Kisah Simardan dan Sekilas Perjalanan Terbentuknya Kesultanan Asahan


    SI MARDAN
Oleh : Drs. Harunsyah Arsyad, MAP
Dahulu kala hiduplah seorang ibu bersama anak laki lakinya yg semata wayang. Mereka berdua tinggal disebuah gubuk kecil berdinding bambu berlantai kayu dan beratap jalinan daun nipah yg tersusun rapat lagi rapi.
Gubuk kecil itu terletak di sebuah tepian teluk kecil pada sebuah sisi sungai besar dan berair dalam. Sungai besar itu mengalir dari daratan tinggi pulau Andalas (sekarang pulau Sumatera) berasal dari sebuah danau besar Tao Toba bermuara ke laut sebuah selat besar yang memisahkan pulau Andalas dan Tanah Semananjung (sekarang Malaysia).
Gubuk Simardan 2.jpg
Sungai besar itu sehari hari disebut oleh si ibu Simardan "Aek Doras" dengan logat daerah hulu campuran (aksen bahasa antara logat masyarakat Batak dari gunung dengan masyarakat Melayu di pesisir). Sang ibu menamakan sungai besar itu dengan Aek Doras, karena arusnya sangat deras mengalir dari hulu di sebelah Barat Daya gubuk mereka menuju Utara ke Selat Malaka.
Gubuk Simardan.jpg
Ayah Simardan sudah lama meninggalkan mereka. Sang ayah meninggal dunia karena terserang penyakit malaria sehabis pulang bersama istri dan anaknya Simardan bayi yg masih menyusui. Sepulang mencari rotan dari hutan yg banyak terdapat di sepanjang daratan tepian sungai itu. Kala itu kawasan sepanjang tepian Sungai Asahan di kiri dan kanannya masih tertutup hutan lebat.
Ayah Simardan meninggal ketika anak tunggalnya masih bayi berumur sekitar setahun lebih. Pada ketika itu mereka bertiga belum lama pula bersama meninggalkan kampung asalnya di hulu. Baru lebih kurang delapan purnama yang lalu mereka meninggalkan kampung kelahiran. Sebuah kampung di hulu Aek Doras (sekarang sekitar Porsea). Ketika itu mereka berangkat menyusuri Aek Doras (Sungai Asahan) menggunakan rakit bambu yg diberi kajang sebagai pelindung. Kajang itu dijalin dari daun rumbia untuk tempat bernaung dan berlindung seadanya dari hujan dan panas selama di perjalanan. Semua mereka persiapkan utamanya untuk melindungi sang bayi yg masih rentan.
Gubuk Simardan Rakit.jpg
Setelah ayah Simardan meninggal. Untuk menghidupi dirinya bersama sang anak tercinta yang sedang pada masa masa pertumbuhan juga sedang lasak lasaknya itu, sang ibu rela keluar masuk hutan bersama sang bayi mencari hasil hasil hutan yang dapat dijual ataupun ditukarkan (di barter) dengan bahan makanan yg mereka perlukan di pasar. Bila hasil yg didapatkanya berlebih maka ia tukarkan dengan bahan bahan sandang untuk keperluan mereka. Biasanya si ibu turut membawa Simardan di gendongan belakangnya keluar masuk hutan begitu pula saat menjual (membarter) hasil jerih payah seharian dari hutan itu untuk dibawa ke pasar esok paginya. Pasar itu terletak pada sebuah tanjung di pertemuan dua sungai. Kampung itu sudah lebih ramai penduduknya dibanding dengan kampung kampung lainnya di daerah sekitar hilir kedua sungai itu.
Kampung beradanya pasar itu terletak di sebuah tanjung di pertemuan du sungai, Aek Doras dengan sebuah sungai yg lebih kecil sedikit. Sungai itu disebut masyarakat setempat dengan Sungai Silo. Sungai Silau ini membelah sisi Selatan dan sisi Utara kampong itu dari Barat ke Timurnya.
Karena posisi Sungai Silau yg mengalir dari Barat ke Timur sehingga sinar matahari sepanjang hari senantiasa menaunginya dari sejak mulai terbit di pagi hari sampai tenggelamnya pada sore hari. Sinar matahari yg dipantulkan permukaan air Sungai Silau ini menyilaukan mata penduduk kampung tanjung. Merekapun menamakannya Sungai Silau.

Agar ia dan anaknya Simardan tinggal tidak begitu jauh dari kampung tempat keberadaan pasar itu sang emak mendirikan gubuk di belakang kampung tanjung di balik sebuah teluk kecil sedikit ke hulu dari kampong tanjung. Sebelumnya ia bersama mendiang suami ketika masih hidup mendirikan gubuk tempat tinggal mereka bertiga bersama sang bayi di sekitar daerah perladangan yg mereka buka. Disana di hamparan tanah yg lain sudah ada beberapa perladangan penduduk lainnya. Perladangan mereka itu terletak lebih ke hulu Aek Doras lagi di daratan sekitar tepian sebuah teluk yg airnya cukup dalam (sekarang Teluk Dalam). Disinilah mereka dahulu pertama sekali menetap setelah meninggalkan kampung kelahiran di hulu  lalu ayah dan ibu Simardan membuka perladangan baru tak jauh dari gubuknya itu.

 Gubuk Simardan ladang.jpg
Setelah ditinggal sang suami untuk kebutuhan pangan sang ibu tidak begitu khawatir, karena tersedianya lahan yang cukup luas untuk bercocok tanam. Namun karena tubuhnya yg sudah tak begitu kuat lagi tergerus usia yg sudah mulai menua. Seorang diri ia hanya membuka hutan dekat gubuknya yg baru seperlunya saja serta bercocok tanam semampunya. 

Hari telah berganti hari, tahunpun telah berganti tahun. Kini Simardan kecil telah tumbuh remaja. Wajahnya tampan berkulit sawo matang, tidak putih namun tidak pula terlalu hitam. Wajah tampannya  ditopang pula bentuk badan tinggi kekar  karena sedari kecil sudah tertempa dari pekerjaan sehari-hari rajin membantu emak di gubuk maupun di ladang. Sosok Simardan sangatlah elok dipandang mata.

Oleh karena sudah tumbuh besar, Simardan kini semakin sering ditinggal sendiri di gubuk oleh ibunya saat pergi ke pasar. Terkecuali bila sang emak pergi masuk hutan atau ke ladang maka Simardan tetap minta dibawa agar dapat membantu ibunya.

Bila sekembali pulang dari pasar sang ibu tak pernah lupa membawakan sesuatu sebagai buah tangan buat sang anak. Sering sang ibu membawakan bola yang terbuat dari anyaman rotan sejenis bola keranjang bila bola Simardan sudah rusak ataupun mulai usang.

Simardan sangatlah senang bermain bola rotan ini di hamparan ladang tepian sungai itu pada bagian kosongnya ataupun hamparan yg baru selesai dipanen. Dalam bermain bola keranjang itu ia sendiri, sering pula bersama teman teman sebaya. Terkadang mereka sampai-sampai ia lupa waktu.
Pernah suatu hari ibunya di gubuk gelisah menanti kepulangan sang putera sibiran tulang. Hari sudah mulai beranjak gelap namun Simardan belum jua tampak batang hidungnya. Sang emak sangat cemas, kuatir akan keadaan anaknya di ladang. Hatinya bertanya-tanya jangan-jangan anaknya sudah menjadi mangsa binatang buas atau mungkin juga telah dilarikan perompak yang sering masuk bersembunyi di daerah mereka itu akhir akhir ini. Para bandit lanun itu lari bersembunyi kesana karena dikejar kejar penduduk dari kampung tanjung yg terletak tak jauh di Utara gubuk mereka.

Para kawanan lanun itu biasanya  baru beraksi di laut memangsa para pelayar yang sedang membawa barang untuk didagangkan ke negeri lain dengan perahu layar. Atau juga para saudagar dari kampung tanjung hendak berdagang ke negeri seberang atau sebaliknya.

Bulan sudah mulai menampakkan senyumnya mewarnai langit kuning kemerahan menjadi indah temaram. Dari kejauhan tampaklah samar samar Simardan remaja berlari-lari kecil sesekali melompat lompat melewati aral rintangan sambil menenteng nenteng bola rotan ditangan kembali pulang menuju gubuknya.

Legalah hati sang ibu yg sangat mengkuatirkan keadaan sang putera sedari tadi. Lalu ia beranjak bangkit ke dapur. Disiapkannya makanan kesukaan sang putera, yaitu sebuah masakan perpaduan antara gulai arsik sebuah masakan khas dari kampungnya di hulu berpadu dengan gulai ikan masyarakat setempat yg memakai bumbu asam potong yaitu  buah glugur yg telah dikeringkan ditambah asam belimbing sunti yg banyak tumbuh di ladang Simardan. Rasanya asam-asam pedas beraroma bunga kincung yg turut dicampurkan ke gulai sebagai pengganti buah andaliman yg tak dapat dijumpai ibu Simardan lagi sejak pindah kesana. Simardan menyebut gulai ikan emaknya itu dengan "gule asam".

 
Bila emaknya memasak gulai itu lauk kesukaan Simardan adalah memakai ikan baung yang banyak sekali didapat dari sungai Aek Doras itu.

 
Sudah menjadi kebiasaan bagi Simardan, sebelum naik ke gubuk mereka ia terlebih dahulu pergi mandi membersihkan badannya di tepian sungai. Tepian itu tepat berada di halaman depan gubuk mereka.

Simardan belia mandi berendam kemudian naik sambil membasuh basuhi badannya di atas sebuah batang kelapa yg telah dipotong potong sebagai lantai jamban  bertiang batang nibung.  Jamban ini juga berfungsi sebagai tempat mencuci sekaligus berfungsi pula sebagai kakus tempat membuang hajat besar dan kecil, kotorannya langsung jatuh ke air sungai di bawah seketika juga berlalu terbawa arus.

Dalam membersihkan badan itu ia bersiul siul merdu sambil bersenandung-senandung kecil. Suaranya enak didengar. Tak jarang sampai meneteskan air mata sang ibu yg diam diam mendengarkan dari dalam gubuknya di atas. Ia terbawa lamunan terkenang akan mendiang suaminya yang telah tiada.

Dahulu suaminya juga punya kebiasaan seperti itu, senang bersenandung senandung dengan aksen logat hulunya. Kini puteranya pula sebagai penerus bersenandung senandung ketika mandi walau aksen hulunya sudah bercampur logat pesisir.

Suatu sore di satu bidang hamparan ladang kering. Ladang kering itu padinya baru selesai dipanen beberapa hari yg lalu dan sampai kini masih belum ditanami menunggu musim hujan tiba. Sawah disitu masih sistem tadah hujan, mereka belum mengenal irigasi dan masa panennyapun hanya setahun sekali. Di tepian sungai atau di tempat tempat seperti itulah biasanya Simardan bermain bola bersama teman teman sebaya. Begitu pula bila ia bermain hanya seorang diri mengasah asah kemampuannya ataupun sekedar mengisi kekosongan waktu menunggu sang emak kembali dari pasar.

Sore itu Simardan lagi seorang diri sedang asik bermain main bola di tepian sungai yg daratannya ditutupi pasir seperti lazimnya tekstur tanah di kawasan itu. Sementara itu teman temannya yg lain sedang sibuk membantu orang tuanya masing masing memanen padi di sawahnya. Sementara sawah ibu Simardan sudah selesai mereka panen berdua sejak semalam.

Di tepian berpasir itu Simardan seorang diri mengeluarkan kelihaian dan kepiawaiannya dalam memainkan si rotan bundar. Berganti-ganti anggota badan lalu berpindah-pindah tempat bola itu dialirkannya di bahagian bahagian tubuhnya itu. Mulai dari permainan di kaki, paha, dada, bahu sampai kepala. Seni olah bolanya sangat terampil sekali sangatlah asik untuk dilihat. Bola rotan itu seakan sudah menyatu dengan dirinya. Dapatlah dibayangkan dia bagaikan seorang pesenam profesional di masa kini yang sedang memainkan bola-bola pada sebuah panggung pertunjukan.

 
Di tengah keasikan Simardan dengan permainannya itu tanpa disadari sejak tadi rupanya telah diperhatikan oleh tiga pasang mata liar dari balik rimbunan semak-semak di tepian itu. Satu diantaranya seorang pria brewokan berbadan besar memakai bando merah menutup kepalanya yg plontos berbisik pada dua temannya yg lain. Seperti ada sesuatu yang mereka rencanakan. Niat jahat mereka  untuk menculik Simardan.

Ternyata kawanan penjahat itu adalah para lanun yang baru gagal dalam sebuah aksinya di laut. Mereka dikejar kejar para pelaut yg memergoki kemudian melawan menantang para perompak ini. Pada pertempuran itu kelompok mereka banyak yg tewas kapal mereka dibakar massa. Mereka yg selamat melarikan diri masuk ke Aek Doras, lalu bersembunyi di paluh paluh masuk ke hutan hutan di tepian.  
 
Sementara itu di tempat lain, sang ibu baru saja menambatkan perahu kecilnya di sebatang nibung yang sengaja dipancangkan pada tepian sungai depan gubuknya. Ia baru saja kembali dari pasar. Seekor udang galah melompat dari balik tiang nibung yg terguncang karena disenggol sisi perahu sang ibu. Udang besar itu terkejut tatkala ibu Simardan buru-buru menambatkan perahunya di tiang nibung itu. Karena buru buru si ibu sama sekali  tak memperhatikan udang galah itu, ia tergesa gesa menuju gubuknya.

Tak heran pada masa itu air Aek Doras (sekarang Sungai Asahan) masih bersih dan jernih. Berwarna bening kehijau-hijauan.  Tidak keruh berlumpur seperti saat ini. Ikan ikan kecil berombong rombongan berenang kesana kemari di dalam air tepian sungai tampak jelas dilihat dengan mata telanjang. Rimbunan pohon-pohon besar dimana-mana tumbuh dengan suburnya.

Rupanya suasana hati dan perasaan ibu Simardan sedang tak enak. Fikirannya tetap sajactertuju pada anak semata wayangnya, kemana gerangan sang anak. Ia was was dan bertanya tanya dalam hati mengapa tak kedengaran suara anaknya. Padahal biasanya Simardan selalu menunggu kepulangannya di depan pintu di atas tangga gubuk mereka itu.

Dengan sigap sang ibu melompat dari perahunya ke darat bergegas menuju gubuknya dengan tergesa-gesa. Didalam hatinya berkecamuk perasaan kuatir penuh tanda tanya. Tak biasanya sang putera meninggalkan gubuk ataupun bermain terlalu lama bila ia pergi ke pasar. Pastilah telah terjadi sesuatu pada Simardan putra tunggalnya, kata hatinya.

 
Di tempat lain, Simardan sudah berada dalam cengkeraman para penjahat. Tangan dan kakinya diikat. Simardan digelandang menuju perahu penduduk yg mereka curi mereka sembunyikan di sela-sela rerimbunan semak belukar pada paluh kecil dekat tempat bermain Simardan itu.
Bertahun-tahun lamanya sudah Simardan telah meninggalkan ibunya hidup sendirian di tepian teluk kecil itu tanpa kabar berita. Sang emak kini terlihat sudah semakin tua. Rambutnya memutih dan dibiarkan memanjang tak diurus. Kulitnya kering semakin menjadi berkeriput, badannya kelihatan semakin kecil karena sudah kurus. Sejak hilangnya sang putera tercinta dari kehidupannya sang ibu jiwanya terguncang hebat sehingga menjadi sedikit terganggu.
Bila hari telah gelap sepanjang malam ia habiskan waktu dengan bersenandung pilu seorang diri di keheningan malam yg sepi. Ratapan sedih menyayat hati bagi siapa saja yg mendengarnya darii tepian sungai itu.
Bila sudah sampai pada puncaknya ia seperti terpapar halusinasi. Sudah seperti itu lalu iapun turun ke bawah gubuk berlari ke arah tepian sungai. Disana ia memukul mukuli tiang pancang dari batang nibung di tepian itu memanggil manggil anaknya. Bagaikan gendang tiang nibung itu dipukulinya menyebut nyebut nama anaknya sambil meliuk liukkan tubuh bagaikan kesurupan. Luapan emosional dari rasa sedih dan rasa rindu yg tak tertahankan memenuhi kalbu serta sanubarinya. Akhirnya hilang nelangsa saat halusinasi melanda akal normalnya. Semakin kencang pukulannya, semakin kencang pulalah tariannya disitu.
Bila malam semakin larut, larut pulalah alam pikiran si nenek tua. Jiwanya telah kosong terbang jauh melayang masuk ke alam halus makhluk lain. Akhirnya ia dirasuki makhluk makhluk halus yg mendiami kawasan itu. Kawanan makhluk halus itu akhirnya masuk menumpang di raganya yg sudah mengalami lemah jiwa.
Bila siang hari saat matahari bersinar emak Simardan lebih banyak tidur di atas ranjang tuanya. Andaipun di suatu siang ia tak tidur, maka pastilah ia akan mendatangi ladang kosong tempat Simardan biasa bermain-main dahulu. Seolah tiada lagi hari baginya tanpa terkenang akan Simardan baik siang maupun malam, terkecuali terlelap dalam tidur.
Ada kalanya sesekali ia rindu aktivitasnya dahulu semasa bersama Simardan. Bila ia rindu ke dapur maka dimasaknyalah makanan kesukaan anaknya dahulu. Gulai masam ikan baung lengkap dengan sayur anyang pakis nya yg ditaburi serundeng kelapa. Hidangan itu kemudian dibawanya ke sungai. Sesampai disana lalu dihanyutkannya sambil bersenandung pilu. Ia bagaikan tengah melakukan sebuah ritual jejamuan di tepian sungai itu.
Akibat dari kebiasan sang ibu tua itu dari hari ke hari lama kelamaan ia pun dapat berkomunikasi secara ghaib dengan para jembalang jin penunggu di wilayah itu. Mereka telah menjalin persahabatan aneh yg tidak wajar dan normal. Si nenek sudah bersahabat dengan para jembalang tanah, jembalang sungai, jembalang batu, jembalang pohon dan segala makhluk halus lainnya disana.
Sejak saat itu para penduduk sekitar dan orang-orang di kampung tanjung di Utara gubuknya itu menyebut si nenek sudah "bapuako".

Untuk diketahui pembaca bahwa dimasa Simardan hidup ajaran agama Islam belum sampai kepada orang tua mereka sejak lahir semasih tinggal di hulu dahulu sampai bermigrasi dan telah bermukim di daerah pesisir di hilir Aek Doras itu. Mereka masih animisme menganut kepercayaan pelbegu secara turun temurun dari nenek moyangnya. Mereka biasa memuja dan menyembah roh para leluhur, alam (seperti gunung, sungai, laut, dll), benda benda mati juga makhluk hidup lain yg tampak maupun tak tampak yang mereka yakini punya kekuatan dapat menolong dan melindungi diri mereka.


Sementara itu negeri negeri lain yang sudah punya hubungan dagang dengan negeri luar di masa itu, ajaran Islam sudah mulai masuk awalnya pada lingkungan bangsawan istana karena mereka banyak berinteraksi juga bersahabat dengan para saudagar dari jajirah Arab. Ataupun juga adanya pengaruh karena saling berinteraksi persahabatan dan kerjasama dengan para bangsawan negeri sahabat yg sudah lebih dahulu menerima ajaran agama baru ini. Secara masif  terus menyebar sampai ke seluruh pelosok di negeri negeri pesisir.

Pada mulanya para saudagar dari jajirah Arab itu datang untuk berdagang sambil mencari barang barang yg dibutuhkan penduduk negerinya untuk dibawa pulang didagangkan kembali disana. Para saudagar dari jajirah Arab itu sejak dahulu jauh sebelum era Simardan sudah ada yg sampai di pantai Barat pulau Andalas. Waktu itu pulau Andalas masih disebut Swarnadwipa (pulau emas) ataupun Swarnabhumi (tanah emas). Sebelum itu pernah juga dikenal dengan pulau Percha. Lain pula namanya dahulu sewaktu seorang penjelajah bangsa Yunani sampai kemari berlayar dari negerinya setelah melanjutkan pengembaraan dari India. Pelayar Yunani itu menyebut pulau Andalas Taprobana yg berasal dari bahasa Sansekerta Tamrapani yg artinya daun perak.

Kemudian setelah besarnya sebuah kerajaan Islam di ujung Barat pulau Andalas yaitu Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Suatu waktu kerajaan besar Islam ini dikunjungi seorang penjelajah dunia dari Maroko bernama Abu Abdul Ibnu Battuta. Sepulang ke negerinya ia menulis dan menceritakan tentang negeri ini. Ia yg tak fasih menyebutkan kata Samudera dengan logat negerinya menjadi Shumutra. Dari tulisan Ibnu Batutah inilah akhirnya pulau Andalas dikenal dunia menjadi Sumatera, berawal dari penyebutan Shumutra yg tak tepat akan maksudnya Samudera Pasai.
 

Bahkan sebelum itu pada zaman Mesir kuno jauh sebelum kedatangan Ibnu Batutah telah sampai para pelayar dari Persia dan Ceylon ke negeri Barus. Negeri yg terletak di pantai Barat pulau Andalas. Mereka waktu itu datang tertarik untuk mencari suatu bahan pengawet yg sangat tinggi nilainya pada masa itu. Bahan itu untuk mengawetkan jasad para raja raja Mesir kuno ygmeninggal dunia (Fir'aun) untuk disimpan dan diabadikan dalam sebuah bangunan tinggi pyramida besar. Disamping itu bahan tersebut dapat pula dipakai sebagai bahan dasar pembuatan wewangian (parfum) yg sangat diminati. Bahan itu adalah kapur dari ekstraksi cairan sejenis pohon camper yang banyak terdapat di negeri Barus. Kapur dari Barus ini mempunyai kualitas terbaik di dunia. Sangat tinggi harganya karena banyak diminati para bangsawan dan orang-orang kaya.

 

Setelah lahirnya agama Islam sekitar awal abad ke 7 (610 M) kemudian sekitar tahun 625 M sudah ada ditemukan pemukiman orang Arab di negeri Barus itu. Ini menandakan bahwa di awal awal kelahiran agama Islam, ajaran agama ini telah sampai pula ke negeri Barus. Darisinilah awalnya Islam menyebar ke seluruh Nusantara. Sementara itu di periode yg samadengan awal masuknya Islam itu di belahan lain pulau Andalas di kawasan pesisir Timurnya, negeri negeri disana masih kental menganut budaya-budaya kepercayaan Hindu. Tak heran, karena negeri negeri pesisir itu (Melayu Baru) sejak lama di bawah kekuasaan dan pengaruh dari kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha. Namun seiring perkembangan Islam dan semakin besarnya Kerajaan Samudera Pasai kerajaan Melayu Tua (Sriwijaya, Dharmasraya, Pagaruyung) mulai melemah. Kerajaan Hindu yg berpengaruh besar atas negeri negeri pesisir Timur Andalas adalah Kerajaan Melayu Dharmasraya yang berkuasa pada periode 1183 M - 1347 M. Sebelum itu sebagian besar negeri negeri Nusantara di bawah pengaruh dan kekuasaan kerajaan Budha Kerajaan Sriwijaya (600 M-1300 M). Tiga kerajaan Melayu Tua sebelumnya yg menganut kepercayaan Budha, yaitu Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Gunung Marapi dan Kerajaan Dharmasraya melebur menjadi Kerajaan Pagaruyung. Beberapa masa kemudian kerajaan ini sudah mulai dipengaruhi agama Islam..

Janganlah heran bila budaya budaya Hindu dan Budha seperti memberikan jejamuan dan sesajian untuk sesembahan terhadap benda benda alam atau makhluk ghaib menjadi bagian budaya masyarakatnya dan sudah menjadi tradisi turun temurun mendarah daging di lingkungan masyarakat ini yg amat sulit dihilangkan begitu saja. Apalagi bila pemahaman agama Islamnya masih dangkal.

Kita tinggalkan dahulu romantika sejarah kehidupan darat di pesisir Timur dan Barat pulau Andalas itu. Jauh disana, di tengah laut disebuah pulau karang kecil bersemayamlah seorang raja lanun. Dialah Raja Rompak sedang duduk di singgasananya di atas kapal bertiang layar (lancang) berwarna hitam dengan panji hitam bergambar tengkorak bersilang. Lancang Hitam itu sangatlah menakutkan bagi para pelaut dan para saudagar yg melintasi Selat Malaka. Bila malam tiba banyak diantara mereka yg menepi melabuh jangkar menunda perjalanan sampai besok pagi. Bila tetap meneruskan perjalanan di malam hari maka berusaha sedapat mungkin menghindari pengintaian dari kapal lanun itu. Ada lebih dari 25 orang anak buahnya yg berbadan kekar. Mereka terampil dan cekatan sudah terlatih dalam ilmu bela diri serta sangat mahir menggunakan senjata. Tangguh di laut dan di darat walaupun hanya pasukan kecil. Sudah teruji mereka mampu mengalahkan lebih dari 100 orang prajurit kerajaan yang suatu waktu pernah mengepung menyerang mereka dengan tiba-tiba.

 


Kerajaan-kerajaan Besar di sepanjang Selat Malaka sebagai pelindung negeri negeri kecil di kawasan itu bertanggung jawab atas keamanan jalur pelayaran Selat Malaka. Mereka telah menerima upeti dari negeri negeri kecil untuk itu. Oleh ulah komplotan lanun Lancang Hitam ini mereka senantiasa telah dibikin sibuk. Sejak adanya kelompok lanun itu kerajaan kerajaan pelindung dibuat pening memeras otak mengatur strategi untuk melumpuhkan para bajak laut itu dengan terus memperkuat armada perang serta pasukannya.

 
Pasukan lanun yg sangat ditakuti itu dipimpin oleh seorang panglima laut yg amat gagah dan tampan. Dia dihormati dan disegenani para anak buahnya. Ia adalah anak angkat sang Raja Rompak sang majikan kapal. Seorang pemuda tampan yg gagah berbadan kekar. Pembawaannya berkharisma, amat tenang penuh wibawa walau agak pendiam. Namun matanya tetap awas tajam bagaikan mata elang dengan alis mata yg hitam dan tebal. Dialah Simardan, putera dari Selatan kampung tanjung. Kampung yg terletak di sebuah tanjung di pertemuan dua sungai. Kini Simardan telah tumbuh menjadi seorang pemuda yg sedari remaja sudah diasuh sang ayah angkat di kapal itu.  
Sudah sekian tahun Simardan hidup berpetualang bersama komplotan lanun ini di perairan Selat Malaka. Sejak diculik sedari remaja dilarikan dari kampung dan secara terpaksa ikut  bergabung menjadi bagian dari bajak laut itu. Pemuda tampan itu diasuh oleh Raja Rompak sang penculiknya dahulu kini telah menjadi ayah angkatnya. Sejak bergabungnya Simardan dengan mereka tampak nyata perkembangan dan kejayaan komplotan bajak laut tersebut. Bahkan setelah Simardan tumbuh menjadi pemuda oleh sang ayah angkat sang Raja Rompak diberikan kepercayaan sebagai kapten kapal Lancang Hitam memimpin  para anggota lanun yg menakutkan para pelaut itu. Kapal itu berukuran sedang dengan tiang layar utama yg kokoh dan tinggi. Kapal layar itu dapat dibangun oleh Raja Rompak dan komplotan tak lama berselang setelah Simardan diculik ikut bersama mereka. Tuah Simardan akhirnya mereka dapat memiliki sebuah kapal yg kencang dan tangguh. Mereka membangun kapal layar sejenis phinisi itu bersama ahli pembuat kapal yg sengaja didatangkan dari negeri Bugis. Sebuah negeri yg cukup jauh di Timur Nusantara. Negeri yg pada masa itu sudah mereka kenal memiliki pengrajin pengrajin yg ahli dalam membuat kapal berkualitas baik sehingga menjadikan pelautnya  handal menjelajahi samudera. Sejak memiliki kapal Lancang Hitam itu maka makin tersohor pulalah sepak terjang komplotan bajak laut itu ke seantero negeri-negeri di pesisir selat.
Sang Raja Rompak sangat menyayangi dan bangga dengan putera angkat pembawa tuahnya ini. Seorang remaja yang dahulu diculik lalu dilarikan bersama dua anggotanya dari sebuah teluk kecil di Aek Doras (Sungai Asahan). Teluk kecil itu di balik sebuah tanjung di pertemuan dua buah sungai. Kini lelaki remaja itu telah menjelma menjadi seorang pemuda tampan gagah berani yg ditakuti lawan disegani kawan.
Dalam asuhan sang ayah angkat, Simardan sangat sangat diperhatikan serta dimanjakannya. Kesenangan serta kesukaan Simardan sewaktu kecil dahulu semasa masih dipangkuan ibu sampai kini tetaplah diteruskan oleh ayah angkatnya itu. Gulai masam tetap menjadi menu favorit di kapal itu walau ikannya bukan lagi ikan sungai berganti dengan ikan laut seperti kakap dan pari. Sesekali ikan mayung, badukang atau ikan sumbilang yg mereka dapat dari memancing ikan di sekitar bila mereka sedang beristirahat sambil mengintai intai tak jauh dari tepian pantai yg tersembunyi.

Simardan juga tetap bermain bola raga (bola keranjang) dari rotan itu bila sampai di pulau markas persembunyian mereka. Ia bermain bersama anak buah anggota kapal bajak laut itu bergembira sambil menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh. Disamping itu ia rajin melatih mengasah ilmu bela dirinya memperdalam kemahiran menggunakan senjata.
Sampai saat itu cuma satu keinginan Simardan yang tak dapat dipenuhi oleh sang ayah angkat dan tak akan mungkin dipenuhinya, yaitu keinginan Simardan pulang untuk melihat lihat kampungnya dibesarkan mengenang kembali masa kecil sambil menziarahi kuburan ibunda tercinta. Menurut penuturan sang ayah angkat kepada Simardan bahwa sang ibu telah meninggal dunia beberapa tahun yg silam karena mengalami sakit tua dari kabar berita yg diterima si Raja Rompak dari kaki tangannya disana.
Padahal tidak begitu. sang Raja Rompak berusaha menutupi keadaan sebenarnya. Ia kuatir bila Simardan pulang menjenguk ibunya nanti, bisa bisa ia tak mau kembali lagi. Atau mungkin saja disana ia dapat ditangkap masyarakat karena ada yg mengenalnya sebagai kepala lanun. Banyak orang yg memburu mereka untuk mendapatkan hadiah dari kaki tangan raja negeri seberang. Para kaki tangan kerajaan itu telah disebar kemana mana dan mungkin saja sudah sampai kesana. Atau juga hal hal lainnya yang bisa saja nantinya dapat melemahkan kesolidan komplotan lanun itu.
Sampai suatu hari menjelang senja, langit di ufuk Barat mulai merona merah kejinggaan. Angin laut bertiup lembut menyapu kulit. Burung-burung camar dan burung burung laut lainnya terbang berombong rombongan mulai pulang ke darat memenuhi pucuk-pucuk pohon yg berbaris di tepian pantai.
Di haluan kapal Lancang Hitam itu tampak Simardan tengah duduk melamun sambil menjuntai juntaikan kakinya ke bawah. Kapal dengan layar dikembangkan beberapa saja melaju pelan ke arah Timur meninggalkan pulau tempat markas persembunyian mereka.
Entah gerangan apa di petang itu Simardan kalbunya dilanda rindu. Ia teringat akan ibu. Wajah sang ibu terbayang bayang bermain main di pelupuk mata. Ia rindu pelukan serta belaian sang bunda. Rindu yg menerpa menyesak di dada. Hatinya sampai saat itu ia belum yakin benar bila ibundanya telah tiada. Firasatnya seakan mengatakan bahwa ibunya masih ada di sana, jauh di Selatan.
Simardan kembali ke geladak kapal menuju bilik peristirahatan ayah angkatnya. Diintipnya dari kisi lobang angin kamar. Disana sang Raja Timpal sedang mendengkur tertidur pulas. Setelah memastikan ayahnya sedang lelap tertidur, diapun berbalik arah melangkah mendatangi ruang nakhoda.  
Dengan perlahan lahan Simardan membuka pintu ruang nakhoda agar tak menimbulkan suara yg dapat membangunkan si Raja Rompak di bilik tepat di belakang ruang nakhoda.
Nakhoda kapal kaget lalu melirik ke pintu yg terlihat olehnya dibuka dengan perlahan lahan. Ia curiga dan berwaspada. Akhirnya buyar, setelah dilihatnya yang masuk adalah Panglima Kapal. Disambutnya Simardan dengan senyuman sembari membungkuk setengah badan setelah melepaskan tangannya dari kemudi.
Simardan menepuk bahu sang nakhoda dengan lembut sambil memintanya untuk memutar haluan kembali ke arah Barat menuju muara Aek Doras. Simardan berbisik meminta sang nakhoda agar malam itu mereka mencari pelayar yang berasal dari Aek Doras. Usahakan bertemu sebelum Raja Rompak terbangun dari tidurnya. Simardan menjelaskan ciri ciri khusus kapal ataupun perahu layar asal sana. Dapat ditandai dari bentuk perahu kapalnya yg agak berbeda dengan perahu kapal negeri lain. Nampak pada perbedaannya bentuk pada haluan yg tidak tinggi dan buritannya agak melebar (perahu tongkang). Nanti setelah bertemu dengan pelaut dari Aek Doras itu, kapal kembali ke arah Timur menyergap sasaran yg sudah lama mereka intai dan tunggu tunggu keberangkatannya sesuai perintah pimpinan mereka si Raja Rompak.
Malam ini sesuai perintah sang majikan bahwa target mereka adalah sebuah kapal besar milik seorang saudagar muda. Saudagar muda itu baru saja menikahi puteri seorang saudagar kaya negeri Malaka. Malam itu sesuai informasi dari mata mata komplotan lanun kepada sang Raja Rompak beberapa hari yg lalu diperhitungkan kapal besar itu sudah keluar dari perairan di bawah kekuasaan Kerajaan Malaka. Malam ini sesuai perhitungan bila tak meleset ataupun target merubah rencana ataupun malam ini mereka berlabuh di suatu tempat menunda perjalanan sampai besok pagi atau juga hal hal lainnya. Pastilah di malam ini mereka sudah masuk ke kawasan laut bebas.
Mata mata sang Raja Rompak banyak disebar di daratan di negeri negeri pesisir. Mereka ditugaskan untuk mencari informasi tentang segala sesuatu para target lalu menyampaikan kepada sang Raja Rompak melalui kurir yg menyamar sebagai nelayan. Menurut informasi yg mereka terima bahwa sang saudagar muda  menantu saudagar kaya negeri Malaka itu akan membawa banyak barang barang bagus di kapal besarnya. Kapal saudagar muda itu berlayar dari negeri Malaka di Tanah Semenanjung membawa banyak barang barang dagangan untuk didagangkan ke negeri Siak di pesisir Timur pulau Andalas. Saudagar muda itu rupanya membawa serta istrinya yg cantik rupawan ingin berbulan madu disana.
Menurut hikayat itulah kapal Sikantan yg telah diintai intai oleh Raja Rompak dengan menyebar orang orangnya. Melakukan penyamaran sebagai orang biasa di negeri Malaka dan Siak. Sebagian lagi disebar di perairan berdekatan dengan kedua negeri itu menyamar sebagai nelayan.
Dibawah tekanan Panglima Lanun dengan terpaksa akhirnya nakhoda memutar haluan kapal balik ke arah Barat. Sang Panglima meminta pada nakhoda agar melaju dalam kecepatan normal saja agar sang raja tak terusik tidurnya. Untuk itu dimintanya kapal dapat menggunakan separuh saja dari seluruh jumlah layar yg ada.
Sebenarnya kapal layar Lancang Hitam itu sangat cepat bila menggunakan seluruh layar, yaitu ada 6 layar utama dan 12 anak layar. Disamping itu, bila keadaan mendesak dapat pula ditambahi kecepatannya dengan dibantu 10 pendayung di sisi kanan dan 10 pendayung lagi di sisi kiri yg terdapat pada palka bawah lambung kapal. Ruangan pendayung ini digunakan bila keadaan darurat sekali misalnya saat mengejar sasaran yang melarikan diri. Atau pula saat kapal Lancang Hitam melarikan diri untuk bersembunyi dari kejaran armada laut kerajaan kerajaan di pesisir Selat Malaka itu. Bentuk kapalnya sangat aerodinamis buatan ahli kapal layar dari negeri Bugis. Sangat cepatnya melaju membelah ombak. Didukung pula kapal itu terbuat dari bahan kayu yang sangat baik kualitasnya.
Setelah Lancang Hitam berbalik haluan kembali ke arah Barat. Tak berapa lama mereka sudah mendekati kuala Aek Doras (Sungai Asahan). Simardan tahu itu, karena sepengamatan dia ketika mereka berbicara di ruang kemudi tadi kapal itu baru saja melewati kuala Aek Doras dari perjalanan mereka meninggalkan pulau markas persembunyian (sekarang sekitar pulau Berhala) menyisir Selat Malaka menuju Timur.  
Ketika kapal Lancang Hitam hampir memasuki perairan kuala Sungai Asahan, sang Panglima memerintahkan nakhoda untuk segera menurunkan semua layar, mematikan pelita pelita penerangan baik di bilik bilik maupun di lorong lorong kapal. Pelita itu wadahnya ada yg terbuat dari kuningan. tembaga, dan perak. Ada juga berbahan batu pualam. Ada yg berukuran besar, sedang dan banyak pula yang berukuran kecil-kecil diletakkan di dinding dinding kapal dari wadah berbahan tembikar. Bahan bakar lampu lampu itu berasal dari lemak hewani.
Setelah melepas jangkar berlabuh disitu, nakhoda secara senyap senyap tanpa berisik banyak menggunakan bahasa isyarat memerintahkan kepada para kelasi kapal untuk segera menurunkan layar serta mematikan lampu-lampu, terkecuali lampu di bilik Raja. Mereka tidak dibenarkan masuk ke sana. Takut nanti sang majikan terbangun.
Tak berapa lama setelah mereka berlabuh dalam kegelapan malam itu, dari kejauhan tampak samar samar bayangan layar sebuah perahu berwarna putih bergerak datang dari hulu sungai menuju kuala. Semakin dekat semakin jelas itu adalah sebuah perahu berukuran sedang bermuatan penuh barang.
Tiga orang penumpang perahu layar itu terkejut kaget dan sangat ketakutan. Dari kapal Lancang Hitam gelagat mereka itu tampak terlihat. Lalu buru-buru hendak berputar haluan kembali masuk ke arah hulu kuala. Nakhoda perahu layar itu sangatlah ketakutan sekali setelah melihat dengan jelas bahwa kapal yg sedang berlabuh menunggu sasaran lewat itu adalah kapalnya bajak laut yg sangat ditakuti para pelaut. Mereka teperogok sesuatu yg tak mereka inginkan sesuatu yg mereka hindari tak nyana bersua disitu. Apes sungguh.
Terlambat, kapal perompak segera mengejar mereka dan merapat disisi kanan perahu. Kelihatan besar kapal lanun amat tak sebanding dengan ukuran perahu mereka yang kecil itu. Secara sigap dengan sekali ayunan tubuh Simardan melompat ke perahu layar di bawah itu. Dengan sekali gebrakan ia langsung melumpuhkan tiga orang penumpang perahu layar.
Setelah ketiganya dilumpuhkan, Simardan lalu bertanya kepada ketiganya siapa diantara mereka pemilik perahu itu.
Seorang pria paruh baya yg jatuh tertelungkup di buritan perahu sehabis dihajar Simardan mengaku bahwa dialah pemiliknya.
Kemudian dengan tenang Simardan meminta kepadanya berbicara jujur. Menceritakan apa apa yang diketahuinya tentang seorang perempuan tua yg tinggal di gubuk bambu beratapkan nipah di tepian sebuah teluk kecil dibalik kampung tanjung. Bila dia mau bercerita jujur
Simardan berjanji akan melepaskan mereka semua bersama perahu dan isinya berupa barang barang bawaan yg hendak didagangkan itu. Bila tidak maka jangan harap tak satupun diantara mereka dapat melihat matahari besok pagi. Ancamnya.

 



Majikan perahu layar itu ragu akan janji yg diucapkan Simardan. Seluruh badannya dibasahi keringat dingin. Wajah pucat pasi badannya gemetaran dungkul dan sendi sendi tulang seakan mau lepas karena ketakutan akan dihabisi nyawanya bila tidak mau menceritakan apa yg dimintakan apalagi berbohong. 
Ia belum mampu berkata kata. Dalam hatinya bertanya-tanya siapakah gerangan pemuda tampan lagi gagah perkasa ini. Mengapa ingin sekali tahu akan keadaan orang tua aneh berpuako di teluk sepi lagi angker itu. Apakah ini putranya yang hilang itu? Tapi dia tak begitu yakin melihat kondisi lelaki muda gagah itu bertolak belakang wsekali dengan nenek tua gila itu.

 
Akhirnya dikuatkan juga semangatnya menghilangkan rasa takut. Dengan terbata bata ia menanyakan apakah yang dimaksud pemuda itu adalah seorang ibu tua  yang tinggal di sebuah gubuk di tepian teluk kecil di sisi Aek Doras di Selatan di balik Kampung Tanjung. Pemuda itu mengangguk dan minta diteruskan cerita kabar beritanya. Ia sudah tak sabar mendengarkan. Kelihatan mimik wajahnya menunjukkan penasaran ingin tahu benarkah firasatnya selama ini bahwa ibunya masih hidup.

Dengan badan masih gemetaran dan mulut yg berat untuk berkata kata kembali ia melanjutkan ceritanya. Bahwa ia sudah lama tidak mengetahui keberadaan sang ibu tua. Karena sejak kepergian anaknya menghilang diculik orang tak tentu rimbanya daerah sekitar gubuk itu menjadi angker. Penduduk di sekitar   kampung Tanjung takut mendekati kawasan itu apalagi ke gubuk itu. Banyak anak-anak yang hilang dan tak            diketemukan lagi setelah masuk kesana. Bila malam hari sering terdengar suara suara aneh ditingkahi  suara nenek nenek bersinandong pilu sangat menyayat hati. Menurut penuturan orang orang disana bahwa perempuan tua itu sudah menjadi gila. Terganggu jiwanya memikirkan keadaan anaknya yg hilang sepanjang waktu.

Bagaikan disambar geledek Simardan terhenyak mendengarnya. Wajahnya yang semula tenang dan bersih mendadak terlihat memerah dahinya berkerut, nafasnya menjadi tak teratur. Lalu sekonyong konyong tanpa bias ditahan ia memekik dengan             suara lantang. Simardan memaki-maki ayah angkatnya dengan kata-kata tak pantas. Ia kesetanan karena tahu Raja Rompak telah berbohong padanya selama ini.             Untung saja saat itu teriakannya tak sampai terdengar sang Raja Rompak yg sedang tertidur pulas di atas kapal di bilik yang tertutup rapat. Ia mungkin sedang terbuai dalam mimpi indah.

Ketiga penumpang perahu layar itu menjadi bertambah menggigil ketakutan. Pandangan mereka kosong seakan sudah tak ada lagi harapan hidup. Mereka bertiga tak dapat lagi membayangkan apa yang akan  terjadi terhadap mereka sesudah itu. Belati yang masih terselip di pinggang Simardan bagaikan hendak tercerabut menghunjam menusuk ke dada mereka. Satu diantara mereka rupanya sudah tak tahan lagi menahan takut langsung jatuh pingsan tak sadarkan diri.

Simardan kemudian menarik nafas dalam-dalam mencoba menenangkan diri. Matanya yang memerah menatap tajam kedua bola mata sang majikan perahu layar. Lalu berpindah ke temannya yang satu lagi. Dengan mengacungkan jari telunjuknya ke mereka ia mengancam agar mereka semua merahasiakan kebenaran berita ini.           Bila tidak nyawa mereka akan melayang. Ia akan mencari mereka kemanapun bersembunyi.

