Akhirnya Simardan mengalami pendarahan hebat dari
bekas luka khitanannya, ia bontan.
Simardan tampak melemah. Iapun sudah mengambang ambang di
permukaan air yg hampir memenuhi kapal. Saat itu ia sudah tak melihat lagi dua
sahabatnya ada disana.
Mata Simardanpun mulai meredup dan sudah hampir terpejam.
Sudah tak berdaya karena kehabisan darah. Tiba tiba ia melihat tiga sosok benda
mengapung apung terseret gelombang mendekati sisi kapalnya.
Dengan sisa sisa tenaga yg masih ada Simardan berusaha
meraih sesosok mengapung ketika mendekat berwujud seorang wanita tua berambut
putih. Akhirnya dengan sebuah tarikan nafas yg masih ada ia berhasil meraih
wanita tua itu. Wanita tua yg tak lain adalah ibunya sendiri. Sang bunda sedang
meregang nyawa karena telah banyak kemasukan air serta terkena hempasan
gelombang besar disitu. Yang Maha Berkehendak menentukan lain. Secara bersamaan
rupanya itulah nafas mereka terakhir. Dalam dekapan lemah Simardan sang bunda
melepaskan nyawanya sambil tersenyum. Senyum kepuasan telah bertemu dengan sang
anak tercinta. Tak lama kepergian sang bunda disusul pula oleh Simardan yg
sudah pucat lunglai kehabisan darah. Ia pasrah dan rela menghadap Tuhannya
bersama sang Ibu yg ada dalam dekapannya.
Setelah itu kapal besar itupun pelan pelan tenggelam ke
dasar sungai seluruhnya. Hanya menyisakan tiang lancangnya saja menyembul di
permukaan air.
Seiring perjalanan waktu lambat laun bangkai kapal Simardan
yg tenggelam di teluk kecil di sebalik
Kampung Tanjung itu dari hari ke hari terus ditutupi lumpur yg bercampur pasir
dibawa arus Sungai Asahan dari hulunya. Sampai akhirnya kapal Simardan yg sudah
itu menjelma menjadi sebuah pulau delta. Setelah timbulnya pulau delta itu maka teluk itupun kini
berubah pula menjadi selat.
Untuk mengenang legenda Simardan penduduk Kampung Tanjung
menyebut pulau delta tersebut dengan Pulau Simardan. Begitu pula dengan
selat baru itu mereka namakan Selat Lancang karena beberapa lama sampai tiang
lancang kapal Simardan yg tinggi berwarna hitam itu lapuk dan hancur ia masih
dapat dilihat penduduk disana. Kala itu penduduk disana masih dapat melihat
tiang lancang sebagai sisa sisa kapal Simardan
mencuat dari dasar sungai mencuat
ke atas permukaan air Sungai Asahan disekitar itu. Termakan usia kini kedua tanda
tanda itu sudah tak ada lagi. Bangkai kapal Simardan sudah menjadi pulau delta
dari endapan lumpur sedangkan tiang lancangnya sudah habis hancur termakan
usia.
Jauh dari Kampung Tanjung di sebelah Tenggara terdapat
sebuah kerajaan bernama Kesultanan Pinang Awan (sekarang Kota Pinang). Kerajaan
ini terletak di tengah tengah antara hulu dengan hilir dari Sungai Barumun.
Kesultanan Pinang Awan ini sudah ada beberapa generasi sebelum berdirinya
Kesultanan Asahan.
Kerajaan Pinang Awan didirikan oleh Batara Sinomba atau
dengan sebutan lain Batara Gorga Pinayungan. Dia berasal dari keturunan Raja
Pagaruyung, Surawasa atau Suruaso (sebuah kerajaan besar di Minangkabau pada masa itu) yaitu
anak dari raja Alamsyah Syaifuddin.
Sedangkan Alamsyah Syaifuddin ayah Raja Pinang Awan itu adalah
keturunan dari raja Adithyawarman sang penerus Dinasti Mauli (Melayu Tua)
penguasa Malayapura Swarnnabhumi (Sumatera) berkedudukan di Dharmasraya.
Adithyawarman sendiri adalah putera dari Raden Wijaya (raja
pertama Majapahit) dengan salah seorang isterinya yg bernama Dara Jingga
(puteri Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa, Raja Dharmasraya yg juga
keturunan Raja Sriwijaya).