 

Sambil menghela nafas panjang Simardan meminta kepada mereka untuk melepas baju masing masing karena sudah kotor ternoda muncratan darah dari mulut mereka sewaktu dilumpuhkan Simardan tadi.  Kemudian baju baju penuh darah itu diambil oleh Simardan dan menyuruh mereka mengambil dan memakai pakaian yang lain yang dibawa. Setelah itu Simardan lalu melepas ikat kepalanya yang unik dan khas itu yg selama ini setia menutupi bagian atas rambutnya yang hitam bergelombang terurai sebahu. Setelah itu Simardan meminta kepada mereka supaya tetap diam di tempat, dia akan naik sebentar ke kapalnya untuk sesuatu urusan dan segera kembali ke perahu.
Setelah Simardan mengucapkan kata kata perpisahan pada ayah angkat sang Raja Rompak yg masih terlelap dalam mimpi. Simardan berbalik kembali menuju geladak, menjumpai nakhoda yang masih setia berdiri bersiaga ditempat semula. Ia lalu meminta nakhoda memutar haluan kapal kembali menuju ke Timur. Sesuai rencana mereka semula mengintai kapal dagang Sikantan. Menurut informasi dari kaki tangan mereka beberapa hari yg lalu di sebuah tempat pertemuan, bahwa kapal besar Sikantan akan bertolak dari pelabuhan Malaka seminggu setelah bulan purnama. Sikantan merencanakan itu untuk menghindari terangnya cahaya bulan purnama di malam hari dari perjalanan mereka. Supaya tak terpantau kapal lanun Lancang Hitam berpanji tengkorak hantu Selat Malaka itu.
Menurut perhitungan Raja Rompak, malam inilah waktunya kapal Sikantan memasuki perairan di luar jangkauan dan pengawasan dari armada laut Kerajaan Malaka maupun Kerajaan Siak yg saling bersahabat itu.
Setelah berpesan pada nakhoda lalu mengucapkan salam perpisahan, Simardan melompat ke perahu layar di bawah disisi kapal. Di bawah sana perahu layar itu terombang ambing diayun ombak. Ketiga penumpangnya tak berani melarikan diri masih menunggu Simardan kembali.
Setelah mendarat di atas perahu layar, dari bawah sana Simardan lalu mengisyaratkan kepada sang nakhoda yg masih berdiri terpana berurai air mata di atas geladak kapal agar memerintahkan kelasi segera mengangkat jangkar. Kapal berputar haluan kembali ke Timur layar kayar kembali dikembangkan.
Simardan dan sang nakhoda mereka saling melambaikan tangan. Diam tanpa kata kata sebagai tanda berpisah. Berat nian hati sang nakhoda untuk meninggalkan Simardan di perahu itu. Keputusan ini begitu sulit baginya. Gerangan apa nanti yg akan dihadapinya bila majikannya tahu bahwa Simardan sudah tidak bersama mereka lagi..
Jiwa dan raga mereka yang selama ini telah ditempa kehidupan yg keras sebagai lanun di lautan luas, ternyata punya sisi lemahnya juga. Air mata tampak menetes jatuh di pipi dari sudut sudut mata Simardan. Begitu pula akan nakhoda juga para prajurit lanun yg lain. Tatapan mata mereka seakan kosong mengikuti gerakan perahu Simardan melaju pelan ke Utara bersama tiga penumpang lainnya. Lama lama menghilang ditelan kegelapan malam. Terbayanglah masa masa yg sudah mereka jalani bersama selama ini dalam suka maupun duka. Masa masa sulit saat mulai mengembangkan komplotan mereka itu. Rupanya setelah tak bersama lagi menjadi sebuah kenangan indah yg tak dapat mereka lupakan. Kemudian kapal lanun perlahan mulai memutar haluan, kemudian berlayar laju menghilang di lautan luas.
Sementara itu di atas perahu layar terlihat Simardan sudah mengganti pakaiannya dengan pakaian yg biasa dikenakan para pelaut. Pakaian itu sempat diambilnya di kapal sebelum kembali ke perahu tadi. Pakaian lama yang telah dilepasnya itu kemudian dibuangnya semua ke laut.
Majikan perahu bersama dua sahabatnya yg lain hanya dapat diam memperhatikan tingkah Simardan itu. Walaupun mereka ada bertiga seorang yg pingsan tadi telah siuman kembali. Namun mereka tak punya nyali untuk menghadapi Simardan. Apalagi sekarang Simardan ada pula membawa sebilah pedang lengkap dengan sebuah belati terselip dipinggang.
Dengan sedikit membentak Simardan memerintahkan sang majikan perahu agar meneruskan perjalanan kembali menuju Utara, sesuai tujuan mereka semula.
Haripun sudah menjelang subuh, cahaya terang terang tanah berkabut putih temaram mulai menerangi permukaan laut tanda sebentar lagi akan menyembul sinar jingga kemerahan senyuman sang mentari pagi dari balik lapisan awan awan tipis di ufuk Timur.
Di perahu layar berukuran sedang itu Simardan duduk bersandar ditiang haluan sambil melunjur lunjurkan kedua kakinya lurus kedepan. Kedua tangannya berdekap bersilang di atas perut. Wajahnya disembunyikan di balik topi berdaun lebar anyaman dari daun pandan pantai. Matanya terlihat merem namun ia bukan tidur, indranya tetap awas pada sekitar. Pedang masih dalam sarungnya terletak disisi kiri seakan siap dikelebatkan oleh tangan kanannya bila sewaktu waktu ada serangan. Belati bermata ukuran sejengkal orang dewasa masih terselip dipinggang kiri. Kupingnya tajam mengamati suara-suara disekitar. Seekor anak ikan pedang pedang (ikan timah) yang masuk terlempar ke perahu akibat dihantam haluan menjadi korban sabetan pedang Simardan.
Begitu pula pemilik perahu dan kedua temannya secara bergantian memegang kemudi dan mengendalikan layar agar haluan tetap ke arah tujuan, sepicingpun tak dapat lelap tidurnya. Masing-masing awas dan berjaga-jaga. Mereka takut dibunuh oleh Simardan kapan saja.
Barulah ketika cahaya mentari menerpa kulit mereka disana diatas perahu layar itu mulai terlihat ada aktifitas. Salah seorang dari teman majikan perahu itu bergegas tegas di buritan, seperti ia akan menyiapkan sesuatu untuk dimasak di subuh itu. Semua aktifitas mereka itu tak luput dari pengawasan mata dan kuping Simardan dari balik lobang lobang kecil anyaman topi pandan yg menutupi wajahnya ditekuk di atas lipatan tangan di atas dada. Berbarengan dengan itu sahabat sang majikan yg satunya lagi  sibuk pula membantu.
Tampaknya persiapan bekal makanan selama di perjalanan di perahu itu kelihatannya cukup dibawa mereka. Begitu pula bekal air bersih dan kayu bakarnya. Perut Simardan yang sudah kosong semalaman serasa minta diisi. Ia tanpa reaksi dan kata kata seakan akan merestui dan membiarkan apa apa yang mereka kerjakan di pagi itu.
Tempayan sebagai wadah air bersih terbuat dari tanah yg dibakar (tembikar) berukuran tinggi sepinggang orang dewasa terletak di pojok kanan buritan perahu berbentuk tongkang itu. Bentuk perahu itu lebar di belakang meruncing ke depan. Sedangkan air bersih dalam tempayan itu diambil dari Aek Doras (Sungai Asahan), mereka ambil saat air pasang penuh. Warnanya bening dan jernih.
Air bersih di tempayan itu masih penuh, permukaannya bergoyang-goyang pelan mengikuti alunan perahu yang melaju tenang dihembus angin Timur. Pagi itu permukaan laut agak lenang tidak ada gelombang besar. Air laut sedang pasang mati, bulan sedang turun. Posisi bulan saat itu menuju garis sejajar antara matahari dan bumi. Sehingga gravitasi bulan dan matahari terhadap air laut di bumi berkurang, menjadikan air laut kurang berarus dan kurang hangat suhunya. Inilah yg menyebabkan nelayan nelayan pada masa pasang mati kurang mendapatkan hasil, karena ikan ikan diam di persembunyiannya saja tidak keluar mencari mangsa dan makanan.

Periuk tanah, gayung dan sudu dari batok kelapa, piring mangkok dari anyaman bambu, serta peralatan dapur lainnya cukup tersedia di perahu itu walaupun cukup bersahaja. Begitu pula bumbu bumbuan seperti cabai, jeruk nipis, garam, gula aren, lada, asam glugur kering, dll. Juga ada minyak kelapa hasil olahan mereka sendiri dari kampung disimpan dalam wadah guci tembikar berukuran kecil. Beras dalam karung pandan teronggok di sisi kiri buritan berdampingan dengan beberapa gandeng buah kelapa tua.
Untuk lauk mereka juga membawa bekal berupa ikan yang telah dikeringkan dengan disalai/diasapi maupun dengan diasinkan. Bahkan ada daging seekor ayam jantan muda yg sudah direbus dan masih baik dibawa mereka dari kampung tanjung. Tampaknya pagi itu akan menjadi lauk mereka sedang dipersiapkan.
Tampaknya pagi itu mereka ingin menyajikan masakan istimewa buat tamunya Simardan juga mereka bertiga. Ayam gulai lemak. Simardan sudah berdiri lalu ke butiran mencuci mukanya. Ia mulai tampak tersenyum penuh persahabatan kepada mereka bertiga. Untuk mencairkan suasana menghilangkan ketegangan di perahu itu, ia lalu bersiul-siul kecil. Tingkah cerianya itu membuat penumpang lainnya di perahu layar menjadi merasa lebih nyaman.  
Sementara itu puluhan mil disana di perairan sebelah Timur, pagi itu di atas kapal bajak laut yang sedang bersembunyi di balik sebuah pulau kecil berbatuan karang. Pulau karang ini di tengah selat besar di perairan Timur itu sebagai salah satu tempat persembunyian Lancang Hitam bila sudah siang hari. Setelah sepanjang malam berpatroli mengintai target sasaran korban. Pulau karang ini sangat jarang didekati pelayar-pelayar karena berbahaya bagi kapal yg awam terhadap situasi kondisi perairan disitu.
Pagi itu sang Raja Rompak sudah terbangun dari tidur lelapnya. Kebiasaannya bila malam tidak beroperasi melakukan aksi sergapan terhadap suatu kapal incaran, maka biasanya esok di pagi hari sang Raja Rompak akan lama bangun dari tidur lalu pergi bermalas malasan berendam berlama-lama di bak mandi. Bak mandi yg sudah dipersiapkan buat sang majikan kapal lanun itu berbentuk oval berdiameter lebih kurang sehasta, setinggi lutut orang dewasa. Bak mandi ini terbuat dari bahan kayu cendana berkualitas sangat baik. Kayunya senantiasa mengeluarkan bau harum, wanginya seakan beraroma terapi. Bak mandi sang majikan itu ditempatkan di dek di atas buritan kapal.
Sebelum menuju bak mandi Raja Rompak biasanya terlebih dahulu menemui nakhoda untuk memastikan bahwa posisi kapal sudah aman. Kapal lanun itu bagaikan binatang malam. Bila siang hari diam bersembunyi, tapi bila hari telah gelap barulah mereka keluar beroperasi di lautan luas.
Dalam mencari informasi untuk pengintaian terhadap kapal yang akan dijadikan korban, biasanya memerlukan waktu berhari-hari. Informasi tentang kapal target didapatkan dari para kaki tangan sesekali pada pelayar yg dibawah ancaman mereka. Saat diperlukan merekapun terkadang sering turun ke darat dengan melakukan penyamaran.
Sekali ini sasaran mereka adalah kapal dagang Si mantan. Berminggu minggu mereka telah menyebar para kaki tangan untuk mencari informasi yg akurat dari kedua pelabuhan dua kerajaan  Malaka dan Siak di dua pesisir selat besar itu.
Pagi itu sebelum sang raja lanun beranjak mandi seperti biasa nakhoda sudah menunggu Raja Rompak datang menjumpainya untuk di ruang kemudi. Sesaat kemudian sudah muncul yang ditunggu. Nakhoda sedang memainkan selamanya. Ia menangis terisak isak sambil memegang ikat kepala Simardan beserta beberapa helai pakaian penuh berlumur darah. Ia lalu menyungkur di kedua kaki sang raja. Sambil tersedu-sedu dia menceritakan bahwa Simardan telah hilang saat bertempur dengan segerombolan pelayar yang ingin mereka interogasi untuk mencari informasi tentang keberadaan kapal Sikantan. Beberapa orang dari pihak musuh tewas sambil diperlihatkannya beberapa potong pakaian di tangannya. Kemudian tangisnya makin menjadi jadi. Dengan terisak isak ia menyebutkan Simardan telah hilang semalam setelah terjatuh ke laut. Lalu mereka mencarinya semalaman. Sebelum pagi mereka sudah beberapa kali berputar-putar mencari Simardan di perairan sekitar kejadian, namun tidak juga bertemu kecuali hanya ikat kepalanya saja. Karena hari telah mulai terang takut akan dipergoki armada laut kerajaan terdekat maka mereka menghentikan evakuasi lalu berlindung ke pulau persembunyian.
Alangkah murkanya sang Raja Rompak setelah mendengar cerita sang nakhoda. Drum drum kayu yang ada di dekatnya beterbangan diterjang sang raja labuan yg diamuk angkara murka. Hancur berantakan beterbangan, isinya bertebaran ke mana-mana mengotori geladak kapal.
Nakhoda sekujur badannya gemetaran sangat ketakutan. Keringat dingin bercucuran membasahi tubuhnya. Para anak buah kapal lainnya menundukkan pandangan terdiam terpaku tak sanggup bersuara sepatahpun.
Raja lalu menghardik memerintahkan mereka segera mencari kembali di perairan sekitar juga pulau-pulau kecil yg ada disitu menggunakan perahu-perahu kecil. Mana tau Simardan dapat ditemukan disitu baik dalam keadaan hidup ataupun sudah menjadi mayat. Perahu layar kecil itu dapat juga didayung, bermuatan 4 sampai 6 orang. Perahu perahu itu selama ini mereka sembunyikan di paluh paluh pulau karang yg tak diketahui para pelaut. Perahu itu mereka tutupi dengan dedaunan digunakan bila saat melakukan penyamaran ke daratan dalam mencari informasi ataupun untuk pelesiran bersenang-senang disana. Mereka bermain judi, minum minum arak lalu ke tempat tempat hiburan mencari wanita penghibur.
Raja Rompak memanggil seseorang yg dipanggilnya dengan nama Badogol. Salah seorang anak buah kepercayaannya setelah Simardan. Badogol ini  adalah seorang pemuda yg umurnya lebih tua sedikit dari Simardan, rekrutannya dari negeri pesisir Timur pulau Andalas. Pemuda itu berasal dari sebuah bandar kecil terletak di sebuah teluk yang sepanjang pantainya penuh ditumbuhi pohonan mangrove sejenis kayu api-api (bandar kecil itu diberi pelaut dengan nama Bagan Siapi-api).
Pemuda itu nama sebenarya adalah Beng Dong Ghuong), seorang keturunan. Leluhurnya berasal dari daratan Timur Laut (sekarang Tiongkok) datang berlayar dari daratan sana membuka kampung nelayan disitu sejak turun-temurun. Karena susah menyebutkannya maka Raja Rompak memanggilnya dengan Badogol saja.
Beng Dong Ghuong alias Badogol ini dahulunya adalah seorang bandit kampung. Masa lalunya ia seorang penjahat di kampung sendiri. Ia seorang centeng, jagoan beladiri dan juga handal dalam memainkan senjata seperti pisau, pedang dan tombak. Jurus ilmu silatnya agak berbeda dengan kebanyakan mereka yg ada di kapal itu. Gerakannya lebih ditekankan kepada pengaturan nafas, kuda kuda, dan tenaga dalam. Ilmu beladirinya itu berasal dari daratan Tiongkok dikenal dengan kungfu.
Untuk menjaga kebugaran serta kekuatan pasukannya Raja Rompak mewajibkan mereka wajib berlatih ilmu beladiri secara teratur konsisten dan berdisiplin bila sedang tidak beroperasi. Mereka terus mengasah ilmu beladiri dan menggunakan senjata. Ia juga mengajarkan ilmu tentang strategi tempur di laut. Ilmu yg didapatkannya dari pengalaman menjadi lanun selama ini sedari muda dahulu.
Dalam adu tanding antara para prajurit Raja Rompak di kapal itu semua sudah pernah dikalahkan oleh Badogol. Kecuali ada 2 orang yg sampai kini belum mampu dikalahkannya, yaitu Simardan dan Raja Rompak sang majikan yg belum pernah dihadapinya beruji tanding. Sedangkan Simardan sang Panglima kapal lanun sudah pernah suatu kali diadu oleh Raja Rompak bertanding secara sungguh sungguh dengan Badogol. Pertama mereka saling berhadapan menggunakan tangan kosong. Keadaan masih berimbang. Lalu berikutnya kepada mereka berdua masing masing dibenarkan menggunakan senjata.
Dalam adu tanding antara mereka berdua itu seharian belum juga ada yg menang dan kalah. Mereka telah bertempur beradu kekuatan menunjukkan keahlian dan kelebihannya masing masing. Berpuluh-puluh jurus andalan telah habis mereka keluarkan namun sampai sore hari tak satupun diantara mereka dapat saling mengalahkan. Hingga sampai akhirnya pada suatu jurus pamungkas Simardan yg halus dan ringan, dengan sebuah gerakan salto menggunakan kelenturan tubuhnya. Jurus yg diramunya dan dilatihnya sendiri. Mungkin bakat yg ada pada dirinya serta kebiasaannya sejak dahulu dimana Simardan sejak kecil gemar bermain bola keranjang. Rupanya secara tak sengaja telah menjaga kelenturan tubuh, tinggi dan ringannya lompatan, refleks tendangan serta gerakan anggota tubuh lainnya menjadikannya lebih unggul dari yg lain.
Dengan sekelebat mata sejurus kemudian Simardan sudah melakukan gerakan melompat. Tubuhnya seakan melayang di udara, lalu bersalto membalikkan tubuh dengan lembut di atas. Tiba tiba kaki kirinya telah memukul pergelangan tangan kanan Badogol membuat pedangnya terlepas dari pegangan. Lalu secepat kilat kaki kanan Simardan secepat memukul rahang Badogol dengan telak sehingga jatuh tersungkur di tanah. Akhirnya Badogol pun menyerah karena di kulit lehernya sudah menempel mata pedang Simardan.  
Kita tinggalkan dahulu kapal lanun itu dengan para anak buahnya sedang sibuk kesana kemari mencari keberadaan Simardan mengitari perairan sekitar menggunakan perahu perahu kecil dengan penyamaran sebagai nelayan sejak pagi buta sampai menjelang senja namun tak diketemukan juga.
Kita kembali ke perahu yg ditumpangi Simardan. Malam ini perahu itu telah memasuki malam kedua dalam mengharungi laut lepas menuju pantai Utara ke negeri seberang. Angin Tenggara di malam ini berhembus sedikit kencang membuat laju perahu semakin kencang. Gelombang laut mulai terasa mengayun-ayunkan perahu ke kiri dan ke kanan. Perahu layar itu bagai sebongkah sabut kelapa tua yang sedang dipermain mainkan ombak di tengah lautan tak bertepi. Bintang kejora di ufuk Utara sebagai pedoman bekerlap-kerlip cahayanya sesekali tertutup awan tipis yang berarak pelan di angkasa bersama mulai temaramnya malam tanpa cahaya rembulan yang masih berbentuk sabit.
Karena arah angin datangnya dari Tenggara sementara haluan mereka menuju Utara maka layar haruslah diikatkan ke sisi sebelah kanan perahu agar layar dapat menghempang datangnya angin dari Tenggara sehingga perahu terus melaju ke tujuan.  Kemudi senantiasa dijaga tekong secara bergantian diantara mereka bertiga agar haluan tetap menuju Utara.
Udara dingin di malam itu belum juga mampu membuka komunikasi diantara mereka. Masing-masing sungkan dan menjaga diri walau malu malu sudah mulai cemistry di antara mereka sejak makan bersama tadi pagi. Sampai akhirnya sang juragan mulai memberanikan diri bertanya kepada Simardan hendak kemana gerangan tujuannya agar mereka dapat menghantarkannya ke tempat tujuan.
Simardan menarik nafas panjang, nampak ia mulai tenang. Lalu ia menjawab pertanyaan sang juragan. Ia minta ikut sampai ke negeri tujuan mereka saja dan meminta dengan sangat jangan menceritakan apa-apa yang terjadi terutama menyangkut dirinya, baik di negeri tujuan maupun sesudah kembali ke negeri mereka semula. Bila tidak, Simardan akan mencari mereka kemanapun dan tak akan sungkan membunuh mereka semua bila berjumpa. Kemudian sang juragan dan temannya yg lain bersumpah dan berjanji bahwa mereka akan tetap menyimpan semua rahasia diantara mereka ini dimanapun dan sampai kapanpun. "Biarlah pecah di perut, asal jangan pecah di mulut" ikrar mereka di hadapan Simardan.
Menjelang larut malam sang juragan dan seorang lagi yang sedang tak bertugas sebagai juru mudi nampak mulai dapat tertidur lelap. Mungkin karena kondisi mereka yg sudah letih juga kekurangan tidur semalam ditambah pula sudah adanya keyakinan mereka bahwa Simardan itu adalah sosok yg baik dan dapat dipercaya.
Tidak demikian halnya dengan Simardan, ia masih awas dan waspada. Hal seperti ini sudah terbiasa dalam kehidupannya yang keras sebagai seorang bajak laut. Memangsa atau dimangsa.
Ditempat lain, di atas kapal lanun Raja Rompak tidak habis habisnya menyumpah serapahi para anak buahnya yang belum juga berhasil menemukan keberadaan Simardan bila masih hidup, ataupun mayatnya bila telah mati. Tapi sang Raja Rompak begitu yakin jikalau Simardan anak angkatnya itu masihlah hidup. Karena ia tahu akan kemampuan anak angkatnya itu. Bila jatuh kelaut, ia handal berenang yang tentu saja mampu mencapai bibir pantai ataupun pulau pulau kecil terdekat. Ia tahu itu karena dahulu sudah pernah diujinya. Simardan mampu merenangi dua pulau terpisah laut berjarak tempuh kira kira bila berperahu dayung bila berangkat dari satu diantara dua pulau itu sejak matahari terbit sampai matahari itu hampir tepat berada di atas kepala.
Beda pula suasana hati Badogol (Beng Dong Ghuong). Dalam hatinya ia merasa gembira, karena saingannya selama ini untuk menguasai kapal itu kini telah tiada. Sehingga sang majikan sudah menjadi tidak begitu ditakutinya lagi. Kini sifat aslinya mulai tampak yang selama ini rapi disembunyikan. Ia sudah lama menunggu kesempatan ini datang. Secara sembunyi sembunyi tanpa diketahui raja lanun dia telah membangun kekuatannya sendiri.
Ada kubu yang masih loyal dengan sang Raja dan Panglima, tapi ada juga kubu yang dibangunnya secara rahasia menjadi lebih tunduk pada perintah Badogol daripada yg lain. Dengan operasi senyap sebagian anak buah sang majikan sudah lama dipengaruhi oleh Badogol.
Cara cara pendekatan yg dilakukan Badogol adalah melalui kesenangan serta kemewahan yang diberikan Badogol kepada prajurit tak setia. Itu diberikannya sewaktu mereka diberi waktu oleh majikan untuk pelesiran ke darat setelah berhasil merompak sasaran besar hari hari sebelumnya. Sudah pasti mereka akan bersenang-senang berfoya-foya ke tempat tempat hiburan.
Disamping itu Badogol kerap memberikan berkeping keping uang perak dan barang-barang berharga lainnya dari hasil rompakan mereka yang sebagian rupanya sudah disembunyikan Badogol tanpa sepengetahuan Raja Rompak maupun Panglima kapal lanun.
Hal itulah yg membuat Beng Dong Ghuong alias Badogol disenangi oleh prajurit prajurit lanun yang kurang setia pada majikan. Inilah kesempatan itu masa yang ditunggu-tunggu Badogol dengan sabar untuk melakukan makar lalu menguasai kapal lanun bersama barisannya.
Ternyata selama ini sejak diambil oleh Raja Rompak sebagai orang kepercayaan sesudah Simardan, Beng Dong Ghuong alias Badogol secara sembunyi sembunyi telah memperkaya dirinya sendiri bersama kelompok rahasianya. Kelompok gelap ini dibangunnya secara rahasia. Kaki tangan gelapnya ini diambil dari para prajurit kapal yang mudah dipengaruhi oleh Badogol melalui iming-iming kekayaan. Kekayaan yg akan mereka dapatkan dari pembagian hasil rompakan yg digelapkan. Disamping itu juga akan mendapatkan kesenangan kesenangan lainnya untuk menarik minat para prajurit prajurit yg kurang teguh dalam pendirian ataupun mereka yg ingin cepat merobah keadaan. Mimpi menjadi orang kaya yg hidup penuh kesenangan. Walau ditempuh dengan cara berkhianat sekalipun terhadap pimpinan ataupun orang yg telah menolong kehidupannya juga membesarkannya selama ini.
Rupanya tipe dan watak manusia seperti itu mudah dijumpai di dunia hitam itu. Disamping Badogol mengambil orang orang seperti itu ada juga rekrutan baru dari para pelaut ataupun para bajingan kampung di daratan yg mau ikut bergabung. Para kaki tangan Badogol ini ditempatkannya di pos-pos khusus di pantai-pantai ataupun pulau-pulau kecil tak berpenghuni tempat mereka menyembunyikan harta hasil penggelapan itu. Bila pada masa itu ada lembaga audit lalu kekayaan Badogol diaudit seorang auditor tentulah ditemukan bahwa kekayaan Badogol saat ini jauh lebih besar dari kekayaan yg dimiliki sang Raja Rompak selaku majikan pemilik sebenarnya kapal lanun itu.
Untuk mengelabui Raja Rompak dan Simardan sang Panglima serta pasukan setia lainnya, sehari hari ia tetap bersahaja dan berpura-pura menjadi pengabdi setia. Kekayaan kelompok lanun itu sebagian besar telah dilarikan dan disembunyikannya pada pulau pulau yg dijaga orang orangnya sendiri agar tak terendus. Bersama komplotan bawah tanahnya mengatur sedemikian rapi penyimpanan dan pemakaian harta karun mereka itu. Ketika pelesiran tiba keadaan mereka lebih hura hura dari anggota kapal lanun yg masih setia. Dari pembagian yg diberikan Badogol mereka dapat bersenang senang berfoya foya sepuas puasnya di tempat tempat hiburan di daratan tanpa sepengetahuan majikan dan Panglima. Sementara itu sebagian dari hasil penggelapan itu oleh Badogol dikirim ke kampung asal ke negeri Bandar Siapi Api sana melalui jaringan gelapnya untuk memperkaya keluarga sang culas disana.
Saat waktu libur untuk bersenang senang yg diberikan oleh Raja Rompak kepada seluruh anak buahnya setelah bekerja keras berhasil merompak sebuah kapal target disitulah Badogol mengambil waktu. Ia bersama pasukan khususnya menggunakan sebagian waktu pelesiran itu untuk mengumpulkan kepala wilayah komplotan rahasia yg mereka bentuk di negeri-negeri terdekat dari tempat mereka bersenang senang itu untuk berkumpul bersama pada suatu tempat yang telah ditentukan. Biasanya mereka bersenang senang di tempat hiburan sambil membahas siasat, strategi serta hal lainnya guna memperkuat ataupun untuk melindungi komplotan itu. Biasanya mereka juga bekerjasama dengan orang dalam kerajaan kerajaan yg bisa disuap dalam mengamankan aksi aksi mereka. Para petugas orang dalam itupun pada umumnya ikut bergabung dan larut dalam kesenangan di tempat tempat hiburan itu. Sebagai pancingan untuk dapat diperalat oleh Badogol dalam mengamankan sepak terjangnya.
Dalam  mengumpulkan para kaki tangannya itu mereka melakukan hubungan informasi langsung menggunakan mata mata kepercayaan yang telah dibekali keahlian menggunakan bahasa bahasa sandi yg hanya dimengerti oleh kalangan komplotan itu saja. Disamping itu mereka juga diberikan kemampuan dalam bidang ilmu beladiri serta ahli menggunakan senjata senjata rahasia. Mereka sangat militant sekali, sampai sampai rela membunuh temannya bahkan juga membunuh diri mereka sendiri untuk menghilangkan jejak. Bunuh diri menjadi jalan terakhir bila sudah sangat terdesak dan sudah tak ada lagi harapan untuk selamat. Sungguh suatu pasukan yg sangat solid dan berintegritas tinggi kepada pimpinan dan komplotan. Mereka bergerak bagaikan operasi senyap pasukan anjing anjing setia.
Setiap kapal lanun melakukan operasi perompakan terhadap suatu kapal korban maka pasukan gelap ini akan ikut terlibat dalam penyergapan. Mereka diselipkan Badogol untuk turut bertempur. Pada suatu aksi perompakans ebagian dari kaki tangan Badogol ini terlebih dahulu bekerja menyatroni barang-barang korban sebelum dikuasai para perompak yang setia pada Raja Rompak dan Panglima.
Dengan sigap pasukan gelap Badogol itu memasukkan barang barang jarahan ke dalam drum-drum atau bungkusan-bungkusan yg telah mereka persiapkan sebelumnya. Kemudian barang jarahan ilegal itu diam diam mereka buang ke laut. Sebagian pasukan gelap Badogol yg lain sudah siap menunggu di pantai-pantai pulau pulau terdekat. Mereka bersiaga dengan perahu-perahunya. Disana mereka menunggu sampai keadaan memungkinkan untuk beraksi dengan kode atau sinyal akan disampaikan dari temannya yg di kapal. Seolah olah terluka karena serangan lawan para kaki tangan Badogol di kapal lanun itu akan menjatuhkan diri ke laut. Tapi di sana dipermukaan laut mereka hanya terapung-apung karena telah memakai pelampung atau apapun yang dapat dipakai untuk tidak tenggelam. Pelampung atau sejenisnya itu sebelumnya telah sedia mereka ambil dari kapal sebelum melompat ke laut berpura pura menjadi korban musuh. Setelah suasana aman dan memungkinkan lalu para pengkhianat yg pura pura mati telah mengambang di laut ini memberikan kode berupa asap yg keluar dari senjata rahasia mereka, agar dapat dilihat oleh teman teman komplotannya di pantai untuk segera datang mengevakuasi mereka serta mengutip barang barang yg telah mereka buang ke laut tadi.
Ternyata tanpa disadari Raja Rompak selama ini ia telah memelihara tikus-tikus yang menggrogoti kapalnya sendiri. Sementara itu Simardan sudah lama mencurigainya namun belum punya bukti kuat untuk menyampaikan pada sang ayah angkat. Lagi pula gerak-geriknya setiap saat dipantau oleh mata-mata para pengkhianat-pengkhianat kapal lanun itu. Setiap pulau tempat Badogol menyembunyikan harta gelapnya, disitu pulalah ia ada menyimpan gundik isteri simpanan. Para perempuan simpanan itu dijadikannya pula sebagai mata mata bagi komplotannya. Terkadang perempuan perempuan cantik ini dijadikannya pula umpan untuk menjerat para petugas kerajaan yg selama ini sulit ditundukkannya untuk ikut bekerjasama.
Bila teman-temannya yang lain pergi pelesiran bersenang-senang ke tempat tempat hiburan menikmati bagian hasil rompakan dan tips dari Badogol. Tapi tidak begitu halnya dengan Badogol. Ia lebih asik mendatangi pulau-pulau penyimpanan harta ilegalnya sekaligus menemui para gundik disana sambil bersenang senang pesta mabuk-mabukan.
Senja itu Beng Dong Ghuong alias Badogol sedang mengatur sesuatu rencana bersama koki kapal. Juru masak kapal lanun itu rupanya telah menjadi kaki tangan Badogol secara diam diam dan penuh rahasia. Karena selama ini telah banyak menerima pemberian dari Badogol lalu termakan budi akhirnya ia jatuh dalam pengaruh dan tekanan Badogol. Ia belakangan ini sering menerima sesuatu hadiah berupa barang barang yg mahal harganya sebagai buah tangan Beng Dong Ghuong apabila kembali ke kapal sesudah ada sesuatu urusan dan tugas dari majikan ataupun juga sedang mengambil waktu pelesirannya di darat.
Menjelang malam itu mereka menjalankan rencana akan meracuni Raja Rompak melalui makan malamnya. Menu makan malam nanti sengaja disiapkan secara istimewa. Sang koki kapal akan menyiapkan masakan kesukaan sang Raja Rompak, yaitu sop sirip ikan hiu berikut bebek ungkap.
Di kapal lanun itu ada satu wadah khusus tempat menyimpan sirip sirip ikan hiu sebagai persediaan. Sirip sirip ikan hiu itu mereka beli dari para nelayan dengan menyamaran sebagai penduduk biasa. Mereka naik ke darat menggunakan perahu perahu kecil.
Di kapal itu juga ada satu kandang khusus, dibuat bersekat-sekat untuk menyimpan beberapa ekor itik dan ayam yg turut dibeli di darat sebagai perbekalan logistik kapal. Biasanya divisi dapur akan mempersiapan stok logistik untuk operasional kapal buat kebutuhan selama satu purnama.
Kita tinggalkan dahulu kapal lanun sejenak. Kembali ke perahu Simardan yg sudah jauh meninggalkan kuala Aek Doras menyusuri Selat Malaka menuju Utara ke tanah seberang.
Gelapnya malam telah tiba tanpa sinaran rembulan. Langit gelap gulita menaungi sekeliling lautan luas. Bulan dan bintang sama sekali tak tampak tertutup tebalnya awan hitam berlapis lapis di angkasa. Awan hitam itu bergerak ke arah Tenggara kemudian melambat karena bertemu dengan awan tebal lainnya. Lalu semakin menggumpal. Sesekali mulai terlihat sambaran kilat di langit yg gelap itu. Tak berapa lama ditingkahi pula suara dentuman halilintar memekakkan kuping. Cahaya kilat di angkasa menyilaukan mata sambar menyambar seakan sampai ke permukaan laut. Besertaan pula gelegar petir sambung menyambung tak putus putus membuat takut segenap makhluk hidup disitu.
Seketika tiba tiba angin Tenggara tadi berubah arah karena terhantam angin kencang yg datang melaju dari arah Barat. Angin Barat yg sekonyong konyong muncul itu berhembus sangat dahsyat dengan kecepatan yg tidak lazim.
Perubahan arah angin yg sekonyong konyong tersebut menimbulkan sebuah turbulensi hebat di udara maupun di permukaan laut. Gelombang ombak permukaan air laut naik membesar bergulung gulung saling beradu. Pukulan dan benturan antar ombak menimbulkan gelombang yg amat dahsyat.
Melihat gelagat cuaca buruk itu secara refleks Simardan melompat ke tiang layar, dengan cekatan melepaskan ikatan kain layar yg sedang terkembang di tiang mengombang-ambingkan perahu ke depan ke belakang, bagaikan kuda binal yang sedang meronta.
Setelah berhasil menurunkan layar, dengan sigap pula Simardan mengambil alih kemudi karena juru mudinya sudah terpelanting kesana-kemari di buritan perahu. Simardan lalu mengendalikan perahu itu seorang diri. Diperintahkannya pada yang lain untuk secepatnya mengosongkan muatan perahu membuang barang-barang yang memberatkan perahu. Mereka semua juga diminta menanggalkan bajunya.
Tempayan berikut isinya sudah terbang hilang entah kemana sejak badai dan taufan datang di awal tadi. Begitu juga kajang atap nipah dan kayu penyangganya tempat mereka berlindung dari sengatan sinar matahari kala di siang hari serta dinginnya embun bila di malam hari juga telah melayang hilang diterbangkan badai.
Dengan kekuatan fisik serta pengalamannya Simardan mencoba mengendalikan perahu di atas permukaan gelombang ganas beserta hujan badai. Pengalamannya sebagai pelaut selama ini, bila menghadapi keadaan cuaca buruk seperti itu adalah berusaha membawa perahu menuju pantai atau pulau terdekat untuk berlindung. Dengan wawasan dan pengalamannya selama ini dalam mengarungi selat itu iapun tahu bahwa dengan posisi perahu mereka saat ini beberapa mil di sebelah Timur mereka ada pulau kecil.
Untuk menentukan arah haluan ke tujuan dengan tepat, dilihatnya gerakan gelombang air saat itu lalu melihat ke gumpalan awan hitam bergerak ke arah mana. Itu semua dapat dilihatnya pada saat kilat menyambar. Sesudah itu dapatlah ia pastikan arah haluan perahu sudah tepat menuju ke Timur. Simardan yg usianya besar besar di selat itu sangatlah mengetahui sekali seluk beluk serta kelaziman Selat Besar itu.
Tak lama ia sudah mulai menguasai keadaan. Ia berusaha tetap tenang agar yg lain tak menjadi panik. Perahu dengan tiang layar telah patah itu dibiarkannya terombang-ambing mengikuti alunnya. Simardan memahami itu. Akan buruk akibatnya bila melawan alun gelombang yang sedang tidak bersahabat itu. Dengan membiarkan perahu berayun ayun mengikuti alunan gelombang besar tapi kemudi tetap dijaganya supaya tidak terlalu jauh menyimpang dari arah tujuan.

Mari kita kembali ke kapal bajak laut yg sedang berada di tengah perairan pesisir Timur Andalas. Rupanya kondisi buruk Selat Malaka di malam itu merata sepanjang perairannya. Kapal lanun yang sudah jauh di Timur sana juga tak lepas terkena amukan topan badai.

Rencana mereka malam itu sesuai perintah sang majikan untuk mengikuti pergerakan kapal Sikantan. Diperkirakan kapal Sikantan malam ini bila terus berlayar sudah berada dikawasan laut bebas sudah di luar jangkauan armada laut Kerajaan Malaka di Tanah Semenanjung negeri yg ditinggalkannya maupun oleh armada laut Kerajaan Siak di tanah Andalas sebagai negeri tujuannya. Negeri Siak adalah tujuan perdagangannya yg pertama sejak menikahi seorang dara cantik jelita puteri saudagar kaya negeri Malaka. Ia berlayar dengan kapal barunya yg besar dan megah pemberian sang ayah mertua.
Cuaca yg sangat buruk di malam itu membuat kapal lanun kehilangan jejak akan targetnya. Kapal Sikantan sudah masuk ke sebuah kuala melarikan diri. Disana dibalik sebuah tanjung nakhoda melabuhkan kapal bersembunyi sambil menunggu cuaca normal kembali lalu meneruskan perjalanan ke negeri Siak dari situ.
Rupanya tanpa sepengetahuan Sikantan yg sedang tertidur pulas sehabis berbulan madu bersama istrinya yg cantik jelita di kamar khusus di kapal itu, sang nakhoda menjauhi kapal lanun menghindar dari kejarannya masuk ke sebuah sungai besar yg belum dikenalnya. Saat nakhoda kapal Sikantan membawa kapal sembunyi di balik sebuah tanjung di pertemuan dua sungai (sekarang Sungai Barumun dan Sungai Bilah). Cuaca semakin memburuk, nakhoda memerintahkan pada anak buah kapal segera melabuh jangkar disitu saja dahulu.
Suara berisik membuat Sikantan bersama istrinya terjaga dari mimpi indahnya. Lalu mereka berdua bergegas naik ke geladak kapal ingin melihat apa yg terjadi pada kapalnya dan ingin memastikan perjalanan mereka sudah sampai dimana.
Betapa kaget dan terkejutnya Sikantan yg berdiri berdampingan di geladak kapal dibawah tiang layar bersama istrinya menyadari bahwa mereka saat itu tepat berada di seberang gubuk tempatnya dilahirkan dan dibesarkan oleh sang ibu seorang diri dahulu. Disitulah tanah kelahiran serta gubuk dan sang ibu yg selama ini dirahasiakannya pada semua orang, terutama pada istri dan keluarga mertua. Karena malu keadaan masa lalu. Kini setelah jaya dan telah pula memperistrikan seorang gadis jelita lagi puteri seorang hartawan menjadikannya sombong pada semua orang.
Disana di gubuk reyot itu kini terbaring lemah karena sakit seorang perempuan tua yg amat menantikan kepulangan anak tunggalnya Sikantan yg pergi merantau mengadu nasib ke tanah seberang. Hujan lebat dengan kilat petir sambar menyambar di malam itu membuatnya tak dapat memejamkan mata walau sekejap. Ia terus menerus memohon kepada yg di atas kiranya sebelum ia menghembuskan nafas terakhir dapatlah dipertemukan pada putera tercintanya walaupun hanya sekejap mata.
Badai semakin kencang, ombak tampak mempermain mainkan kapal lanun di perairan Timur dibalik kuala Barumun (sekarang Tanjung Bangsi). Begitu pula dengan kapal Sikantan yg sedang bersembunyi lari dari kejaran kapal lanun berlabuh di balik sebuah tanjung (sekarang Tanjung Lumba Lumba) di pertemuan dua sungai besar berhadapan dengan sebuah sungai kecil (sekarang Sungai Durhaka, kemudian berubah menjadi Sungai Merdeka di Labuhan Bilik). Kapal Sikantan yg besar dan megah itupun tak luput dari terjangan ombak dan badai.
Tiang utama layar kedua kapal itu telah patah. Panji berwarna hitam berlambangkan tengkorak dengan tulang bersilang berwarna putih milik kapal lanun dan panji berwarna merah berlambangkan ayam jantan milik kapal Sikantan telah diterbangkan angin kencang melayang entah kemana. Drum-drum, peti-peti bahkan bak mandi sang Raja Rompak juga telah hilang lenyap tak berbekas.

Seketika Raja Rompak memerintahkan para anak buah agar membuang muatan yg memberati kapalnya. Lain pula halnya dengan kapal yg satunya lagi, nakhoda meminta izin pada Sikantan agar dapat memerintahkan para kelasi segera membuang barang barang muatan kapal. Karena sombong akan kapalnya yg baru dan megah serta adanya rasa rakus dan tamak akan kehilangan hartanya. Juga takabur karena yakin tak lama lagi topan badai akan berhenti. Sikantan tidak memenuhi permohonan nakhoda.

Akhirnya hujan yg sangat lebat serta ombak yg teramat dahsyat disebabkan bertemunya dua arus air bah dari dua buah sungai besar disitu lalu menenggelamkan kapal Sikantan dan menewaskan semua penumpangnya yg tak dapat menyelamatkan diri. Kapal dan mereka semua terbawa gelombang sampai ktengah Sungai Barumun. Rupanya pada saat yg bersamaan dalam gubuk reyot di seberang kapal itu sang bunda Sikantan juga tengah meregang nyawa dari sakit menahun yg dideritanya. Lalu menghembuskan nafas terakhirnya tanpa ada yg menyaksikan.
Sementara itu di kapal lanun. Cuaca buruk yg tak lazim itu tidak dapat mereka duga sebelumnya, seperti yg biasa biasa mereka hadapi sewaktu waktu. Badai kali ini amat dahsyat datangnya di luar perkiraan dan tak dapat mereka atasi dengan kemampuan dan pengalaman yg ada.
Sajian malam sebagai jamuan istimewa yang telah disiapkan sang koki atas suruhan Badogol untuk santapan sang Raja Rompak pun tak sempat dihidangkan. Makanan malam itu telah berserakan berhamburan akhirnya diterbangkan angin jatuh ke laut yg sedang angkara murka.
Bangkai kapal Sikantan itu dari hari ke hari terus ditutupi oleh lumpur yg tersangkut di sana terbawa arus sungai dari hulunya. Lama kelamaan menjelmalah sebuah pulau delta yg sudah dapat ditumbuh pohon pohon palam seperti kelapa, pinang, nipah dan pohon pohon lainnya seperti mangga serta semak belukar. Ini disebabkan adanya bibit dari bijian jenis pohon tersebut yg pada awalnya terbawa arus dari hulu tersangkut disana, tumbuh lalu berkembang. Akhirnya pulau delta Sikantan itu terus meluas sampai seperti sekarang. Mengenai pohon mangga yg buahnya pada cabang ke arah laut rasanya asam dan pada cabang di darat rasanya manis itu sebenarnya karena pengaruh tumbuhnya akar. Akar yg disebelah laut banyak menyerap air asin mengandung garam membawa ke buah, membuat buah di cabang itu berasa asam. Sementara akar yg sebelah darat kaya akan nutrisi dan hara tanah membuat buah di cabang itu berasa manis. Begitu pula tentang kera putih jelmaan istri Sikantan adalah mitos, cerita dari mulut ke mulut.   
Raja Rompak sang majikan kapal Lancang Hitam berteriak-teriak di atas geladak kapal dekat anjungan. Memerintahkan kepada anak buahnya agar segera menurunkan semua layar yg terpasang lalu mematikan lampu-lampu yg menyala agar tak sampai jatuh diterbangkan angin ke permukaan lantai dari kayu itu. Bila tidak diantisipasi, nanti bisa berakibat fatal membakar seluruh kapal dan isinya juga mereka semua.
Sang nakhoda diperintahkan agar tetap mengawasi haluan, jangan sampai kapal dihantam ombak besar yang datangnya dari samping. Ayah angkat Simardan itu paham betul bilamana pukulan ombak menghantam sisi kapal akan lebih berbahaya daripada ombak yg datang dari depan menghantam haluan. Kapal akan oleng ke sisi yg lain membuat air laut masuk memenuhi kapal dan akhirnya akan tenggelam. Ia mengingatkan nakhoda agar tetap tetap mengikuti alunan ombak jangan dilawan. Sebisa mungkin kapal harus diposisikan mengikuti arah ombak. Bila terposisi seperti itu kapal hanya naik turun hanyut dibawa gelombang besar sembari menunggu badai reda.
Ditengah amukan badai besar Selat Malaka di malam yg semakin larut, kapal lanun itu terlihat bagaikan sebongkah sabut kecil di tengah lautan. Sesekali terlihat di pucuk ombak lalu kemudian lenyap seakan ditelan gulungan ombak saat kapal berada di bawah gelombang
.
Keadaan alam yang membikin panik seisi kapal itu rupanya tidak juga menyurutkan niat Beng Dong Ghuong alias Badogol mencari cari kesempatan untuk melenyapkan sang majikan. Karena rencana awalnya bersama sang koki telah gagal. Ia tahu bahwa hidangan makan malam sang Raja Rompak yg diberi racun itu telah diterbangkan angin lalu disapu gulungan ombak besar.
Suatu saat ketika Raja Rompak lengah, lagi berteriak-teriak lantang memandu nakhoda juga para kelasi pada sisi kapal yang sedang oleng. Sekonyong konyong tanpa terduga dengan sebuah kuisan kaki Badogol menggeserkan sebuah peti di samping Raja Rompak dengan keras. Seolah-olah ia sedang limbung dihantam goncangan ombak. Lalu peti itu meluncur kencang tepat mengenai kedua betis sampai paha sang raja lanun. Akibatnya sang pimpinan Bajak Laut itu terjungkal mencebur ke gelombang besar di bawah sana bersama serpihan peti.
Semua anak buah kapal lanun menjadi panik. Mereka sibuk mengambil sesuatu tindakan untuk menyelamatkan sang majikan. Bahkan beberapa diantara mereka secara spontan melompat ke bawah menyelamatkan sang majikan. Sementara itu para anak buah kapal yang masih berada di atas kapal melego tambang-tambang dari atas kapal ke permukaan laut yg sedang mengamuk membara itu. Tambang tambang yg dilemparkan itu dimaksudkan  agar dapat dipegangi sebagai tali pengaman mereka yang menceburkan diri ke laut dalam usaha mencari dan menyelamatkan sang majikan. Apabila nanti sang majikan telah ditemukan lalu dievakuasi ke atas kapal menggunakan tambang itu. Ataupun hal terburuk terjadi apabila pencarian gagal dan mereka sudah tak berdaya di bawah sana maka nanti akan segera ditarik kembali naik ke atas kapal.  
Kita tinggalkan dahulu Simardan yg berjuang menyelamatkan perahu dan penumpangnya dan Raja Rompak yang tercebur ke laut sedang berjuang menyelamatkan diri dari amukan badai. Mereka masing masing berada di perairan yg berbeda walau masih di Selat Malaka itu.
Kita ke daratan sejenak meninggalkan amuk Selat Malaka. Jauh di sana di sebuah teluk di tepian Aek Doras di Selatan Kampung Tanjung dalam sebuah gubuk tua. Disana terlihat seorang perempuan tua berambut panjang penuh uban sedang menyiapkan sesuatu rebusan untuk pengobatan seorang laki-laki paruh baya. Lelaki itu terbaring di lantai bambu beralaskan tikar tua dari anyaman daun pandan.
Di lantai di atas tikar tua itu sang lelaki sedang mengerang erang kesakitan. Perutnya seperti terluka berbalut daun lebar panjang berwarna kemerahan seperti sejenis pohon bakung. Di dekatnya sibui seorang perempuan tua. Walau sudah berumur namun masih kelihatan cekatan dan cukup bertenaga bila dibanding dengan usianya, dialah emak Simardan.
Di gubuk reyot itu ia ditemani seekor kera putih dan seekor anjing hitam. Si kera putih melompat lompat kesana kemari seakan tak mau diam sambil memperhatikan tingkah laku tuannya dari atas tingkap kecil yang mungkin memang diperuntukkan untuknya. Sementara itu si anjing hitam sedang tidur-tiduran menggulung diri di depan pintu depan yg terbuka.
Kita surut ke belakang sejenak mengikuti kisah sang ibu tua bersama kedua peliharaannya itu. Monyet putih itu adalah sejenis kera pantai yang ditinggalkan induknya di sekitar itu semasa masih bayi karena terlihat aneh berbeda dari anak-anaknya yang lain. Secara biologi itu karena pengaruh pigmen pembawa sifat dalam sperma induknya sehingga salah satu keturunannya dapat menjadi albino pada proses pembentukannya semasa dalam kandungan. Atau mungkin juga dapat disebabkan penyakit kulit Vitiligo, yaitu penyakit autoimun yang menyerang sel penghasil pigmen. Kondisi imun yg bekerja dengan sendirinya ini menyebabkan hilangnya produksi pigmen sebagai pembuat warna kulit.
Bayi kera putih yg ditinggal induknya di dekat situ terjumpa oleh sang nenek lalu dipungut dan dipelihara. Anak kera putih itu diasuh dan diberinya nama Si Merdeng. Ia mengasuh dan memanjakannya bagai anak sendiri. Begitu pula dengan Si Mardong, nama yang diberikan sang nenek pada seekor anak anjing liar berwarna hitam berkilat.  Kala itu anak anjing ini terpisah dari induknya lalu tersesat masuk sampai ke perladangan sang nenek yg tengah mengerjakan ladangnya seorang diri.
Kedua anak hewan itu diperlakukan sang nenek bagakan pengganti Simardan anaknya yg hilang tak pernah kembali. Makan dan tidurpun mereka tetap bersama. Ketiga makhluk yang berbeda jenis ini rupanya dapat juga hidup rukun bersatu dalam ikatan naluri kasih sayang dari sang inang pengasuh. Mereka berdua karena telah diasuh serta dibesarkan sedari kecil seakan sudah saling mengerti juga memahami percakapan diantara mereka begitu pula dengan si nenek tua, walau masing masing menggunakan suara berbeda dan tidak sama. Kedua anak-anak asuhnya ini sangat patuh dan setia pada inang pengasuhnya itu. Mereka berdua saling membantu si nenek dalam mencarikan bahan lauk pauk dari tepian sungai buat dimakan bersama. Mereka disana mencari udang udang kecil dan anak anak ikan di tepian sungai. Si Mardong itu bahkan dapat berenang sampai agak sedikit jauh ke tengah sungai.
Untuk mencari bahan makanan buat membantu sang nenek mereka mencaril dari kebun sendiri ataupun dari hutan sekitar. Mereka terlatih mencari buah-buahan, umbi-umbian, sayuran dan lainnya untuk dimasak si nenek sebagai santapan mereka bersama sehari-hari di gubuk itu.
Sementara itu kita cari tahu siapa laki-laki paruh baya yg sedang dirawat itu. Rupanya ia adalah seseorang yang ditemukan para penghuni gubuk itu sekembali dari ladang. Ketika itu si Mardong menyalak ngakak karena mengendus sesuatu. Si Mardong menemukan lelaki terluka itu di pojok belakang dari halaman gubuk mereka. Lalu mereka bersama-sama menyeret dan menariknya  ke atas gubuk untuk diobati. Ia seperti terkena tusukan senjata tajam pada bagian perut. Si lelaki paruh baya itu adalah seorang penjahat yang melarikan diri dari kejaran orang orang kampung tanjung yg marah.
Si nenek sejak ditinggal putera semata wayangnya kini hidup menyepi bersama kedua anak asuhnya disitu. Walau tinggal ditempat sepi tapi ia kini tetap merasa ramai karena disamping sudah punya dua anak asuh iapun kini sudah pula berteman dengan makhluk-makhluk halus tidak kasat mata (ghaib) disitu.
Kini kawasan itu auranya menjadi terasa angker. Gubuk begitu pula tanaman si nenek sudah tak ada yg berani mengganggu. Anak-anak maupun penduduk yang tinggal berjauhan dari gubuk itu tidak berani mengusik hasil tanaman maupun binatang ternak mereka.
Pernah suatu kali sekelompok anak-anak sedang masa masa kenakalannya masuk ke kawasan gubuk itu ingin mencuri buah-buahan dari kebun si nenek yg lagi berbuah lebat karena saat itu sedang musim buah. Pohon buah-buahan seperti rambai, rukam, jambu air, jambu susu jambu bertih, jambu bol, nangka, cempedak, langsat, manggis, durian, glugur, sentul, namnam, mangga, bacang, mempelam serta banyak lainnya. Begitu pula pohon jenis palem seperti aren, rumbia, kelapa, pinang, asam kelubi, dll.
Seorang anak yang agak lasak dan  pengawasan orang tua yg lengah mengajak teman-temannya mencuri buah dari kebun si nenek. Sementara si nenek saat itu masih di ladang yg agak jauh letaknya dari gubuk dan kebunnya itu sedang bersama kedua anak asuhnya.
Sesampai di kebun sang nenek, mereka lalu memanjati pohon-pohon yang sedang berbuah lebat itu. Ada yang memetik langsung memakannya di atas pohon itu, ada pula yang menjatuhkannya ke bawah untuk dipungutinya kembali nanti setelah turun. Anak-anak itupun memakan sepuasnya apa apa yang mereka inginkan sesuka hati.
Karena hari sudah semakin sore mereka bersepakat untuk bersiap kembali pulang ke rumah mengakhiri pesta buah dihari itu lalu akan mengulangnya kembali kapan-kapan mereka mau lagi.
Rupanya salah seorang anak diantara mereka tak mengikuti kesepakatan bersama. Secara sembunyi-sembunyi dia mendatangi kembali kebun si nenek meninggalkan teman temannya di tengah perjalanan yg sedang menuju pulang. Pohon-pohon yang sebagian buahnya sudah dirontokkan si anak nakal ke bawah ia kutipi kembali. Tidak semua buah matang yg gugur, banyak pula diantaranya buah yg belum matang pun ikut berontokan jatuh ke bumi karena ulahnya itu.
Dalam keasikannya tanpa disadari teman-temannya yang lain yg sudah jauh meninggalkannya sendirian di tengah kebun haripun senja. Si anak bandal itu mulai membungkus buah-buah yang dikumpulinya tadi menggunakan daun pisang lalu diikatnya. Sebuntilan penuh bermacam buah buahan diletakkannya di pundak. Kemudian dengan memundak buah buahan itu iapun melangkah pulang.
Apa lacur, sedari tadi ia berputar putar terus mengelilingi kebun si nenek. Pandangannya gelap tak menemukan jalan keluar untuk pulang. Hari pun semakin gelap dan malampun tiba, ia telah ghaib disembunyikan makhluk tak kasat mata (makhluk halus) kawan si Nenek. Rupanya para makhluk halus itu selama ini telah membantu menjaga gubuk juga kebun si nenek. Karena si nenek sering menjamu mereka dengan saji-sajian atau sesajen.
Simardan masih berjuang melawan badai menyelamatkan perahu dan para penumpangnya menuju sebuah pulau kecil yang mulai tampak samar-samar di kejauhan bagai sebuah noktah hitam hilang hilang  timbul ditutupi ombak.
Di perairan Timur di selat yg sama  di balik kuala Sungai Barumun (sekarang Tanjung Bangsi), Raja Rompak yang tercebur jatuh dari kapalnya berhasil meraih potongan potongan kayu serpihan pecahan sebuah peti. Dia bergelayut di potongan kayu itu sekedar mengapungkan diri agar tak ditelan ombak ganas. Ia hanyut sudah jauh terpisah dari kapalnya, terbawa ombak dan arus.
Sementara itu di belahan lain, emak Simardan sedang berjuang pula menyelamatkan nyawa seorang laki-laki paruh baya korban senjata tajam. Menurut pengakuan si korban sudah dua hari dia tertusuk benda tajam lalu mencari pengobatan dan akhirnya jatuh pingsan di situ.
Keadaan sang lelaki paruh baya itu sudah sangat payah akibat pendarahan. Bekas lukanya sepertinya sudah mulai terserang infeksi. Suhu badannya tinggi dan kondisi badannya melemah.  Sesekali bola matanya terbelalak ke atas meninggalkan putih matanya saja.
Pertolongan yang telah dilakukan emak Simardan sejak petang tadi tampaknya belum menunjukkan perubahan apa-apa. Upaya pamungkas kini dia sedang menyiapkan sesuatu yang mulai dikerjakannya sedari senja tadi saat hujan mulai turun membasahi bumi dengan derasnya. Ia sedang menyiapkan sesuatu tampaknya berupa sesajian (sesajen) buat mengundang sahabat sahabat tak kasat matanya datang untuk diminta bantuan mereka.
Dupa sudah mulai dibakar. Asapnya memenuhi ruangan mengeluarkan aroma mistis kemenyan. Simerdeng dan Simardong mereka tak tahan mencium asap beraroma kemenyan putih itu lalu keduanya lari pindah ke bawah kolong gubuk itu.
Mulai terdengar suara sang nenek dari dalam gubuk bersinandong memanggil manggil para jin jembalang para sahabat halusnya itu. Senandung mistis yg dapat menaikkan bulu kuduk siapa saja mendengarnya.
Lama kelamaan suara sang nenek terdengar semakin memberat lalu melemah pelan. Kemudian tiba tiba ia terlihat seakan akan berdialog dengan sesuatu makhluk. Bahkan dari dalam gubuk itu terdengar suara riuh ramai walaupun tak dapat dilihat  mata awam.
Dari dalam gubuk itu kedengaran suara suara aneh sangat berisik dan gaduh. Si korban yang sudah terbaring lemah tak berdaya mensengar suara suara itu dalam mata jatuh pingsan terkulai tak sadarkan diri.
Lolongan Simardong dari bawah gubuk terdengar melolong lolong panjang tak henti henti, seakan ia melihat sesuatu yg sangat mengerikan. Sesuatu yg tak bisa dilihat mata manusia biasa. Ia melolong dengan mengangkat dan menengadahkan kepalanya ke langit membuka kedua rahangnya yg mengeluarkan cairan berlendir dari sela sela giginya yg tajam di bawah gubuk itu. Simerdeng yg ketakutan lari ke atas pohon sentul. Disana ia bersembunyi dibalik sebuah cabang yg dahannya berdaun rimbun.
Di dalam gubuk sang nenek sedang naik kerasukan (naek puako). Dia mulai menari-nari sambil memukul-mukul dinding dan lantai. Kadang berguling kadang memanjat-manjat di dinding. Setelah itu kembali berdialog lagi dengan suara yang semakin pelan dan berat. Lalu dia bertanya pada teman-teman mistisnya itu siapakah diantara mereka yang sanggup mengobati sang lelaki terluka. Untuk itu dia sudah siapkan sesajen sebagai pemberian untuk jamuan bagi mereka.
Dari dialog antara si nenek dengan sahabat sahabat halusnya itu, tahu pulalah si nenek bahwa tadi ada sekelompok anak mengambil buah buahan hasil kebunnya. Seorang diantaranya kini sudah menjadi tawanan mereka. Mereka akan melepaskan sang tawanan itu bila orangtua sang anak datang langsung ke wilayah itu meminta anaknya dilepaskan dengan syarat membawa sesajian untuk mereka berupa seekor ayam putih serta kembang tujuh rupa dan tak mengulang perbuatannya itu lagi.
Setelah itu mereka kembali melanjutkan dialognya tentang permasalahan si korban. Bahwa mereka menyanggupi mengobati sang lelaki paruh baya korban tusukan senjata tajam itu dengan syarat sang nenek dapat mempersembahkan kepada mereka sepasang ayam berwarna hitam untuk jantan dan putih untuk betina beserta bertih (beras yang digongseng/goreng kering sampai kembang merekah) dalam suatu wadah mangkok tanah.  
Dari perjanjian gaib itu akhirnya sang nenek bersedia memenuhi juga akan menambahinya dengan sesajian lain berupa bubur beras ketan (pulut) hitam dan putih pada tetamu sahabat tak kasat mata itu bila mereka bersedia memulangkan si anak bandel sampai ke batas kampung terdekat. Tanpa harus dijeput bersyarat oleh orang tuanya langsung. Si nenek sudah merelakan buah-buahan hasil kebunnya dicuri anak nakal itu. Ia meniatkan bahwa buah-buahan yg telah dicuri sang anak dari kebun yg ditanamnya bersama Simardan itu akan sampai kepada anaknya tercinta yg jauh terpisah disana.
Bahwa menurut berita mistis yang telah disampaikan sahabat makhluk halusnya menyebutkan bahwa puteranya masih hidup berlayar jauh di tengah lautan. Jauh disana di suatu wilayah yg sudah di luar jangkauan serta kekuasaan mereka semua yg sedang berkumpul di sekitar gubuk itu.
Sesajian ini juga dimaksudkannya bagi kesembuhan lelaki paruh baya yang sedang terbaring pingsan tak sadarkan diri di atas lantai beralaskan tikar di gubuk itu.
Dari dalam gubuk itu terdengar suara suara berisik menakutkan. Suara itu sesekali seperti melengking, terkadang mendesah berat lamat lamat, adakalanya pula terdengar suara yg bergema mendesing memenuhi ruangan.
Suara suara itu sangat menakutkan yg menaikkan bulu kuduk bagi telinga manusia biasa yg mendengarnya. Itulah sebabnya sejak sang nenek hidup sendiri sejak anaknya Simardan diculik dilarikan lalu dibawa merompak oleh ayah asuhnya si Raja Rompak, tak ada lagi penduduk yang berani dan tinggal bermukim disekitar gubuk tua itu.
Simardong tak henti-henti menolong lolong panjang seakan melihat sesuatu yg menakutkan. Ia mengangkat lalu menengadahkan kepalanya ke atas ke langit yg gelap mengikuti lolongan seramnya ke langit yang gelap merindingkan bulu kuduk.
Di atas di kawasan sebelah Utara sampai Timur kelihatan langitnya hitam pekat. Jilatan jilatan cahaya kilat di langit sana tampak bagai lampu blizt dari Kampung Tanjung. Itu menunjukkan bahwasanya disana di perairan dimana Si Raja Rompak begitu pula di posisi kapal lanun dan kapal Sikantan saat itu berada sedang terjadi hujan badai dahsyat dengan angin topan yg disertai ribut petir yang sambung-menyambung. Malam itu sedang terjadi bencana Selat Malaka di kawasan itu. Disana lebih ke Utara sedikit putera tercintanya Simardan sedang berjuang pula menyelamatkan perahu bersama isinya menghadapi gulungan ombak ganas menuju sebuah pulau kecil.
Disaat yg besertaan itu pulalah para sahabat tak kasat mata emak Simardan menyetujui dan berjanji akan memenuhi dua permintaan sang nenek bila dipenuhi tambahan syarat sesajian. Yaitu menjamu penguasa Aek Doras yaitu Raja kerajaan halus tak tampak mata manusia biasa. Ia bersama bala tenteranya menunggu dijamu. Untuk jamuan itu nanti mereka meminta si nenek dapat menaburkan beras bertih, menghanyutkan bubur pulut hitam dan putih dalam sebuah wadah serta menyembelih ayam jantan hitam dan ayam betina putih di tepian sungai. Darah sepasang ayam itu separuh dihanyutkan di Aek Deras dan separuhnya lagi dapat diminumkan pada si lelaki yg terluka itu. Kesemua itu sudah harus disediakan malam ini juga, karena jembalang sang penguasa Aek Doras sedari tadi sudah menanti. Bila itu semua tidak dapat dipenuhi ia akan murka.
Mendengar penjelasan sahabat halusnya sang utusan Raja Kerajaan Gaib Aek Doras, Si nenek kecut juga. Tapi karena ingin membantu sesama makhluk, dari sudut hatinya yang bersih dia rela dan bersedia untuk itu walau jiwa sebagai taruhan.
Lalu ia memanggil Simardong yang tengah melolong lolong panjang di bawah seperti melihat makhluk-makhluk halus yg sedang kumpul ramai disana. Sang nenek juga memanggil Simerdeng yang tengah ketakutan sedang bersembunyi di pucuk pohon sentul di balik rerimbunan daunnya.
Setelah mendengar suara panggilan dari si nenek, sekonyong mereka berdua sudah datang menghampiri sang ibu asuh. Si nenek memerintahkan kepada mereka berdua untuk segera membawakan seekor ayam jantan hitam dan seekor ayam betina putih dari ternak peliharaan mereka di belakang gubuk.
 
 
Seperti biasanya ayam ayam peliharaan mereka ini bila malam hari tidurnya di pohon-pohon disekitar gubuk. Bila siang hari ternak ternak itu berkeliaran bebas mencari makan kemana saja sesukanya. Si nenek sendiri tak tahu berapa sudah jumlah ayamnya itu saat ini.
Malam semakin larut, hujan belum berhenti. Simardong dan Simerdeng seakan mengerti, mereka berbagi tugas menjalankan perintah si nenek. Sementara itu digubuk si nenek sibuk pula memasakkan bubur dan bertih permintaan tamu-tamu halusnya utusan Raja Kerajaan Gaib Aek Doras.
Hujan turun semakin lebatnya diterangi sambaran sambaran petir bersama suara guntur sambung menyambung yg memekakkan telinga. Tiba tiba dari bawah tangga sudah muncul Simardong hitam dan Simerdeng putih sambil membawa sepasang ayam yg dimintakan si nenek. Kedua ayam itu masih hidup meronta-ronta di jepitan rahang mereka masing masing.  
Segala persiapan ritual jamuan mistis telah siap dikemas untuk dibawa ke sebuah tepian Aek Doras (Sungai Asahan) pada sebuah teluk kecil di Selatan sebalik Kampung Tanjung (sekarang di seberang Utara pulau Simardan, letaknya antara pangkal jembatan Tabayang sampai wilayah tepian Selat Lancang).
Malam semakin larut hujan masih saja turun dengan derasnya ditingkahi suara petir yg menggelegar sambung menyambung menimbulkan cahaya menyilaukan kawasan itu pada saat sengatan listrik angkasa itu berkelebat. Pucuk-pucuk pohon seakan menari-nari diterpa hembusan angin kencang seperti mengikuti gerak tubuh sang nenek yang kerasukan makhluk halus. Istilah penduduk pesisir disana saat itu sang nenek sedang naek puako.
Tubuh gemuk sang lelaki yang masih tak sadarkan diri di dalam gubuk itu lalu di geserkannya ke depan pintu sesuai permintaan para sahabat tak kasat matanya. Kemudian bersama Simardong dan Simerdeng mereka berjalan mengikutinya. Si nenek menjunjung bungkusan kain putih di atas tampah dari anyaman kulit luar bambu, lalu mereka bertiga menuruni tangga menuju tepian sungai.
Dalam bungkusan yang dijunjungnya itu ada satu wadah berisi bubur hitam, satu wadah lagi berisi bubur pulut putih. Kemudian ada lagi wadah berisi bunga tujuh rupa (bunga rampai), satu wadah lagi berisi bertih. Seperti permintaan sahabat gaibnya turut juga dibawa satu mangkok dari batok kelapa berisi darah ayam jantan hitam, dan satu mangkok batok kelapa berisi darah ayam betina putih beserta bangkai sepasang ayam itu.
Mereka turun dari gubuk sambil berlari-lari kecil di bawah rimbunan pohon mengelakkan air hujan yg turun deras menggenangi tanah.
Sesampainya di tepian di bawah pohon jabi jabi si nenek lalu membuka bungkusannya. Matanya mendelik melotot ke kanan ke kiri sesekali ke atas dan ke bawah bagai mata seorang penari Bali. Tiba tiba dia mulai basinandong dengan suara bergetar berat dan mendesah desah. Syairnya pilu menyayat hati bagi siapa yang mendengarnya. Kata katanya penuh magis membuat bulu kuduk merinding. Simardong melolong panjang.
Kemudian diapun meraih wadah berisi bertih lalu menaburkannya ke atas permukaan air sungai besar itu. Saat itu airnya bagaikan tak berarus, hanya berombak ombak beradu adu kecil karena diterpa angin kencang dan air hujan. Sesekali cahaya terang menyilaukan mata menerangi permukaannya kala petir  menggelegar di angkasa.
Suasana malam itu begitu mencekam. Sambil menari nari kerasukan selanjutnya si nenek mengambil wadah berisikan kembang rampai lalu ditaburkannya ke permukaan sungai sambil terus bersinandong. Badannya sudah basah kuyup. Selanjutnya ia meraih sebuah bungkusan putih yang terbuka sebagian pada bagian atasnya di atas nampan bambu itu. Sepasang bubur beras ketan dua warna itu bersama bangkai sepasang ayam tersebut dihanyutkannya ke Aek Doras. Terakhir diambilnya wadah berisi darah sepasang ayam itu. Dilarungkannya setengah isi wadah darah segar itu ke permukaan air sungai. Separuhnya lagi dari masing masing darah ayam tersebut ia tinggalkan dan disimpan kembali dalam wadah itu.
Tiba-tiba dengan sekonyong konyong terdengar suara keras menggelegar keras dari arah gubuk disertai kilatan cahaya petir ditingkahi suara-suara aneh darisana. Terdengar suara riuh rendah dari arah dalam gubuk. Lalu terdengar suara tertawa lantang mengerikan. Simardong di dekat si nenek kembali melolong panjang. Dengan rahang terbuka kepalanya menengadah ke atas  Sementara itu Simerdeng sudah lari bersembunyi ke atas pohon rambe.
Sehabis itu hujan mulai mereda, angin kembali tenang. Si nenekpun sudah tersadar dari kerasukannya. Lalu dia memanggil Simardong dan Simerdeng yg lagi sembunyi ketakutan untuk bersama kembali ke gubuk.  
Sekujur tubuh ketiga makhluk berbeda itu sudah basah kuyup disiram hujan lebat. Mereka cepat cepat kembali ke gubuk untuk berlindung sambil memastikan apa yang terjadi disana.
Hujanpun sudah mereda. Di langit sebelah Utara sampai Timur terlihat dari teluk kecil dibalik Kampung Tanjung pun sudah mulai tenang tak terlihat sambaran-sambaran cahaya lagi. Menunjukkan bahwa di belahan sanapun badai telah reda.
Hampir menginjakkan kakinya ke anak tangga, tiba tiba betapa kagetnya sang nenek. Ia melihat ada seonggok tubuh di bawah tangga yang hampir saja terinjak olehnya. Sambil mengkibas-kibaskan kulitnya yang basah Simardong mengendusi tubuh yang terlempar jatuh dari atas gubuk. Simerdeng menaik-naikkan kulit tipis di atas bibirnya sehingga keempat taringnya terlihat jelas. Ia melompat-lompat di sisi tubuh yang kelihatan mulai bergerak-gerak itu.
Dengan berhati hati secara perlahan lahan si nenek membuka balutan daun bakung yg pada bagian dalamnya telah dilumuri adonan obat dari jenis temu-temuan dan akar akar pohon tertentu untuk menutupi luka yg menganga pada perut si laki laki paruh baya itu.
Alangkah gembiranya hati si nenek. Senyumnya mengembang dari bibirnya yang telah keriput. Ketika dilihatnya luka si korban telah sembuh tanpa meninggalkan bekas sama sekali. Suhu badannya pun sudah kembali normal. Tangan dan kakinya mulai bergerak-gerak. Walau matanya masih terpejam kemudian terlihat mulai bergerak-gerak mau terbuka.
Si nenek lalu meminumkan kepada si korban sisa darah sepasang ayam sesajian tadi melalui sebuah wadah mangkok berwarna hitam berkilat terbuat dari batok kelapa. Darah segar dari sepasang ayam berbeda warna bulu sisa dari sesajen ritual persembahannya bagi jembalang Aek Doras yg dilarungkan si nenek bersama sesajian lainnya tadi.
Tak lama mata sang lelaki itu terbuka. Ia mulai mengamati sekitar dengan nanar. Sampai ketika ia melihat ke arah si nenek yang sedang menyingkir darinya karena baru selesai menegukkan sesuatu padanya. Ia kaget dan terkejut bukan kepalang. Dengan sangat ketakutan sekali spontan ia melompat bangun lari lintang pulang tak tentu arah.
Simardong bangkit hendak berlari mengejarnya namun dicegah sang nenek. Si nenek meminta kepada kedua anak asuhnya itu untuk membiarkan si lelaki pergi berlalu dari situ, ia sudah sembuh.
Kemudian mereka bertiga kembali naik ke gubuk. Si nenek melepas semua pakaian yg dikenakannya lalu pergi ke belakang membersihkan seluruh tubuhnya. Setelah itu ia kemudian mengganti pakaiannya yang basah tadi dengan pakaian lain.
Setelah bersalin ia lalu beranjak berbaring ke atas dipan di pojok gubuk untuk beristirahat tidur seolah tanpa kejadian apapun. Tak lama haripun telah menjelang subuh.  
Dinihari itu sebelum memejamkan mata si nenek meraih sesuatu dari bawah kolong dipan bambunya. Lalu dari guci tembikar itu ia meminum beberapa teguk isinya. Sepertinya minuman herbal dari berbagai daun daunan, temu temuan dan akar akaran hasil ramuannya sendiri. Cairan itu cukup untuk menghangatkan tubuhnya yang kedinginan setelah lama didera hujan lebat tadi.
Seperti biasa setiap menjelang tidur tak lupa sang bunda meminta pada "debata na bolon" kepercayaannya. Ia belum mengenal agama (animisme) tapi menganut suatu kepercayaan turun temurun yg memuja arwah para leluhur serta makhluk makhluk dari alam lain. Kepercayaannya itu disebut pelbegu.
Ia berdoa agar para leluhur dan alam melindungi puteranya dari mara bahaya, menjaga puteranya dari hal hal buruk  dan menolong putera tercintanya bila ditimpa musibah.  Ia tak lupa barang seharipun mendoakan Simardan putera tercinta yang berada jauh entah dimana berpisah jarak darinya.
Sementara itu disana jauh di belahan Utara Selat Malaka badai baru saja reda. Perahu yg dikendalikan Simardan bersama  tiga penumpang lainnya terdampar pada sebuah pulau kecil.
Perahu itu sudah hampir penuh air hujan bercampur air laut yg masuk. Seluruh pakaian dan tubuh merekapun sudahlah basah kuyup. Ketiga teman Simardan di perahu itu sudah tergeletak terbaring lemah di lantai dengan tangan terjuntai menggelantung di sisi perahu. Tubuh mereka bertiga tampak lunglai tak berdaya sudah kehabisan tenaga.
Lain halnya dengan Simardan yang baru saja berjuang melabuhkan perahunya di pulau itu dari hantaman ombak beserta tiupan angin kencang. Ia tetap tegar dan masih tampak bertenaga.

Lalu ia melompat ke daratan kemudian mengikatkan perahu pada sebatang pohon mangrove di tepian. Pulau itu tanahnya merah kekuning kuningan berpasir. *Bila ditelisik dari ilmu pertambangan jenis tanah seperti itu lazimnya banyak mengandung kadar bauksit, bahan baku pembuatan alumunium.
Simardan mulai curiga dengan pulau itu. Mengendap-endap ia memasuki pulau bauksit itu (sekarang dikenal dengan nama Pulau Bintan. Disana terletak kota Tanjung Pinang sebagai ibukota Provinsi Kepulauan Riau).
Semakin ke dalam Simardan masuk, kawasannya terlihat semakin bersih dan rapi. Tanaman tanaman juga rumput disana terhampar tertata baik. Tanda tanda pulau itu ada penghuninya.
Nun ke dalam daratan sana pada subuh buta itu samar samar tampak bayangan sebuah rumah panggung berukuran sedang. Lentera dan pelita penerangannya tidak menyala. Mungkin sengaja dimatikan penghuninya karena takut dapat menimbulkan kebakaran karena diterbangkan angin kencang tadi malam.
Semakin mendekati gubuk Simardan semakin hati hati dan makin waspada. Agar tak mengeluarkan suara ia menggunakan ilmu meringankan tubuh. Sesekali tampak berlari dari balik sebatang pohon ke batang pohon lainnya. Kadang ia melompati saja lalu mengendap-endap makin mendekat ke rumah panggung itu.
Tiba tiba dengan satu hentakan pada ujung kaki  tubuhnya telah melenting ke atas bubungan rumah. Atap sirap yang terbuat dari kulit
kayu pilihan itu dibukanya satu. Dari lobang yg terbuka itu Simardan mengamati seisi rumah.