Raja Alamsyah Syaifuddin Raja Pagaruyung yg masih keturunan
Raja Majapahit (dari ayah) dan Raja Sriwijaya (dari ibu) pada masa kekuasaannya
pernah mengusir seorang anak kandungnya yaitu Batara Gorga Pinayungan bersama
adik tirinya bernama Puteri Longgogeni dari kerajaannya.
Sejoli yg masih bersaudara tiri itu diusir Raja Alamsyah Syaifuddin sang ayah
karena mereka berdua telah melakukan sebuah perbuatan aib yg telah melanggar
adat istiadat keluarga dan negeri.
Rupanya diam diam mereka sudah kawin. Padahal sejoli itu
masih seayah walau lain ibu. Artinya mereka masih dalam satu garis keturunan
langsung sang raja.
Ketika pasangan sejoli yg sedang dimabuk asmara itu sedang
berkemas kemas hendak lari keluar meninggalkan negeri tersebut, seorang adik
kandung Batara Gorga Pinayungan yang bernama Batara Guru Payung memaksa meminta
ikut bersama mereka tetapi tidak diizinkan oleh ayah mereka Sultan Alamsyah
Syaifuddin.
Dengan sebuah siasat tanpa sepengetahuan sang ayah akhirnya
dapat juga Batara Guru Payung ikut lari bersama abang dan kakaknya itu.
Mereka bertiga sepakat berangkat menuju ke Negeri Aceh
menurut kabar mereka dengar adalah sebuah negeri yang sangat makmur. Lalu
merekapun berangkat ke arah Utara kemudian sampailah di suatu daerah yang
bernama Mandailing.
Selama tinggal disana mereka bertiga bersikap dan beradab
baik. Merekapun dapat diterima masyarakat setempat walaupun belum mengetahui
siapa mereka sebenarnya. Akhirnya sebelum melanjutkan perjalanan sampai ke
negeri tujuan semula mereka bertiga untuk sementara waktu menetap disana.
Barulah beberapa waktu kemudian penduduk Mandailing
mengetahui bahwa mereka bertiga sebenarnya adalah keturunan raja Pagaruyung
sebuah kerajaan besar itu. Kebetulan pula pada masa itu negeri Mandailing belum
memiliki raja sementara penduduknya ingin negeri mereka seperti negeri negeri
lainnya yg sudah mempunyai pemimpin dan kedaulatan.
Bermufakatlah para penduduk negeri Mandailing untuk
mengangkat salah seorang dari mereka bertiga untuk menjadi raja di negeri
mereka itu. Akhirnya pilihan mereka jatuh kepada Batara Guru Payung sang adik
yg mereka pandang mempunyai kelebihan.
Batara Guru Payung pun akhirnya menyetujui. Setelah diangkat
menjadi Raja Mandailing oleh pemuka masyarakat disana lalu ia dikawinkan dengan
salah seorang puteri Mandailing. Dari pasangan inilah bermula raja-raja
Mandailing sampai keturunan mereka seterusnya.
Sementara itu setelah beberapa hari penobatan sang adik
menjadi Raja Mandiling kemudian Batara Gorga Pinayungan alias Batara Sinomba
bersama sang istri Puteri Longgogeni melanjutkan kembali perjalanan mereka
menuju negeri Aceh.
Sebelum berangkat mereka dibekali sang adik dengan bekal
perjalanan yg cukup. Kepada pasangan itu juga diberikan dua ekor kuda yg bagus
untuk membawa mereka beserta perbekalannya.
Setelah meninggalkan negeri Mandailing negeri dimana adik
mereka menjadi raja disana melanjutkan perjalanan menuju negeri Aceh.
Setelah berhari hari menempuh perjalanan dari negeri
Mandailing sampailah mereka pada sebuah tepian sungai besar (sekarang Sungai
Barumun). Karena hari telah mulai senja dan merekapun sudah lelah maka
diputuskan untuk beristirahat saja ditempat itu menunggu esok pagi.
Mentari pagi sudah
menampakkan senyuman cahayanya menerangi alam membangunkan pasangan
sejoli yg sedang terlelap di tepian sungai besar itu. Keduanyapun terbangun
lalu bersiap melanjutkan perjalanan kembali.
Betapa takjubnya mereka melihat pamandangan indah di sekitar
tempat mereka beristirahat itu. Tadi malam tak dapat mereka nikmati karena
gelapnya malam .