Dilihatnya ada enam kamar di rumah kayu bertiang itu. Satu kamarnya berukuran lumayan besar terletak terpisah dari lima kamar lainnya.
Kamar-kamar yang berukuran kecil itu dua terletak di ruang tengah berhadapan dengan kamar besar itu, sedang tiga lagi terdapat di ruang belakang. Masing masing kamar kecil itu diisi satu orang laki-laki berpakaian sama seperti pada kamar kecil lainnya. Semua sedang tertidur pulas di atas ranjang. Kelihatannya baru saja mereka terlelap.
Bagaikan angin saja hampir tak mengeluarkan suara Simardan melompat ke bawah dan berhasil masuk ke kamar utama. Lalu dengan mengendap endap ia mendekati ranjang.
Mungkin karena ada jebakan atau karena hal tak sengaja kaki Simardan menyentuh sesuatu yang terhubung ke sebuah guci lalu jatuh ke lantai. Sepasang manusia di atas tempat tidur besar itu tersentak bangun, terkejut ada orang masuk ke kamarnya. Seorang wanita muda berparas cantik berkulit putih mulus dan seorang lelaki berbadan kekar berkulit coklat kehitaman.
Simardan selama ini sudah mengendus keberadaan pulau kecil itu. Salah satu pulau tempat penimbunan harta gelap Badogol bersama gundik simpanannya.
Bila Badogol kembali ke kapal lanun meninggalkan sang wanita, maka sang gundik kerap melakukan perselingkuhan dengan para kaki tangan Badogol di pulau itu.  Singkat cerita, gundik Badogol dan laki-laki selingkuhannya tewas dibunuh Simardan.
Sementara kaki tangan Badogol di rumah itu maupun yang tersebar di pos-pos di pulau itu semuanya menyerahkan diri pada Simardan karena telah mereka kenal sebelumnya yang tak lain adalah Panglima mereka di kapal bajak laut. Simardan dan Raja Rompak mereka ketahui sejak lama telah dikhianati oleh Badogol namun tak berdaya melawan kelicikannya.
Sebagian dari para anak buah kapal lanun itu mereka terpengaruh oleh hasutan dan ajakan Badogol bergabung menjadi prajurit bayangannya. Mereka diatur sedemikian rupa dengan siasat dalam melarikan dan menyembunyikan sebagian hasil rompakan kelompok lanun Lancang Hitam.
Mulai saat itu di pulau bauksit ini Simardan bersama prajurit yg masih setia padanya membangun kerajaan kecilnya. Dia bersama para anak buahnya memulai kehidupan baru. Kehidupan yg meninggalkan dunia hitam penuh kejahatan, kekerasan dan tipu muslihat. Harta simpanan Badogol di pulau itu menjadi harta pampasan sebagai modal awal mereka memulai bisnis perdagangan yang legal.
Dengan dibantu sang saudagar asal Kampung Tanjung pemilik perahu  bersama dua temannya yg telah diselamatkan Simardan. Kini mereka telah menjadi sahabat setia satu sama lain saling bantu membantu.
Para sahabat baru Simardan itu memang punya pengalaman dalam urusan perdagangan. Mereka sebelumnya sudah banyak menjalin hubungan dagang dengan beberapa negeri di Andalas maupun di tanah seberang.
Sejak saat itu dengan modal awal dari timbunan harta gelap Badogol yg disita Simardan, mereka mulai merintis membangun sebuah kerajaan bisnis perdagangan antar negeri di kawasan Selat Malaka. Bahkan sang saudagar dan dua rekannya telah membawa seluruh keluarga mereka dari negeri asal untuk tinggal menetap selamanya di pulau itu. Mereka bersumpah setia bersama sama bahu membahu akan membantu memajukan bisnis dagang Simardan.
Setelah bertahun tahun dan merasa cukup kuat, pada suatu hari dengan dipimpin Simardan mereka bersama para prajurit setia menyerang Badogol dan pasukannya di pulau rahasia markas tempat persembunyian mereka yg telah diketahui Sumarman. Saat itu kawanan pengkhianat itu sedang bersembunyi sambil beristirahat selepas melakukan aksi perompakannya tadi malam. Kebiasan dan prilaku mereka seperti itu serta kelemahan kelemahan lainnya sudah sangat dipahami oleh Simardan.
Akhirnya Badogol pun tewas langsung ditangan Simardan. Pasukan yg masih setia pada Badogol dihabisi, sedangkan mereka yg menyerah dan kembali ke pangkuan Simardan diberi pengampunan. Kapal Bajak Hitam serta harta lanun lainnya disita sebagai harta pampasan perang.
Jari berganti hari waktu pun terus berputar. Pada masa itu sebuah kerajaan besar di ujung Timur Andalas sudah ada Kerajaan Budha Sriwijaya yg kekuasan dan pengaruhnya di kawasan Selat Malaka bahkan di Nusantara sudah mulai melemah. Jalur perdagangan yang selama masa itu bersinar jaya mereka kuasai perlahan mulai meredup.
Sampai pada masa Simardan itu, dimana ada pula pengaruh dan kekuasaan yg datangnya dari sebuah kerajaan besar di ujung Barat Andalas. Ialah Kerajaan Islam Samudera Pasai, Aceh. Dimana pengaruh dan kekuasaannya telah mulai masuk hampir ke seantero pesisir Timur Andalas. Begitu pula negeri-negeri kecil di pulau-pulau di luar pantai Andalas yg masih di kawasan Selat Malaka itu sudah dalam pengawasan armada laut dari kerajaan besar ini.
Seiring perjalanan waktu, Simardan rupanya sudah menjadi salah satu rekan bisnis kerajaan Aceh dan sudah pula diberikan kepercayaan untuk membantu Panglima Selat Armada Laut Kerajaan Aceh.
Karena posisinya itu Iapun diangkat sebagai keluarga kerajaan sebagai hadiah dan penghormatan atas keberhasilannya dalam menumpas habis kelompok bajak laut selat besar yg ditakuti itu.  Sebuah kelompok panin yg tak lain adalah Kapal Lancang Hitam berpanji tengkorak putih bersilang. Kapal lanun yang selama ini menjadi momok bagi semua pelayar di Selat Malaka.
Sudah lama kelompok bajak laut itu menjadi musuh yg amat ditakuti kapal-kapal juga para saudagar yang akan ataupun sedang melintasi selat itu. Para bajak laut ini semakin menjadi jadi setelah kelompok mereka dipimpin oleh Badogol yang terkenal sangat ganas, rakus dan tak berperikemanusiaan.
Sebelum Simardan berhasil menumpas kelompok bajak laut Selat Malaka, sudah lama raja-raja dari seluruh negeri ingin mengadakan pertemuan besar guna menumpas kelompok lanun ini. Bahkan sebelumnya banyak diantara kerajaan kerajaan itu telah pula mengadakan sayembara secara sendiri sendiri. Sayembara itu disampaikan pada penduduknya masing masing. Bagi siapa saja yg dapat menangkap pemimpin lanun, apalagi bila ia dapat menghancurkan kelompok rompak laut Lancang Hitam berpanji tengkorak bersilang itu akan diberikan hadiah besar serta jabatan penting dalam kerajaannya. Dia akan diangkat sebagai bangsawan negeri atau ia dapat memilih puteri raja diantara kerajaan-kerajaan itu sebagai istrinya.
Karena Simardan telah berhasil menumpas bajak laut itu, oleh kerajaan besar Samudera Pasai di masa sebelum masa Iskandar Muda, ia diberi gelar kebangsawanan "Teuku" (oleh pengucapan masyarakat pesisir Timur Andalas lainnya sedikit berbeda dengan logat masyarakat Aceh. Dimana pertemuan dua vokal "e" dan "u" pengucapannya menimbulkan bunyi konsonan "ng". Sehingga penyebutan "teuku" menjadi "tengku").
Sementara itu raja-raja negeri seberang di tanah semenanjung memberi gelar pula bagi Simardan dengan "Hang" sang Panglima Laut.
Karena kedua gelar itu melekat pada diri Simardan seorang. Lama kelamaan para pelayar di selat itu akhirnya menjadi terbiasa  menyebut Teuku Hang  dengan menyingkatkannya saja agar mudah diucapkan menjadi Tek Hang Simardan. Lama kelamaan pengucapannya disingkat pula berubah menjadi Tekong Simardan.
Begitu pula halnya dalam permainan bola keranjang (takraw) yang dikenalkan Simardan di negeri barunya kemudian meluas menjadi populer dan amat disenangi sampai ke tanah semenanjung. Dimana dalam permainan itu salah satu posisi pemainnya, posisi yg biasa ditempati Simardan dalam bermain disebut dengan "tekong". Posisi itu menjadi pemimpin (kapten) tim di lapangan.
Mungkin karena kebiasan itulah penamaan nakhoda bagi kapal kapal kecil di Selat Malaka menjadi kelaziman disebut dengan "tekong". Menunjukkan Simardan dahulunya adalah seorang pelaut yang amat tersohor dan terkenal. Ia sangat dihormati dan disegani di Selat Malaka.  
Kita tinggalkan dulu perairan Selat Malaka yg penuh kepentingan dan dinamikanya itu. Kembali sejenak kita ke daratan ke Kampung Tanjung. Sebuah kampung di pertemuan dua buah sungai yg pada masa itu sudah mulai ramai didatangi dan disinggahi penduduk dari negeri lain untuk berdagang ataupun mencari kehidupan baru disana.
Beberapa hari belakangan itu penduduk disana  terasa gelisah. Penduduk Kampung Tanjung resah karena ada seorang pergajul muncul disitu. Ia seorang penjahat kampung yang sudah lama tersiar kabar di tengah tengah masyarakat sana bahwa sang bandit  mereka yakini sudah tewas akibat diramai ramaikan penduduk beberapa tahun yang silam. Tapi kini tiba-tiba ia muncul di sebuah kedai kopi dekat tangkahan umum tempat bertambatnya perahu perahu pendatang.
Tangkahan itu bersebelahan dengan pasar tempat berjualan. Tempat pertemuan antara orang-orang yang akan menjual dengan orang orang yg akan membeli barang barang kebutuhan hidup sehari hari. Orang orang setempat menyebutnya "pajak".
Jual beli di pasar itu bisa menggunakan uang logam berbentuk koin dapat pula secara barter, yaitu tukar menukar barang dengan barang lainnya diantara mereka sesuai kesepakatan bersama.
Sang penjahat kambuhan yg hilang dan kini telah kembali itu dikenal orang orang kampung setempat dengan panggilan Ongah Gombung. Dipanggil Ongah karena dari urutan mereka bersaudara adik beradik kandung ia merupakan anak kedua yg berada di tengah-tengah dari tiga orang bersaudara. Karena berperawakan gemuk dan berperut buncit seperti gembung ditambahi orang panggilannya menjadi Ongah Gombung.
Abang Ongah Gombung yg tertua atau juga yg sulungnya dipanggil orang orang dengan Ulong Incit. Ia sudah meninggal dua tahun yang lalu. Matinya juga tragis, karena dibenam dan dihanyutkan penduduk di Sungai Silau dengan tangan dan kaki dalam keadaan terikat. Ulong Incit tertangkap basah penduduk saat masuk pada sebuah rumah disana. Dia ditangkap penduduk dan tak sempat melawan saat hendak memperkosa anak gadis sang pemilik rumah. Lalu penduduk yg marah meramai ramaikannya sampai tewas.
Setelah meninggal diketahuilah bahwa rupanya abang Ongah Gombung itu banyak meninggalkan istri. Ada empat orang istri yg ditinggalkannya. Mereka tersebar di beberapa tempat yg berdekatan dengan Kampung Tanjung.  Ia juga meninggalkan keturunan yg cukup banyak. Ada sekitar 23 orang anaknya putera dan puteri. Anak anaknya itu sebelum Ulong Incit tewas sebagian sudah berkeluarga dan sudah pula mempunyai keturunan. Artinya mendiang Ulong Incit banyak pula meninggalkan cucu.
Adik Ulong Incit dan Ongah Gombung yang paling bungsu adalah seorang perempuan. Kini sudah pula menjanda karena ditinggal hidup suaminya yg pergi merantau entah kemana. Sudah bertahun tahun pergi dan tak pernah kembali lagi. Si bungsu mempunyai 9 orang anak. Perempuan janda ini sudah beberapa kali mengalami kawin cerai. Baik karena kematian suami ataupun karena berpisah hidup karena ditinggal pergi suami.
Terakhir kali sebelum ini ia terdengar mengganggu suami orang. Penduduk Kampung Tanjung menjadi muak padanya hingga bersama sama mengusirnya dari kampung itu. Tak berapa lama setelah terusir, ia akhirnya meninggal di sebuah kampung di seberang Kampung Tanjung.
Semasa hidupnya wanita ini sering membuat fitnah diantara orang orang. Suka menebar gosip berita yg tak benar. Jika pun benar sering menambah nambahi, melebih lebihkan dari cerita yg sebenarnya. Ia juga gemar mengakal akali orang lain,  suka membual dan bercerita bohong bila sedang dipasar ataupun ketika bertandang ke rumah orang. Ia suka pula mengambil dan menguasai milik orang lain yg bukan miliknya. Ia seorang pengutil dan panjang tangan.
Sifat tak terpuji itu sepertinya menjadi warisan mereka adik beradik. Ternyata orang tua mereka dahulu semasa hidupnya juga terkenal dengan kebejatannya. Mereka adalah  suami istri yg sering mengambil hasil tanaman penduduk penduduk. Mereka juga senang mengutil barang barang pedagang di pasar. Penduduk disana memanggil orang tua Ongah Gombung dengan gelar incek Tansil, incek pantang silap dan istrinya dengan unde Baskom si bosar kombur. Bila mereka berhutang kebiasaannya payah membayar, bila berjanji susah menepati, bila dipuji lupa diri, bila disanggah sering berulah, bila dingatkan sering berpura pura tak ingat, bila disalahkan mereka tak mau menerima. Saat di tengah orang orang tak mau dikebelakangkan ingin tetap dikedepankan, tapi begitu diberi kesempatan untuk tampil ke depan malah bersembunyi ke belakang. Mereka berdua suami istri punya sifat yg sama, sering lempar batu sembunyi tangan tak mau bertanggung jawab pada suatu masalah yg dibuat mereka sendiri. Banyak lagi sifat-sifat tidak terpuji yg mengalir dari darah keluarga yg dibenci masyarakat ini.
Siang itu kedai kopi Wak Bagan nama sang pemilik sontak menjadi ramai. Ongah Gombung sedang mentraktir semua yang makan dan minum di kedai kopi itu. Mimik wajahnya datar saja di tengah orang ramai itu seolah tanpa beban. Dikesempatan itu iapun mulai bercerita panjang lebar. Tak berapa lama kedai kopi itupun penuh pengunjung, bangku bangkunya penuh terisi. Orang orang saling berdesakan disana. Saat itu iapun mulai "mangulok" membual tentang dirinya.
Menurut pengakuannya dihadapan orang orang disitu ia kini sudah jaya. Dahulu dia pergi dari kampung ini merantau ke sebuah negeri untuk merubah nasib. Setelah berkelana kesana kemari akhirnya ia sampai pada suatu negeri. Disana dia banyak menuntut ilmu perdukunan.  Kini dia sudah dapat mengobati segala macam penyakit. Disamping itu dia kini juga punya ilmu kebal. Karena kini ia ada memiliki sebuah jimat "rantai babi" yang dahulu ditemukannya dari sebuah hutan belantara. Jimat itu sekarang ada dibawanya. Bila orang orang disitu ada yang berminat, ia rela melepasnya bila ditukar dengan sebuah perahu berukuran sedang lengkap dengan isinya. Isinya boleh berupa hasil hasil ladang ataupun boleh juga hasil hasil hutan yg dapat dijual. Atau boleh juga diganti dengan uang mas maupun perak yang nilainya setara dengan itu.
Rupanya diam-diam Wak Bagan pemilik warung itu akan dijadikan Ongah Gombung sebagai target korban penipuannya saat itu. Ulok dan bualnya yg maut serta didukung kemampuan bicaranya dalam meyakinkan para pendengar bak seorang penjual obat. Dia dapat meyakinkan orang ramai serta Wak Bagan bahwa jimatnya itu juga dapat mendatangkan keberuntungan. Bila memilikinya dapat menjadikan pemiliknya kaya raya. Bila dibawa berdagang dia akan mujur dan bila dibawa melaut ataupun berladang dia nanti akan mendapatkan hasil yg berlimpah ruah.
Trik Ongah Gombung nampaknya berhasil. Akhirnya si pemilik warung tergoda juga. Ia tergiur untuk dapat memiliki jimat itu. Wak Bagan pun berjanji akan membayarnya dalam waktu beberapa pasang besar nanti ia akan memenuhi semua yang dimintakan Ongah Gombung. Dan mulai hari itu sampai dipenuhinya kesepakatan mereka Ongah Gombung boleh tinggal menginap serta makan dan minum sepuasnya di kedai kopinya itu.  
Malam itu Ongah Gombung tidur dengan lelapnya di rumah pemilik kedai kopi. Keesokan pagi setelah sarapan di kedai kopi yg menjadi bagian depan dari rumah pemiliknya itu Ongah Gombung kelihatan segar. Menghadap ke jalanan kakinya diselonjorkan di atas sebuah bangku panjang dengan badan bersandar lurus pada dinding. Sambil menikmati segelas kopi panas bergula aren. Di atas meja di depannya terletak seikat gulungan kecil rokok daun pucuk nipah. Disamping seikat rokok daun itu ada pula sebuah uncang kecil dari kain yg bagian atasnya terbuka berisi gumpalan tembakau kering berwarna coklat kehitaman.
Kemudian ditariknya sebatang rokok daun dari ikatannya, lalu sebatang lagi. Kedua gulungan rokok daun itu dibuka dari bentuknya yang bergulung menjadi melebar. Setelah itu kedua lembar rokok daun itu dilapis bertindihan dilinting menjadi satu. Setelah rapi lalu ditambahkannya dengan sejemput tembakau kering sampai hampir memenuhi separuh dari lebar rokok daun itu. Setelah berisi tembakau lalu rokok daun itu digulungnya kembali membungkus tembakau.
Dengan santai rokok daun yang telah berisi tembakau itu diselipkannya di sela bibirnya yang hitam sedikit tebal itu. Tampak bentuk barisan giginya yg tak beraturan. Rapat berlapis satu sama lain bertimpa dan tak pula rata bentuknya. Warna giginya kuning kehitaman bekas noda getah tembakau yg menempel di sela sela bawahan gigi.
Setelah rokok daun itu siap bibir iapun beranjak bangkit menuju tungku pemasakan kopi. Diambilnya sebatang kayu api dari tungku itu yang masih berbara pada ujungnya. Lalu disulutnya rokok daun yang sudah terselip diantara bibirnya yg sudah siap menanti sang api.
Ketika bara kayu itu ditampilkannya pada ujung rokok daun itu, lalu dihisapnya dalam dalam. Akhirnya menyala, asap rokok keluar dari kedua lobang hidungnya yang rada besar. Iapun kembali ke kursi panjang duduk menselonjorkan kedua kaki sambil menyandarkan badannya ke dinding mengarah ke jalanan.
Satu-satu pengunjung mulai berdatangan singgah di kedai kopi itu. Mereka adalah para nelayan yang akan berangkat ke laut. Ada juga para pedagang ataupun pembeli yg akan berangkat ke pasar. Pengunjung satu satu mengisi bangku bangku yang disediakan di warung itu sambil memesan minuman ataupun makanan ringan disitu berupa penganan kue kue yang dimasak kukus seperti lepat, ketupat, ombus-ombus, ubi rebus, pisang rebus, dll.
Setelah melihat pengunjung kedai sudah mulai ramai, Ongah Gombung mulai menjalankan rencananya. Ia mulai "mangulok mambongak" (membual) di hadapan orang orang di kedai itu. Dia membesar besarkan dirinya. Menyebutkan bahwa dirinya selama ini telah berhasil diperantauan. Itu semua berlaku setelah ia memakai sebuah jimat yg didapatkannya dari sebuah hutan rimba. Dia pada waktu itu sedang berjuang mengobati luka di tubuhnya.
Dalam uloknya ditambahkan pula bahwa ia telah mempelajari berbagai ilmu pengobatan dari banyak orang sakti. Salah seorang gurunya adalah seorang sakti yg memelihara seekor monyet putih dan seekor anjing hitam yang dapat mengerti pembicaraan tuannya. Katanya pula mengarang ngarang bahwa gurunya itu ada mempunyai seorang anak laki laki yang sangat nakal. Sering membentak menghardik ibunya bila si ibu tidak segera memenuhi permintaannya. Karena sudah sangat keterlaluan dan juga sudah mengancam akan membunuhnya, si ibu lalu mengusir sang anak dari rumah mereka. Sekarang anak durhaka itu pergi entah kemana tak tahu dimana rimbanya.
Ongah Gombung kembali melanjutkan bualan kombur malotup dan bongaknya di kedai itu. Orang-orang pun semakin ramai berdatangan ingin mendengarkan cerita si Ongah Gombung yang katanya sudah punya banyak kelebihan dan reputasi. Memang Ongah Gombung orangnya pandai berbicara, menarik untuk didengarkan membuat orang orang senang berlama lama mendengarkan ocehannya. Dia sangat piawai meyakinkan orang orang yg terhipnotis mendengar bualannya bagai seorang tukang obat pinggir jalan yg pandai memancing orang orang datang merapat mendengarkannya.
Tanpa terasa rokok daunyapun sudah hampir habis seikatan dihisap sambung puntung. Komburnya semakin menjadi-jadi meletup letup. Ia lalu melanjutkan uloknya, bahwa si orang sakti gurunya itu setiap bulan purnama tiba harus mengambil korban seorang anak sebagai tumbal untuk dipersembahkan pada dewa dan darahnya diminum sang guru.
Orang-orang semakin mendekat sambil berbisik-bisik mengatakan pantaslah banyak anak-anak yang hilang. Baru saja kemarin ada anak yang hilang. Setelah beberapa hari si anak ditemukan kembali di suatu kampung yg lain dalam keadaan kumal dan linglung.
Rupanya bisik-bisik mereka itu didengar oleh Ongah Gombung. Lalu secara spontan iapun meramunya sedemikian rupa. Dengan penuh percaya diri seolah olah tahu, dia lalu mengatakan bahwa beberapa hari yang lalu di satu kampung di pinggiran Kampung Tanjung ini ia telah membebaskan seorang anak. Anak itu awalnya akan menjadi korban si orang sakti yang tak lain gurunya sendiri. Karena si orang sakti tak mau melepaskan si anak, maka secara terpaksa dia harus melawan gurunya itu seorang diri. Ia menghadapi si orang sakti gurunya itu yg dibantu kedua binatang pendamping setianya sekaligus. Kata si Ongah Gombung sebenarnya ilmu mereka berimbang tapi dia masih dapat mengungguli mereka karena dia memakai sebuah  ajimat. Lalu si anakpun berhasil ia bebaskan. Itulah sebabnya sejak itu kemudian pergi menghindar karena tak tega membunuh gurunya sendiri.
Sejak saat itu berkembanglah cerita dari mulut ke mulut di tengah tengah masyarakat Kampung Tanjung dan sekitarnya bahwa di Selatan Kampung Tanjung ada seorang ibu tua yang mempunyai seorang anak lelaki durhaka. Anak durhaka itu sekarang merantau entah kemana. Karena sang ibu merasa menyesal telah mengusir anaknya sendiri jiwanya goncang menjadi gila dan membenci setiap anak anak. Ia kini kerap memangsa anak-anak bila masuk atau tersesat ke wilayahnya untuk dijadikan persembahan ritual ilmunya.
Cerita dari mulut ke mulut masyarakat Kampung Tanjung yang pada awalnya adalah rekayasa dan disebarkan oleh Ongah Gombung si raja kombur itupun menjadi meluas. Dari waktu ke waktu ceritanya mengalami perkembangan di masyarakat sehingga menjadi cerita Simardan Anak Durhaka. Padahal tidak seperti itu adanya.  
Hari ini masuk hari ketiga sudah si raja ulok Ongah Gombung makan tidur di kedai itu. Hebatnya sejak adanya Ongah Gombung disitu kedai kopi Wak Bagan semakin ramai pengunjungnya. Pemilik kedai menjadi semakin yakin ini semua karena ada pengaruh dari jimat yang dibawa Ongah Gombung. Semakin kuatlah hatinya untuk memiliki jimat itu.
Waktu terus berjalan. Siang itu menjelang tengah hari saat dimana warung sedang ramai-ramainya pengunjung yg akan menghapus dahaga ataupun sekedar mengisi perut yg sudah keroncongan.  Bersamaan itu melintas pulalah di depan warung seorang yg anggota badannya lumpuh dan matanya buta. Ia dipandu seorang anak muda. Mereka pengemis yg sedang melintas meminta minta pada orang-orang yang lalu lalang disitu dekat kedai kopi Wak Bagan tempat Ongah Gombung menginap.
Sekilas Ongah Gombung melihat mereka. Bak seorang dermawan yg berempati pada sesama ia lalu memanggil pengemis itu dan menyuruh mereka segera masuk ke kedai. Lalu merekapun masuk.
Setelah pengemis itu masuk Ongah Gombung meminta orang-orang di warung untuk mengosongkan dan membersihkan sebuah meja. Di atas meja itu kemudian mereka beramai ramai membaringkan si pengemis yg buta dan lumpuh itu.
Setelah sang pengemis yg lumpuh dan buta itupun dibaringkan, Ongah Gombung lalu mengambil sebuah uncang kecil dari balik baju dan membukanya. Kemudian Ongah Gombung mengambil sebuah batu hitam seukuran buah rukam. Kemudian batu hitam itu ia lulur-lulurkan di sekujur tubuh pasiennya. Mulai dari tapak kaki sampai ke ubun-ubun sang pengemis.  Mulut Ongah Gombung nampak komat-kamit seperti mengucapkan mantera. Sesekali ia seakan bersenadap dengan kedua telapak tangannya, dijumpakannya sejajar dada seakan bersemedi. Seolah mengumpulkan tenaga dalam lalu dialirkannya ke tubuh si lumpuh.
Sekonyong konyong tubuh si lumpuh sontak terlempar dari meja itu dan tak dinyana seketika itu ia dapat mulai berdiri tanpa bantuan lalu mencoba berjalan.
Kemudian si Ongah Gombung terlihat meniupkan nafas bertenaga dalam tepat pada ubun-ubun si pengemis yg buta dan lumpuh itu. Setelah itu ditiupkannya pula pada mata dan kedua kuping sang pengemis.
Pada saat Ongah Gombung akan menghembuskan tenaga dalam pada kuping si pengemis, saat itu dia sempatkan membisikkan sesuatu agar mereka berdua cepat berlalu dari situ. Nanti mereka berjumpa di suatu tempat yg telah mereka sepakati bersama sebelumnya. Nanti mereka akan menerima upah dari Ongah Gombung atas sandiwara mereka itu.
Rupanya mereka adalah sebuah komplotan penipu yang telah mengatur siasat sebelum melakukan aksi penipuan terhadap para calon korbannya.
Dipendekkan cerita. Malam itu seseorang sedang mengintai kedai kopi Wak Bagan tempat Ongah Gombung menginap itu. Pengintai itu adalah seorang penduduk pendatang baru di kampung tanjung. Awalnya ia dahulu masuk kesana dengan menumpang perahu layar milik seorang saudagar disana. Seorang saudagar yang  sering berlayar dari Tanah Deli di Barat Laut Kampung Tanjung untuk berdagang. Pengintai rumah Wak Bagan itu penduduk baru Kampung Tanjung asal suku masyarakat gunung Tanah Karo. Ia bernama Kala Purba.
Namanya itu adalah pemberian orang tua. Dumana sewaktu ibunya berjuang hendak melahirkannya dahulu saat itu persalinannya dibantu seorang dukun beranak. Ketika berjuang hendak melahirkannya itu sang ibu melihat seekor kalajengking sedang merayap di cangkul suaminya yang bermarga Purba. Cangkul itu seperti biasa ditaruh suaminya dibalik pintu di pojokan rumah. Setelah puteranya itu lahir diberilah dengan nama Kala lalu diikuti marga dari sang suami sehingga nama sang anak menjadi Kala Purba.
Sejak semula si Kala Purba ini  ketika memasuki kampung tanjung ia berniat ingin menjadi centeng disana. Menjadi jagoan kampung agar mudah mencari penghidupan disana.
Begitu ia mendengar dari orang-orang di kampung tanjung bahwa ada tamu yang menginap di kedai kopi itu seseorang yang sakti karena memiliki sebuah ajimat. Iapun tergerak untuk mencurinya.
Akhirnya tengah malam itu ia berhasil masuk ke rumah pemilik kedai kopi itu ke kamar dimana Ongah Gombung tertidur pulas. Lalu Kala Purba melarikan sebuah uncang kecil dari bawah bantal si raja ulok yang sedang mendengkur tertidur pulas.  
Setelah berhasil mencuri uncang Ongah Gombung yang berisi jimat, dengan tergesa gesa Kala Purba mengendap-endap keluar dari kedai kopi itu melalui tingkap yg dirusaknya tadi. Iapun kabur dari kampung itu menghilang di kegelapan malam.
Setelah merasa cukup aman, iapun beristirahat di suatu tempat di bawah pohon rindang di tepi sebuah hutan. Disitu dengan penuh kehati hatian dia mencoba membuka uncang curiannya itu. Dari dalam uncang dikeluarkannya sebuah benda liat berlendir berbentuk kalung. Ia yakin itulah jimat rantai babi itu. Lalu tanpa berfikir panjang dengan cepat  dikalungkannya benda itu ke lehernya.
Tak berapa lama setelah benda itu dikenakan di lehernya, kulit lehernya terasa sangat gatal. Lalu kulit yg gatal itu digaruk-garuknya untuk menghilangkan rasa gatal yg amat sangat itu. Pertama dengan perlahan-lahan saja lalu semakin dan semakin kencang.
Bukannya rasa gatal di kulit lehernya itu menjadi hilang malah kini menjadi terasa sangat panas dan perih. Rupanya lendir dari jimat itu telah masuk ke dalam kulit lehernya yang luka karena digaruk terus menerus dengan kuat.
Jimat yang disebut Ongah Gombung dengan "rante babi" itu ternyata hanyalah cuma akar-akaran dari sejenis pohon hutan yg berbisa yg telah dilumurinya dengan lendir ikan buntal ditambah getah kayu jelatang dan daun serta kulit pohon berbisa lainnya.
Sekeliling leher Kala Purba sudah mulai terluka dalam lalu mengucurkan darah kental berwarna merah kehitaman akibat terkena racun. Sampai hari hampir pagi Kala Purba masih terus bergelinjang kesana kemari di tempat sepi itu. Kondisinya semakin payah akibat menahankan gatal yg amat sangat serta rasa perih lukanya itu. Ia sudah tak sadarkan diri disana dan tak ada seorangpun yg tahu. Lama kelamaan lehernya mulai keras membiru kemudian menjalar keseluruh badannya menjadi kejang tak bergerak lagi. Akhirnya matilah ia disana.
Matahari tersenyum cerah di ufuk Timur. Pagi itu Ongah Gombung si raja kombur bangun meninggi hari. Ketika terbangun dia lalu bergegas bangkit dari kasurnya. Seperti biasa, Ongah Gombung bila bangun pagi selalu mengangkat bantal yg ditidurinya untuk melihat memastikan apakah uncang uncangnya sudah diambil orang atau masih ada disitu. Ternyata pagi itu satu uncang kecilnya telah hilang. Hebohlah ia di kedai itu. Ia mencak mencak disaksikan orang-orang yg sedang lalu lalang maupun orang orang yg berada di sekitar situ.
Wak Bagan sang juragan kedai kopi merasa tak enak hati dengan kejadian itu. Orang banyak menjadi tahu bahwa tamunya telah kehilangan sebuah barang di dalam kedainya. Kejadian itu juga disaksikan para pelanggannya yg sedang mampir.
Menutup malunya Wak Baganpun berjanji akan mencari barang yang hilang itu dengan perjanjian Ongah Gombung dapat tinggal dan makan tidur sepuasnya di rumahnya sampai ditemukan kembali jimatnya yang hilang itu.
Beberapa hari berlalu namun jimat si raja bongak belum juga ditemukan. Ongah Gombung terus tinggal dan berlaku sesuka hatinya di kedai itu. Akhirnya Wak Bagan menjadi bosan juga melihat tingkah si tukang ulok ini. Tingkahnya memuakkan dan semakin menjadi-jadi.
Wak Bagan menyusun rencana. Bersama orang orang bayarannya diaturlah sebuah siasat untuk melenyapkan Ongah Gombung. Apalagi mereka tahu kini si raja kombur sudah tak sakti lagi karena jimat rante babi sudah hilang darinya.
Suatu sore seperti kebiasaan Ongah Gombung selama tinggal di rumah Wak Bagan. Sore hari berjalan jalan mencuci mata. Bila sudah puas mencuci mata di pasar, Ongah Gombung lalu berkemas pergi mandi ke salah satu cekungan di sebuah sisi Sungai Silau di Kampung Tanjung itu.
Seperti biasa sebelum mandi di sungai itu, Ongah Gombung lebih dahulu mendatangi sebuah tempat.  Ia pergi dengan mengendap-endap di balik semak-semak lalu menuju rerumpunan pohon bambu di tepian sungai.
Tempat itu adalah sebuah cekungan lain dari sisi sungai yg sama. Disini tempat anak anak dara dan emak-emak mencuci, mandi ataupun sekedar membuang hajat. Para wanita itu hanya dengan berkainkan pembalut tubuh saja. Berkain ke atas. Malah ada pula diantara mereka begitu masuk ke dalam air sungai langsung menanggalkan seluruh pelindung tubuh. Polos telanjang tanpa pembalut tubuh.
Kawasan tempat anak dara dan perempuan dewasa mandi itu secara tersirat adalah tabu dan terlarang untuk dimasuki oleh kaum lelaki.  Walaupun dia masih anak anak ataupun sudah dewasa.
Para anak dara dan emak-emak yg asik berendam diri di sungai itu penuh tawa dan canda ria. Mereka tak menyadari ada sepasang mata binal lagi menikmati mereka. Sepasang mata itu terus mengikuti tingkah laku mereka sejak saat mereka mulai menanggalkan pakaian pelindung badan satu persatu, menampakkan lekuk lekuk keindahan tubuh seorang wanita. Sampai sesekali terlihat pula bahagian bahagian tubuh yg paling sensitif berbalut kulit halus mulus mengguncang birahi.
Pemandangan seperti itu selalu ditunggu Ongah Gombung. Jantungnya menjadi berdebar debar kencang karena naiknya libido. Semakin lama semakin banyak ia menelan air liurnya sendiri. Nafasnyapun menjadi tak menentu, dadanya naik turun tak beraturan.
Para perempuan muda di cekungan tepian sungai itu tidak peduli karena tidak tahu sedang diintip. Mereka terus asik saling bersenda gurau sambil memain mainkan air, memercik mercikkan kearah temannya yg lain. Adapula yg duduk bermalas malasan di tepian sambil menjuntai-juntaikan kakinya memperlihatkan pahanya yang mulus. Terkadang tak sengaja tersingkap sampai ke belahan atas. Semua menjadi santapan liar mata jalang Ongah Gombung.
Dara-dara tersebut terus asik membasuh seluruh badannya dari ujung jari kaki sampai ujung rambut. Sedikitpun tak menyadari mereka sedang diintip sepasang mata nakal jelalatan penuh nafsu. Sampai ketika mereka bersalin mengganti pakaian. Disitu terkadang dengan sengaja mereka melepas kain bawahan pembalut tubuhnya. Dilepas begitu saja meluncur ke bawah diantara kaki-kaki mulus semampai, membuat jari-jari Ongah Gombung bergerak gerak. Pemandangan indah itu memberi keasyikan tersendiri bagi Ongah Gombung yg tengah sembunyi sembunyi mengintip di balik lebatnya rumpunan bambu.
Bersamaan dengan itu tanpa disadari Ongah Gombong, ia sedari tadi telah diperhatikan oleh empat pasang mata. Mereka kemudian menyergap Ongah Gombung yg terkejut tanpa perlawanan. Lalu mereka menyumpal mulut dan mata Ongah Gombung dengan kain. Kemudian mereka mengikatnya.
Ongah Gombung akhirnya mereka habisi disitu dan ditinggalkan begitu saja dalam keadaan mengambang di pinggir sungai di bawah rumpunan bambu.  
Kita tinggalkan sejenak Kampung Tanjung dengan segala dinamika dan romantika kehidupan yg sedang terjadi disana. Karena berita bohong yg disebarkan Ongah Gombung membuat percaya sebagian masyarakat disana pada masa itu bahwa Simardan anak celaka karena durhaka pada ibunya.
Cerita itu tersebar luas di tengah tengah masyarakat disana melalui kombur-kombur para lelaki di kedai kopi. Makin meluas karena para emak emaknya ikut pula menggosip saat bertandang dari rumah ke rumah sembari saling mencari kutu rambut diantara mereka di atas anak tangga di depan pintu rumah panggung disana.
Kita tinggalkan itu dahulu. Mari kita surut sejenak kebelakang melihat sewaktu peristiwa amuk Selat Malaka tempo hari. Saat ayah angkat Simardan si Raja Rompak yg dijatuhkan Badogol alias Beng Dong Ghuong ke laut.
Rupanya dengan kehendak yang maha penguasa alam jagat raya, ia masih bisa selamat dari sapuan dan gulungan ombak badai. Ketika tercebur ke laut itu ia masih sempat meraih sepotong kayu dari serpihan pecahan sebuah peti dari atas kapal. Lalu ia bergelayut di atas kayu itu terombang ambing kesana kemari dipermainkan ombak.
Sewaktu Badogol terbawa gelombang air laut itu rupanya hanyut sampai membawa tubuhnya yg pingsan  ke sebuah tanjung berdekatan dengan sebuah selat kecil (sekarang Selat Panjang) di pesisir Timur Andalas. Tanjung kecil itu sekarang bernama Sinaboi di Riau, dimana kala itu hanya dihuni beberapa rumah penduduk berbentuk panggung seperti kebanyakan rumah rumah nelayan di kawasan itu. Rumah rumah panggung itu bertiang nibung, berdinding bambu dan beratap nipah.
Setelah peristiwa yg hampir merenggut nyawanya, sejak saat itu dia sadar atas prilaku buruknya selama ini. Iapun insyaf lalu meninggalkan dan melupakan semua kehidupan masa lalunya yg hitam kelam. Ia kini hidup mengasingkan diri menjauhkan diri dari hiruk pikuk kehidupan dunia.
Raja Rompak kini telah menanggalkan segala atribut dunianya, mengambil pilihan sebuah jalan hidup baru. Kini ia berubah menjadi seorang biksu. Ia tinggal di sebuah kelenteng kecil di kampung itu. Segala kebutuhan hidupnya sehari hari berasal dari pemberian serta bantuan penduduk yg ada disitu. Penduduk disana masa itu semuanya menganut satu kepercayaan yang sama.
Sementara itu jauh disana di pulau Bintan. Kerajaan bisnis Simardan kini semakin maju jaya. Ia telah membina hubungan dagang dengan hampir seluruh negeri negeri di pesisir Timur pulau Andalas begitu pula dengan tanah seberang di pesisir Barat Tanah Semenanjung. Begitu juga dengan negeri negeri kecil yg tersebar di Selat Malaka itu.
Suatu hari datanglah menghadap Simardan utusan dari Kerajaan Tumasik, suatu kerajaan di sebuah pulau yang hanya terpisah sebuah selat kecil dengan ujung Tanah Semenanjung. Sekarang negeri itu bernama Singapura.
Mereka datang menghadap Simardan untuk menyampaikan undangan dari raja Tumasik agar kiranya dapat berkenan menghadiri pesta kerajaan. Pesta itu dilangsungkan dalam sebuah acara Pertemuan Pemimpin Negeri Negeri Kawasan Selat Malaka.
 
Dalam acara itu raja Tumasik juga telah mengundang tamu-tamu istimewa dari seluruh raja-raja di kawasan Nusantara. Juga turut pula diundang rekan-rekan dagang dari daratan Eropa dan Tiongkok.
Pada masa itu benua Amerika dan Australia belum dikenal dan masih asing bagi pelaut-pelaut di kawasan itu sehingga tak turut diundang raja. Hanya negeri negeri dari daratan Eropa dan Tiongkok lah yg kala itu sudah sangat besar pengaruhnya di kawasan itu. Seperti negeri-negeri Prancis, Inggris, Portugis, Belanda, Spanyol, Yunani, dll dari daratan Eropah serta Mongol Tibet, Mansuria, dll dari belahan daratan Tiongkok.
Raja Tumasik pada masa itu sudah mulai mengenal dan mempelajari suatu agama baru dimasa itu yaitu Agama Islam. Agama baru ini dibawa masuk oleh para saudagar-saudagar dari jazirah Arab. Mereka pada awalnya datang untuk berdagang ke negeri Tumasik. Ataupun hanya sekedar transit singgah disana sebelum melanjutkan sampai ke negeri tujuan.
Pengaruh Agama Islam pada waktu itu yg sudah mulai sampai di kawasan Selat Malaka rupanya berpengaruh besar pada kerajaan kerajaan Hindu dan Budha. Sebuah kerajaan besar dimasa penghujungnya yaitu Kerajaan Sriwijaya yg terletak di ujung Selatan pulau Andalas. Kerajaan itu masih beragama Budha pada masa itu kejayaannya sudah mulai memudar.
Sementara itu di ujung Barat pulau Andalas muncul pula sebuah kerajaan besar Samudera Pasai.  Raja dan penduduk kerajaan besar baru ini sudah menganut agama Islam.
Begitu pula di negeri negeri di Tanah Semenanjung. Pengaruh agama Islam sudah mulai masuk menggeser pengaruh kepercayaan lama mereka. Kepercayaan yg dibawa oleh nenek moyang mereka dahulu ke negeri ini dari Hindia Belakang, yaitu agama Hindu dan Budha.
Secara geografi Kerajaan Tumasik ini letak pulaunya sangatlah strategis sekali sebagai pintu masuk para pelayar dari Laut China menuju Lautan Hindia atau sebaliknya melalui Selat Malaka.
Karena letaknya yg strategis itu membuatnya sejak lama tersohor menjadi tempat persinggahan para saudagar saudagar berbagai belahan bumi bila sedang melintasi Selat Malaka. Akibat tersohor dan banyak disinggahi lama kelamaan negeri Tumasik inipun menjelma menjadi bandar besar yg ramai. Penduduknya makmur sejahtera.
Karena kemakmuran negeri mereka semakin mashyur maka semakin dilirik pula oleh negeri-negeri lain. Terutama negeri negeri dari daratan Eropa dan Tiongkok.
Akibatnya Raja Tumasik kuatir juga akan masa depan kerajaan dan rakyatnya bila tak diperkuat dari sekarang. Ia takut suatu saat negerinya akan dikuasai oleh negeri-negeri pengincar di luar sana.
Berhari hari ia merenung dan berfikir mencari jalan keluar dari bayangan buruknya itu. Sebuah ancaman dari luar terhadap keberadaan negeri yg dicintainya itu. Sampailah suatu hari, saat berjalan jalan pada sebuah taman istananya (sekarang Raffles Park Singapore) ia mendapatkan petunjuk untuk memperkuat kerajaannya. Menjodohkan puteri tunggalnya dengan Simardan, seorang perjaka tampan gagah berani kini berpengaruh di Selat Besar itu. Lelaki yg sangat disegani seantero negeri di kawasan itu. Tersohor karena telah berhasil menghancurkan kerajaan lanun yg sangat ditakuti. Ia dapat menghancurkan kelompok bajak laut itu sampai ke basisnya bukan karena mengejar hadiah para raja negeri negeri sekawasan. Akan tetapi lebih kepada kesadaran dan tanggung jawabnya terhadap keamanan jalur pelayaran disitu yg selama ini telah menghidupi dan membesarkannya. Selain masalah pribadi untuk membalaskan dendam ayah angkatnya pada Badogol.
Simardan kini telah menjelma menjadi seorang pemuda yg kaya raya. Ia berhasil membangun sebuah kerajaan perdagangan yg jaya di pulau Bintan.
Setelah dipertimbangkan dari gagasannya itu ada juga rasa kekuatiran sang raja. Ia ragu apakah raja di negeri ujung Barat (Samudera Pandai) dan Selatan Andalas (Sriwijaya) akan merestui? Karena menurut kabar kabar burung yang sampai ke telinganya, kedua Kerajaan itupun berlomba lomba mendekatinya. Mereka para kerajaan besar itu sangat membutuhkan kekuatan dan pengaruh Simardan di kawasan itu.
Oleh sebab itulah ia membuat gelaran pesta pertemuan ini untuk mengatur siasat dan rencana agar kedua kerajaan besar itu dapat memberikan restu padanya kelak nanti.
Berbulan-bulan sebelum acara itu dilaksanakan dilakukan segala persiapan. Apakah itu menyangkut penginapan para tetamu undangan, makan minumnya, menu pesta, tempat tempat pagelaran untuk hiburan, destinasi rekreasi, acara perlombaan, dll.
Kita tinggalkan dahulu negeri Tumasik. Beralih dulu ke Simardan. Setelah menerima undangan dari Raja Tumasik dan sembari menunggu waktu pelaksanaannya tiba, ia mengutus sahabatnya sang saudagar asal Kampung Tanjung didampingi lima orang pengawal untuk berlayar ke hulu Aek Doras. Dari sana melewati Kampung Tanjung juga gubuk ibundanya menuju sebuah negeri.
Negeri yang dimaksud oleh Simardan adalah sebuah kerajaan kecil (sekarang Bandar Pulo). Raja pertamanya yg membuka negeri kecil itu adalah adik kandung mendiang ayahnya sendiri. Dahulu mereka berdua membawa keluarga masing masing sama sama meninggalkan kampung di hulu di tepian Tao Toba. Waktu itu mereka berangkat meninggalkan kampung asal menggunakan rakit menyusuri Aek Doras menuju hilir.
Setelah kedua orang tua tiada mereka diusir oleh abang tertua mereka dari kampung di hulu. Sang abang ingin menguasai seluruh areal peladangan tanah peninggalan orang tua mereka di tepian Tao Toba (sekarang Porsea). Untuk mengusir mereka si abang rela menebar fitnah yg menzolimi mereka berdua.
Tak tahan terus menerus teraniaya menanggung derita merekapun akhirnya keluar dari kampung meninggalkan tanah leluhur. Dari sana mereka mengembara mencari untuk membuka negeri baru. Si adik membuka perladangan baru dan membangun negeri Bandar Pulo. Sementara itu si abang yaitu ayah Simardan membuka perladangan pertama kali di daerah lebih ke hilirnya lagi. Sebuah teluk yg lubuknya sangat dalam (sekarang Teluk Dalam). Daerah itu melewati sebuah tanjung berbatu besar (sekarang Aek Batu). Di sekitar Teluk Dalam itulah ayah bunda Simardan awalnya membuka perladangan setelah meninggalkan kampung asal sampai akhir hayatnya. Sang ayah meninggal dan dikuburkan disana. Ia dikuburkan bersama harta warisan yang sempat dibawa sang ayah dari kampung asal dari hulu sana berupa bentuk pedang, pisau dan gelang. Semuanya itu oleh ibu Simardan turut ditanamkan bersama mayat sang suami.
Setelah ayah Simardan meninggal dan karena ladang mereka itu masih sepi juga letaknya jauh dari Kampung Tanjung tempat si ibu biasanya menjual hasil pencarian sehari hari dari hutan ataupun hasil hasil ladangnya. Kampung tempat membeli sekedar kebutuhan hidup mereka.
Akhirnya sang bunda membawa Simardan pindah ke luar ladang. Dia membangun sendiri sebuah gubuk yg menghadap langsung ke sebuah teluk di balik di sebelah Selatan Kampung Tanjung.
Kepada sahabatnya yg menjadi pimpinan rombongan utusan, Simardan berpesan agar menyempatkan mendatangi gubuk ibundanya di Selatan Kampung Tanjung, untuk memastikan keberadaannya saat ini. Bila ia masih hidup mohon dibawa serta sepulangnya nanti untuk tinggal bersama di pulau Bintan. Nanti Simardan akan membangun sebuah istana buatnya dan sang ibu. Mereka akan tinggal di sebuah pulau kecil di seberang Pulau Bintan (sekarang pulau Penyengat, negeri Ali Haji sang Raja Gurindam 12). Tapi bila ibundanya sudah tiada, mohon dibuatkan tanda disana sebagai ganti kuburannya.
Sesudah itu para utusan diminta singgah di Teluk Dalam untuk mencari dan menziarahi kuburan ayahnya disitu. Ia meminta kuburan ayahnya dibina sebagai tanda agar tak hilang ditelan waktu.
Terakhir Simardan berpesan pada pimpinan utusan untuk menyampaikan pesan darinya kepada raja di Bandar Pulo. Tapi sebelumnya mereka harus mengenalkan diri terlebih dahulu agar sang raja maklum dengan memperlihatkan gelang Simardan sebagai warisan dari ayahnya pemberian sang ibu. Gelang itu turut dititipkan Simardan pada mereka, agar nanti raja percaya.
Simardan berpesan kepada sang sahabat selaku pimpinan rombongan utusan agar menyampaikan permintaannya kepada sang paman untuk tetap menjaga dan melindungi kerukunan masyarakat Kampung Tanjung dari prilaku orang-orang pendatang yg ada juga berniat tak baik. Terutama dari orang orang yang ingin menguasai bandar. Sebuah kawasan pertemuan orang orang pendatang dan penduduk setempat. Kawasan itu selalu ramai karena dekat dengan pasar dan tangkahan bertambat para nelayan. Disana selalu berkumpul para saudagar, nelayan, petani dan juga para penduduk dengan segala penghidupannya.
Simardan juga berpesan sang sahabat menyampaikan permintaannya agar istana sang paman sebagai pusat kerajaan di Aek Doras dimasa itu dapat dipindahkan dari Bandar Pulau ke Kampung Tanjung saja supaya mudah berhubungan dengan negeri negeri lain untuk memajukan negeri dan penduduknya. Tanah di seberang Bandar Pulo yang biasa digunakan raja sebagai tempatnya beristirahat dari kesibukan (sekarang Pulau Raja) dapat diserahkan pada anak keturunan sang paman saja dan tetap dalam perlindungan serta pengawasannya.
Akan tetapi bila raja belum bersedia memindahkan istana sebagai pusat kekuasaannya dari sana, Simardan memohon kiranya dapatlah segera membentuk kerajaan baru di Kampung Tanjung dengan menobatkan anak keturunannya menjadi raja kecil disana. Kerajaan baru yg masih dibawah pengawasan dan perlindungan Kerajaan Bandar Pulo yg dipimpinnya.
Simardan menuturkan pada sahabatnya semua yang diketahuinya selama ini dari ibunya semasa kecil dahulu. Semua dikisahkannya panjang lebar pada utusannya untuk memahami agar penyampaiannya nanti dapat meyakinkan sang paman raja di Bandar Pulo.
Tibalah waktunya rombongan utusan berangkat. Dengan dibekali perbekalan yg cukup lengkap untuk perhitungan selama perjalanan pergi dan pulang. Merekapun berangkat mengarungi Selat Malaka. Berlayar dengan sebuah kapal layar berukuran sedang dari negeri Bintan.
Sementara itu, di Kerajaan Tumasik terlihat kesibukan disana sini. Segala persiapan untuk kenduri negeri hampir rampung. Aneka rupa bingkisan dan cendera mata buat para tetamu undangan nanti juga sudah disimpan dan dijaga dengan baik pada suatu tempat penyimpanan. Aula besar istana yg akan dipakai sebagai tempat pertemuan para raja raja bersama undangan kehormatan lainnya telah ditata dengan indah dan megahnya sedemikian rupa. Lampu-lampu kristal aneka bentuk dan rupa  terpasang di jalan-jalan dan lorong-lorong istana membuat suasana lingkungan istana semakin megah cemerlang. Begitu pula hewan hewan sembelihan untuk santapan jamuan semua sudah dikandangkan dalam sebuah lapangan besar. Begitu juga dengan segala bahan penganan beserta bahan bahan bumbunya sudah diamankan rapi dalam sebuah gudang besar.
Tamu-tamu undangan dari negeri negeri  yg jauh letaknya dari negeri Tumasik sudah pula mulai bergerak. Mereka sudah berlayar dari negerinya untuk menyesuaikan dengan waktu perjalanan agar tiba di tujuan sesuai dengan hari pesta Kerajaan Tumasik. Diantara undangan itu ada yang lama perjalanannya memakan waktu tiga sampai empat purnama menggunakan kapal layar, seperti negeri negeri dari daratan Eropa yg jauh di ujung sebelah Barat sana.


Sementara itu Raja Samudera Pasai merencanakan dalam perjalanannya nanti sebelum sampai ke negeri Tumasik, dia akan singgah di pulau Bintan. Dia berniat mengundang Simardan untuk datang berkunjung ke kapalnya nanti saat mereka sudah mendekati Pulau Bintan. Untuk itu ia harus mengirimkan utusan ke sana terlebih dahulu untuk menyampaikan pemberitahuan pada Simardan.


Singkat cerita, berlabuhlah kapal besar Raja Samudera Pasai, Aceh di depan pulau Bintan. Bertemulah disana Simardan dengan Raja Aceh di atas kapal layarnya yang mewah dan megah. Simardan di kapal besar itu dijamu dengan sangat istimewa. Dalam pertemuan itu banyak hal yang mereka bicarakan. Mulai dari cerita tentang kondisi negeri negeri di sepanjang Aek Doras, terkhusus Kampung Tanjung sampai membahas tentang situasi kondisi Selat Malaka selama ini. Terutama dalam hal menyangkut keamanan keselamatan para pelayar yang melintasi perairan itu.
Pada pertemuan itu Raja Aceh bersedia menyanggupi segala apa saja yang diperlukan oleh Simardan guna mengamankan kawasan itu. Oleh Raja Aceh Simardan akan diberikan kewenangan menarik upeti kepada kerajaan kerajaan kecil di kawasan itu yang selama ini dibawah pengaruh kekuasaan dan tunduk pada Kerajaan Samudera Pasai.
Panjang lebar mereka berdua saling berbagi pengalaman bertutur kata sampai akhirnya pembicaraan mengarah kepada hal hal bersifat pribadi Simardan.
Sang Raja Aceh diam diam rupanya ingin pula menjadikan Simardan sebagai bagian keluarganya. Sang Raja ingin menjodohkan Simardan dengan salah seorang puteri dari adik-adiknya. Dimana sang Raja Aceh sendiri dia tak mempunyai anak perempuan. Bila Simardan menyetujui, Raja Aceh berjanji akan menjadikannya Sultan pada sebuah kerajaan baru nanti di tanah yg dicintainya, yaitu negeri di kawasan Aek Doras.
Namun dengan secara halus Simardan meminta waktu untuk mempertimbangkannya sebelum mengambil keputusan. Akan tetapi bukan karena hubungan pernikahan itu, Simardan berharap kiranya Raja Aceh tetaplah memperhatikan negeri Kampung Tanjung bersama sebuah kerajaan kecil dihulunya, yaitu kerajaan Bandar Pulo yg rajanya adalah pamannya sendiri.


Raja Aceh akhirnya memaklumi juga dan meminta kepada Simardan untuk tidak terlalu lama sudah dapat mengambil keputusan.  
Sang rembulan telah beberapa kali berganti purnama. Dekatlah sudah hari akan dilangsungkannya pertemuan antar negeri di Tumasik. Tamu-tamu berbagai negeri dari belahan bum telah mulai berdatangan ke Kerajaan Tumasik. Pulau itu kini bak gadis rupawan lagi bersolek. Tumasik telah berhias diri. Ia kelihatan indah dan megah, dimana mana sepelosok negeri ditata sedemikian rupa membuat orang betah tinggal berlama lama disana. Negeri itu tampak semakin ramai dan dengan penduduknya yg memancarkan wajah riang gembira dimana mana.


Di sekeliling pulau di luar pantainya yang berpasir putih di lautnya yg biru bersih tampak telah berlabuh kapal kapal layar berbagai bentuk dan ukuran dengan kemegahan dan kemewahannya masing masing. Bertaburan mengelilingi pulau bagaikan kembang warna warni di taman yg indah.
Di istana tampak para pelayan semuanya sibuk dengan pekerjaannya masing masing. Begitu pula aktifitas di halaman istana dan taman taman kota. Tampak pula dimana-mana  di setiap lapangan ataupun aula yg ada di negeri itu dipersiapkan pentas terbuka hiburan rakyat.
Bagaikan hari raya sepanjang hari, orang orang berpakaian baru dan bagus bagus. Makanan dan minuman gratis disediakan istana dimana-mana di semua sudut negeri di pulau itu.
Hari yg ditunggupun tiba. Di pagi yg indah itu di atas mimbar kehormatan sang Paduka Raja Tumasik membuka secara resmi pertemuan antar negeri sekawasan diiringi pemukulan canang bersama tamu kehormatan. Kemudian dilanjutkan dengan temu ramah sambil menikmati penganan ringan diiringi hiburan seni musik dan tari khas negeri Tumasik. Setelah itu dilanjutkan dengan  pertemuan majelis membahas bersama tentang keberadaan Selat Besar dengan membina hubungan kerjasama diantara negeri-negeri. Terutama peningkatkan kerjasama  dalam bidang perdagangan, ilmu pengetahuan dan seni budaya. Mereka sepakat hal ini perlu dijaga bersama demi kelangsungan hidup berdampingan secara aman dan damai.
Acara demi acara telah dilalui. Pada hari ketiga setelah jamuan makan siang, tibalah pada acara khusus sebuah acara sisipan yang direncanakan sebelumnya oleh pihak istana sebagai acara kejutan saja bagi para tetamu. Sebuah acara  selingan dimana Raja memperkenalkan kepada segenap undangan yg berhadir akan puterinya yang amat cantik rupawan.


Saat diperkenalkan mereka semua yg berhadir menjadi terkesima, terpesona melihat kecantikan sang puteri yg duduk anggun di atas panggung disisi kiri ayahnya.
Sang Puteri Tumasik sungguh anggun cantik rupawan. Tubuhnya yg indah molek tinggi semampai berbalut pakaian kebesaran seorang puteri raja berwarna putih kemilau. Rambutnya yg hitam panjang tergerai rapi sepinggang mengenakan mahkota tiara bertabur intan berlian menambah pesona.
Diam-diam sepasang mata di pojok belakang, Simardan yang duduk di meja undangan bukan di barisan utama takjub memperhatikan dengan jantung berdesir seakan ada sebuah perasaan. Ada sebuah perasaan hati yg belum pernah dialaminya selama ini. Sungguh kini ia sudah terpikat jatuh hati pada pandangan pertamanya. Seumur hidupnya baru pertama ini ia melihat keanggunan dan kecantikan seorang wanita seperti itu.


Ditenang tenangkannya hatinya untuk tidak terlihat sebagai seorang pemuda picisan yg  sedang terpesona dipermain mainkan hatinya. Diam diam dia terus mencuri curi pandang.
Saat itu terlintas pula ingatannya akan permintaan Raja Aceh sewaktu pertemuan mereka di kapal. Hal itu membuat hatinya semakin kacau berkecamuk menjadi tak menentu. Haruskah nanti saat raja Aceh menuntut janji ia akan mengikuti kata hatinya saja daripada akal fikiran?
Dihadapan para tetamu undangannya paduka raja Tumasik dengan hati terbuka menyampaikan niatnya ingin menjodohkan sang puteri dengan seorang perjaka. Perjaka yg dimaksudkan adalah seorang pendekar pahlawan Selat Besar tak lain adalah Simardan. Seorang pemuda yg menumpas habis gerombolan lanun bajak laut Lancang Hitam. Pemuda yg kini kerajaan dagangnya sedang maju berkembang.
Di pojokan belakang tampak Simardan menunduk malu tak begitu merasa terkejut. Karena sebelumnya dia sudah menduga. Namun ia tak menyangka bila sang puteri secantik itu. Sungguh dalam bayangannya sama seperti wanita cantik lainnya saja. Ternyata ia keliru, puteri Tumasik sangatlah cantik jelita.


Dia lalu melirik dengan ekor matanya sekilas ke arah meja Raja Aceh yang duduk di depan. Simardan melihat Raja Aceh nampak sedikit gelisah, kemudian berdiri bangkit dari tempat duduknya meminta izin kepada Raja Tumasik serta tetamu undangan lainnya untuk meminta dapat berbicara sedikit mengusulkan sebuah pendapat.


Inilah sebenarnya sejak awal yg selalu menghantui perasaan Raja Tumasik. Tetapi dengan penuh kebesaran hati yg membuat para tetamu semakin segan dan takjub padanya, kemudian oleh Raja Tumasik sang Raja Aceh diberikan kesempatan untuk mengusulkan pendapatnya.
Raja Aceh dengan penuh percaya diri meminta hal itu dapat dibicarakan nanti setelah diadakan sebuah pertandingan.  Pertandingan segitiga yg hanya diikuti tiga peserta saja, yaitu antara Kerajaan Tumasik, Kerajaan Aceh, dan Tim Simardan.
Siapa nanti yg menjadi pemenangnya maka dialah yg berhak menentukan sikap dan pilihan tentang perjodohan Simardan. Supaya kepentingan diantara mereka diputuskan secara berkeadilan tanpa saling merendahkan.
Para tetamu nampak gelisah. Begitu pula Raja Tumasik. Ia terlihat agak menahan suasana hatinya namun karena tuan rumah ingin menghormati para tetamu, apalagi tamu itu adalah seorang tamu yang berkuasa amat disegani di kawasan itu. Akhirnya iapun berlapang dada mengabulkan permintaan sang Raja Aceh tamu yg dihormatinya.  
Kedua pihak akhirnya menyepakati. Sementara itu Simardan hanya bisa manut dan mengiyakan saja karena ia tak punya kuasa untuk menyanggah kedua penguasa itu. Para undangan lain yg menyaksikan hanya terdiam saja di tempat duduknya dan menjadi penasaran semakin ingin tahu apa perkembangan selanjutnya. Mereka semua ingin mengikuti kelanjutannya.
Untuk menentukan waktu, tempat serta aturan perlombaan akan dirundingan bersama antara Raja Tumasik, Raja Aceh dan Simardan pada sebuah tempat setelah acara jamuan makan malam di istana nanti.
Setelah selesai acara jamuan makan malam di istana.Tiga pihak yg akan bertanding segitiga yaitu Raja Aceh, Raja Tumasik dan Simardan masuk pada suatu ruangan khusus yg terpisah dari tempat pertemuan para raja raja antar negeri. Mereka bertiga melangsungkan pembicaraan tentang pertandingan yg akan mereka laksanakan.
Pada tamu tamu lainnya yg menunggu mereka mengambil kesepakatan dihidangkan makanan dan minuman ringan dengan hiburan pengiring berupa tari-tarian yg dipersembahkan puteri-puteri negeri Tumasik yang cantik-cantik. Gadis gadis cantik itu menarikan tari tarian dengan lemah gemulai mengikuti irama musik gendang bernuansa Melayu.
Akhirnya dari hasil musyawarah mufakat diantara mereka bertiga diambil kata sepakat mereka akan mengadakan
pertandingan segitiga. Pertandingan itu tidak mempergunakan senjata ataupun kekuatan kanuragan ilmu bela diri. Akan tetapi hanyalah pertandingan menghibur, sebuah seni permainan yg tujuannya dapat pula menghibur para tetamu undangan sekalian.
Mereka bertiga sepakat akan bertanding segitiga satu sama lain. Permainan yg dipilih adalah sepak raga bola keranjang yg dilangsungkan pada sebuah tempat netral di luar pulau Tumasik.
Mereka sepakat memilih pulau sepi yg masih sedikit penduduknya masa itu di seberang pulau Tumasik. Pulau itu letaknya berhadapan dengan pulau Tumasik. Tidak terlalu jauh bila didatangi dari negeri Tumasik sehingga akan memudahkan akomodasi para tetamu yg akan menonton sebagai hiburan tambahan diluar rencana sebelumnya.
Kepada para tetamu seluruhnya tanpa terkecuali dimintakan melalui penyelenggara dimintakan Raja Tumasik agar kiranya sudi memundurkan jadwal kepulangannya barang sehari dua hari dari yg direncanakan semula. Ternyata seluruh undangan sangat antusias dan bergembira menyambutnya.
Pulau sepi di seberang pulau Tumasik yg direncanakan sebagai tempat pertandingan itu adalah sebuah pulau yg luasnya hampir seukuran Pulau Tumasik. Tanahnya sama berwarna kemerah merahan. Di pulau itu banyak ditemui batu-batu berwarna kehitaman. Batu batu ini bisa dihamparkan ataupun disusun susun (ampar). Mereka menyebut "batu ampar". Lama kelamaan karena agar mudah mengucapkannya mereka singkatkan saja menjadi "batam". Sekarang pulau itu disebut dengan pulau Batam asal singkatan dari Batu Ampar.
Berburu waktu segala sesuatupun dipersiapkan pihak penyelenggara untuk pertandingan segitiga di pulau itu. Para tamu undangan rajapun sudah pula menunda kepulangan mereka ke negeri masing-masing. Mereka semua pada tertarik untuk dapat menyaksikan langsung pertandingan itu.
Kapal-kapal layar mereka yg semula berlabuh di depan pantai pulau Tumasik satu persatu mulai angkat jangkar berlepas ke pulau di seberang pulau Tumasik.
Matahari pagi tersenyum cerah di ufuk Timur. Tibalah hari yang pertandingan sepak raga segitiga antara Tim negeri Aceh, Tim negeri Tumasik dan Tim Simardan. Pertandingan itu digelar pada sebuah lapangan terbuka yang dibentuk sedemikian rupa di atas tanah kosong disana.


Para pendukung masing masing tim serta para tamu undangan raja Tumasik telah duduk rapi berjejer berlapis lapis disekeliling lapangan. Mereka masing-masing duduk di atas batu hitam yg dihamparkan dengan rapi. Sementara masyarakat pengunjung dan para penonton lainnya penuh berdiri dibelakang garis pemisah dengan para undangan tetamu raja sebagai penonton istimewa.
Sebagai juri (wasit) lengkap dengan pembantu pembantunya telah dihunjuk dari perwakilan pihak rombongan negeri negeri Tanah Semenanjung.
Begitu pula dengan jadwal pertandingan, telah disusun agenda pertandingan oleh penyelenggara selaku tuan rumah yaitu darivpihak Kerajaan Tumasik.
Pada pertemuan mereka bertiga sebelumnya telah disepakati bahwa setiap tim hanya terdiri dari tiga orang pemain tanpa ada pemain cadangan. Dimana pada pertandingan pertama sebagai pembukaan akan bertemu Tim Simardan menghadapi Tim Tumasik. Setelah itu kepada kedua tim yg bertanding itu akan diberikan waktu istirahat untuk jeda minum. Sisa waktu dapat digunakan untuk hal hal lain seperti mengganti pakaian pertandingan yg sudah kotor. Setelahnya nanti dilanjutkan pula pertandingan antara Tim Simardan dan Tim Aceh. Kemudian pertandingan terakhir akan berjumpa antara Tim Aceh dengan Tim Tumasik.
Secara halus tampaknya jadwal pertandingan sudah diatur oleh pihak penyelenggara dengan sedemikian rupa agar Tim Tumasik mempunyai waktu istirahat yg lebih banyak dari lawan-lawannya.
Tibalah waktu pertandingan. Pada pertandingan pertama yg mempertemukan antara Tim Simardan melawan Tim Tumasik dengan hasil akhir dimenangkan oleh Tim Simardan. Dalam pertandingan itu tampak Simardan bermain sepenuh hati. Mengeluarkan segenap kemampuannya untuk segera memenangkan pertandingan.


Simardan yang sedari dahulu memang handal dan jagoan dalam permainan itu dengan mudah dapat mengalahkan Tim Tumasik tanpa banyak kehilangan angka.
Kemudian selanjutnya pada pertandingan kedua dimana Tim Simardan berhadapan dengan Tim Aceh. Pertandingan berlangsung sengit dengan perbedaan angka yg sangat tipis. Tanpa diketahui penonton tampaknya Simardan memang sengaja melepaskan kemenangannya kali itu.


Simardan seolah olah terlihat kepayahan. Ia seakan akan terlihat sangat lelah sudah kehabisan nafas akibat tadinya baru saja selesai bertanding dengan Tim Tumasik.
Pada  pertandingan kedua itu hasil angka atau skor antara kedua tim yg berhadapan terlihat susul menyusul. Mereka saling kejar kejaran angka. Pertandinganpun berlangsung dengan waktu yg cukup lama serta melelahkan.
Rupanya tak seorangpun tahu kalau itu adalah siasat dari strategi Simardan.  Ia ingin menutupi kesan pemikiran Raja Aceh bahwa sebenarnya ia lebih memilih puteri Tumasik daripada keluarga Kerajaan Samudera Pasai.


Akhirnya setelah Simardan melihat Tim Aceh sudah tampak kepayahan sekali dan memastikan mereka sudah kehabisan nafas serta stamina. Disitulah waktunya Simardan melepas angka yg memberikan kemenangan kepada pihak Tim Aceh.
Tibalah pada puncak pertandingan yang akan menentukan siapa juara pertandingan segitiga ini. Bila Tim Aceh dapat mengalahkan Tim Tumasik maka Tim Aceh lah yg akan keluar sebagai juaranya.
Para penonton semakin bersemangat untuk menyaksikan pertandingan itu termasuk pula Simardan. Didalam lubuk hatinya sesungguhnya ia sangat mengharapkan bila Tim Tumasiklah yg akan keluar sebagai pemenang. Bila itu terjadi akan membuat keadaan menjadi berimbang. Ketiga tim sama sama sekali menang dan sekali kalah. Kedudukan kembali berimbang diantara tiga tim itu. Sehingga pertandingan segitiga itu akhirnya tanpa pemenang.
Benar saja dugaan Simardan. Tim Tumasik yang masih segar serta mendapat dukungan pula dari sebagian besar penonton. Pendukung tuan rumah sedari mula pertandingan tak henti hentinya bersorak sorai memberikan semangat mendukung Tim Tumasik.
Akhirnya Tim Tumasik dapat mengalahkan Tim Aceh yg sudah kepayahan akibat dipermainkan Simardan sebelumnya. Pada pertandingan sebelumnya Simardan tadi memang dengan sengaja mengulur ulur angka untuk mengkuras tenaga Tim Aceh. Walaupun juga pada akhirnya dia sengaja mengalahkan timnya. Ia mengatur strategi sedemikian itu maksudnya agar tim Aceh nantinya tidak akan keluar sebagai juara. Mereka tidak juara bukan karena dikalahkan timnya melainkan oleh tim Tumasik.
Sampai pertandingan ketiga ini belum juga ada didapat siapa juaranya. Skor sekarang menjadi sama bagi ketiga tim. Sama sama mengalami sekali menang dan sekali kalah.
Pada pertandingan itu kedua tim tidak menurunkan rajanya masing masing. Mereka takut akan kalah. Oleh karenanya tim mereka diperkuat dari orang-orang pilihan yg sangat mahir bermain sepak raga. Raja Aceh dan Raja Tumasik hanya sebagai kapten tak bermain yg memimpin dan mengatur timnya dari luar lapangan.
Strategi Simardan mengulur ulur waktu dan angka untuk menghabiskan tenaga Tim Aceh akhirnya berjalan mulus. Walaupun pada akhirnya dia dengan sengaja mengalahkan timnya tapi tim Aceh tidak keluar sebagai juara. Bukan karena dikalahkannya melainkan karena dikalahkan oleh tim Tumasik. Itulah strateginya dalam menjaga marwah kedua orang yg diseganinya itu.
Selanjutnya untuk menentukan siapa yg menjadi pemenang diambil sebuah keputusan bersama mempertemukan dua tim dengan cara mengundi. Kedua tim yg akan berjumpa di partai puncak dengan diundi ini untuk menentukan siapa juara pertandingan segitiga itu yg akan berhak menentukan jodoh atas diri Simardan sesuai perjanjian semula.
Sebelum pengundian Simardan berharap semoga yg berjumpa adalah Tim Tumasik berhadapan dengan Tim Aceh kembali. Ia merasa yakin Tim Tumasik akan mengalahkan kembali Tim Aceh yg sudah habis.
Diluar harapan Simardan akhirnya terundilah dua tim yang akan berjumpa di pertandingan penentuan. Mempertemukan antara Tim Simardan melawan Tim Aceh.
Rupanya tanpa sepengetahuan Simardan, sedari tadi di belakang sana Puteri Raja Tumasik turut juga menonton. Dengan dipayungi dayang dayang sang puteri menonton pertandingan dari kejauhan. Ia juga dikawal beberapa pengawal istana.


Setelah tahu bahwa Tim Simardan akan menghadapi Tim Aceh bukan Tim Tumasik, diapun datang kepada ayahanda memohon izin kiranya dapat menyaksikan lebih dekat.
Dengan berat hati sang ayahanda menyetujui juga. Walau ia kuatir puterinya nanti tak kuat mental bila tim Simardan mengalami kekalahan.
Diam diam ayahanda sang puteri berdoa semoga Simardan dapatlah bermain dengan sungguh-sungguh, sama seperti ketika Simardan mengalahkan timnya di pertandingan pertama tadi pagi.  


Dua Tim hasil undian yg akan saling berhadapan di partai puncak telah berkumpul di lapangan. Masing masing tim membentuk lingkaran. Disitu mereka diberikan arahan oleh kaptennya, masing masing saling mengatur strategi.
Simardan selaku kapten mengarahkan pada dua anggota timnya untuk
bermain bertahan saja. Tak perlu menyerang. Hanya melayani lawan sampai terkuras habis tenaganya.
Dipihak lain Tim Aceh yang dipimpin seorang panglima kerajaan menginstruksikan pada timnya agar bermain penuh konsentrasi menyerang sedari awal tanpa memberi peluang sedikitpun bagi lawan untuk menyerang balik. Menghindari sedapat mungkin bola jatuh ke Simardan. Baik di kaki, kepala ataupun badannya. Dia harus dijaga dan jangan diberi kesempatan untuk mengendalikan permainan.
Sementara itu di salah satu sisi lapangan pertandingan sang Puteri Tumasik dengan restu ayahanda sudah dapat duduk di sebelahnya. Ia dibolehkan duduk disitu setelah dapat meyakin sang ayah bahwa ia akan tetap tegar apapun hasil pertandingan nantinya. Setelah yakin barulah sang raja mengizinkan puteri tercintanya menonton lebih dekat lagi ke sisi lapangan bermain.
Di depan tempat duduk puteri dan raja sengaja dikosongkan dari halangan apapun agar mata mereka bebas menyaksikan permainan. Sementara itu dayang-dayang masih tetap setia memayungi sambil mengipasi sang puteri.
Sepasang bola mata jeli sang Puteri yg hitam indah berbinar sedari tadi tak lepas lepasnya memperhatikan setiap gerak laku Simardan. Sesekali sudut matanya mencuri pandang pada gestur tubuh Raja Aceh di seberang lapangan yg kelihatan sudah tak tenang.
Hati sang Puteri sudah tak sabar menunggu pertandingan dimulai. Duduknya pun tak bisa tenang di sebelah ayahnya yang juga mulai gelisah. Mulutnya terlihat komat-kamit seperti berdoa. Disapu-sapunya pundak anaknya supaya bersikap tenang dan tetap tegar.


Sang Puteri lalu menyandarkan kepalanya dibahu ayahnya seakan meminta dilindungi dan diberi kekuatan.
Terlihat kedua tim sudah mulai memasuki lapangan. Di lapangan anggota tim Aceh masing-masing menadahkan kedua tapak tangannya. Mereka berdoa menurut adab Islam, menunjukkan mereka semua sudah Muslim.
Sementara itu Simardan terlihat duduk di tanah tidak bersila kaki menghadap ke Selatan ke arah kampungnya, sambil berujar dalam hati meminta restu pada ibunya yg jauh disana untuk memberinya kekuatan. Seperti kebiasaan yang dilakukannya selama ini bila memulai sesuatu tugas berat ataupun sedang menghadapi sebuah ujian.
Tibalah waktunya, permainanpun sudah dimulai. Tim Aceh terus menerus menggempur menekan Tim Simardan tanpa memberi kesempatan untuk membalas berupa pukulan pukulan bola keras dan penempatan bola di luar Simardan.
Saat bola raga dari anyaman rotan itu berada pada pihak Simardan maka mereka berlama-lama memainkannya mengulur ulur waktu. Dimasa mereka itu belum ada peraturan permainan sepak takraw seperti sekarang yg hanya boleh memainkan maksimal tiga kali sentuhan bola pada satu tim saat bola berada di zona lapangan mereka.


Saat bola lagi dikuasai Simardan, disitu iapun mengeluarkan semua keahlian dan kemampuannya dalam mengolah bola. Seni dan kemampuan bermainnya memang berada jauh di atas yang lain. Bila bermain ia tampak seakan menari-nari kala menyeimbangkan bola di sekujur tubuhnya yg atletis itu.
Kadang bola itu dipermainkannya di kaki, lalu ke dada, lalu ke kepala, kembali ke paha bahkan bola sampai pada pundak dan tengkuknya.
Bola itu seakan mudah dijinakkan dan dikendalikannya. Setelah berlama lama mempermainkan bola itu lalu diseberangkannya tanpa niat mengambil poin.
Bila bola mati di pihak lawan, maka setelah diseberangkan bola pun akan mati pula di pihak Simardan. Bila bola mati di pihak Simardan, maka Simardan akan mematikan bola lawan dengan pukulan kerasnya yang amat kuat. Pukulan yg tak akan pernah bisa dikembalikan oleh lawan manapun.
Namun anehnya sejak pertandingan dimulai poin belum satupun ada di kedua belah pihak. Sampai-sampai Tim Aceh sering meminta waktu kepada juri untuk diberi jeda minum. Mereka semua terlihat sudah kepayahan sekali.
Sang Puteri tampak gelisah duduknya. Sesekali ia bangkit dari tempat duduk, matanya yg indah mulai terlihat berkaca-kaca. Ia menyembunyikannya di balik tengkuk ayahnya yang juga tampak gelisah.
Di seberang lapangan Raja Aceh diam diam memperhatikan semua itu. Lain pula halnya Simardan, sejak awal ia memang menghindari untuk beradu pandang dengan sang Puteri.
Mataharipun mulai meninggi hampir tepat di atas ubun ubun. Para juri yg berjumlah tiga orang itu, satu orang di tengah berdiri di atas sebuah bangku di belakang tiang jaring dan dua lagi masing masing satu berdiri di belakang lapangan tim yang sedang berlaga. Ketiga juri saling berpandangan seolah olah memberi isyarat bahwa pertandingan sudah dapat dihentikan sejenak guna memberikan waktu istirahat makan siang serta keperluan lainnya bagi pemain dan segenap penonton.
Akhirnya merekapun mendatangi pihak pelaksana pertandingan untuk merundingkannya. Setelah berunding dan mendapat persetujuan dari Raja Tumasik dan Raja Aceh selaku kapten tak bermain, maka pertandingan itu dihentikan sementara. Dengan kesepakatan bersama akan dilanjutkan kembali setelah air laut mulai naik pasang di hari itu yaitu sore hari.  
Akhirnya dengan kesepakatan bersama pertandingan dihentikan sementara untuk memberikan waktu istirahat bagi kedua tim yg sudah kelelahan serta para pendukung juga penonton yg menyaksikan pertandingan itu.
Kedua tim bersama para pendukungnya dan semua penonton sudah kembali ke kapalnya masing masing untuk beristirahat makan siang serta urusan lainnya. 
Tak lama setelah Raja Aceh mengirimkan utusan untuk menyampaikan pesannya pada Simardan. Simardan diundang raja segera datang seorang diri ke kapal mereka tanpa diperkenankan membawa pendamping sama sekali. Mereka minta pada Simardan hal itu jangan sampai bocor. Jangan sampai diketahui pihak pihak di luar mereka siapapun tanpa terkecuali. Utusan itu menyampaikan bahwa ini adalah pesan rahasia dari Raja Aceh langsung.
Tanpa ada yg mengetahui saat itu Simardan dibawa beberapa prajurit raja dengan menggunakan sekoci menuju kapal Raja Aceh yang sedang berlabuh agak jauh dari pantai pulau Batu Ampar.


Di kapal Aceh itu Simardan sudah ditunggu oleh sang Raja. Dia sudah menunggu dihadapan sebuah meja yang di atasnya telah terhidang berbagai makanan dan minuman untuk santap siang. Lengkap juga disitu dengan aneka buah segar.


Sebelum duduk Simardan diminta sang raja untuk mandi dan membersihkan diri dahulu. Lalu Simardan diantar seorang pelayan.
Setelah mandi dan bersalin kemudian Simardan kembali menghadap ke meja sang raja. Dengan tawaran sang raja lalu mereka berdua makan bersama disitu.
Sambil makan minum dalam suasana santai mereka mengobrol-ngobrol ringan dan bercengkrama saja.
Suasana sangat cair dan rileks. Kemudian sang Raja Aceh menepuk nepuk pelan tangan Simardan di hadapannya yg ketika itu akan mengambil sesuatu cemilan di atas meja. Tanpa diduga sang Raja seketika mengucapkan selamat pada Simardan. Dia menyatakan telah merestui Simardan memilih jodohnya yang lain.
 
Iapun mengungkapkan bahwa pada pertandingan tadi sebenarnya Simardan dapat saja memenangkannya lebih awal bila mau. Ia tahu Simardan tak mau menang, tapi juga tak mau kalah. Sang raja berterus terang mengakui bahwa timnya tadi sebenarnya sudah kalah. Walaupun dalam pertandingan itu belum ada kalah menang di lapangan.
Rupanya tadi secara mencuri curi pandang ia memperhatikan puteri Tumasik dari seberang lapangan. Sempat ia melihat ada tetesan air mata di sudut matanya yg bening.


Menunjukkan betapa besar dan tulusnya perhatian Puteri Tumasik pada Simardan. Itu semua terpancar dari sikap dan gerak lakunya saat menyaksikan pertandingan itu. Walaupun sang Puteri menyembunyikan tangisnya di belakang pundak sang ayah. Ketika itu ia terlihat seakan sudah tak sanggup lagu untuk menyaksikan pertandingan.
Sesudah ini nanti malam sang Raja Aceh meminta Simardan untuk datang lagi ke kapalnya. Ada hal penting yang ingin disampaikan padanya secara langsung. Sekarang Simardan dimintanya segera bergegas agar jangan terlambat tiba di lapangan.  


Para penonton sudah tak sabaran. Mereka mulai berdatangan memenuhi arena sekeliling lapangan di belakang barisan tempat duduk tamu tamu kehormatan.
Raja Tumasik didampingi beberapa pengawal sudah duduk di bangku khusus. Akan tetapi satu bangku disebelah kirinya itu masih kosong. Tak tampak tuan puteri disana.


Ternyata sang Puteri Tumasik tak ikut serta menyaksikan kelanjutan pertandingan itu. Ia sedari tadi mengurung diri di kamar di kapal ayahnya. Disitu ia menangis seorang diri sambil berdoa memohon kiranya tim Simardan diberikanNYA kemenangan.


Sang Puteri sudah tak sanggup lagi untuk menonton babak akhir pertandingan. Ia malu pada sang ayah yg tak mampu tegar sampai akhir sesuai janjinya semula.
Sementara itu di seberang lapangan tampak bangku Raja Aceh masih kosong. Timnya juga belum kelihatan hadir di lapangan. Sementara itu Simardan dan timnya sudah bersiap-siap di pinggir lapangan.
Simardan terlihat tenang tak ingin menunjukkan sesuatu yg sudah diketahuinya. Sesekali ia mencuri pandang ke bangku Raja Tumasik, dilihatnya disana bangku sang Puteri masih kosong. Sampai sekarang ia belum juga hadir.
Lalu diarahkannya pandangan ke bangku Raja Aceh, disana juga masih juga kosong. Dia bertanya tanya dalam hati ada apa gerangan. Simardan mengkuatirkan jangan-jangan Raja Aceh sekarang telah berubah fikiran.
Para juri masih menunggu kehadiran tim Aceh. Raja Tumasik yang sudah terduduk menunggu sedari tadi dipayungi pengawal kelihatan tak tenang, duduknya gelisah.
Setelah beberapa waktu tampaklah dari kejauhan  di pantai sana sebuah sekoci mulai merapat ke pantai. Kemudian tampak Raja Aceh dengan diiringi beberapa orang pengawal turun dengan gagahnya dari sekoci itu lalu berjalan menuju arena lapangan. Tapi tak kelihatan timnya turut disana.
Kemudian dia berjalan menghampiri tim juri. Sebelumnya ia memohon izin pada Raja Tumasik untuk dapat menyampaikan sesuatu dihadapan semua pihak serta para tetamu sebagai penonton yang kelihatan sudah  tak sabaran ingin menyaksikan kelanjutan pertandingan. Mereka semua ingin tahu hasil akhirnya nanti.
Dengan membalas penghormatan kemudian Raja Tumasik memperkenankan sahabatnya Raja Aceh untuk berbicara. Di pinggir lapangan tampak Simardan bersama timnya sudah bersiap siap untuk memulai pertandingan. Di pojok lapangan Simardan berdiri terpaku sambil menunggu Raja Aceh menyampaikan suatu maklumat.
Raja Aceh pun memulai penyampaiannya dengan terlebih dahulu menghaturkan permintaan maaf kepada Raja Tumasik beserta rombongan. Juga kepada para juri, para tetamu undangan, para penonton yang berhadir serta Tim Simardan beserta rombongan yg sudah rela menunggu.
Dengan berat hati ia menyatakan bahwa timnya tidak dapat melanjutkan pertandingan karena salah seorang diantara tiga pemainnya mengalami cedera, saat ini sedang dalam perawatan di kapal. Sesuai dengan peraturan pertandingan sebelumnya telah ditentukan dan disetujui bersama bahwa tidak ada penggantian pemain selama pertandingan.
Oleh karena itu ia atas nama tim menyatakan menyerah pada Tim Simardan. Maka pada pertandingan itu Tim Simardanlah sebagai pemenangnya.
Tanpa menunggu keputusan dari pihak mana ia telah merestui Simardan menjadi pendamping hidup Puteri Raja Tumasik. Dia selaku Raja Aceh sejak saat itu sampai selanjutnya nanti berjanji senantiasa akan berada bersama mereka baik kala suka maupun duka.
Melalui kesempatan itu Raja Aceh secara tidak resmi menyatakan pada khalayak bahwa Simardan adalah bagian dari keluarga Kerajaan Samudera Pasai dan nanti akan diberi gelar Teuku sebagai suatu gelar keluarga bangsawan di negerinya.
Akhirnya membahanalah sorak sorai  dan tepuk tangan para penonton yang hadir disitu riuh rendah. Mereka semua mengucapkan selamat pada Simardan serta paduka Raja Tumasik.
Simardan lalu menghampiri Raja Aceh yang sudah berdiri berdampingan yg tadi didekati Raja Tumasik di sebelahnya. Simardan kemudian membungkukkan badannya sebagai tanda penghormatan lalu menyalami keduanya. Saat itu Simardan lalu dipeluk mereka bergantian tanda telah mendapat restu dari mereka berdua.


Kemudian Raja Acehpun memberikan ucapan selamat kepada Raja Tumasik. Disitu dia mengundang sang Raja Tumasik sahabatnya sekaligus calon besannya bersama sang Puteri untuk kiranya berkenan hadir nanti malam dalam acara jamuan makan malam bersama di kapalnya.

Sementara itu di istana Tumasik malam itu sedang berlangsung acara penutupan dan jamuan makan malam. Acara jamuan makan malam sekaligus penutupan dan perpisahan dengan para tetamu memenuhi aula istana sampai memakai tempat ke taman-taman sekeliling istana. Besok pagi  sebagian besar para tetamu kerajaan akan meninggalkan Tumasik kembali ke negerinya masing-masing.

Pada jamuan malam itu pada para tetamu undangan disuguhkan aneka ragam makanan serta minuman yang lezat cita rasanya. Diiringi pula dengan hiburan dendangan lagu dan tarian dari berbagai negeri. Panggung berlatar belakang dekorasi yg indah dan megah.

Pada pembukaannya acara jamuan makan malam itu dibuka langsung oleh Raja Tumasik. Namun setelah jamuan malam itu berjalan digantikan oleh Menteri Utama Kerajaan Tumasik.

Rupanya tanpa disadari para tetamu undangan yg berhadir, diam diam Raja Tumasik bersama sang Puteri sudah lebih dahulu meninggalkan istana. Mereka berdua diiringi beberapa pengawal sedang menuju dermaga. Mereka sedari tadi sudah ditunggu utusan Raja Aceh sebagai penjemput. Mereka berdua sedang ditunggu Raja Aceh di atas kapalnya.

Malam itu juga secara terpisah dengan acara di istana Tumasik, Raja Aceh  mengundang Raja Tumasik dan tuan Puteri makan malam bersama di kapalnya. Dalam acara yg bertajuk temu ramah dan makan malam bersama merajut tali asih dan kekeluargaan.

Rupanya di istana tadi sang Puteri sedari sore telah mempersiapkan diri dengan berhias dan memakai pakaian kesenangannya. Dengan memakai tenaga perias istana dia berias diri. Terlihat sang Puteri semakin cantik sungguh demikian anggunnya. Semua perlengkapan diri yg dikenakannya malam itu mulai sepatu, gaun, mahkota bahkan wewangian (parfum) adalah miliknya yg terbaik. Wajah rupawannya semakin memancarkan aura seorang puteri yg anggun. Dagu bagai lebah bergantung, badannya tinggi semampai, kulitnya halus putih, sangat serasi pula berbalut gaun putih indah. Matanya yg hitam berbinar-binar  seakan bercahaya dihiasi bulu mata yg lentik. Alis mata bagai semut bersusun berpadu pula dengan hidungnya yg bangir mancung, sungguh sangat serasi. Bibir halusnya terlihat seakan basah merona, bila tersenyum mekar memerah delima. Rambutnya hitam berkilauan bak mayang mekar, jatuh bergerai rapi dipinggulnya yang langsing. Keningnya yg halus putih berkurung mahkota intan berlian, dipadu pula dengan kalung bertatakan mutiara berliontin safir mengelilingi lehernya yang halus jenjang dan putih mulus. Menjadikannya malam itu ia bak Puteri 1001 Malam. Sang Puteri tampak semakin anggun, mempesona siapapun yg memandangnya.

Ternyata di atas kapal sudah menunggu Raja Aceh bersama Simardan yang telah tiba lebih dahulu tadi. Tak mau kalah rupanya Simardan malam itu juga terlihat sangat gagah. Ia bagaikan arjuna dengan wajahnya yang tampan gagah perkasa. Badannya tinggi kekar berotot. Walau dibalut pakaian sederhana dengan kesan seadanya. Namun terasa semakin menunjukkan kejantanannya. Belahan baju bagian dada dibiarkan sedikit terbuka memperlihatkan dadanya yang bidang. Aksesoris kalung dan gelang dari kulit hewan dengan pernak pernik dari batu akik menghiasi leher dan tangannya. Ikat kepala etnik membalut indah rambutnya yang hitam bergelombang sebahu. Kebersahajaannya semakin bagus saja dipandang karena menambah kegagahannya. Pedang kecil terselip dipinggang membuatnya tampak semakin berwibawa.

Raja Tumasik dan sang Puteri pun tiba dengan diiringi para pengawal penjemput. Mereka disambut Raja Aceh dengan penuh penghormatan di atas kapal. Lalu dibalas  Raja Tumasik dengan memberikan salam kembali. Kemudian di belakangnya diikuti oleh sang Puteri sambil mencium tangan sang Raja Aceh. Lalu kemudian ia hendak bersujud menyungkur mencium kaki sang Raja Aceh. Namun cepat dicegah sang Raja Aceh, dia dengan sigap menahan bahu sang Puteri untuk tidak perlu melakukanitu.

Kemudian mereka berdua dibawa Raja Aceh menuju ruang tempat dilangsungkannya acara makan bersama. Ia mempersilakan Raja Tumasik dan Puteri mengambil tempat duduk yg berhadapan dengan Simardan yang menempati empat duduk disebelahnya.

Beberapa pelayan sibuk keluar masuk membawa lalu menghidangkan berbagai menu santap malam di atas meja besar itu. Piring gelas dari kristal buatan Eropa tersusun rapi di atasnya. Sebuah jamuan istimewa pada undangan kehormatan raja di kapal Aceh itu. Setelah semua terhidang, Raja Aceh mempersilahkan para tamu istimewanya untuk mencicipi makanan yg telah terhidang dengan sepuasnya.

Sambil menikmati makanan yg lezat lezat itu, sesekali Simardan mencuri curi pandang pada sang Puteri yg duduk di seberangnya. Sering mata mereka beradu pandang, membuat keduanya menjadi salah tingkah dan akhirnya senyum senyum sendiri. Sang Puteri tersenyum malu malu lalu menundukkan mukanya kala keduanya tak sengaja meraih makanan yang sama. Sang Puteri menarik kembali tangannya. Raja Aceh dan Raja Tumasik saling mengobrol ringan seolah-olah tak melihat tingkah dua sejoli itu. Mereka terus bersenda gurau.

Selepas santap malam sembari menikmati hidangan cuci mulut lengkap dengan aneka buah serta makanan ringan dan minuman segar. Raja Aceh pun mulai masuk pada pembicaraan serius. Disampaikannya adapun maksud mengundang mereka bertiga malam ini disamping sebagai salam perpisahan karena besok pagi rombongannya akan bertolak kembali ke Samudera Pasai. Akan tetapi sebelum ia melanjutkan ke pembicaraan lainnya. Ia bertanya terlebih dahulu pada Simardan, apakah dia bersedia masuk ke dalam agama Islam seperti mereka. Karena selama ini mereka tahu bahwa Simardan belum beragama, ia seorang animisme. Rupanya tanpa menunggu lama Simardan pun menyatakan dirinya bersedia masuk Islam.

Setelah itu iapun diajari seorang penasehat Raja Aceh mengucapkan lafaz bersahadat di kapal itu. Malam itu dihadapan ayah angkat, calon mertua dan calon istrinya Simardan pun bersyahadat. Ia dengan lancar mengucapkan dua kalimah syahadat. Sejak saat itu iapun resmi masuk ke dalam Agama Islam.

Malam itu oleh Raja Aceh nama Simardan diganti menjadi Aziz Abhar Bahri, yg bermakna Terkuat dan Berseri di Lautan. Sang ayah angkat juga menyampaikan hal-hal penting lainnya sebagai amanah pada Simardan menyangkut hubungan antar negeri sekawasan dan hal hal bagi pengamanan jalur pelayaran Selat Malaka.

Diringkaskan saja. Ada beberapa hal yang disampaikan Raja Aceh kepada anak angkatnya Simardan yang telah bersahadat masuk Islam diberi nama menjadi Aziz Abhar Bahri dan diberi jabatan Pembantu Panglima Laut Samudera Pasai Pemangku Kuasa Selat Besar. 

Prosesi acara dadakan itu berlangsung secara sederhana dan bersahaja saja tanpa persiapan resmi. Lalu kepada Simardan diserahkan sebilah rencong oleh Panglima Perang kerajaan. Acara penabalan itu hanya disaksikan oleh Raja Aceh bersama Panglima Perang dan beberapa penasihat yg ada di kapal itu dalam rombongannya. Juga disaksikan pihak calon besan sang Raja Tumasik bersama puterinya.


Hal hal penting yg disampaikan pada Simardan, diantaranya adalah  :
Raja Aceh nanti akan  mengirimkan kepada anak angkatnya Aziz Abhar Bahri seorang guru spiritual dari negeri Aceh untuk mengajarinya tentang Agama Islam, hukum-hukum, tata cara ibadah, membaca Al Qur'an, mempelajari Hadits-Hadits Rasul dan tulis baca dalam huruf jawi yaitu bahasa Melayu dalam tulisan Arab. Juga hal hal lain menyangkut hidup dan kehidupan dalam Islam. Guru spiritual itu adalah seorang ulama Aceh yg lama menimba ilmu di tanah suci.

Ia juga berjanji akan  mengirimkan seorang penasehat yg ahli strategi peperangan dan ahli pula dalam bidang hubungan antar negeri. Dia nanti menjadi sebagai penasehat pribadi Aziz Abhar Bahri sebagai pemangku kuasa Selat Besar sebagai perwakilan sebuah kerajaan besar dimasa itu.

Sementara itu dalam pertemuan raja-raja dan para saudagar negeri negeri sekawasan Selat Malaka di negeri Tumasik kemarin telah melahirkan beberapa keputusan penting. Pembacaan keputusan itu disaksikan pula oleh beberapa negeri peninjau dari daratan Eropah dan Tiongkok.

Salah satu keputusan hasil pertemuan itu yang dibacakan Raja Tumasik pada penutupan acara sebagai kesepakatan bersama adalah secara resmi memberikan nama atas Selat Besar itu menjadi Selat Malaka.

Raja Aceh dan Raja Tumasik selanjutnya melanjutkan pembicaraan tertutup membahas alotnya pada sesi perumusan keputusan dalam pertemuan raja raja di Tumasik kemarin itu. Dalam pengambilan keputusan tentang penamaan Selat Besar untuk disetujui menjadibSelat Malaka awalnya adalah atas usulan dari pihak Kerajaan Malaka. 

Sebagai pertimbangan awal bagi tim perumus, pihak Kerajaan Malaka menyampaikan bahwa sejak dahulu, jauh sebelum besarnya Kerajaan Samudera Pasai yg terletak di ujung Barat selat besar itu dan ketika masa masih jayanya lagi Kerajaan Sriwijaya di ujung Timur selat, Kerajaan Malaka telah mengenalkan nama Selat Malaka pada banyak negeri. Apakah itu negeri negeri sekawasan maupun negeri negeri di seantero Nusantara meliputi negeri Champa, Mindanao, Borneo dan lainnya. Bahkan sampai dikenal berbagai belahan dunia. Bahwa sejak dimasa itu  Kerajaan Malaka telah banyak mempunyai peranan dalam urusan menjaga dan mengamankan Selat Besar. Terutama dari ancaman gangguan para perompak liar. Bila usulan mereka berterima semua pihak, maka pengamanan terhadap selat itu seterusnya akan menjadi tanggung jawab mereka sepenuhnya.

Pada pertemuan itu Raja Aceh dapat menerima usulan Raja Malaka untuk penamaan selat itu, tetapi dalam hal urusan pengamanannya ia minta adalah menjadi urusan yg di bawah pengawasan dan kendali Kerajaan Samudera Pasai. Untuk biaya operasionalnya akan ditanggung renteng  secara bersama sama negeri sekawasan.

Para Raja-Raja di sepanjang pesisir Timur pulau Andalas maupun di pesisir Barat Tanah Semenanjung wajib memberikan upeti untuk pembiayaan pengamanan itu.

Dengan landasan berkeadilan oleh karenanya pihak Kerajaan Malaka dikenakan kewajiban membayar upeti lebih besar. Karena diterimanya usulan mereka atas penamaan selat itu.

Dalam pertemuan itu saran pendapat dari Raja Aceh ini ditolak oleh Kerajaan Siak sebagai negeri sahabat Kerajaan Malaka setelah melakukan pembicaraan dengan utusan dari British Raya Inggris. Memang dua kerajaan ini sejak lama telah bersahabat dan menjalin hubungan dengan Kerajaan Britis Raya. Mereka menolak, berkeberatan atas besarnya upeti yg akan diberikan oleh Kerajaan Malaka nantinya.

Juga dalam pertemuan itu pihak Kerajaan Tumasik bersama sahabatnya utusan dari Negeri Tiongkok sebagai peninjau menengahi. Setelah rapat berjalan alot akhirnya semua pihak dapat menerima dan bersepakat atas usulan Kerajaan Samudera Pasai. Maka sejak pertemuan di Kerajaan Tumasik itu resmilah selat itu bernama Selat Malaka.

Raja Aceh dalam pertemuan tertutup dengan Raja Tumasik di kapal itu sekali lagi mengingatkan untuk bersama sama mereka harus mewaspadai adanya kepentingan asing dari daratan Eropa dan Tiongkok atas kawasan itu. Ini terlihat dari campur tangannya mereka walaupun secara tak langsung dalam pengambilan keputusan negeri negeri Sekawasan.