Tak jauh dari tempat mereka beristirahat itu ada sebatang
pohon pinang yang cukup tinggi. Menyeruak sendiri di tengah keindahan alam sekitar sangat sedap dipandang
mata.
Oleh karena rasa takjub akan keindahan alam daerah tersebut
mereka berat hati meninggalkannya.
Pasangan itupun bersepakat untuk tidak lagi meneruskan perjalanan lagi ke
negeri Aceh. Akhirnya mereka menetap untuk selamanya didaerah itu. Negeri baru
mereka beri nama dengan Pinang Awan karena tadi melihat sebatang pohon pinang
tinggi seakan menggapai awan.
Sementara itu pada
masa mereka menetap di negeri Pinang Awan disitu sudah ada dua komunitas
penduduk. Berasal dari dua marga atau
rumpun keluarga. Mereka bermarga Dasopang dan Tambak. Kedua marga itu di
dipimpin oleh Patuan Hajoran.
Sementara itu Kerajaan Pagaruyung pada masa itu adalah
sebuah kerajaan besar yg sangat berpengaruh di seluruh pelosok negeri negeri
pulau Andalas (Sumatera). Disamping itu ada pula sebuah kerajaan baru yg sudah
beragama Islam bernama Samudera Pasai-Aceh di ujung Barat pulau Andalas.
Mendengar ada putera
raja dari kerajaan Pagaruyung yang singgah didaerah mereka maka Patuan Hajoran
mengadakan penyambutan yang sangat meriah. Sesudah itu dengan besar hati mereka
mendaulat Batara Sinomba menjadi raja di daerah Pinang Awan dengan gelar Sutan
Sinomba.
Selanjutnya dalam perjalanan sejarah Kerajaan Pinang Awan
dibawah kepemimpinan Batara Sinomba ia menjadi raja yang sangat arif bijaksana.
Berkat kearifan dan wawasannya yg baik semakin lama negeri kecil itu semakin
jaya dan besar menjadi sebuah kerajaan baru Kerajaan Pinang Awan. Pusat
pemerintahan kerajaan itu dikenal dengan nama Hotang Momo (Hotang Mumuk)
sekarang Kota Pinang. Inilah cikal bakal
menjelma menjadi sebuah kerajaan Melayu berbentuk kesultanan (Kesultanan Kota Pinang).
Kemudian setelah menjadi raja disana Batara Sinomba menikah
lagi dengan seorang puteri setempat dari Marga Dasopang. Dari pasangan itu
mereka dikaruniai seorang putera diberi nama Mangkuto Alam dan seorang puteri.
Dalam perjalanan
waktunya sesudah itu Kerajaan Pinang Awan berkembang sampai ke pesisir
Timur. Setelah putera Batara Sinomba dengan isterinya dari Puteri Dasopang itu dewasa lalu dinobatkan
menjadi raja di Air Merah meliputi Bilah dan Panai (sekarang Negeri Lama dan Labuhan Bilik, Lab.
Batu) sebagai kerajaan bawahan dari Kesultanan Pinang Awan.
Dinamakan Kerajaan Air Merah karena air sungai di daerah itu
berwarna merah seperti inai yg dalam bahasa Pagaruyung (asal usul ayah sang
raja Pinang Awan) disebut "painai" (bagai berinai). Oleh sebab itu
Kerajaan Air Merah ini dikenal pula dengan nama Kerajaan Panai. Disitulah
kemudian putera Batara Sinomba itu dinobatkan menjadi Raja Air Merah
(Panai) dengan gelar Sultan Mangkuto
Alam.
Dimasa kepemimpinannya disana Raja Panai Sultan Mangkuto
Alam mempunyai dua orang isteri dan seorang selir. Isteri kedua beliau adalah
seorang puteri dari raja Angkola sebuah kerajaan kecil pula yg terletak di hulu
Sungai Bilah.
Dari kedua orang isterinya tersebut beliau dikaruniai tiga
orang putera dan dua orang puteri yaitu Tengku Husin, Tengku Abbas, Tengku
Karib, Puteri Ungu Selendang Bulan dan Puteri Medja.