Sebelum mengakhiri pertemuan malam itu, Raja berpesan pada A.A. Bahri alias Simardan selaku Pembantu Panglima Laut di kawasan itu agar tetap mewaspadai gelagat dari Kerajaan Malaka dan Kerajaan Siak yang diam diam telah membuka pintu bagi masuknya pengaruh Kerajaan British Raya Inggris. Begitu pula Tiongkok yg mencoba mempengaruhi negeri Tumasik.

Melalui negeri Malaka yg terletak di Tanah Semenanjung dan satu lagi negeri Siak yg berada di tanah Andalas dikuatirkan  dapat menjadi pintu masuk untuk menguasai kedua pulau besar itu. Untuk itu pada dua negeri ini perlu diberi perhatian lebih apalagi pengaruh mereka cukup besar pada negeri negeri kecil di wilayah kekuasaannya.

Lalu kepada Raja Tumasik selaku  calon besannya Raja Aceh berpesan untuk tetap menjaga ujung Selat Malaka pada sebelah Timur dengan baik. Mereka dari pihak Kerajaan Samudera Pasai bertanggung jawab pula akan menjaga ujung sebelah Barat Selat Malaka dari masuknya kepentingan luar yg dapat mengancam keberadaan negeri negeri kawasan Selat Malaka seluruhnya. Kedua pintu masuk selat ini akan menjadi kunci terhadap ancaman dan gangguan dari luar.

Dapat diketahui pula bahwa secara geografi Kerajaan Samudera Pasai Aceh adalah pintu masuk sebelah Barat Selat Malaka harus siap menghadapi ancaman dari negeri negeri daratan Eropa. Sementara itu Kerajaan Tumasik harus pula siaga menghadapi ancaman dari negeri negeri daratan Tiongkok. Walaupun sebenarnya kedua negeri mereka itu antara Tumasik dan Tiongkok bersahabat dan sudah pula menjalin hubungan kerjasama. Tapi bukan berarti tidak ada maksud maksud lain yg tersembunyi.

Dengan manggut manggut semua pesan dari calon besannya itu diaminkan oleh Raja Tumasik. Selanjutnya Raja Aceh menyatakan berjanji akan terus membantu Kerajaan Tumasik dengan segala kemampuannya. Hubungan persahabatan itu semakin terjalin nanti dengan adanya peran dari Aziz Abhar Bahri alias Simardan selaku pemangku kekuasaan wilayah Selat Malaka Pembantu Panglima Perang.


Pada kesempatan itu pula Raja Aceh berjanji akan hadir dalam pesta pernikahan Puteri Tumasik dengan anak angkatnya. Disitu nanti Raja Tumasik akan memberikan secara resmi gelar bangsawan kepada Simardan.

Untuk sementara saat ini secara tak resmi dia dengan disaksikan yang hadir memberikan gelar Hang pada Simardan. Gelar Hang biasanya melekat pada nama panggilan atau nama kecil. Nanti pada saatnya akan diberikan gelar bangsawan Tuanku dalam sebuah acara resmi kerajaan.

Sebenarnya gelar Teuku, Tengku dan Tuanku itu sama saja maknanya. Cuma karena penyebutan disebabkan perbedaan bahasa, dialek, dan kebiasaan dari sebuah negeri pengucapan gelar itu terdengar sedikit berbeda.

Awalnya gelar Tuanku berasal dari Kerajaan Melayu Tua Dharmasraya di Pagaruyung pulau Andalas (sekarang Sumatera Barat). Kemudian meluas sampai Kerajaan Malaka. Kemudian akhirnya berkembang sampai keseluruh negeri negeri Melayu di Tanah Semenanjung.

Gelar bangsawan ini dalam perkembangan selanjutnya disebabkan karena adanya hubungan antar kerajaan sampai pula ke negeri Aceh. Oleh sebab adanya perbedaan logat bahasa terjadi perubahan sedikit pada penginapannya menjadi Teuku. Sedangkan gelar bangsawan pada raja disebut Sultan berasal dari Bahasa Arab. Pada gilirannya gelar gelar bangsawan tersebut sampai pula ke negeri-negeri yg berada di bawah kekuasaan mereka yaitu kerajaan kerajaan kecil yg di bawah pengaruh dari Kerajaan Melayu Dharmasraya Pagaruyung, Kerajaan Malaka maupun Kerajaan Samudera Pasai. Negeri negeri ini terdapat di sepanjang pesisir Timur pulau Sumatera. Mulai dari Langkat, Aru, Deli, Serdang, Bedagai,  Batubara, Asahan, Labuhan Batu, Siak, Riau Daratan dan Kepri. Dimana tadinya gelar bangsawan Tuanku berubah ucapannya menjadi Tengku dan menjadi Teuku di Aceh.

Setelah Raja Aceh panjang lebar memberikan pandangannya lalu pada Aziz Abhar Bahri alias Simardan diminta oleh Raja Aceh untuk menyampaikan sepatah dua patah kata apa-apa yang ingin disampaikan apakah itu permintaan ataupun berupa pesan.

Simardan mengucapkan terimakasih atas waktu yg diberikan padanya juga atas jamuan dan pelayanan yg telah diterimanya. Lalu menyampaikan bahwasanya ia tak punya permintaan maupun pesan. Hanya bila diberikan izin ia ingin bercerita sedikit tentang masa lalunya agar mereka semua tahu siapa dirinya yg sebenarnya. Terutama pada calon istrinya agar tak timbul fitnah dan penyesalan di belakang hari. Dimana ia ingin membina rumah tangga mereka nantinya atas dasar cinta dan kasih sayang semata bukan karena maksud lain bukan karena kecantikan, harta, tahta serta nafsu duniawi yg membutakan hati.

Tersentuh mendengarnya tampak mata Raja Aceh mulai berkaca-kaca melihat kejujuran ketulusan hati anak angkatnya itu. Inilah salah satu yg sejak semula membuat ia tertarik dari sikap tingkah laku serta jiwa Simardan yg polos suka berterus terang seadanya disamping beretika menghormati orang lain. Walau begitu ia juga punya harga diri dan memegang prinsip. Karena itulah semula ia ingin menjodohkan Simardan dengan puteri salah satu saudara kandungnya.

Tapi sejak ia melihat ada benih-benih cinta yg suci murni yg demikian tulus diantara kedua sejoli itu, walau dengan berat hati iapun mengurungkan niatnya. Ia tak mau memaksakan kehendak secara sepihak takut muncul hal hal tak baik nantinya yg membuat penyesalan.

Sebagai penguasa kawasan Selat Malaka dimasa itu, dia sebenarnya sudah tahu kisah kelam masa lalu Simardan. Ia sudah tahu dari informasi yang diterima melalui kaki tangannya yang banyak tersebar mulai dari ujung Barat sampai ujung Timur di kawasan itu. Sumber informasinya itu dari kaki tangan andalan yg sudah teruji dalam menjaga keamanan kawasan Selat Malaka untuk melindungi keutuhan negeri negeri sekawasan terutama yg tunduk dalam pengaruhnya.

Dia sudah tahu bahwa Simardan dahulu adalah seorang anak remaja yg diculik sekawanan perompak. Gerombolan perompak yang sedang melarikan diri dari kejaran prajurit sang raja Aceh di Selat Malaka. Kawanan perompak itu setiba di daratan dalam berjuang untuk bertahan hidup akhirnya mencuri harta penduduk disana. Karena berbuat onar di Kampung Tanjung lalu dikejar penduduk disana. Merekapun lari bersembunyi dan akhirnya  selamat dari pencarian penduduk. Setelah berhasil melarikan diri lalu membangun kembali komplotannya. Setelah itu sepak terjang komplotan lanun ini malah semakin menjadi-jadi saja aksi kejahatannya. Hingga kemudian Simardan pun tumbuh dewasa.


Dibawah pimpinan Raja Rompak bersama Simardan, komplotan lanun Lancang Hitam semakin jaya. Bahkan dimasa itulah mereka mampu memiliki sebuah kapal layar berbadan besar. Kapal lanun yg terkenal dan sangat ditakuti di Selat Malaka.

Raja Acehpun tahu dimana pada suatu malam telah terjadi sebuah bencana besar di perairan Timur Selat Malaka. Pada malam bencana Selat Malaka itulah Simardan melarikan diri dari kapalnya. Saat dimana komplotan bajak laut itu sedang merencanakan memangsa kapal Sikantan. Mereka sudah mengintai berhari-hari kapal seorang saudagar muda kaya. Kapal itu akan berlayar ke negeri seberang di wilayah pesisir Timur pulau Andalas. Kapal itu akan menyeberangi Selat Malaka bertolak dari Malaka negeri asal istrinya yang sangat cantik puteri saudagar kaya disana menuju negeri Siak. Keluarga istana Siak dan banyak saudagar disana adalah sahabat sahabat ayah isterinya. Negeri Siak itulah tempat tujuan semula Sikantan berdagang. Ia membawa barang barang bagus dari negeri Malaka untuk didagangkan disana dengan kapal besarnya berkongsi dengan pihak mertua.

Pada malam bencana itu sebenarnya Sikantan sudah berhati hati akan keberadaan perompak Selat Malaka. Sang nakhoda telah diperingatkan oleh Sikantan agar waspada dan jangan sekali kali lengah.

Pada malam itu nakhoda kapal Sikantan dengan menggunakan teropong berlensa tunggalnya telah melihat samar samar di kejauhan ada bayangan hitam sebuah kapal. Sosok kapal yg dikenalinya sebagai kapal lanun "Lancang Hitam" yg sedang bergerak mengincar mangsa. Lalu nakhoda kapal Sikantan segera mengalih haluan untuk menghindari pemantauan dari kapal Simardan.



Tanpa memberi tahu pada Sikantan sang majikan kapal yg sedang berbulan madu di kamarnya, ia putarkan kapal masuk ke sebuah kuala sungai yg cukup besar (Sungai Barumun). Kapal Sikantan  itu terus dibawanya masuk menuju hulu. Hingga sampailah kapal Sikantan itu pada sebuah tikungan tanjung lalu bersembunyi disana di balik tanjung itu. Disitu rupanya tempat pertemuan dua buah sungai  (Sungai Barumun dan Sungai Bilah).

Sesudah merasa aman dari kejaran kapal lanun, lalu sang nakhodapun melabuhkan jangkar. Kapal Sikantan tanpa sepengetahuan sang nakhoda tepat berada di hadapan sebuah sungai kecil (Sungai Durhaka, sekarang disebut Sungai Merdeka Labuhan Bilik).

Setelah berlabuh disitu tiba tiba cuaca berubah menjadi buruk. Angin berembus sangat kencang membuat ombak menggila karena dihantam bertemunya dua aliran air sungai yg sedang meluap bagai air bah. Arus air bah yg terjadi tiba tiba itu akhirnya bertemu disitu menimbulkan gelombang besar dengan ombaknya yg amat dahsyat di kuala itu (sekarang Tanjung Lumba Lumba Lab. Batu).

Karena guncangan kapal yg sangat kuat, akhirnya sang majikan muda terjaga dari tidurnya. Dia baru saja terlelap setelah selesai naik ke bulan berbulan madu bersama istrinya yg cantik di kamar.

Nakhoda tidak menyadari bahwa sebenarnya di seberang kapal mereka yg sedang terombang ambing  itu adalah kampung kelahiran sang majikan. Selama ini sang majikan alias Sikantan telah merahasiakan semua itu kepada mereka begitu pula pada isteri dan pihak mertuanya. Sikantan malu diketahui orang akan asal usulnya. Ia kini telah kaya mendapatkan istri yg cantik dari keluarga yg sangat kaya pula. Sikantan tak mau kalau orang lain tahu tentang kampung asalnya. Ia takut nanti keluarga isteri akan tahu pula asal usulnya dari seorang ibu tua yg malang yg kini sedang sakit di gubuk tua karena merindukannya setiap hari. Dengan kuasa Tuhan mereka dipertemukan untuk terakhir kalinya dalam sebuah bencana.

Sang Raja Aceh tahu bahwa pada malam bencana Selat Malaka itu Lancang Hitam sedang mencoba mengejar kapal Sikantan tapi kehilangan jejak. Akhirnya muncullah badai besar itu. Lancang Hitam terombang ambing di tengah laut (di sekitar Tanjung Bangsi, Labuhan Batu). Tiang layar utama kapal lanun itu patah. Saat itu pulalah pemimpinnya sang Raja Perompak jatuh diceburkan Beng Dong Ghuong alias Badogol ke laut. Kemudian hilang ditelan badai. Tapi Raja Aceh tak tahu bahwa Raja Rompak saat itu masih hidup dan setelah selamat dari kejadian itu ia menjadi biksu di Timur (di Sinaboi, Riau).


Dari sumber informasinya Raja Acehpun tahu bahwa pada malam itu kapal Sikantan dalam persembunyiannya telah tenggelam (di tengah Sungai Barumun diantara daratan Labuhan Bilik dengan Tanjung Sarang Elang, Lab. Batu) karena dihantam angin kencang dengan ombak yg besar serta pusaran kuat dari bertemunya dua arus bah sungai disitu.

Raja Acehpun tahu jika Simardan yang melarikan diri dari kapalnya pada malam itu telah selamat dari bencana Selat Malaka dan setelah itu membuka negeri baru di pulau Bintan.

Akhirnya ia tahu bahwa anak muda ini pulalah yang telah berhasil menumpas habis  komplotan lanun Selat Malaka. Anak muda itulah yg sampai kini terus menjaga keamanan jalur pelayaran lalu lintas perdagangan yang melalui Selat Malaka.

Rupanya Raja Tumasik sang calon mertua Simardan sama juga halnya seperti Raja Aceh dalam menyikapi itu. Mereka berdua seakan terlihat seperti sudah janjian sebelumnya tiba tiba kompak menyatakan tak mau ambil pusing akan asal usul Simardan begitu pula dengan masa lalunya.

Dari pertemuan mereka di malam itu membuat hati sang calon mertua  semakin mantap. Setelah ia sekian lama mengikuti dan mengamati sepak terjang Simardan secara diam diam. Ia sudah mengamati akan karakter, sikap, prilaku serta kepribadian sang calon suami puterinya itu. Bahkan sejak Simardan membuka kerajaan dagangnya yg kini sudah maju jaya di pulau Bintan itu.

Hatinya kini telah mantap memilihkan jodoh untuk sang Puteri. Ia tak ambil pusing akan siapa ayah ibu Simardan serta darimana pula asal usulnya.  Dalam benaknya ia hanya berlogika sederhana saja takkan mungkin air jernih di hilir jika di hulunya keruh. Begitu pula sebaliknya. Itulah dasar pertimbangannya dalam menilai Simardan.

Kemudian karena kedua pihak baik ayah angkat maupun calon mertua sudah mengabaikan saja masa lalunya. Akhirnya Simardan hanya mengingatkan kembali pada sang ayah angkat sebagai satu satunya permintaan darinya. Ia memohon sudilah kiranya Raja Aceh sang ayah angkat dapat mewujudkan janjinya untuk membangun sekaligus melindungi negeri tempatnya dibesarkan. Negeri tempat ibundanya menutup mata bila kini ia sudah tiada. Bila memang ia masih hidup tentulah disana negeri tempat ia menjalani sisa sisa hidupnya.


Simardan memohon pada sang ayah angkat segeralah membentuk kerajaan kecil disana sebagai pusat pemerintahan yg dapat mengurusi dan melindungi penduduk disana. Lalu iapun memohon kiranya nanti raja disana adalah masih dari garis keturunan mereka sendiri.

Seiring perjalanan waktu rupanya permintaan Simardan ini belum bisa diwujudkan sang ayah angkat dimasanya. Tapi nanti ke suatu masa sesudah beberapa generasi selanjutnya setelah Simardan tiada. Di masa itu Kerajaan Aceh sudah dibawah kepemimpinan seorang Sultan bernama Teuku Iskandar Muda.


Dimasa kepemimpinan Iskandar Muda ini wilayah kekuasaan Kerajaan Aceh semakin besar dan amat berpengaruh di pulau Andalas. Walaupun pada masa itu kerajaan besar ini sudah menguasai hampir seluruh kerajaan kerajaan kecil di sepanjang pesisir Timur pulau Andalas, namun ancaman dari luar masih sangat besar. Terutama ancaman yg datangnya dari negeri seberang di Tanah Semenanjung. Kerajaan Aceh merasa terusik juga dengan adanya hubungan Kerajaan Malaka dengan Kerajaan Siak di pulau Andalas dengan menggunakan pengaruh dan kekuatan asing terutama dari Kerajaan British Raya.

Kedua kerajaan itu sering menjadi batu sandungan Kerajaan Aceh dalam menyatukan Andalas di bawah pengaruhnya untuk memajukan negeri negeri sekawasan. Kedua negeri yg saling bersahabat itu berlindung di balik kekuatan British Raya Inggris yg  pada masa itu kekuatan armada lautnya sangat ditakuti dunia.

Sementara itu dimasa yg sama sebagian negeri negeri dari daratan Eropa seperti Portugis, Spanyol, Belanda, Prancis, dan Yunani pelayar-pelayarnya sudah sampai ke negeri negeri di Nusantara belahan Timur seperti Papua, Ambon, Ternate, Tidore, Maluku, Sulawesi, Nusatenggara, dll mencari rempah rempah yg sangat diminati bangsa Eropa.

Begitu pula halnya dengan para pendatang dari daratan Tiongkok sudah pula mulai membanjiri kawasan Tengah dan Barat Nusantara seperti Tanah Semenanjung, Borneo, Andalas, Jawa dan Bali. Bahkan Kerajaan Tumasik sejak lama sudah menjalin hubungan baik dengan negeri negeri dari daratan Tiongkok itu.

Dalam situasi seperti itu Sultan Iskandar Muda perlu melakukan konsolidasi terhadap negeri-negeri yg dibawah pengaruh dan kekuasaannya. Untuk meningkatkan keutuhan maka banyaklah kerajaan kerajaan kecil yg dibawah kekuasaan Kerajaan Aceh dalam meneruskan sebagai pemangku kekuasaan harus seketurunan sehubungan darah yaitu melalui sebab perkawinan dengan Raja Aceh di masa itu. Konsep hubungan satu darah menjadi modelnya dalam meningkatkan konsolidasi.

Karena konsep hubungan kekeluargaan dan satu darah itulah maka tak heran para Sultan Kerajaan Aceh banyak menikahi para puteri raja di Kerajaan Kerajaan Pesisir Timur Andalas (Sumatera).

Begitu pula halnya dengan Kesultanan Asahan salah satu kerajaan baru dimasa itu. Kesultanan Asahan ini adalah sebuah kerajaan kecil di pesisir Timur Sumatera bentukan Sultan Iskandar Muda dengan menobatkan puteranya dari istrinya Puteri Ungu Selendang Bulan (Puteri Unai, seorang puteri raja dari Kerajaan Panai, Lab. Bilik).

Dahulunya sebelum dibentuk Kerajaan Aceh menjadi Kesultanan Asahan, daerah ini masih di bawah kekuasaan dan pengaruh sebuah kerajaan kecil di Bandar Pulo. Rajanya  berasal dari suku pendatang dari hulu Sungai Asahan yg membuka daerah baru disitu, yaitu  adik kandung ayah Simardan.

Oleh karena letak Kampung Tanjung agak jauh dari pusat kerajaan kecil Bandar Pulo, maka bandar ramai ini seakan akan negeri tak memiliki pemerintahan di masa itu. Padahal bandar ini pada masa itu sudah mulai ramai didatangi para pedagang maupun pendatang untuk mencari penghidupan baru disana.

Barulah dimasa kepemimpinan Sultan Teuku Iskandar Muda permintaan Simardan pada ayah angkatnya dahulu dapat dipenuhi penerusnya. Dengan raja pertamanya adalah Sultan Tengku Abdul Jalil Rahmadsyah yg dinobatkan langsung oleh sang ayah Sultan Teuku Iskandar Muda sang Raja Aceh dengan salah satu istrinya Siti Ungu Selendang Bulan puteri raja Panai (Labuhan Bilik).



Sementara itu Kerajaan Panai atau Kerajaan Air Merah. Kata Panai itu sendiri berasal dari bahasa Minang "Painai" (berinai). Air sungai di daerah kerajaan ini berwarna merah seperti berinai, karena sumber airnya di hulu berasal dari daratan hutan gambut. Maka Kerajaan Panai dikenal pula dengan Kerajaan Air Merah.

Bahasa minang banyak mempengaruhi bahasa setempat di Kerajaan Panai ini, seperti penyebutan ini dalam bahasa Minang disebut iko dan dalam bahasa Panai disebut ika. Tak heran karena asal usul kerajaan ini adalah dari Kerajaan Pagaruyung (nanti di sesi terakhir gerbang ini penulis akan menceritakan lebih lanjut).

Di Kesultanan Asahan ibu Sultan I Asahan sering dipanggil dengan Siti Unai, berasal dari kata Panai nama negeri asalnya. Kuburan Siti Unai sang ibu Sultan I Asahan sekarang masih dapat dilihat di Bandar Pulau.


Putera Siti Unai yaitu Sultan Tengku Abdul Jalil Rahmadsyah kemudian dinobatkan sebagai Sultan I Kesultanan Asahan. Dinobatkan langsung oleh suaminya sendiri Sultan T. Iskandar Muda sang Raja Aceh di masa itu. Raja Aceh datang bersama rombongan ke Kampung Tanjung berlayar dari Kerajaan Aceh dengan kapal besarnya menyusuri Selat Malaka lalu berlabuh di pertemuan Sungai Silau dengan Sungai Asahan.

Setelah putera mereka dinobatkan menjadi Sultan I Kesultanan Asahan mereka suami isteri berpisah. Ini memenuhi perjanjian dengan Bayak Lingga Karo Karo sebagai pemenang adu ayam. Adu ayam itu dilangsungkan sewaktu pertemuan rombongan putera putera Kerajaan Panai yg dipimpin Bayak Lingga Karo Karo "orang pintar" dari Kampung Tanjung, disamping itu ia juga pandai bahasa Aceh.

Rombongan itu menemui Raja Aceh di negeri Aceh untuk menjemput 2 Puteri Raja Panai yg sekian lama dibawa ke Aceh sebagai pemberian atas bantuan Raja Aceh mengatasi kudeta isteri siri raja di Kerajaan Panai. Rombongan itu akan menjemput Siti Ungu dan adiknya Siti Meja. Namun hanya Siti Ungu yg dikabulkan Raja Aceh untuk dibawa pulang apabila mereka menang adu ayam nanti.

Memenuhi janjinya Raja Aceh akhirnya menceraikan Siti Ungu secara baik baik. Kemudian Siti Ungu Selendang Bulan menikah lagi dengan Bayak Lingga Karo-Karo. Setelah menikah, Bayak Lingga Karo-Karo ini bernama Raja Bolon. Dari pernikahan mereka lahir puteranya yang bernama Abdul Karim. Putera mereka itu diberi gelar bangsawan Datuk Muda (Bangsawan Bahu Kanan). Sesuai perjanjian dengan Sultan T. Iskandar Muda gelar bangsawan Tengku pada Kesultanan Asahan hanya diberikan kepada keturunan dari anak laki laki garis langsung Sultan T. Iskandar Muda. Bila putera atau puteri dari seorang ibu bergelar bangsawan Tengku menikah dengan suaminya yg bukan bangsawan Tengku, maka anaknya itu tidak bergelar Tengku lagi tapi diberi gelar bangsawan Raja.

Dalam perjalanan waktu selanjutnya Bayak Lingga Karo-Karo sang Raja Bolon suami kedua Puteri Unai itu menikah lagi dengan puteri Raja Simargolang dari Kerajaan Bandar Pulo. Raja Simargolang di masa itu adalah keturunan dari beberapa generasi penerus paman Simardan. Dari pernikahan itu Raja Bolon alias Bayak Lingga Karo Karo memperoleh dua putra, masing-masing bernama Abdul Samad dan Abdul Kahar. Kedua putranya ini juga diberi gelar bangsawan Datuk Muda (Bangsawan Bahu Kiri).

Dalam penobatan Sultan I Asahan, Raja Aceh Sultan Teuku Iskandar Muda mengamanatkan dan menegaskan kembali bahwa hanya putera dari garis keturunan langsungnya sajalah yang berhak diangkat menjadi Sultan Asahan penerus kerajaan. Kepada para mereka garis keturunan langsungnya ini berhak mendapatkan gelar bangsawan Tengku.

Kita tinggalkan dahulu era Kesultanan Asahan. Mari kita lanjutkan kembali kisah di masa masa Simardan beberapa generasi sebelum berdirinya Kesultanan Asahan itu.

Malam itu dia atas kapal Raja Aceh. Setelah tak ada lagi yg hendak disampaikan Simardan maupun dari calon besannya Raja Tumasik. Raja Aceh kemudian memanggil para penasehatnya serta pelayan-pelayan yg membidangi keprotokolan raja untuk segera masuk ke ruangan mereka. Setelah semua berkumpul disitu lalu Raja Aceh menyampaikan maksudnya kepada mereka dan segera mempersiapkan segala sesuatu untuk pelaksanaan acara prosesi penobatan Simardan memangku amanah sebagai Panglima Muda Armada Laut Kerajaan Samudera Pasai untuk Kawasan Selat Malaka membantu tugas tugas Panglima Perang Kerajaan Samudera Pasai. Sekaligus penabalan nama Simardan menjadi Aziz Abhar Bahri. Acara penabalan nama dan gelar akan dilakukan mengikuti adat budaya Aceh dan akan di peusijuek.

Kemudian tampak salah seorang penasehat mendekati Raja Aceh. Suaranya pelan seperti menyampaikan sesuatu yg tak perlu diketahui orang lain.  Sesudah itu tampak Raja manggut manggut tanda memahami apa yg disampaikan penasehat.

Rupanya sang Penasehat memberikan pendapat pada sang raja agar meninjau kembali putusannya tentang pemberian gelar bangsawan Aceh. Dibenarkan bahwa dalam pemberian gelar kebangsawanan merupakan daulatnya sang raja, namun untuk gelar "Teuku" berdasarkan kesepakatan keluarga kerajaan turun temurun yg sejak dahulu haruslah kepada seorang putera yg sudah akil baligh berasal dari hubungan kekerabatan kandung yg sedarah.
Akan tetapi bila baginda raja ingin juga memberi gelar bangsawan pada seseorang putera dewasa bukan kerabat sedarah maka sebaiknya diberikan gelar Laksamana. Penasehat menyampaikan pandangannya itu bukan untuk maksud memaksa sang. Hanya bila raja berkenan dan boleh saja tidak mengikuti apa yg disampaikannya itu. Penuh kearifan dan kebijaksanaan seorang raja akhirnya Raja Aceh memaklumi dan menyetujui pendapat sang penasehat.


Sambil berjalan segala persiapan untuk sebuah acara sederhana prosesi penabalan sudah dikerjakan para pelayan. Kemudian Simardan dibawa masuk pada sebuah kamar di kapal itu untuk bersalin berganti pakaian. Tampaknya pakaian itu memang sudah ada di kapal itu sebagai pakaian kebesaran panglima Aceh.

Setelah itu Simardan di bawa ke sebuah ruangan yg agak luas. Di ruangan itu sudah  terhampar selembar permadani Turki yang di atasnya telah diberi dudukan bantal duduk dilengkapi dengan sandaran. Sekeliling tambak itu ditata sedemikian rupa bagai sebuah pelaminan untuk satu orang. Di depan pelaminan itu tersaji sebuah wadah berisi rupa-rupa untuk acara peusijuek (tepung tawar).

Kemudian Simardanpun didudukkan disana. Ia duduk bersila di atas bantal duduk yg dipersiapkan itu. Simardan tampak gagah berwibawa berbalut pakaian adat kebesaran Kerajaan Aceh.


Sebelum acara peusijuek dimulai, sang Raja Aceh memberikan sepatah dua kata sambutan sekaligus menyampaikan amanat sebagai tanda penabalan gelar kepada Simardan bergelar Laksamana Muda Aziz Abhar Bahri sebagai Panglima Muda   Selat Malaka Pembantu Panglima Perang Kerajaan Samudera Pasai.

Setelah prosesi penobatan jabatan dan gelar selesai dilanjutkan dengan acara penabalan nama Islami Simardan menjadi Panglima Muda Aziz Abhar Bahri. Ia dipeusijuek yg berhadir disitu. Dimulai dari Raja Aceh, lalu Raja Tumasik, kemudian para penasehat, seterusnya Panglima, dan diakhiri beberapa orang dekat sang Raja Aceh yg ada di kapal itu sebagai rombongan dari Aceh.

Semua telah memberikan selamat dan tepung tawar kecuali Puteri Tumasik. Ia tidak ikut diminta untuk memberikan peusijuek karena masih terhalang secara adat.

Mulai saat itu resmilah Simardan sebagai pemangku amanah  Laksamana Muda Selat Malaka Pembantu Panglima Perang Kerajaan Samudera Pasai. Sejak saat itu resmilah ia menjadi bagian dari keluarga Kerajaan Aceh.

Selaku ayah angkat Simardan di malam itu dan di kapal itu juga Raja Aceh melakukan peminangan terhadap Puteri Tumasik.


Mengikuti sunah Rasul dalam Walimatul Ursy dan adat kebiasaan kedua belah pihak lalu Raja Aceh menanyakan kepada calon besannya berapa mahar kawin, serta apa apa permintaan dari barang barang keperluan sang Puteri sebagai tali asih. Itu semua nantinya sebagai hantaran pihak calon mempelai pria yg akan mereka bawa pada hari pernikahan nanti. Setelah itu kedua pihak lalu bermusyawarah untuk menentukan waktu acara akad nikah dan waktu acara pesta pernikahan.

Raja Tumasik yg hatinya sedang berbunga bunga malam itu semakin  merasa dihormati sekali. Lalu ia menyampaikan bahwa untuk mengikuti sunnah Rasul serta adat kebiasaan di negeri mereka berdua, dia hanya sekedar meminta mahar berupa seperangkat alat sholat dan sebuah mushab Al Qur'an. Untuk tanda kasih sayang dan lain-lainnya berupa hantaran pihak pria ia tak meminta apa apa kepada pihak lelaki.

Dari hasil musyawarah mereka diputuskan waktu akad nikah akan berangkai dengan acara pesta pernikahan. Mereka sepakat untuk menyegerakan pesta pernikahan itu. Sampai besok  raja-raja dan para saudagar dari negeri-negeri sahabat masih berada disini. Untuk itu malam ini juga harus segera disampaikan agar mereka dapat memundurkan waktu kepulangannya beberapa hari saja kedepan sampai selesainya pesta.

Dengan penuh pertimbangan akhirnya disepakati akad nikah anak mereka  akan dilangsungkan tiga hari lagi dari malam ini untuk mempersiapkan segala sesuatunya.

Pesta pernikahan Puteri Tumasik itu nantinya diselenggarakan menjadi sebuah pesta negeri Tumasik bersama seluruh takyatnya. Jadi nanti akan dikemas sebagai pesta istana dan pesta rakyat. Nanti akan diadakan jamuan istana bagi seluruh tetamu undangan dari luar begitu pula akan membuat jamuan bagi seluruh penduduk Tumasik tanpa terkecuali. Supaya tamu dari luar tidak jenuh maka pesta sudah dimulai sejak esok hari sampai tujuh hari kedepannya.

Malam itu juga Raja Tumasik di kapal Raja Aceh menulis surat kepada Menteri Utama yg akan menutup acara pertemuan di Tumasik itu. Surat itu disampaikan oleh pengawal yg mendampingi Raja Tumasik di kapal Raja Aceh.


Isi surat itu antara lain menyatakan bahwa Raja Tumasik melalui maklumat ini mengundang seluruh tetamu undangan kiranya dapat memberikan waktu serta meringankan langkah untuk menghadiri pesta pernikahan puterinya dengan Simardan yg akan dilangsungkan tiga hari lagi dari sekarang. Raja Tumasik memohon dengan penuh harapan kepada seluruh tetamu undangan yg datang dari negeri jauh kiranya sudi menunda kepulangannya sekali lagi barang beberapa hari sampai selesainya acara pernikahan sang Puteri.

Permintaan Raja Tumasik ini adalah untuk yg kedua kalinya agar para tamu kerajaan dari negeri negeri jauh menunda hari kepulangannya. Penundaan kepulangan yg pertama adalah sewaktu mereka diminta ikut menyaksikan pertandingan bola raga segitiga antara Tim Tumasik, Tim Aceh dan Tim Simardan.


Karena merasa tertarik dengan antusias mereka semua menyatakan akan hadir rela menunda kepulangan sampai berhari hari.


Apalagi jamuan makanan minuman, hiburan dan tempat rekreasi serta pelayanan Kerajaan Tumasik sangatlah memuaskan sehingga mereka merasa kerasan betah berlama lama mampu melupakan  negerinya barang sejenak.

Sebelum diakhirinya pertemuan tak resmi mereka di malam itu di kapal Raja Aceh, Raja Tumasik mengundang secara langsung calon besannya dapat hadir di pesta pernikahan puterinya. Raja Tumasik menghaturkan sembah sepuluh jari memohon penuh harap kiranya sudi Paduka Raja Aceh beserta rombongan menunda dahulu kepulangan barang beberapa hari sampai selesainya acara walimatul ursy anak-anak mereka. Raja Tumasik pun meminta Raja Aceh berkenan menjadi saksi dari pihak calon mempelai lelaki pada saat acara akad nikah dilangsungkan nanti dan ia akan menjadi wali langsung bagi puterinya.


Berat sebenarnya Raja Aceh untuk menunda kepulangan membayangkan sudah menumpuknya pekerjaan yg akan diselesaikan di negerinya. Apalagi ini sudah penundaan yg kedua kalinya. Akan tetapi demi membahagiakan dan membesarkan hati Simardan sang anak angkatnya serta calon menantu. Disamping itu juga untuk menghormati calon besannya, dengan penuh pertimbangan akhirnya Raja Aceh bersedia memenuhi undangan dan permintaan Raja Tumasik.

Kemudian setelah selesai acara yg pokok sambil menikmati penganan ringan dengan suguhan hiburan berupa seni budaya negeri Aceh yaitu tari saman dan seudati. Tarian itu  dibawakan beberapa pemuda pemuda dari Kerajaan Aceh yg muda muda dan tampan. Mereka dibawa raja turut dalam rombongan di kapal itu untuk mengisi salah satu acara hiburan pada Pertemuan Antar Negeri di Tumasik kemarin sebagai partisipasi keikut sertaan sebuah negeri yg bersahabat.


Karena acara pokok sudah selesai, pada Simardan dan Puteri Kerajaan Tumasik diberikan waktu oleh Raja Aceh dengan seizin calon besan mereka dapat plesiran sejenak melihat-lihat seisi kapal Kerajaan Samudera Pasai yang besar dan mewah itu.

Raja Tumasik mengizinkan dan memerintahkan beberapa orang pengawal untuk mendampingi pasangan sejoli itu. Raja Tumasik mengingatkan mereka agar dapat menjaga diri karena sedang masa masa "darah manis".


Tak menyia nyiakan kesempatan untuk dapat berdua saja. Lalu Simardan menyodorkan tangannya pada sang Puteri untuk bangkit dari duduknya.


Mereka berdua berjalan berdampingan melalui lorong lorong kapal besar itu. Kesempatan itu digunakan Simardan untuk mengetahui lebih jauh tentang hati sang Puteri.

Dari pendekatan di malam itu Simardan semakin takjub akan sosok pribadi sang puteri. Sungguh kecantikan yg sempurna, cantik luar dan dalam. Simardan sungguh merasa sangat beruntung telah diberikan karunia dari Yang Maha Kuasa mendapatkan jodoh seorang puteri raja secantik dan sesuci ini.

Setelah merasa semakin dekat dan akrab. Simardan mulai memberanikan diri. Ia mulai menyentuh jemari halus lentik sang Puteri. Tak bertepuk sebelah tangan Sang Puteri pun rupanya menyambut jemari Simardan yg kuat dan hangat itu.

Simardan merasakan jemari sang Puteri yg halus dan lembut. Jantung Simardan berdegup kencang begitu pula dengan sang Puteri yang seumur hidupnya baru kali ini merasakan sentuhan seorang lelaki. Jikalaupun ada itu adalah ayahnya yang amat menyayangi serta memanjakanya.

Tak lama sang Puteri mulai terlihat menempel ke sisi kiri tubuh Simardan. Mereka berdua pun berjalan bergandengan. Lalu Simardan menggandeng sang Puteri membawa ke atas geladak kapal lalu mereka menuju haluan. Para pengawal hanya memperhatikan dan mengawasi sepasang sejoli itu dari jauh kira kira beberapa langkah di belakang sepasang insan itu.

Malam itu langit terang temaram bermandikan cahaya bulan yang hampir purnama. Bintang bertaburan menghiasi angkasa. Angin laut berhembus sepoi-sepoi, udara terasa semakin dingin dan malam pun semakin larut. Cahaya lampu kapal-kapal yang sedang berlabuh juga cahaya lampu-lampu taman dan lampu lampu istana Kerajaan Tumasik nampak berkilauan membayang di permukaan air laut yang sedang lenang. Sesekali terdengar pula suara ombak yg datang memukul pantai. Menambah romantisnya nuansa malam itu.

Sejenak Simardan menghentikan langkahnya sebelum mencapai tepat di pucuk haluan. Mereka mendekati sebuah peti di dekat haluan itu. Disitu mereka duduk, di atas peti tempat penyimpanan tambang tambang kapal.

Kemudian perlahan Simardan merangkul sang Puteri yg sudah mulai berani menyandarkan kepalanya di bahu calon suaminya. Aroma wangi rambut sang Puteri yang tergerai indah merebak saat helai helai rambutnya terkirap diterbang terbangkan angin. Lembut menyentuh nyentuh kulit hidung Simardan.

Untuk menghangatkan suasana yg hening Simardanpun mulai bercerita tentang kisah masa lalunya. Kisah tentang negeri serta sang ibu. Kesemua kisah itu tak sempat disampaikannya dalam pertemuan mereka tadi.

Melalui kisahnya itu sebenarnya Simardan ingin menguji akan keteguhan hati sang calon isteri. Tapi tak seperti yg dibayangkan Simardan, ternyata sang Puteri juga sudah  memaklumi dan dapat menerima keadaan dahulunya itu dengan ikhlas. Hati sang Puteri sudah mantap, terlanjur jatuh pada pandangan pertamanya.

Begitu pula dengan Simardan, hatinya makin sayang dan bertambah cinta. Adalah suatu anugerah baginya bila gadis secantik dan seanggun itu bisa jatuh dalam pelukannya. Suatu hal yang belum pernah terbayangkan olehnya bahkan walau sekedar datang dalam mimpi saja pun tidak. Dicubitnya sendiri perutnya diam diam, masih terasa sakit. Berarti ini nyata bukan mimpi kata Simardan dalam hati.

Sang Puteri meminta izin apakah ia boleh bernyanyi saat itu. Ia ingin mencurahkan isi hati melalui bait bait pantun. Pantun seloka pantun canda anak muda yg dimasa itu populer menjadi suatu gaya hidup kawula muda di negerinya. Melalui syair syair pantun yg dinyanyikan Ia ingin menyampaikan isi hati di malam yang indah itu di samping calon suaminya seorang pemuda tampan gagah berwibawa.

Ia juga memohon satu permintaan lagi, bila ia bernyanyi nanti dapatlah dipeluk dengan manja. Di malam itu rupanya ia terkenang akan almarhumah ibunda yang telah mendahului sepuluh tahun yang lalu. Walau kini ayahnya sudah kawin lagi dan ia telah punya ibu baru, tapi kasih sayang serta belaian manja sang ibu kandung dirasa berbeda jua. Dulu semasa ia kecil, ibunda Permaisuri sering menina bobokkannya dipangkuan sambil mendendangkan lagu bersyair pantun pantun yg indah penuh kenangan. Lagunya sendu dinyanyikan dengan suara yg merdu.

Simardan mengabulkan, lalu merebahkan sang Puteri dalam pangkuan sambil membelai-belai rambutnya. Kemudian bernyanyilah Sang Puteri. Suaranya merdu merayu bagai buluh perindu. Burung burung malam yang sedang terbang melintas di atas kapal serasa berhenti sejenak ikut menikmati suara merdu itu. Bulan tersenyum malu malu bersembunyi di balik awan merah jingga temaram.

Syair dan nadanya merasuk sukma, menggoncangkan kalbu. Bait bait pantun seloka bergenre Melayu lama indah syahdu terdengar lembut terbawa angin laut yg turut bersahabat di malam indah itu.

Sebelum mereka berpisah di malam itu, karena Puteri Tumasik yg bernama Tun Sri Banun Qomariyah sudah diingatkan pengawal bahwa sebentar lagi untuk kembali menghadap ayahanda lalu bersama meninggalkan kapal Raja Aceh. Begitu pula halnya dengan Simardan yg akan kembali ke kapalnya.


Sebelum berpisah Simardan mendaratkan kecupan sayang di kening sang calon istri. Bibir Simardan menempel lembut tepat di bawah kerudung sutra sang Puteri menutupi rambutnya yg hitam mekar.
Sang rembulanpun tersenyum cemburu ditingkahi cahaya kelap kelip bintang-bintang yg bertaburan memenuhi langit  di malam itu. Mereka seakan menjadi saksi bisu kecupan pertama yg pernah diberikan oleh sang arjuna pada seorang wanita. Kecupan pertama pula yg pernah diterima oleh sang dewi dari seorang jejaka.

Malam itu ada perasaannya campur aduk. Ada rasa gembira juga sedih teringat almarhum bunda. Ada rasa  takut karena baru mengalami jatuh cinta bercampur senang  berbaur menjadi satu dihati sepasang sejoli itu.

Di malam itu waktu yg berlalu terasa begitu singkat. Mereka  berdua seakan enggan untuk berpisah walau cuma sesaat saja. Pengawal yg malu malu sedari tadi berdiri membelakangi kembali mengingatkan sejoli
itu bahwa Paduka Raja sudah menunggu. Sejoli itupun berpisah.

Setelah Raja Tumasik bersama Puteri meninggalkan kapal, Raja Aceh pun menawarkan Simardan untuk beristirahat kembali ke kapalnya. Simardan baru menyadari jikalau ia telah lama meninggalkan teman temannya di kapal sedari siang tadi. Nanti ke kapalnya Simardan akan diantar beberapa orang prajurit Raja Aceh. Ia diantar menggunakan sekoci.

Dalam sekoci itu turut pula seorang tabib istana yg ikut dibawa bersama rombongan di kapal Raja Aceh. Rupanya malam itu Simardan direncanakan Raja Aceh akan dikhitan di kapalnya.

Di kapal Simardan, setelah dikhitan sang tabib memintanya beristirahat penuh barang beberapa hari ini agar pada hari ijab kabul dan bersanding nanti kesehatan Simardan sudah pulih sedia kala. Menurut perkiraan sang tabib bila tak ada sesuatu hal Simardan mudah mudahan sudah bisa sembuh seperti sediakala dalam masa sepekan kedepan. Untuk itu sang tabib berpesan Simardan dapat menjaga pola makan dan istirahatnya agar segera sembuh sesuai harapan.

Satu lagi dipesankan sang tabib agar Simardan dapat menahan dahulu gelora birahinya. Ia mengingatkan bahwa pada malam sesudah bersanding nanti jangan dahulu menjadikan malam itu sebagai malam pertama untuk bercinta naik ke bulan melakukan hubungan suami isteri demi kebaikan dan kesehatan mereka berdua.

Setelah sang tabib memberikan pesan dan nasehat, Simardan pun memaklumi. Setelah lewat tengah malam menjelang dinihari akhirnya tabib Kerajaan Aceh dengan  beberapa orang pengawal memohon diri pada Simardan untuk kembali ke kapalnya.

Sementara itu di kapal British Raya malam itu berlangsung juga pertemuan tertutup utusan Kerajaan British Raya dengan beberapa kerajaan sahabat. Seperti raja dari negeri Raja Malaka, Raja Selangor, Raja Kedah dan Raja Siak dari Andalas. Selain itu juga beberapa saudagar berbagai negeri yg telah menjalin hubungan baik selama ini bermitra dengan Kerajaan British Raya.


Kita kembali ke kapal Simardan. Setelah pengkhitanan selesai dan rombongan tabib telah kembali ke kapalnya. Simardan pun segera beristirahat di kamar. Ia dijaga dua orang pengawal di depan kamarnya.

Akan tetapi belum sempat terlelap tidur, utusan utusan yg dikirimnya ke Kampung Tanjung dan Bandar Pulo tiba pula merapat ke kapalnya. Melalui anak buah kapal, mereka minta disampaikan pada Simardan memohon untuk menghadap. Mereka sebenarnya telah sampai di Pulau Bintan tadi pagi. Oleh karena mendapat kabar bahwa tuan mereka sedang berada di Tumasik, maka sehabis beristirahat sejenak melepas lelah dan berkemas kemas lalu mereka berlayar kembali menuju Tumasik, karena ada  hal-hal penting yg harus segera disampaikan langsung pada Simardan.

Permohonan sahabat  Simardan untuk menghadap segera disampaikan pengawal. Simardan lalu mengizinkan sahabat para utusannya ke Selatan itu untuk naik ke kapal. Ia menunda istirahatnya karena bersemangat untuk ingin segera tahu gerangan informasi apa yg mereka bawa dari sana. Bergegas kemudian pengawal kembali menjumpai sahabat utusan,  lalu mempersilahkan satu orang saja yg boleh naik ke kapal mewakili mereka yg berjumlah tiga orang itu. Dengan alasan sang majikan sedang dalam masa perobatan.

Salah seorang sahabat Simardan yaitu saudagar asal dari Kampung Tanjung naik ke kapal mewakili temannya yg lain. Ia lalu diantar pengawal menemui Simardan yg sedang berbaring di kamar.

Sebelum sahabatnya bertanya akan dirinya  maka Simardan menceritakan kejadian dan peristiwa yg dialami hingga keadaannya seperti itu. Mendengar cerita Simardan sahabatnya manggut manggut tanda sudah memahami, lalu iapun memberikan ucapan selamat tanda turut bergembira.

Kini ia tahu bahwa tuannya sudah meninggalkan kepercayaan lamanya dan kini telah memeluk agama Islam.  Iapun minta di Islamkan pula bersama keluarga serta para sahabatnya yg lain.

Simardan berjanji kepadanya, nanti setelah semuanya selesai  akan dilangsungkan sebuah acara pengislaman masal para anak buah dan kaki tangannya dan sekaligus membuat pesta rakyat di negeri Bintan.

Setelah itu Simardan lalu meminta sahabatnya  untuk menyampaikan informasi apa saja yg mereka bawa dari misi perjalanan ke Selatan serta hasil pembicaraan dengan Raja Bandar Pulo pamannya itu.

Lalu sang sahabat menuturkan dengan panjang lebar apa apa yg telah mereka alami selama menjalankan misi ke Selatan itu.


Tetapi sebelumnya ia memohon maaf pada Simardan bila mereka menyinggahi Kampung Tanjung baru diakhir perjalanan dari agenda yg telah disusun sebelumnya karena pertimbangan waktu. Mereka menyinggahi Kampung Tanjung saat berlayar kembali pulang menuju negeri Bintan setelah misi ke Kerajaan Bandar Pulo selesai lebih dahulu.


Dari penuturan sang sahabat, saat mereka masuk agak ke hulu dari Aek Doras akhirnya mereka sampai pada sebuah bandar kecil di sisi kanan Aek Doras bila dari hilir. Disitu penduduknya sudah agak ramai.

Banyak penduduknya  berdagang barang barang disana terutama hasil hutan dan ladang juga hasil tangkapan nelayan dari sungai besar itu.


Daerah itu penduduk disana  menamakannya Bandar Pulo. Disana mereka menemui raja lalu menyampaikan pesan dari Simardan.


Raja itu adalah adik kandung ayah Simardan yg pada awalnya tidak begitu percaya pada mereka. Tetapi setelah sang sahabat menceritakan sesuai seperti apa yg dipesankan Simardan lalu menunjukkan gelang tuannya yg sebelumnya dititipkan kepada mereka. Akhirnya rajapun percaya pada mereka.

Kemudian setelah mereka saling bercerita panjang lebar, lalu Raja Bandar Pulo menanyakan keadaan abangnya yg tak lain adalah ayah Simardan itu. Begitu juga dengan isteri dan anaknya. Kemudian sahabat Simardanpun menyampaikan apa adanya. Ia sampaikan bahwasa ayah tuannya itu telah meninggal dunia sewaktu Simardan masih kecil lagi. Jasadnya dikuburkan di daerah Teluk Dalam di tanah bekas peladangan mereka dahulu sewaktu di awal membuka perladangan di negeri baru. Negeri itulah akhir dari perjalanan mereka setelah berpisah dengan adiknya yg lebih dahulu membuka perladangan dan negeri baru di daerah Bandar Pulo dan menjadi raja disana.

Kemudian lanjutnya menuturkan. Setelah abang sang raja meninggal di Teluk Dalam, sang isteri bersama putera tunggalnya membuka daerah baru lagi agak ke hilir dari situ agar lebih dekat ke sebuah bandar baru yaitu Kampung Tanjung tempat mereka menjual hasil ladangnya maupun hasil hutan. Disana ibunda Simardan mendirikan gubuk untuk tempat tinggal bersama sang putera tercinta.

Sang raja semakin bersemangat mendengarkan penuturan mereka. Sewaktu sang sahabat Simardan menceritakan tentang Kampung Tanjung lalu raja memotong pembicaraan. Sang raja mengatakan bahwa ia sering kesana ke Kampung Tanjung. Kampung itu masuk dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Bandar Pulo di masa itu karena disana belum ada pemerintahan. Namun sebelumnya dia sama sekali tak mengetahui bila istri saudara kandungnya ada tinggal disitu.

Setelah mereka saling bercerita panjang lebar barulah kemudian sang utusan menyampaikan pesan tuannya kepada sang paman. Melalui utusannya Simardan berpesan agar sang paman sudilah memindahkan istananya ke Kampung Tanjung guna dapat lebih memperhatikan isteri mendiang abangnya yg sudah semakin tua dan ringkih itu.

Tapi saat itu permintaan Simardan belum dapat dipenuhi sang raja karena berbagai pertimbangan. Salah satunya adalah bahwa semakin maraknya komplotan lanun maupun penjahat yg melarikan diri dari berbagai negeri bersembunyi disitu. Sementara itu tentera kerajaan kecil Bandar Pulo saat ini belumlah begitu kuat.
Sementara itu disisi lain ada pula ancaman yg datangnya dari negeri negeri lain di luar Kerajaan Bandar Pulo. Deperti ancaman penaklukan dari Kerajaan Batubara di Utara. Begitu pula ancaman dari Kerajaan Simalungun di sebelah Barat. Kedua kerajaan ini selalu menjadi ancaman ingin menaklukkan dan menguasai negeri mereka. Oleh karenanya kerajaan kecil yg belum kuat ini tak boleh lengah dari musuh yg mengintai akibat terbagi bagi perhatiannya.

Raja menambahkan, sebelum dapat memindahkan pusat kekuasaan ke Kampung Tanjung mereka perlu memperkuat diri terlebih dahulu. Akan tetapi ada cara lain yg lebih mudah dan cepat untuk dilaksanakan yaitu meminta bantuan pada sebuah Kerajaan Besar yg punya pasukan perang yg kuat seperti Kerajaan Aceh yg amat kuat bala tentaranya ydimasa itu agar dapat melindungi mereka semua disana.

Dari penjelasan panjang lebar sahabatnya itu kemudian tampaklah Simardan manggut-manggut penuh antusias. Ia minta diteruskan ceritanya sampai tuntas.

Dini hari itu di kapal Simardan pelayan masih bekerja menghidangkan minuman bersama penganan ringannya lalu diletakkan di atas sebuah meja kecil di samping ranjang tidur sang majikan buat dia dan tamunya. Sang majikan terbaring dengan kain penutup tubuh bagian bawah berikat tali ke atas langit langit kamar untuk memberikan keleluasaan bagi sebuah organ tubuh Simardan yg sedang dalam tahap penyembuhan.

Malampun sudah hampir menjelang subuh, namun Simardan tetap bersemangat mendengarkan kelanjutan cerita sang sahabat yg sedang duduk bersila di lantai di sisi ranjangnya. Lalu Simardan mempersilahkan sang sahabat untuk meneguk minumannya juga mencicipi makanan yg sudah terhidang itu selagi panas.

Setelah meminum beberapa teguk teh panas itu sang sahabatpun melanjutkan ceritanya. Pada saat menghadap itu dia telah menyampaikan kepada raja Bandar Pulo akan hal kemenakannya Simardan. Beberapa masa yg lalu keponakannya itu menumpas habis komplotan bajak laut yg selama ini sudah membuat resah para pelaut dan pelayar di perairan Selat Malaka. Oleh karena jasanya itu ia diundang Raja Tumasik untuk menghadiri pertemuan antar negeri membahas keamanan jalur pelayaran Selat Malaka. Walau sang sahabat tidak mengikuti perkembangan dan hasil pertemuan itu karena menjalankan misi ke Selatan sampai ia bertemu Simardan pada malam ini.


Sang sahabat kemudian melanjutkan ceritanya. Ia dan dua orang pendamping pada misi itu menginap semalam di istana raja. Disana mereka dilayani dengan amat baik. Keesokan harinyapun mereka bertolak pulang. Sebelum berangkat pulang mereka dibekali sang raja dengan berbagai bahan makanan untuk bekal selama perjalanan. Seperti ikan kering yg diasapi (ikan salai), telor ayam dan telor itik, beras, kelapa, pisang, ketela juga sayuran. Padahal saat itu persediaan yg mereka bawa dari pulau Bintan masih ada walaupun sudah menipis.

Dalam perjalanan pulang meninggalkan istana, setelah melewati Aek Batu (Air Batu) mereka bertemu sebuah teluk di sisi Barat Aek Doras disitu terdapat lubuk yg airnya cukup dalam. Mereka meyakini itulah yg dimaksud Simardan dengan Teluk Dalam, daerah pertama yg disinggahi orang tua Simardan membuka perladangan baru. Menurut cerita Simardan daerah itulah tempat ayahnya dikuburkan. Setelah merasa yakin dengan tanda tanda yg sudah diberikan sang majikan sebelumnya, merekapun bertambat disitu lalu bertiga turun ke darat.


Dalam perjalan pulang dari Bandar Pulo ke hilir Aek Doras hingga sampai ke Teluk Dalam itu mereka belum mengembangkan layar perahu. Mereka hanya berdayung dayung kecil sambil berhanyut hanyut mengikuti arus sembari beristirahat di bawah naungan kajang walau tetap menjaga kemudi.


Setelah turun ke darat di Teluk Dalam itu bertemu dengan semak belukar yg tumbuh subur banyak terdapat sejak dari tepian hingga daratannya. Semak belukar itu mereka terangi dengan peralatan seadanya. Lalu mereka terus masuk ke daratan sambil memandang kesana kemari mencari kuburan yg dimaksud tuannya.


Mereka mencari cari rumpunan bambu yg tumbuh dekat sebatang pohon haloban besar seperti petunjuk yg diberikan Simardan. Seakan dipandu, tak berapa lama setelah memasuki darat dari kejauhan mereka sudah melihat sebatang pohon besar dan rimbun yg disekitarnya ada rerimbunan pohon bambu.


Setelah didekati benar saja disana mereka menemukan sebuah kuburan tua yg tidak terurus. Hanya berupa seonggokan tanah di bawah sebatang pohon haloban yg besar dan rindang. Kuburannya pun nyaris sudah tak berbentuk ditutupi tumbuhan perdu yg menjalar sudah kemana mana.

Suasana disitu amat gelap karena sinar matahari terhalang   ditutupi rimbunan pohon pohon besar yg daunannya hampir bertaut bertemu satu sama lain menyelimuti daratan. Mereka lalu mengumpulkan ranting ranting kayu kering lalu membakarnya untuk sekedar dapat menerangi sekitar kuburan tua itu.

Setelah membersihkan kawasan itu mereka lalu merapikan kembali batu batu kali yg disusun sebagai tanda sebuah kuburan.  Kuburan tanpa batu nisan. Mereka lalu menambah gundukan tanahnya sehingga menunjukkan disana ada sebuah kuburan.

Kemudian sahabat Simardan melanjutkan ceritanya. Setelah dari Teluk Dalam mereka lalu melanjutkan perjalanan juga dengan berhanyut hanyut terus ke hilir. Tak berapa lama setelah melewati beberapa tanjung sampailah mereka pada sebuah teluk kecil.

Teluk kecil itu berada sebelum bertemu Kampung Tanjung setelah melewati Teluk Dalam.  Berdasarkan petunjuk Simardan terdahulu mereka pun yakin disitulah mungkin letak gubuk ibunda sang majikan.

Sampai disana di teluk kecil itu merekapun menambatkan perahu pada sebuah tiang dari batang pohon nibung yg terpancang membisu di tepian. Sebuah tangkahan kecil berlantaikan batang kayu kelapa yg sudah melapuk menyambut kedatangan mereka. Tangkahan kecil itu terlihat tua dan berlumut, tanda sudah lama tak dipergunakan lagi. Dengan berhati hati mereka menaikinya. Terlihat sebuah perahu kecil telungkup teronggok sepi di atas tepi daratan. Hampir seluruh badan perahu kecil dari batang pohon yg dikorek itu sudah ditutupi tumbuhan perdu dan rumput ilalang.

Mereka merasa seakan akan sudah seperti tak ada lagi tanda tanda manusia tinggal disitu. Disana tak jauh dari tangkahan itu tampak sebuah gubuk tua. Gubuk itu kelihatan sepi seperti sudah lama kosong ditinggalkan penghuninya. Rerumputan dan pepohonan merambat tampak bersusun berlapis lapis menutupi sampai ke tengah halaman, menunjukkan halaman itu sudah lama tak diinjak orang. Di tengah jalan setapak yg mulai tertutup semak itu ada sebatang pohon pinang yg sudah tumbang lama menghalangi jalan mereka.

Tiba tiba dari kejauhan terdengar suara seekor anjing sedang menyalak. Suara itu datang dari tengah kebun yg sudah tak terurus lagi. Seekor anjing hitam tiba tiba datang mengejar mereka. Lalu diikuti seekor monyet putih. Monyet putih itu ikut mengejar mereka dengan melompat lompat berayun dari pohon ke pohon yg lain sampai mendekati mereka.

Mereka bertiga sangat ketakutan. Tiba tiba dari arah gubuk terdengarlah suara pelan memanggil. Suaranya berat terbata bata. Suara lirih perempuan tua seakan memanggil pada kedua binatang itu. Merekapun menduga pastilah itu suara emak Simardan.

Kemudian dari dalam gubuk mereka melihat seseorang mencoba bangkit berdiri berjalan teroyong oyong ke arah pintu. Sosok seorang perempuan tua dengan rambut panjang awut awutan yg sudah memutih semua. Badannya terlihat ringkih sekali. Dari balik semak semak mereka melihat perempuan tua itu mencoba meraih sisi pintu lalu berpegangan disitu. Tak lama kemudian kedua binatang yg mengejar utusan Simardan sudah ada di sisi sang nenek.

Dari balik rerumputan ilalang di luar gubuk mereka bertiga memperhatikan sang nenek seperti menanyakan sesuatu kepada kedua binatang itu. Seolah mengerti lalu kedua binatang itu berlari turun ke bawah gubuk ke dekat tangga. Disana kedua binatang itu lalu membawa ke atas gubuk melalui tangga apa apa yg sudah mereka dapatkan selama seharian dikebun. Kedua binatang itu tampak membawa hasil pencariannya dengan cara menjepit diantara kedua rahang mereka.

Bintang binatang itu kemudian menyalak-nyalak sambil mengarahkan pandangan ke sahabat sahabat Simardan di bawah sana. Si nenek tua itupun maklum kemudian memanggil mereka yg sedang sembunyi di bawah sana untuk tidak merasa takut dan naik saja ke gubuk.

Dengan hati tak tenang penuh ketakutan merekapun terpaksa naik mengikuti perintah sang nenek. Ada rasa takut  bercampur suasana aneh di hati mereka bertiga tapi harus dilawan demi menjalankan tugas dari Simardan.


Semakin antusias mendengarkan cerita sahabatnya, Simardan lalu hendak bangkit duduk di atas ranjangnya. Tapi segera ditahan sang sahabat agar tuannya tetap saja berbaring seperti itu.


Tak sabar Simardanpun lalu menyanyakan pada sahabatnya itu tentang keadaan ibunya. Untuk memastikan dugaannya selama ini bahwa sang bunda masih hidup tidak seperti informasi yg diterima dari Raja Rompak sang ayah asuhnya bersama kaki tangannya semasa di kapal lanun dahulu.

Sahabatnya membenarkan bahwa ibu Simardan masih ada lalu menambahkan bahwa ada juga kabar tentang ibunya masih hidup tapi sudah gila adalah berita bohong dan tidak benar adanya. Hanya saja karena selama ini kurang memperhatikan dan mengurus dirinya karena terus memikirkan akan nasib anaknya yg hilang ia terlihat seakan kehilangan semangat hidup. Lalu sahabatnya itu menyampaikan pada Simardan bahwa sang bunda sampai saat mereka bertemu itu masih yakin bahwa anaknya masih hidup.

Setelah ia mendapat kabar dari mereka bahwa anaknya masih ada.  Emak Simardan langsung gembira, semangat hidupnya bangkit kembali. Hari itu jiwanya yg selama ini kosong kembali bergairah.

Spontan dapur yg sudah lama tak disentuhnya itu kini didatanginya kembali untuk mempersiapkan sesuatu makanan buat mereka semua di gubuk di sore itu. Para sahabat mencoba menahannya agar tak merepotkan. Merekapun menyampaikan ada membawakan makanan untuknya sebagai buah tangan.

Hari pun hampir malam. Sebelum pulang mereka dibekali ibunda Simardan dengan beraneka buah buahan yg sudah teronggok di bawah tangga diambilkan  kedua binatang peliharaannya dari kebun. Demikianlah penjelasan sahabatnya itu dari hasil misi perjalanan mereka ke Selatan itu.

Setelah mendengarkan cerita sang sahabat tampak Simardan merenung. Pandangannya kosong menerawang menembus langit langit bilik kapal menuju Selatan ke kampungnya jauh disana.

Tiba tiba dia menangis lalu meraung raung sambil mengatakan bahwa dia selama ini sudah sangat berdosa telah menyia nyiakan dan menelantarkan ibunya yg tua renta hidup sendiri disana. Hidup dan derita sang bunda dipikulnya sendiri tanpa suami tanpa anak dan juga tanpa keluarga. Simardan lalu berteriak kencang memaki maki ayah asuhnya si Raja Rompak yg telah membohonginya selama ini. Begitu pula para pelayar dan pelaut asal Kampung Tanjung yg pernah ditanyainya kala merompak dahulu. Dikarenakan takut pada Raja Rompak lalu mereka semua manut merahasiakan padanya bahwa sang bunda masih hidup.

Kemudian kepada sahabatnya itu Simardan mengatakan bawa ingin  berlayar kesana segera di malam ini untuk menjemput emaknya. Untuk itu ia mohon dipersiapkan segala sesuatunya.

Melihat kondisi Simardan saat itu serta pelaksanaan acara yg akan diikuti tuannya sang sahabat menyarankan sebelum berangkat ke Selatan menemui sang ibu ada baiknya terlebih dahulu memberitahukan niatnya itu kepada Raja Aceh. Janganlah nanti karena dia tak mengetahui rencana Simardan itu sebelumnya lalu menjadi tersinggung dan murka. Bila nanti hal itu terjadi dapat berakibat buruk bagi mereka juga semua pihak.
Begitu pula halnya pada calon mertua juga calon istri Simardan perlulah diberitahu karena mereka kini pasti sedang sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk pelaksanaan pesta pernikahan itu. Lagipula perjalanan kesana untuk menjemput sang bunda pergi dan kembalinya memerlukan waktu hampir dua pekan. Itupun bila keadaan cuaca dan angin berembus baik selama menempuh perjalanan.

Mendengar saran dan nasehat sahabatnya itu Simardanpun merenung lama. Ia mempertimbangkan keadaan dirinya yg sedang dalam masa penyembuhan itu. Dimana tabib Kerajaan Aceh akan rutin setiap hari melakukan pemeriksaan secara berkala sampai ia sembuh nanti. Tabib itu pasti akan datang ke kapalnya untuk mengecek perkembangan pemulihan kesehatannya lalu memberikan obat obat yg diperlukan. Obat obat itu pastilah obat obat terbaik dari sang tabib supaya ia segera sembuh.

Perasaan hati Simardan menjadi kacau tak menentu, jadi serba salah. Ia pun kuatir juga, bila nanti akibat menunggu terlalu lama sampai acara pesta pernikahannya selesai, kemungkinan tak sempat lagi bertemu dengan sang bunda tercinta yg kini sedang sakit itu.


Dalam lamunan Simardan terbayanglah kondisi emaknya yg saat ini sedang payah dan ringkih. Dugaannya mungkin karena itulah makanya sang bunda tak mau dibawa serta sahabatnya ke pulau Bintan. Sang ibu pasti sudah merasa tak kuat lagi dan khawatir nantinya akan menjadi beban mereka saja selama di perjalanan. Ataupun mungkin karena takut nantinya akan menyusahkan puteranya setiba di sini.


Dalam kegalauannya itu terbayang pula ia kekecewaan sang puteri bila ia pergi diam diam tanpa memberi tahu. Ia tak tega membuat kecewa sang Puteri seorang gadis baik yg tak pantas untuk disakiti. Apalagi itu disebabkan ketidak tahuannya akan situasi yg dialami sang calon suami karena tak pernah disampaikan padanya selama ini. Begitu pula dengan sang calon mertua.

Lain lagi nanti permasalahan yg dapat timbul dengan ayah angkatnya sang Raja Aceh. Ia merasa berkepentingan sekali menjaga hubungan baik dengan sang raja demi masa depan dirinya juga negeri tempatnya dibesarkan jauh di Selatan itu.

Saat Simardan tengah menimbang nimbang keputusan apa yg akan diambil, sahabatnya memohon diri karena dua sahabat mereka yg lain tentu sudah lama menunggu. Sedari tadi mereka menanti di atas perahu yg merapat di sisi bawah kapal Simardan itu.


Barulah Simardan sadar lalu mengizinkan sahabatnya itu untuk kembali pulang sambil meminta kepadanya juga dapat disampaikan kepada sahabatnya yg lain untuk tetap menjaga serta merahasiakan hal hal yg mereka ketahui ini baik kepada sesiapapun di luar mereka.

Setelah memberikan penghormatan sahabatnya lalu bergegas menuju perahu.
Rupanya dari pertemuan mereka itu ada beberapa hal sensitif yg tak turut disampaikannya tadi. Sang sahabat tak kuat untuk menyampaikan bahwa emak Simardan sangat mengharapkan sekali bertemu dengan anak tercintanya itu sesegera mungkin karena rasa rindu yg sudah lama ditahankan. Padahal dia yakin bila nanti tuannya sudah bertemu dengan sang emak maka pastilah semangat hidup si ibu tua akan pulih kembali. Begitu pula dengan penyakit kelainan jiwa yg tengah dialami si nenek tua itu kemungkinan besar dapat sembuh sediakala.


Dia teringat kembali pada saat mereka diterima sang nenek di atas gubuk lalu ketika mereka menuruni tangga menuju perahu untuk berangkat pulang. Para sahabatnya sempat mendengar dari bawah sang emak Simardan bersenandong lirih di pembaringannya. Selalu begitu apabila ia sedang terjaga dari tidur sepanjang hari. Bila malam tak dapat memejamkan mata maka bersenandonglah ia sepanjang malam sampai datang kantuknya. Senandongnya sungguh sangat memilukan hati. Syair syairnya berangkai kata kata duka dengan membawa bawa nama anaknya.


Sebenarnya sang sahabat merasa serba salah. Apakah diberitahukan saja atau tidak, menunggu sampai waktu yg tepat. Ia menginginkan masa depan dan kebahagian Simardan tidak terganggu. Ia tak mau merusak pesta pernikahan sang majikan yg tentunya sudah dipersiapkan secara besar besaran akan menjadi berantakan karena informasi darinya itu. Situasi serba pelik, tapi inilah yg terbaik menurut kata hatinya.

Di ufuk Timur mentari pagi tersenyum cerah. Embun embun yg membasahi permukaan dedaunan pelan pelan sirna. Di istana Tumasik terlihat kesibukan disana sini. Menteri Utama bersama para menterinya juga para penasehat raja mengadakan pertemuan tertutup di pagi itu. Mereka di balairung istana mengadakan rapat pembentukan kepanitiaan untuk pelaksanaan walimatul ursy puteri raja.

Padahal pesta rakyat sudah berlangsung sejak beberapa hari lalu. Pesta rakyat itu sudah berlangsung sejak dimulainya acara pertemuan para raja bersama unsur pimpinan tinggi antar negeri dengan membawa pula para saudagar besar dari negerinya masing masing ke Tumasik sampai sekarang.

Hebatnya sampai hari ini para tamu undangan baik dari negeri sekawasan maupun dari luar kawasan belum ada yg meninggalkan pulau Tumasik. Mereka semua telah menunda kepulangan ke negerinya masing masing untuk dapat menyaksikan langsung hajatan besar negeri Tumasik itu. Esok hari direncanakan akan dilangsungkan akad nikah calon mempelai di Mesjid Raya Kerajaan Tumasik yg masih dalam lingkungan istana.

Sementara itu di atas kapal Simardan, tabib bersama para pembantunya telah tiba. Mereka berupaya semaksimal mungkin untuk penyembuhan bekas luka khitanan Simardan. Paling tidak sudah dapatlah mengikuti prosesi akad nikah sampai selesai. Kemudian esok harinya mudah mudahan tak ada juga kendala. Simardan sudah dapat pula duduk bersanding bersama sang Puteri di pelaminan.

Waktu terus berjalan tanpa bisa ditawar tawar, matahari pun sudah kembali ke peraduannya. Malam itu di istana Temasuk dilangsungkan acara Malam Berinai. Dalam acara itu  sang Puteri mengkhatamkan bacaan Al Qur'an nya. Acara itu hanya dihadiri oleh pihak dalam keluarga raja dan permaisuri saja bersama para ulama dan tuan tuan guru kerajaan.

Sementara itu di kapal Simardan tampak sudah dibolehkan sang tabib untuk bangkit berdiri lalu berjalan dari ranjangnya. Walaupun diharuskan masih mengenakan pakaian yg longgar longgar saja.

Dibolehkan berjalan lalu Simardan tampak menuju haluan kapal. Disana ia duduk seorang diri sambil bermenung.

Pandangannya menatap bulan yg hampir penuh dua malam lagi akan purnama. Cahaya sang rembulan yg terang temaram dihiasi bintang bintang bertaburan di langit cahayanya berkelap kelip bagaikan hamparan mutiara memenuhi angkasa. Suasana itu semakin membawa hati Simardan terkenang masa lalu. Ingatannya melayang ke masa kecilnya dahulu. Tanpa terasa ia kini sudah dewasa yg sebentar lagi akan meninggalkan masa lajangnya.

Hatinya mengharu biru terkenang masa dahulu. Masa masih bersama sang emak juga teman teman sebaya di kampung yg jauh dimata. Semua kenangannya seakan bermain main di mata melayang layang sampai kepada masa remajanya dahulu saat ketika tumbuh remaja di kapal bajak laut. Dunia hitam yg telah menempa keras diri dan kehidupannya. Kini semua itu sudah ditinggalkan hanya menjadi kenangan.


Kapal Lancang Hitam dunia remajanya saat itu kini dalam genggamannya. Ia sedang duduk melamun di haluan kapal itu. Kapal yg telah diperbaikinya dengan mendatangkan langsung ahlinya dari negeri Bugis. Disana sini kapal itu telah diperbaiki. Lancang Hitam dahulu yg telah patah dalam bencana Selat Malaka kini telah berganti dengan lancang tiang layar utama yg lebih besar serta tinggi dan kokoh.

Tiang lancang itu dipertahankannya masih berwarna hitam sebagai ingatan dan kenangan. Walaupun kini panjinya sudah berbeda. Kini kapal itu berpanji merah bergambar burung elang besar bermata tajam. Mata yg tajam tanda sebagai pengawas dan pengawal yg handal. Tentangan sayap lebar kokoh nan gagah tanda hidup yg berdaulat  dan disegani. Bercakar dan berparuh tajam nan kuat tandanya ia pelindung juga pembela yg gagah lagi perkasa. Itulah salah satu kapal legenda Selat Malaka  di zamannya yg kini menjadi miliknya.


Dalam lamunannya itu sesekali Simardan melayangkan pandangannya ke daratan Tumasik. Sesekali pula ke kapal besar ayah angkatnya sang Raja Aceh disana yg tengah berlabuh tak berapa jauh di sisi Selatan kapalnya. Lalu sesekali pandangannya ke arah Tenggara ke pulau Bintan tempatnya kini bermukim. Sesekali pula ia menatap jauh ke Selatan. Pandangannya menerawang jauh ke arah kampungnya. Kampung tempatnya dibesarkan, negeri dimana ibundanya kini tinggal seorang diri.

Hasrat hati ingin segera bersua sang bunda lalu dapat membawanya bersama kemari agar turut menyaksikan pernikahan puteranya nanti namun apalah daya. Dirinya merasa kecil tak berarti,  tak berdaya mengikuti kata hati. Iapun sadar ada suatu yg Maha Berkuasa atas hidup ini. Ada tekad dalam hatinya walau seberat apapun kenyataan hidup akan dihadapinya.

Itulah pesan sang ayah yg tak sempat lama dikenalnya. Pesan itu selalu disampaikan ibunya dahulu semasa kecil dahulu. Tekadnya sudah bulat Sekali layar terkembang surut untuk berpantang.

Mengisi kekosongan jiwa yg tengah nelangsa di malam yg dingin itu, lalu tanpa sadar ia bersenandung senandung kecil mencurahkan suasana hati yg sepi saat menghadapi hari bahagianya. Suasana hatinya bagaikan antara duka dan suka bercampur menjadi satu. Terdengarlah suara merdunya di malam yg semakin larut.

"Duhai sang dewi rembulan tersenyumlah tersenyum padaku
Daku meminta kirimkan jua senyummu pada emak nan jauh disana

Sampaikan pada emak bahwa anaknya kini sehat sentausa
Walau sentiasa dirundung rindu ingin bertemu
Apalah daya lautan luas membentang jarak antara kita

Aduhai awan yg merindu rembulan
Beraraklah berarak, berarak jauh sampai kesana
Sampaikanlah salam rinduku pada emak tercinta
Rindu yg kini merasuk kalbu hampir tak kuasa hamba tahankan
Ingin kembali dipeluk dibelaimu duhai emak seperti dahulu semasaku kanak

Duhai bayu berembuslah dikau berembus, berembus sampai merasuk sukma Berlalulah dikau berlalu, berlalu jauh ke Selatan sampai ke negeri tanah harapan
Bawalah serta rinduku bersuakan emak
Rinduku yg kini merasuk sukma mengguncangkan jiwa

Aduhai si burung malam yg terbang melanglang angkasa
Terbanglah dikau terbang, terbanglah  menuju kuala
Terbangkan rinduku pada emak, rindu ingin bersua

Duhai alam kawanku setia
Bersanandonglah dikau bersenandonglah Senandongkan emak hingga lelap tidurnya
Dibuaikan mimpi indah, mimpikan kami bahagia sejahtera"


Malam sudah semakin larut. Angin malam berembus membawa embun terasa dingin seakan menusuk tulang. Sebelum Simardan kembali ke peraduan ia tampak menjumpai salah seorang anak buahnya di geladak kapal itu yg juga belum beristirahat pergi tidur. Kepada anak buah kapal itu ia menitipkan beberapa keping uang emas dan perak. Simardan meminta padanya agar esok pagi pagi sekali sang anak buah dengan menggunakan sekoci kapal pergi ke daratan ke pasar Tumasik untuk membeli lima ekor kambing jantan yg sudah berumur satu tahun atau lebih. Kambing jantan itu harus sehat dan tidak ada cacatnya. Bila tidak ada di jumpai di pasar, Simardan meminta padanya dapat dicari langsung pada peternak atau penduduk yg memiliki kambing yg diinginkan untuk dibeli.


Setelah dibeli, kambing kambing jantan dewasa yg sehat dan tidak cacat itu diminta Simardan segera disembelihkan pada lelaki dewasa yg beragama Islam disana yg sudah biasa memotong hewan berkaki empat secara islami. Nanti setelah dikuliti dan dipotong potong oleh orang orang upahan yg dapat dicari disana maka  daging beserta tulang tulang kambing itu dapatlah dibagi bagikan pada penduduk disana untuk mereka masak dan makan bersama keluarga.


Rupanya Simardan ingin beraqiqah mengikuti saran nasehat sang ayah angkat yg disampaikan tabib sebelum ia pengkhitanan itu. Dua ekor sebagai aqiqah almarhum ayahnya, dua ekor untuk aqiqah Simardan sendiri dan satu ekor lagi untuk aqiqah emaknya. Pesan sang Raja Aceh sebaiknya aqiqah itu sudah dapat ditunaikan Simardan sebelum pelaksanaan akad nikah besok menjelang siang.

Tak lama setelah beristirahat tidur, subuh itu Simardan sudah dijeput oleh beberapa pengawal Raja Aceh untuk segera berkemas guna dibawa ke kapal mereka.

Di kapal Raja Aceh semua perlengkapan mandi beserta pakaian persalinan sudah dipersiapkan untuk Simardan. Sebelum dibawa ke kamar mandi di kapal itu sang tabib terlebih dahulu memeriksa kondisi Simardan. Lalu ia mengganti pembalut luka di bekas khitanan itu. Tabib berpesan pada Simardan, nanti sewaktu mandi jangan dahulu  mengguyur seluruh badannya dengan air. Hanya boleh membasuh badan di luar bagian badan yg sedang masa penyembuhan itu. Ia berpesan sekali lagi tanda harus diperhatikan. Hindari jangan terkena air dan badan disiram seperlunya saja.

Selesai Simardan pergi mandi membersihkan lalu mengeringkan badan. Kemudian seorang perias raja di kapal itu memakaikan pakaian sepersalinan yg disebut Raja Aceh dengan Peukayan Linto Baro pada Simardan untuk acara ijab kabul nanti.

Pakaian yg akan dikenakan Simardan itu adalah seperangkat pakaian adat negeri Aceh yg bercorak gaya islami. Ia dikenakan mulai dari baju dalaman dari bahan halus dan lembut berwarna putih polos.

Kemudian dipakaikan celana cekak musang berwarna hitam yg bentuknya agak longgar dengan bagian bawahnya bersulam benang emas dan alas kakinya. Celana itu sangat nyaman dipakai Simardan walau ia baru dua hari khitanan. Raja Aceh biasa memakai celana seperti itu yg disebutnya dengan celana Sileuweu, enak dipakai duduk bersila.


Sesudah itu Simardan dikenakan blazer hitam dari kain berbahan tebal yg diberi sulaman indah dari benang emas pada kerah yg tertutup, juga bersulam benang emas pada ujung lengan serta beberapa bagian depan. Raja Aceh juga biasa mengenakannya dan disebutnya dengan Meukasah. Lalu sebagai penutup kepala Simardan dikenakan pula sebuah topi berbentuk lunjung  ke atas yg dibalut kain tengkulok. Topi ini biasa dipakai Raja Aceh sehari hari yg disebutnya dengan Meukeutop, penutup kepala.

Simardan pun hampir selesai disiapi oleh juru rias. Setelah ia mengamati hasil pekerjaannya itu terasa ada sesuatu yg masih kurang. Sesuatu yg kurang itu ada pada bahagian sensitif Simardan. Bagaimana caranya supaya dapat melindungi bagian tubuh Simardan yg sedang dalam masa penyembuhan itu. Bahagian itu sedang menggunakan pembalut tapi hanya dilindungi celana Sileuweu yg tidak begitu tebal. Ia memutar otak bagaimana agar aman dari senggolan tangan orang orang pada saat berlangsungnya acara tepung tawar ataupun peusijuek nanti. Disamping itu memberikan rasa aman pula dari penglihatan iseng para tetamu karena bagian itu mudah terlihat. Bagian itu tampak sedikit menonjol karena berbalut.

Simardan rupanya tak kehabisan ide. Seketika ia lalu minta disediakan sehelai kain sarung tebal. Perias lalu mencari kain itu di lemari penyimpanan pakaian. Tak lama iapun sudah kembali lalu diberikannya sehelai kain tenunan songket tanah semenanjung pada Simardan. Kain tenunan songket itu tadinya adalah salah satu cenderamata Raja Tumasik pada Raja Aceh di acara pertemuan kemarin.

Setelah menerima kain songket itu lalu Simardan melipat duanya menjadi separuh dari tinggi kain sebelumnya. Setelah itu lalu disarungkannya sebatas pinggang sampai sedikit di atas lutut.

Perias geleng geleng kepala atas ide Simardan. Ia takjub karena disamping dapat menjaga bagian tubuh yg perlu dilindungi saat itu juga dapat terhindar dari penglihatan mata nakal para tetamu.

Agar tampak lebih menarik lagi oleh sang juru rias kain itu dilipat lipat indah membentuk kipas pada satu sisinya. Pada bagian atas digulung sedikit terlihat semakin manis. Kemudian pada pinggang agak ke sebelah kiri diantara kain songket itu dengan celana Simardan diselipkan sebilah rencong milik kerajaan Aceh.


Kembali Simardan mengenakan blazer hitamnya yg tadi sempat dilepaskan saat memakai kain setengah layar itu. Kemudian Simardan mengambil gelang pemberian ibu. Sebuah gelang warisan ayahnya yg telah dikembalikan sahabat yg dipinjamkan ketika menjalankan misi ke Selatan. Gelang itu ia kenakan pada lengan kiri bagian atas di antara siku dan bahu. Gelang itu disiarkannya sebagai mewakili ibu dan mendiang ayah di acaranya yg sakral itu. Gelang itu adalah warisan ayah Simardan kepadanya dan selalu dibawa kemanapun ia pergi. Gelang warisan leluhur Simardan yg turut dibawa sang ayah ketika meninggalkan kampung di hulu dari Porsea dahulu.


Rupanya penampilan Simardan itu yg semakin menunjukkan kegagahan dan kewibawaannya sejak saat itu menjadi populer di kalangan masyarakat negeri negeri kawasan Selat Malaka. Para kaum muda lelakinya senang mengenakan kain songket setengah gulungan di atas lutut menutupi celana panjang bagian paha. 

Pagi nan indah itu di depan pintu utama istana Tumasik, sang Raja dengan didampingi Permaisuri telah berdiri disana bersiap siap menyambut kedatangan tamu kehormatan kerajaan dari rombongan calon mempelai pria.

Untuk penyambutan itu telah dihamparkan permadani merah sejak dari pintu masuk taman istana sampai ke depan pintu masuk utama istana.

Para penari dan pemain pencak silat juga sudah bersiap siap untuk menyambut tamu. Begitu pula sepasang jaka dan dara pemantun. Mereka mewakili masing masing calon mempelai yg setibanya nanti rombongan pihak pria akan saling berbalas pantun membawakan mata acara menghantarkan sampai sang calon mempelai pria melaksanakan ijab kabul.


Suasana tampak meriah. Seisi ruangan istana ditata demikian indahnya. Disana sini tampak kemegahan penuh hiasan dekorasi dari aneka kain dan kembang warna warni. Di depan sebuah pelaminan yg besar dan anggun bernuansa putih terbentang pula selembar permadani tebal. Disana nanti tempat dilangsungkannya akad nikah.

Tak berapa lama rombongan calon mempelai pria pun tiba. Lalu Simardan dan Raja Aceh dibawa Raja Tumasik masuk berjalan berdampingan bersama Permaisuri diikuti rombongan. Setelah sampai di aula istana merekapun dijamu. Setelah itu Simardan dan Raja Aceh bersama rombongannya diantar menuju Mesjid Raya Kerajaan yg letaknya berdekatan. Mesjid besar dan indah itu masih satu halaman dengan  istana. Disana telah dilakukan persiapan acara akad nikah. Terpisah dari rombongan lalu Simardan dan Raja Aceh berdua saja dibawa pengiring istana ke sebuah altar berlapiskan permadani tebal. 

Disana seorang tua berjenggot putih berjubah putih dan mengenakan serban putih pula sudah menunggu mereka yg sedari tadi sudah duduk disitu berdiri menyambut dan menyalami mereka lalu mempersilahkan duduk pada kursi yg telah dipersiapkan.

Rombongan pihak calon mempelai lelaki dan pihak keluarga istana sudah duduk menyaksikan di barisan belakang dari altar itu. Simardan duduk menghadap altar di sebelah kiri sang ulama istana yg bersorban putih itu. Raja Tumasik duduk di seberang Simardan berhadap hadapan hanya dipisahkan sebuah altar kecil.

Sementara itu Raja Aceh duduk berdampingan dengan Menteri Utama Kerajaan Tumasik. Mereka berdua duduk berhadap hadapan dengan sang ulama istana. Mereka duduk berhadap hadapan hanya dipisahkan altar kecil itu. Dalam acara akad nikah itu Raja Aceh menjadi saksi dari pihak calon pengantin lelaki dan Menteri Utama Kerajaan Tumasik selaku saksi dari pihak calon pengantin perempuan.


Setelah semuanya lengkap duduk disitu kemudian sang ulama membuka lembaran mushaf Al Qur'an. Ia membuka Surah An Nisa ayat 59 lalu membacanya dimulai dengan melafazkan kalimah Ta'awudz dan Basmalah, yg artinya :
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya".

Sesudah itu ia membuka dan membaca Surah Ar Rum ayat 21, yg artinya :
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir".

Setelah itu sang ulama menutup mushaf Al Qur'an beralaskan sejenis bantal kecil berlapis beludru itu. Lalu Al Qur'an bersama alasnya itu diambil seorang pelayan untuk disimpan kembali ke tempatnya.

Setelah itu sang ulama dengan gestur tubuh penuh penghormatan memohon pada Paduka Raja kiranya dapat mengulangi kata kata yg ia ucapkan. Kemudian setelah itu dalam satu nafas disambut oleh Simardan. Ia memberikan sedikit latihan pada kedua pihak yg akan melakukan ijab kabul itu sebelum dimulainya prosesi akad nikah.

Setelah dirasa lancar dan sudah fasih, lalu ia meminta Simardan dan Paduka Raja Tumasik untuk saling bersalaman. Setelah itu prosesi walimatul urat pun dimulai. Mereka saling bersambut kata dalam satu tarikan nafas mengucapkan kata kata akad nikah yg telah diajarkan sang ulama tadi untuk sahnya pernikahan Simardan dengan sang Puteri.

Ijab kabulpun dilaksanakan. Dimulai dari Paduka Raja yg mengucapkan kata kata "Aku nikahkan akan dikau puteriku Tun Sri Banun Qomariyah bin Tuanku Sultan Ahmaddin Al Tumaseky dengan mahar seperangkat alat sholat dibayar tunai", tanpa jeda waktu dan dengan sedikit mengencangkan genggaman salamnya Simardan lalu menyambut "Aku terima nikah Tun Sri Banun Qomariyah bin Tuanku Sultan Ahmaddin Al Tumaseky dengan mahar seperangkat alat sholat dibayar tunai".


Masing masing saksi dari pihak perempuan dan lelaki dengan kompak menyatakan sah. Maka sejak saat itu secara agama Islam sahlah sudah kedua sejoli itu Simardan dengan sang Puteri Tumasik menjadi pasangan suami istri dalam melayarkan bahtera rumah tangganya.

Selesailah sudah acara akad nikah. Kemudian para tetamu dari rombongan pihak mempelai lelaki bersama undangan lainnya diundang raja dan permaisuri untuk jamuan makan siang bersama di istana.


Lalu Raja Aceh dan para tetamu undangan dari mesjid itu diantar ke satu aula yg telah dipersiapkan. Disana sudah terhidang aneka makanan minuman yg lezat lezat cita rasanya lengkap dengan buah buahan.


Mereka juga dihibur dengan penampilan seni musik dan tari para pemuda pemudi negeri Tumasik yg tampan tampan dan cantik cantik.

Selesai makan tampak Raja Aceh bersiap siap meninggalkan istana bersama rombongannya kembali ke kapal untuk beristirahat. Esok hari akan kembali hadir disini di pesta pernikahan anak angkatnya.

Sebelum Raja Aceh beranjak dari tempat duduknya tiba tiba dari pelaminan terlihat Simardan bangkit berjalan mendekati sang ayah angkat lalu minta izin untuk dapat duduk disebelahnya. Ada sesuatu yg ingin disampaikannya.