Sementara itu dari selirnya sang Raja Panai juga mendapatkan
seorang putera. Kemudian dalam perjalanan sejarah Kerajaan Panai itu setelah
puteranya dewasa sang selir dengan penuh kelicikannya mempengaruhi Raja Panai
untuk dapat meneruskan dinasti kepada putera mereka sebagai Raja Panai apabila
sang raja mangkat. Padahal seharusnya yg berhak adalah salah satu putera dari
istri istri resmi sang raja apakah itu Tengku Husin atau Tengku Abbas.
Dalam perselisihan itu kedua putera
kandung raja Tengku Husin dan Tengku
Abbas berencana akan meminta bantuan kepada Kerajaan Aceh sebagai sebuah
kerajaan besar dimasa itu selain Kerajaan Pagaruyung yg tampaknya berpihak pada Sultan
Mangkuto Alam yg juga masih keturunannya itu.
Mereka mencari upaya membawakan ibu mereka sang permaisuri
kerajaan yang sah itu dapat menghadap langsung Sultan Aceh untuk meminta
bantuan. Pada masa itu Kerajaan Aceh dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda.
Melalui Kampung Tanjung
(Tanjung Balai) mereka membawa
Bayak Lingga Karo Karo seorang penduduk
disana yg pintar berbahasa Aceh sebagai juru bahasa.
Singkat cerita mereka
pun dapat bertemu dengan Raja Aceh lalu dengan amar kebijakan Sultan Aceh ia
mengutus salah seorang Panglimanya Raja Muda Pidie untuk menyelesaikan sengketa
di Kerajaan Panai tersebut.
Raja Muda Pidie dengan dibekali armada perang dari kerajaan
Aceh berangkat ke Air Merah (Panai). Terjadilah pertempuraan disana. Dalam
pertempuran tersebut Sultan Mangkuto Alam sang Raja Panai mati terbunuh di
bawah pohon jambu. Oleh karena itu beliau dikenal pula dengan sebutan lain
Marhum Mangkat Dijambu.
Dengan terbunuhnya Sultan Mangkuto Alam sang Raja Panai maka sang putera dari selirnya itupun batal
pulalah dinobatkan sebagai pengganti penerus raja Panai. Akhirnya dengan
perlindungan dari Kerajaan Aceh sengketa diantara tiga keluarga itupun
berhasil diselesaikan.
Sebagai hadiah atas bantuan yg telah diberikan Sultan Aceh
tersebut maka Tengku Abbas dan Tengku Husin bersama sang ibu permaisuri
Kerajaan Panai menyerahkan kedua Puteri yaitu Siti Ungu Selendang Bulan dan
Siti Medja sebagai mahar perjanjian kepada Sultan Aceh Iskandar Muda untuk
dijadikan Isteri.
Hari berganti hari dan bulanpun telah berganti bulan.
Akhirnya Siti Ungu Selendang Bulan sudah mengandung dari buah pernikahannya dengan Sultan
Iskandar Muda. Ia secara diam diam
melalui orang kepercayaan senantiasa mengirimkan berita ke negerinya di Panai. Ibu
dan kedua abangnyapun menjadi rindu dan ingin menjemputnya kembali. Dicarilah
jalan untuk dapat membawa kedua adiknya kembali. Lalu mereka mencari Sibayak
Lingga Karo Karo kembali ke Kampung
Tanjung. Setelah berjumpa dan menyampaikan keinginan mereka akhirnya Bayak Lingga Karo Karo
menawarkan ayamnya yg terkenal jago di arena aduan itu untuk diadu dengan ayam
Raja Aceh. Melalui siasat yg sudah mereka atur sedemikian rupa bersama
beberapa tokoh yg lain lalu merekapun berangkat ke negeri Aceh. Sesampai di
negeri Aceh merekapun menghadap raja dan menyampaikan maksud kedatangan.
Singkat cerita ayam jago Sibayak Lingga Karo
Karo dapat mengalahkan ayam jago
Raja Aceh di arena aduan. Sultan Iskandar Muda hanya menyerahkan Siti
Ungu Selendang Bulan yg sedang hamil itu
saja tanpa turut menyerahkan adiknya Siti Meja. Dimana penyerahan itu diikuti
perjanjian pula bahwa nanti setelah
dibentuk Kesultanan Asahan oleh Kerajaan Samudera Pasai-Aceh melalui
pembicaraan dan perjanjian bersama pemuka pemuka negeri Asahan seperti utusan
dari Kerajaan Panai, Bayak Lingga Karo Karo dan Raja Simargolang sebagai
penguasa disitu serta yg lainnya.
Pada pertemuan itu disepakatilah bahwa Raja Pertama
Kesultanan Asahan itu nanti adalah anak yg dikandung Siti Ungu Selendang Bulan
apabila nanti yg lahir itu adalah seorang putera. Pada waktunya nanti ia akan
datang ke Kampung Tanjung untuk menobatkan langsung puteranya itu
sebagai Sultan I Asahan. Lalu sesudah
itu barulah ia menceraikan istrinya Siti Ungu Selendang Bulan dan menikahkannya
pada Bayak Lingga Karo Karo.
Setelah disepakati
lalu kembalilah rombongan itu dengan membawa Siti Ungu Selendang Bulan
saja. Puteri Kerajaan Pantai itu biasa
pula dipanggil dalam keluarga dengan sebutan Siti Unai. Kala itu ia sedang hamil
mengandungkan anak Sultan Iskandar Muda. Sementara itu adik bungsunya Siti
Medja tetap tinggal di Aceh karena tak diperkenankan Sultan Iskandar Muda untuk
dibawa pulang.
Waktu terus berputar Siti Unai pun melahirkan seorang
putera. Lalu pihak keluarga pun menyampaikan berita kelahiran itu kepada Sultan
Iskandar Muda di Aceh.
Setelah menerima berita itu Sultan Iskandar Mudapun mengatur
waktu keberangkatan ke Kampung Tanjung. Tak berapa lama setelah menerima berita
itu iapun berangkat dengan kapal layar besarnya ke Kampung Tanjung. Disana ia akan menobatkan sang
putera sebagai Sultan I Asahan. Kerajaan Aceh akan senantiasa mengawasi dan
melindungi kerajaan baru ini walaupun masih dipimpin seorang muda belia. Nanti
sang Sultan yg masih kecil ini dalam menjalankan kekuasaannya akan dibantu sang ibu bersama
ayah tirinya. Untuk membicarakan itulah nanti maka ia perlu datang langsung
kesana. Disamping itu ia akan menceraikan Siti Unai dan menikahkannya dengan
Bayak Lingga Karo Karo juga akan membuat perjanjian dengan para pemuka disana
sesuai dengan perjanjian diantara mereka dahulu.
Rupanya tanpa disadari Sultan Iskandar Muda sedang akan
melunasi janji pendahulunya dahulu pada Simardan yg sudah tiada. Sebuah janji
yg belum sempat diwujudkan hingga pendahulunya itu mangkat.
Antara Sultan Iskandar Muda dengan pihak Siti Unai bersama
tokoh tokoh lainnya membuat perjanjian yg menyangkut antara lain bahwa anak
keturunan Bayak Lingga Karo Karo dengan Siti Ungu Selendang Bulan nanti akan
bergelar Datuk Muda (kanan). Kemudian setelah mengawini Siti Unai, Bayak Lingga
Karo Karo dapat kembali menikah dengan puteri Raja Simargolang dari Bandar
Pulau (anak keturunan paman Simardan). Nanti anak keturunan mereka dapat diberi
gelar Datuk Muda (kiri). Hanya keturunan langsung dari Sultan Iskandar Muda
dengan Siti Ungu Selendang Bulan sajalah yg dapat menyandang gelar bangsawan
Tengku. Para putera putera anak keturunan raja yg bergelar Tengku inilah nanti
yg dapat menjadi penerus raja di Kesultanan Asahan.
Setelah perjanjian disepakati kemudian Sultan Iskandar Muda
sang Raja Aceh itupun menobatkan puteranya Soeltan Tengkoe Abdoel Djalil
Rahmadsjah bin Sultan Teuku Iskandar Muda sebagai Sultan I Kesultanan Asahan.
Ia adalah putera kandung Sultan Iskandar
Muda bersama
Siti Ungu Selendang Bulan sang Puteri Kerajaan Panai. Penobatannya berlangsung
di Kampung Tanjung seperti harapan Simardan di masa hidupnya.
Play Slots Online For Fun - JTGHub Casino
BalasHapusHow to Play Online Slots with friends? — As soon as you land a virtual ticket 구미 출장마사지 to play a 밀양 출장샵 slot 안성 출장샵 machine, 평택 출장안마 your 남양주 출장안마 chances of winning are very, very high!