Raja Aceh mempersilahkan Simardan duduk disebelahnya. Lalu Simardan dengan suara sedikit dipelankan seakan hampir berbisik saja. Iapun menyampaikan hajat hatinya bahwa esok pada tengah malam sesudah acara pesta selesai akan berlayar ke Selatan. Rencananya ingin menjeput ibunda di Kampung Tanjung yg menurut kabar dari orang kepercayaan saat ini sedang sakit tua. Untuk lebih menyentuh perasaan sang raja ia menambahkan pula bahwa ibundanya itu saat kini sudah sangat tua dan amat ringkih. Untuk itu perlu mendapatkan perawatan dan penjagaan yg lebih. Ibunya kini terbaring seorang diri tanpa ada yg mengurus di gubuknya yg jauh disana.

Sang ayah angkat lalu menepuk nepuk pundak Simardan tanda ikut berempati sekaligus memberikan semangat. Ia dapat memaklumi, akan tetapi  Ia menyarankan ada baiknya hal ini disampaikan juga pada mertuanya secara langsung. Sang ayah angkat meminta Sumarman untuk dapat meyakinkan beliau. Andai bila belum direstui sang ayah angkat meminta Simardan dapat menunda dahulu niatannya itu sampai waktu yg tepat. Begitulah saran ayah angkatnya guna kebaikan bersama. Simardanpun memaklumi dan menerima nasehat ayah angkatnya.

Dikesempatan itu pula,  Raja Aceh menyampaikan janjinya pada Simardan bahwa nanti suatu saat kelak dia akan berkunjung kesana ke Kampung Tanjung. Dia senantiasa akan terus memperhatikan dan menjaga negeri anak angkatnya itu kelak.

Tapi saat ini dengan berat hati ia tak dapat mendampingi Simardan untuk mampir kesana karena ia bersama rombongan sudah terlalu lama meninggalkan kerajaan dan istana. Tentu sudah banyak pekerjaan serta urusan yg menunggu disana.

Simardanpun dapat memakluminya. Untuk membesarkan hati Simardan terucap pula janji sang raja pada anak angkatnya itu bahwa bila nanti Simardan dan istrinya telah dikaruniai seorang putera maka segera mengabarinya di Aceh. Dengan izin Allah kelak ia akan menobatkan cucunya itu menjadi seorang Sultan di kerajaan baru yang akan dibentuknya nanti disana di negeri Simardan. Kerajaan itu nanti berada dibawah perlindungan dan daulah Kerajaan Samudera Pasai.

Oleh karena itu ia meminta Simardan mulai sekarang dapatlah mempersiapkan sebuah nama buat kerajaan baru itu serta letak istana yg akan dibangunkan disana kelak. Simardan sangat gembira dan langsung mengaminkan.

Terakhir sang ayah angkat berpesan pada Simardan agar pandai pandai menjaga diri memperlakukan istri, mertua dan keluarga mereka yg lain dengan baik bagaikan orang tua dan keluarganya sendiri. Ia mengingatkan Simardan bahwa ia bukan Simardan yg  dahulu lagi. Ada dua keluarga besar yg terjalin menjadi satu ikatan keluarga kini. Kini dua negeri yaitu Kerajaan Aceh dan Kerajaan Tumasik telah bersatu dikarenakan adanya ikatan perkawinan ini. Oleh karenanya ia mengingatkan Simardan untuk pandai merasa, bukan merasa pandai. Ibarat kulit, cubit di kiri kananpun merasakan juga. Bila mata kiri menangis, mata kananpun ikut menitik. Artinya, dua negeri itu walau dalam keadaan bagaimanapun apakah diwaktu susah ataupun dikala senang haruslah tetap bersama. Sekali kali jangan berkhianat, menikam teman seiring dari belakang. Ia menamsilkan, tak akan kuat batang di pohon, bila akar berniat daun.  Begitu pula daun janganlah cemburu pada akar karena dekat ke tanah. Semua ada bagian dan tugasnya masing masing membuat pohon itu menjadi kuat sehingga tak akan dapat diterbangkan angin yg akan datang dari segala penjuru.

Satu lagi pesan sang Raja Aceh pada Simardan sang anak angkatnya, agar dapat memegang teguh sumpah dan janjinya dalam memangku jabatan selaku Laksamana Muda Kawasan Selat Malaka Pembantu Panglima Perang Kerajaan Samudera Pasai. Untuk itu Simardan dituntut tanggung jawabnya dalam menjaga keamanan ketertiban jalur pelayaran di wilayah itu serta dapat menjaga masuknya ancaman dari luar. Terutama masuknya ancaman yg datang dari negeri negeri Eropa dan Tiongkok yg selama ini telah mengintai intai karena tergiur akan letaknya yg strategis dengan tanahnya yg subur serta hasil alam yg melimpah ruah. Simardan juga harus mewaspadai beberapa negeri negeri yg dapat dicurigai akan mengkhianati kebersamaan di kawasan itu. Bisa saja negeri negeri itulah nanti  sebagai pintu masuknya kekuatan asing yg mencengkeram kawasan. Pada mulanya mereka sebagai negeri yg saling bersahabat lambat laun bersekongkol untuk menguasai negeri negeri di wilayah itu.


Dapat dilihat bahwa selama ini dalam hubungan kerjasama mereka itu hanya untuk memperkaya diri kedua pihak saja, bukan untuk kemaslahatan semua negeri sekawasan. Tak kan pelanduk berkaki belang, jika tidak ada berada.

Dengan dilepas Raja Tumasik bersama Permaisuri siang itu Raja Aceh dan rombongan meninggalkan istana, kecuali Simardan. Dia harus tinggal di istana Tumasik untuk persiapan segala sesuatunya dalam rangka pesta pernikahannya besok.
Sebelum berpisah di hari itu Raja Tumasik dan Permaisuri sekali lagi kembali menghatur pinta sepuluh jari menyampaikan undangan lisan sebagai penghormatan kiranya Raja Aceh bersama rombongan berkenan hadir besok hari. Bila ada waktu dan ringan langkah ia juga mengundang besannya untuk berkenan hadir nanti malam dalam acara hiburan kesenian dan budaya Tumasik serta temu ramah dengan para tetamu undangan pemuka pemuka negeri yg masih bertahan belum meninggalkan negeri Tumasik sampai pesta pernikahan puterinya.

Waktupun terus berjalan. Bulan purnama bercahaya kemilau ke permukaan laut. Sang dewi malam tersenyum indah menghias alam menemani kegembiraan penduduk Tumasik.

Malam ini acara malam berinai di istana bagi pasangan sejoli kedua mempelai. Di kamar pengantin, sang Puteri tengah didandani oleh perias istana begitu pula dengan Simardan. Sebentar lagi mereka akan dinaikkan ke pelaminan untuk ditepungtawari oleh pihak keluarga pengantin perempuan dan para pembesar istana.

Saat ini di kamar pengantin mereka sedang berinai. Seluruh kuku jari tangan dan kaki sepasang sejoli itu telah ditutupi adonan daun dari pohon pacar yg telah dihaluskan. Inai itu akan didiamkan semalaman untuk memerahkan kuku kuku sejoli itu. Besok pagi baru dibuka agar hasilnya baik.

Sementara itu di luar di halaman istana teratak teratak  sudah dipenuhi tamu para tuan tuan guru dan ulama ulama negeri. Malam itu juga akan dilangsungkan kenduri istana. Para tuan tuan guru dan sanak keluarga bersama para tetamu lainnya akan membacakan bacaan bacaan toyibah sekaligus mengirim doa bagi ahli keluarga istana yg telah berpulang mendahului.

Seantero negeri Tumasik sedang bersukaria. Dimana mana berlangsung pesta rakyat.

Rombongan rombongan dari luar negeri Tumasik beramai ramai turun ke darat meninggalkan kapalnya berkeliling keliling pulau Tumasik menyaksikan pesta rakyat semakin menambah semaraknya malam itu. Pada setiap arena telah disediakan makanan minuman dan hiburan cuma cuma oleh pihak penyelenggara istana buat seluruh masyarakat negeri Tumasik dan tetamu.


Menjelang larut malam selesailah acara kirim doa dan tepung tawar. Lalu pengantin dibawa dayang dayang kembali ke kamar untuk beristirahat.

Di kamar pengantin, setelah para dayang dayang dan perias meninggalkan kamar. Tinggallah Simardan dan istrinya saja berdua di kamar pengantin itu. Suasana hening, Simardan mulai menggoda sang istri yg berbaring di ranjang berhias indah itu. Ia sudah mengenakan baju tidur. Lalu kening sang isteri diciumnya mesra sambil menggeser bantal guling.

Kemudian Simardan duduk disampingnya. Sang isteri bangkit lalu ingin memeluknya. Seketika ia sadar bahwa jari jemari tangannya masih berbalur inai, niatnyapun diurungkan.

Sang Puteri lalu duduk disamping sang suami, kedua kakinya ditekuk. Kedua bahu mereka berdempetan saling merapat. Simardan mengecup lembut bibir istrinya yg ranum memerah basah tanpa pewarna. Lalu sang istri membalas kecupan Simardan dengan manja. Tangannya melingkar kaku karena jemari berbalur inai melingkari leher Simardan. Pelukannya seakan tak mau melepaskan bibirnya dari kecupan bibir sang suami.


Menikmati perasaan mereka yg seakan akan sudah melayang tinggi terbang jauh ke bulan.

Di tengah kenikmatan itu Simardan merasakan ada sesuatu bergerak masuk diantara dua bibirnya, lidah sang istri. Simardan menyambut lalu dengan mesra bergairah ia mempermain mainkan pula lidah lembut sang istri dengan lidahnya. Kedua hitam bola mata sang Puteri mulai hilang terpejam menikmati permainan bibir dan lidah Simardan.


Mereka hampir lupa diri sampai akhirnya Simardan merasakan ada sesuatu yg sakit. Sesuatu itu menjadi membengkak membesar di bawah sana dalam pakaian dalamnya. Sesuatu itu kini ingin meronta keluar dari balutan yg tengah membungkusnya.

Simardan tersadar dan ingat pesan sang tabib bahwa malam ini rupanya belumlah menjadi malam pertama mereka. Walaupun telah dihalalkan karena mereka sudah berijab kabul tadi pagi.

Simardan melepas pelan kecupannya seraya berbisik mencandai sang istri "turunkan layar, kapal belum siap berangkat" sambil tersenyum senyum geli menunjukkan ke istrinya sesuatu di bawah sana yg masih dalam proses penyembuhan.

Si istri dengan jemari tangan dan kaki yg kaku menjaga jangan sampai inai terlepas dari kukunya menjadi geli tertawa cekikikan sambil memukul mukulkan keningnya yg halus bening ke dada bidang Simardan.

Simardan menunggu sampai nafas istrinya kembali normal. Sambil mengelus elus lembut rambut indah istrinya penuh kasih sayang. Disitulah kesempatan Simardan mengutarakan niatnya untuk pergi berlayar ke Selatan menjemput sang emak disana. Ia ingin membawa sang bunda hidup bersama mereka diakhir sisa sisa umurnya. Apakah itu nanti menetap di Tumasik atau di Bintan akan mereka rembukan bersama.


Simardan mencoba meyakinkan sang isteri bahwa waktu yg luang itu setelah pesta usai kiranya dapat diizinkan untuk menjalankan niatannya itu. Apalagi ia sedang dalam masa penyembuhan, belum bisa berbuat sesuatu untuk sang isteri.

Walau berat hati sang Puteri tak dapat menahan. Namun ia meminta dapatlah diikutkan turut serta mendampingi sang suami. Ia akan memohon pada ayahanda raja kiranya dapat memakai kapal kerajaan beserta beberapa prajurit dan petugas kapal.

Simardan dengan halus menolak meminta sang isteri untuk tetap tinggal di istana sampai ia kembali. Perjalanan kesana memerlukan waktu yg lama juga besarnya resiko selama perjalanan. Lagipula di kapal nantipun mereka belum dapat berbulan madu. Menurut perkiraan tabib hubungan suami isteri mereka baru aman dilakukan kira kira setengah purnama kedepan. Sembari menunggu pulih alangkah baiknya digunakan untuk menjemput emaknya. Lagi pula ada baiknya juga, karena bila diwaktu waktu seperti ini mereka sekamar berdua terus Simardan kuatir akan bertambah lama sembuhnya. Simardan mencontohkan dari kejadian tadi yg barusan mereka alami.

Walau kecewa dan berat hati sang isteri merestui juga, tapi dengan satu permintaan sang suami haruslah menidurkannya dengan bersenandung senandung lembut sambil membelai belai rambutnya sampai ia terlelap. 

Akan tetapi nyatanya sepanjang malam kedua sejoli itu tak satupun dapat memicingkan mata walau barang sejenak. Mereka terus asik bercumbu rayu, membuat bekas luka Simardan mengalami pendarahan sedikit karena bolak balik ereksi. Walaupun belum sempat dipergunakan.

Sesudah bekas luka Simardan  mengeluarkan darah itu barulah mereka tersadar dari gejolak birahi yg kembali memuncak. Sang isteri menawarkan pada Simardan untuk dapat memberikan perawatan pada sang suami. Awalnya Simardan malu malu manakala sang isteri ingin melakukan penggantian pembalut pada bagian tubuhnya yg mengalami pendarahan kecil itu. Sang isteri meminta suaminya tetap berbaring tenang selagi dia mengerjakan agar lancar. Dilepaskannya pelan pelan celana tidur Simardan, tampaklah olehnya sesuatu terbungkus kain kasa berlapis kapas sedang membengkak mengeluarkan darah sedikit dari bekas lukanya. Satu satu gulungan dari pembalut penuh bercak darah itu mulai dilepaskannya. Tampaklah olehnya sesuatu yg belum pernah dilihatnya selama ini, sesuatu milik lelaki dewasa. Tanpa disadari darahnya mulai mengalir kencang, dadanya bergemuruh, nafasnya ditahan tahan tapi menjadi tak menentu. Tanpa disadari beberapa kali ia tersedak menelan air liur.

Tibalah di hari puncak acara pesta negeri Tumasik. Pesta pernikahan Puteri Puan Sri Banun Qomariyah dengan Laksamana Muda Aziz Abhar Bahri.


Di atas pelaminan sepasang pengantin telah duduk bersanding. Pengantin wanita cantik anggun mempesona siapapun yg memandangnya. Pengantin prianya gagah tampan perkasa. Kedua pasangan yg serasi seperti pinang dibelah dua mengenakan pakaian kebesaran kerajaan bagaikan pangeran dan puteri negeri kahyangan.

Pelayan pelayan istana sedari tadi semuanya sibuk hilir mudik membawakan  hidangan melayani para tetamu undangan yg berdatangan memenuhi aula utama istana. Suasana ramai sangat berisik terdengar riuh rendah dari suara tetamu yg saling bertegur sapa maupun sedang bercengkrama semua tampak bersuka ria. Sementara itu Raja Tumasik yg didampingi permaisuri dan besannya Raja Aceh selepas menerima ucapan selamat dari para tamu setelah jamuan makan siang lewat tengah hari meninggalkan arena pesta. Mereka beristirahat ke kamarnya masing-masing yg disediakan di istana siang itu.

Di pelaminan masih ada sang Puteri yg sesekali melirik Simardan dengan ekor matanya yg jeli memikirkan belahan jiwanya akan berlayar malam nanti meninggalkannya. Berat hatinya untuk melepas sang suami pergi jauh ke Selatan menjemput ibunda yg juga adalah mertuanya sendiri. Mertuanya itu kini sedang sakit tua dikampung. Walaupun kepergian suaminya itu telah mendapat restu dari ayahnya serta ayah angkat sang suami.

Tampak kedua mempelai sudah gelisah di singgasananya. Mereka berdua sudah mulai jenuh dan lelah. Ingin beristirahat kembali ke kamar namun untuk menghormati para tetamu yg masih betah berlama lama mereka masih bertahan. Dengan manja tampak jemari halus sang puteri mencoba meraih jemari sang suami, Simardan menyambutnya. Di atas pelaminan itu mereka berdua saling bergenggaman mesra.

Tetamu tampaknya belum juga menyusut. Tamu yg telah mengelak sila dan yg berdatangan ke aula itu keluar masuk silih berganti. Seakan tiada putus tamu yg datang untuk mengucapkan selamat pada kedua mempelai.

Singkat cerita hampir tengah malam pesta itupun usai yg menyisakan kelelahan pada pelayan maupun para panitia pelaksana begitu dengan kedua mempelai yg sudah masuk beristirahat ke kamar.

Malampun semakin larut, Simardan berkemas kemas dan telah siap untuk diantar pengawal ke kapalnya. Kapal Lancang Hitam milik Simardan yg berlabuh dekat pantai Tumasik itu telah siap pula membawa sang tuan berlayar ke Selatan mengarungi Selat Malaka ke kampung tempatnya dibesarkan.


Sang Puteri terlihat sedih bermuram durja. Dengan mata sembab sedari tadi terus menitikkan air mata sambil memeluk erat tangan sang suami seakan belum rela melepasnya pergi jauh. Ia tak mampu berpisah walau sekejap masa. Seakan tak mau melepaskan pelukannya iapun mengiring turut mengantarkan Simardan sampai ke pintu gerbang taman istana.


Dengan langkah gontai dan berlinang air mata sang Puteri memeluk erat sang suami lalu Simardan mengecup lembut dahi sang isteri. Sebuah kecupan perpisahan. Simardanpun melangkah  berlalu meninggalkan pelataran taman istana menuju pelabuhan tempat kapalnya bertambat. Ia diantar beberapa pengawal.

Dibelakang masih di pintu gerbang halaman sang puteri sambil terisak berlari masuk ke istana lalu mengunci diri di kamar tak sanggup melepas kepergian sang suami.

Di kapal Simardan sudah ditunggu tiga orang sahabatnya. Mereka juga membawa beberapa orang kelasi yg akan mempunyai tugas tugas di kapal itu selama berlayar. Semua penumpang kapal itu berjumlah tiga belas orang termasuk Simardan. Tadinya ada beberapa prajurit Kerajaan Tumasik yg akan diikut sertakan untuk melindungi Simardan selama perjalanan namun secara halus dan dengan penuh etika ia menolak tawaran baik sang mertua dengan alasan kepergian mereka hanya urusan pribadi saja dan mereka sudah berpengalaman berlayar kesana.


Kapal Lancang Hitam Simardan itu memang ukurannya tidaklah terlalu besar bila dibanding kedua kapal milik kerajaan mertua dan ayah angkatnya. Akan  tetapi cukup kuat dan sudah teruji tangguh menghadapi terjangan ombak maupun angin kencang. Pada masa itu kapal layar Simardan inilah yg paling kencang di Selat Malaka.

Dahulu semasa masih digunakan merompak, kapal Lancang Hitam ini bila sudah mengejar suatu target mustahil sasaran dapat melarikan diri dari kejaran dan sergapan mereka. Selama melakukan aksi perompakan di Selat Malaka satu satunya kapal target yg pernah lolos  dari kejaran mereka adalah kapal Sikantan. Ketika pengejaran itu tiba tiba cuaca berubah amat buruk. Dalam suasana langit ditutupi awan gelap hampir datang badai itu lalu mereka ditinggal lari oleh kapal Sikantan. Dalam melarikan diri untuk bersembunyi itu tanpa diketahui nakhoda rupanya kapal mereka itu masuk ke kuala Sungai Barumun bersembunyi di balik sebuah tanjung. Ternyata nakhoda kapal Sikantan tanpa disadarinya dan juga tanpa sepengetahuan Sikantan telah membawa kapal itu bersembunyi tepat di seberang kampung Sikantan dilahirkan dan dibesarkan. Tepat di seberang gubuk tua mereka dimana kini disitu sang ibu sedang sekarat lagi memanggil manggil nama Sikantan sang anak buah hatinya yg sangat dirindukan karena telah meninggalkannya bertahun tahun di situ seorang diri tanpa kabar berita.


Malam itu dengan kehendak Sang Maha Kuasa terjadilah bencana Selat Malaka. Kapal Lancang Hitam yg sudah ditinggal lari Simardan mengalami kerusakan, layarnya patah. Di tengah bencana itu kapal Lancang Hitam terombang ambing di sekitar perairan Tanjung Bangsi (sekarang sekitar di perbatasan antara perairan Labuhan Batu Sumatera Utara dengan perairan Panipahan Riau).

Sementara itu  di waktu yg sama namun di tempat yg berbeda kapal Sikantan yg besar dan megah tenggelam karena diterjang angin puting beliung entah mengapa besertaan pula dengan datangnya gelombang besar dua arus sungai. Air bah yg datang dari hulu Sungai Bilah bertemu beradu dengan air bah yg datang dari hulu Sungai Barumun menimbulkan pusaran arus hebat di sekitar Tanjung Lumba Lumba itu.

Itulah satu satunya kegagalan mereka dalam menyergap korban dengan kapal Lancang Hitam itu semasa merompak dahulu. Kapal itulah yg akan membawa mereka malam ini ke kampung Simardan.

Lewat tengah malam saat waktu sudah menjelang dinihari tampak kapal Simardan mulai membentangkan layar. Kelasi kapal bersiap siap mengangkat jangkar untuk bertolak ke tengah lautan menuju Selatan.


Sementara itu kapal Raja Aceh sedari petang sudah berlayar ke arah Barat menuju negerinya. Kapal kapal negeri lainpun satu persatu telah pula meninggalkan pulau Tumasik berlayar pulang kembali ke negerinya masing masing.

Perairan Tumasik yg tadinya sudah beberapa hari lamanya dipenuhi beragam kapal kapal layar berbagai bentuk dan ukuran kini berangsur sepi. Angin malam berhembus lembut membawa ombak ke pantai berdebur memukul mukul menyenandungkan kidung sepi seakan mengucapkan salam perpisahan.


'

Bayangan ujung layar kapal Simardan disinari cahaya rembulan di kejauhan lama lama semakin mengecil  lalu hilang ditelan horizon Selat Malaka.

Di istana Tumasik di kamar sang Puteri tampak ia belum jua dapat memejamkan matanya barang sesaatpun. Ia terus menerus memanjatkan doa memohon pada Yang Maha Kuasa semoga sang suami tercinta tak mendapat halangan apapun dalam perjalanan. Semoga sang taruna kembali dalam pelukannya bersama melayarkan bahtera rumah tangga menggapai pantai bahagia. 

Terbayang kembali dimatanya kecupan mesra dari sang suami. Begitu pula ciuman sang pujaan di dahi tadi saat akan meninggalkannya berpisah untuk sementara waktu. Entah berapa hari lagi kelak akan berjumpa dan bermesraan kembali.


Mencoba menahan gejolak hati dari rindu dan sepi yg meronta di kalbu merenggut hari hari bahagianya. Namun ia berjanji akan tegar selalu setia menunggu. Menunggu malam pertama mereka yg tertunda. Dalam doanya terselip pinta semoga sang suami sehat sehat selalu dan sebelum kembali ke Tumasik sudahlah pulih sediakala.

Di atas ranjang pengantin itu badannya berbalik ke kiri ke kanan namun mata belum jua terpejam. Bantal gulingnya sudah basah oleh airmata. Menjelang subuh barulah matanya dapat terpejam. Mungkin karena sudah lelah melamun menatap kosong langit langit kamar lalu menangis, menghayal lalu menangis lagi.


Sudah tiga malam Simardan berlayar mengarungi Selat Malaka. Sudah tiga malam pula sang Puteri susah tidurnya. Pagi itu selepas mandi ia meminta dayang istana melulur badannya. Sehabis memanjakan badan ia keluar kamar berjalan jalan ke taman dengan membawa sepotong kain lengkap dengan peralatan tenunnya.

Rupanya pagi itu ia mencoba mengisi kekosongan hari harinya dengan kesibukan lain. Ia ingin kembali lagi menyalurkan bakat dan kesenangannya dahulu. Merajut dan menyulam sesuatu sekedar untuk dapat melepaskan bayang bayang sang suami yg selalu bermain di pelupuk mata. Bayangan itu sudah tiga hari ini senantiasa bergelayut dalam lamunannya sepanjang siang dan malam.


Di bangku taman sang Puteri mulai mengambil jarum dan benang. Ia merajut sepotong pakaian bayi. Setelah siap lalu memberi sulaman indah di beberapa sisi pakaian bayi itu sebagai hiasan. Hasil rajutan dan sulamannya amat indah pasti membuat takjub bagi siapa yg melihatnya. Sejak remaja dahulu ia memang berbakat pada keterampilannya itu.


Suasana hati yg dirundung sedih berbalut kesepian tertuang dari pilihan warna sulamannya saat itu yg cenderung bernuansa sendu. Corak dan lukisan yg ditampilkan gambaran dari kesunyian jiwa. Melalui sulamannya itu sang Puteri seakan bercerita tentang dirinya yg sedang merindukan belaian dari suami tercinta. Walaupun bernuansa kesedihan dan kesepian namun hasil karya tangannya itu tetap tampak sangat indah sedap dipandang mata.

Hampir sepekan sudah kapal Simardan mengarungi Selat Malaka menuju Kampung Tanjung. Selama perjalanan mereka itu belum ada menemui halangan maupun hambatan hambatan yg berarti. Sejak bertolak dari negeri Tumasik sampai dengan hari itu cuaca cukup bersahabat. Angin berhembus baik untuk berlayar. Air laut pun cukup tenang hanya berombak ombak kecil saja.


Selama perjalanan sampai hari itu ada sekali turun hujan renai renai tanpa diiringi angin kencang. Itu terjadi pada malam kedua perjalanan Simardan meninggalkan sang istri. Alam pun turut bersedih kala pasangan sejoli itu terlarut dalam kesedihan dilanda rindu yg dalam berpisah di tengah tengah hari bahagia mereka. Masing masing saling merindukan membayangkan kekasih sang pujaan hati yg kini sudah jauh berpisah jarak dan waktu. Keduanya ingin secepatnya bertemu kembali dapat berbulan madu yg tertunda.


Sore itu menjelang malam keempat perjalanan mereka, dari kejauhan telah tampak kuala Aek Doras. Garis pantai telah tampak di kejauhan. Kiri dan kanannya bagai garis hitam saja yg sebenarnya disana dipenuhi dengan berbagai jenis pepohonan pantai seperti berombang, nipah, bakau, api api dan lainnya. Tak jauh di atas kapal di angkasa tampak burung burung camar berombongan terbang mengikuti riak riak air yg ditimbulkan haluan kapal memecah gelombang. Sesekali burung burung itu tampak menyambar ikan ikan kecil yg timbul dipermukaan laut yg tak sengaja dihantam haluan kapal.

Di ruang kemudi sang nakhoda mengamati sekeliling. Ia yg juga sahabat Simardan itu dahulunya adalah seorang saudagar asal Kampung Tanjung. Tiba tiba melalui teropong berlensa tunggalnya ia melihat ada sebuah bayangan hitam seperti sesosok kapal yg sedang berlayar memasuki kuala di kejauhan. 


Akan tetapi sesudah nakhoda kapal Simardan melihat tiba tiba kapal asing itu berputar haluan mengarah keluar kembali dari kuala Aek Doras.

Segera nakhoda memberi tahu Simardan. Lalu Simardan memakai teropong sang nakhoda mencoba mengamati dan memastikan bayangan hitam mencurigakan yg dimaksud sang sahabat.

Ternyata bayangan itu adalah sebuah kapal yg sudah dikenal Simardan sejak dahulu. Kapal yg sudah dikenalnya semasa ia masih seorang bajak laut Selat Malaka dahulu. Kapal layar itu dipastikannya adalah kapal milik kerajaan Johor yg sedari dulu rutin berpatroli menyusuri Selat Malaka sepanjang wilayah kekuasaannya saja. Tapi mengapa kapal itu kini ada di kuala Aek Doras yg bukan wilayahnya menimbulkan tanda tanya bagi Simardan.

Rupanya tadi siang kapal  asing itu sedang melarikan diri untuk bersembunyi menghindari pengejaran kapal Kerajaan Samudera Pasai yg pada saat bersamaan sedang melintas pula di perairan itu. Mereka tidak tahu bahwa kapal Raja Aceh hari itu akan melintas di wilayah itu. Berdasarkan perkiraan mereka Raja Aceh sudah melewati kawasan itu  beberapa hari yg lalu dalam perjalanan kembali ke negerinya. Ternyata mereka keliru karena ada dua kali penundaan kepulangan dari negeri Tumasik. Akhirnya siang tadi mereka melihat kapal Raja Aceh melintas di kejauhan. Lalu mereka melarikan diri bersembunyi masuk ke kuala Aek Doras sampai sore ini terpergok pula dengan kapal Simardan.

Dalam dugaan Simardan kapal negeri seberang itu tujuannya tentulah akan ke  Kedatuan Batubara atau bisa juga baru kembali dari sana.

Masa itu negeri negeri kecil di pesisir Timur pulau Andalas seperti kedatuan Batubara, Panai, Inderagiri (Riau), dll berhubungan dan masuk dalam pengaruh kerajaan kerajaan tanah seberang.  Diawali banyaknya penduduk dari negeri andalas berlayar ke tanah Malaya yg saat itu sudah lebih maju peradabannya. Dari tanah Andalas mereka membawa hasil hasil bumi lalu dijual. Sepulangnya dari Semenanjung Malaya para pedagang itu membawa barang barang yg diperlukan masyarakat negeri Andalas. Hubungan dagang antar masyarakat lintas negeri ini kemudian saling pengaruh mempengaruhi. Terutama bagi masyarakat negeri negeri Andalas yg notabene starata ekonomi dan peradabannya masih di bawah negeri negeri Malaya. Oleh karenanya kehidupan, bahasa serta adat budaya negeri seberang menjadi kebanggaan dapat diterapkan pula oleh negeri negeri di pesisir Timur Andalas. Malah sering terjadi hubungan perkawinan diantara masyarakat kedua negeri. Akhirnya lambat laun berimbas pula menyangkut kedaulatan dan kekuasaan suatu negeri karena adanya campur tangan penguasa yg mendominasi.

Simardan mengira ngira mungkin saja kapal negeri seberang itu mungkin sedang menjalankan misi kerajaan yg hendak mempengaruhi keluarga ataupun kerabat istana atau bisa juga para pembesar kerajaan untuk berkhianat pada sang raja yg sedang berada lama di Tumasik. Dipengaruhi untuk mengambil alih kekuasaan yg sedang kosong lalu tunduk dan dilindungi kerajaan Johor. Setelah itu kerajaan pelindung dapat mengambil upeti ke kerajaan kerajaan kecil di kawasan itu. Simardanpun menduga mungkin saja kapal asing ini sudah sampai ke negeri negeri kecil lainnya disitu sebelumnya.


Dalam pandangan Simardan mungkin saja secara sepihak tanpa melalui sepengetahuan kerajaan lainnya sekawasan mereka ini telah menarik upeti.

Simardan tahu betul jika kerajaan Johor dan kerajaan Malaka adalah setali tiga uang sama saja perlakuannya. Bahwa sebelum adanya pertemuan di Tumasik kedua kerajaan tanah Malaya itu selama ini telah menguasai jalur perdagangan Selat Malaka yg ramai itu.

Memang pada masa itu dunia pelayaran Selat Malaka sangatlah rawan dengan bajak laut. Mereka kerap memburu kapal Lancang Hitam kelompok lanunnya Simardan menjadi momok yg menakutkan para pelayar bila sedang melintasi Selat Malaka.


Ternyata dugaan Simardan benar. Kapal itu adalah kapal kerajaan Johor yg sedang memanfaatkan situasi di Selat Malaka pekan pekan itu. Dimana selama hampir satu purnama di perairan itu sedang sepi dari pengawasan. Terutama pengawasan dari kerajaan besar Samudera Pasai-Aceh yg merasa bertanggungjawab melindungi negeri negeri pesisir Timur Andalas dari pengaruh kekuasaan dan tekanan tanah seberang.

Tiadanya pengawasan dari Kerajaan Samudera Pasai itu rupanya dimanfaatkan pula oleh armada laut kerajaan Johor untuk menekan negeri negeri kecil pesisir Timur Andalas untuk membuat perjanjian sepihak agar penguasa negeri negeri kecil itu memberikan upeti kepada mereka.

Sialnya, setelah mereka kemarin lancar lancar saja dalam memasuki wilayah beberapa negeri di pesisir Timur Andalas seperti kesultanan Serdang dan kerajaan Bedagai selanjutnya akan ke Kedatuan Batubara. Akan tetapi diluar perkiraan akhirnya di siang itu mereka melihat kapal Raja Aceh  sedang melintas. Mereka sebelumnya tidak tahu bahwa acara pertemuan di Tumasik itu bersambung sampai ke acara pesta pernikahan puteri raja. Padahal menurut perkiraan mereka kapal Raja Aceh sudah melintas disitu beberapa hari yg lalu.

Dalam pengejarannya kapal Kerajaan Aceh kehilangan jejak karena kapal Kerajaan Johor sudah lari bersembunyi masuk kuala Aek Doras. Karena lelah sudah menempuh perjalan jauh mereka lalu membiarkannya. Mereka terus berlalu melanjutkan perjalanan kembali ke Aceh.

Akan halnya kapal Diraja Johor setelah sekian waktu bersembunyi disitu menunggu kapal Kerajaan Aceh berlalu. Tiba tiba saat mereka hendak berbalik haluan mau meninggalkan kuala Aek Doras untuk kembali pulang ke negerinya disitu muncul pulalah kapal Simardan. Mereka terkejut dan karena takut nanti tak akan mendapat bantuan karena sudah berada di luar wilayah kekuasaan mereka lalu mereka melarikan diri. Kapal dipacu dengan kecepatan penuh. Semua layar yg ada dibentangkan. Padahal layar itu tadi sebagian sudah diturunkan ketika memasuki kuala untuk menghindari pengamatan para prajurit kapal Aceh dari jauh.

Dengan pertimbangan kekuatan Simardan menahan nakhoda agar jangan ikut memutar haluan mengejar mereka karena saat itu kapal mereka tidak ada membawa prajurit. Begitu pula dengan persenjataan mereka yg tidak siap.

Dalam pelayaran Simardan kali ini hanya membawa petugas kapal untuk beberapa bagian sebatas keperluan penting saja. Seperti divisi umum dan rumah tangga kapal serta divisi perlengkapan dan perawatan kapal saja. Semuanya berjumlah tigabelas orang saja termasuk Simardan dan sang nakhoda.

Setelah Simardan membiarkan kapal Kerajaan Johor itu berlalu tak berapa lama sudah menghilang dari pandangan mata. Lalu Simardan memerintahkan para kelasi kapal agar menurunkan seluruh layar kapal. Ia memerintahkan nakhoda  agar berhanyut hanyut saja dari kuala itu memasuki sungai mengikuti arus air ke hulu yg kebetulan sedang naik pasang itu.

Dengan mengingat kejadian yg baru terjadi tadi semakin meningkatkan kewaspadaan mereka. Simardan pun teringat akan sebagian senjata senjata tajamnya yg ada disembunyikan di kapal itu. Senjata senjata itu sudah lama tak dirawat. Inilah saatnya kata Simardan dalam hati. Senjata senjata itu dapat digunakan untuk melindungi diri dari ancaman musuh yg dapat saja datang tanpa diduga. Senjata senjata itu sudah lama tidak digunakan disimpan dalam sebuah peti yg disembunyikan pada suatu tempat rahasia di kapal itu.

Sebagai putera yg dibesarkan di daerah itu Simardan sejak kecil sudah tahu bahwa di tepian Aek Doras banyak tumbuh sejenis rerumputan semak belukar yg permukaan daunnya berbulu bulu halus. Daun daun itu dahulu digunakan ayahnya mengasah parang tajak dan cangkul sebelum mereka sampai ke ladang.

Simardan lalu menugaskan beberapa orang kelasi kapal  naik ke daratan menggunakan sekoci mengambil daun daun asahan itu untuk mengasah senjata senjata mereka itu. Setelah itu sambil berhanyut hanyut memasuki Aek Doras merekapun mengasah dan menghaluskan mata pedang, tombak, pisau dan senjata logam lainnya di kapal itu.

Sebagai ingat ingatan karena peristiwa yg  dialami di senja itu, sejak saat itu mereka menamakan Aek Doras dengan Sungai Asahan. Penamaan sungai itu disamping mengenang kisah mereka bersua kapal Johor juga terasa lebih enak diucapkan oleh para anak buah Simardan di kapal itu yg semuanya berasal dari masyarakat pesisir.

Air laut sudah pasang penuh tak berapa lama haripun malam. Setelah sekian waktu kapal Simardan berhanyut hanyut itu tampaklah dari kejauhan kerlap kerlip cahaya pelita dari celah celah dinding rumah penduduk Kampung Tanjung. Cahayanya berpendar pendar terpantul di permukaan air Sungai Asahan. Begitu juga dengan rumah penduduknya yg tinggal di sebelah tepian Sungai Silau. Kampung Tanjung itu memang terletak di dua sisi daratan di sebuah tanjung pertemuan dua sungai. Malam itu Tanjung di pertemuan Sungai Silau dan Sungai Asahan yg sedang pasang penuh tampak tenang dan indah. Dari atas kapal Simardan tampak menitikkan air mata melihat kampungnya itu. Luapan rasa rindu karena telah lama meninggalkannya.

Kapal mereka telah sampai di depan Kampung Tanjung tepat di pertemuan dua sungai yg sedang pasang penuh itu. Simardan meminta  anak buahnya segera melabuh jangkar disitu karena tak dapat merapat ke tepian.


Setelah berlabuh Simardan meminta semua anak buahnya segera naik ke daratan menggunakan sekoci. Mereka yg naik ke darat dapat bermalam di Kampung Tanjung. Terkecuali dia, nakhoda dan dua orang sahabatnya yg lain untuk tetap tinggal di kapal mendampinginya.

Sebelum anak buahnya turun ke sekoci Simardan berpesan bahwa dia ada sebuah urusan pribadi  yg harus  diselesaikan segera di Selatan Kampung Tanjung itu. Besok mereka semua yg ditinggal akan disinggahi kembali untuk pulang bersama. Kemudian Simardan membekali mereka masing masing dengan senjata dan uang yg cukup. Terakhir sebelum berpisah Simardan berpesan agar merahasiakan pada penduduk disana siapa mereka sesungguhnya. Bila ada yg bertanya maka harus menyebutkan bahwa mereka adalah utusan Raja Aceh yg sedang menjalankan suatu tugas untuk kebaikan kampung itu.

Sementara itu di sana di Kampung Tanjung masyarakat semua menjadi gempar. Dengan cepat tersiar kabar bahwa penduduk di tepian ada melihat sebuah kapal besar sedang berlabuh di tengah sana malam ini. Ada pula diantara penduduk yg sering berlayar di Selat Malaka samar samar mengenal kapal itu namun dalam hatinya ia tidak begitu yakin. Akan tetapi dengan penuh percaya diri seolah sudah tanda betul dengan kapal itu lalu ia menakut nakuti penduduk Kampung Tanjung yg sedang tertanya tanya itu. Dengan lantang ia mengatakan bahwa kapal besar yg sedang berlabuh itu adalah kapal bajak laut yg sangat ditakuti itu. Ada yg percaya namun banyak pula yg tak yakin karena setahu mereka melalui berita yg dibawa dari tanah seberang bahwa kelompok lanun itu sudah lama dihabisi Kerajaan Malaka.


Bermacam ragam dugaan masyarakat yg memenuhi tepian tanjung menyaksikan keberadaan kapal asing itu.

Tapi tidak seorangpun diantara mereka yg tahu bahwa itu adalah kapal Simardan kecuali hanya para anak buahnya sendiri yg tengah merapat ke tepian. Setelah mereka sampai dan naik ke daratan langsung ditanyai penduduk yg sedang penasaran. Mereka hanya menyampaikan apa yg telah dipesankan sang majikan. Akhirnya penduduk Kampung Tanjung pun lega dan menerima serta melayani mereka semua dengan baik.

Sudah dua hari sang Puteri jelita negeri Tumasik jatuh sakit. Tidurnya selalu gelisah. Makanan dan minumannyapun tak lagi disentuh. Selera makannya sudah hilang. Bayangan sang suami selalu bergayut di mata. Senantiasa memikirkan keadaan sang pujaan yg sedang berlayar jauh. Rindu dendamnya senantiasa mengusik jiwa. Entah mengapa kemarin sore saat menyulam di taman jarinya tersusuk jarum hingga berdarah.


Sementara itu di belahan negeri yg lain emak Simardan senja itu sudah terlelap tidur. Dalam tidur ia bermimpi bertemu akan puteranya semata wayang belahan jiwa itu pulang kembali ke pangkuannya dengan membawa seorang puteri yg cantik jelita. Puteri itu sangatlah cantiknya ia berkulit halus dan berparas ayu memakai pakaian bak seorang puteri raja. Dalam mimpinya itu Simardan melambai-lambai memanggil sang bunda dari kejauhan. Sang anak hanya terlihat samar samar tertutup tabir kabut putih.

Masih dalam mimpi ketika ia hendak mendekati Simardan sang anak terlihat menjauh hingga menghilang ditelan kabut. Lalu ia tersentak dari mimpi dan terjaga dari tidurnya. Air mata sang bunda mengalir membasahi pipinya yg keriput. Hatinya seakan nelangsa kosong entah kemana. Tanpa sadar mulailah ia menyebut nyebut nama anaknya bersinandong sinandong pilu menyayat hati siapapun yg mendengarnya.

Penyakit lamanya kambuh kembali. Iapun mulai "naik puako". Menari nari sambil memukul mukul dinding atau apa saja yg ada di dekatnya. Lama lama suaranya menjadi berat dan terdengar bagai bergema. Lalu ia seakan akan sedang berbicara dengan seseorang. Benar, ia sedang berdialog mistis pada teman teman gaibnya yg sudah hadir disitu.


Biasanya bila keadaan emak Simardan sudah seperti itu maka kedua anak asuhnya Simordong sang anjing hitam dan Simerdeng sang monyet putihnya menjadi takut. Mereka lari ketakutan menjauh masuk ke dalam kebun. Nanti sesudah suasana kembali tenang barulah mereka berdua pulang kembali. Biasanya mereka kembali sambil menjepit sesuatu diantara rahangnya. Membawakan apa apa saja yg bisa diperoleh mereka dari kebun untuk dapat dimasak ataupun langsung dimakan begitu saja oleh mereka bertiga di gubuk. Biasanya sebagian dari makanan itu akan dihanyutkan oleh si nenek ke Sungai Asahan. Suatu kebiasaan rutin yg dilakukan sang emak sebagai sesajian menjamu  sahabat sahabat gaibnya disana. Dan satu bagian pula dipersembahkan buat putranya Simardan yg menghilang entah kemana.

Dalam dialog mistis itu para sahabat gaibnya  menyampaikan sebuah berita padanya. Mereka menyampaikan bahwa anaknya Simardan sudah memasuki wilayah mereka. Ia datang dengan sebuah kapal besar.

Si nenek lalu bertanya pada mereka para teman gaibnya itu apakah Simardan ada membawa seorang wanita yg berparas sangat cantik. Sahabat gaibnya menjawab bahwa mereka tidak ada melihat seorang wanitapun di kapal itu. Jumlah mereka lebih dari ini. Sambil menunjukkan kedua telapak tangan mereka yg kasar dengan jari jari panjang kehitaman serta berkuku runcing sangat panjang. Lalu tambah makhluk makhluk gaib itu lagi bahwa saat ini Simardan dan rombongannya hanya tinggal empat orang. Dengan menunjukan empat jari yg tak kasat mata manusia biasa tapi tidak halnya dengan si nenek. 

Lama mereka berdialog. Kemudian teman gaib sang nenek melanjutkan bahwa putera sang nenek sudah sampai dengan batas wilayah kekuasaan mereka. Akan tetapi dia diiringi oleh banyak prajurit dari jenis mereka juga yg tidak diketahui Simardan. Para prajurit negeri gaib dari Timur Selat Malaka.

Ketika hampir memasuki wilayah kekuasaan para sahabat gaib sang nenek para prajurit gaib negeri lain itu tidak ikut mengiring lagi. Mereka bertahan di wilayah perbatasan itu. Tampaknya seperti menunggu saja disitu sampai Simardan pulang kembali untuk dikawal sampai wilayah mereka nanti.


Rupanya pengaruh mistis kapal lanun itu masih ada sampai saat itu. Dimana dahulunya semasa kapal itu masih beroperasi sebagai kapal lanun yg sangat ditakuti para pelaut di perairan Selat Malaka.

Kapal bajak laut berpanji hitam bergambar tengkorak putih bersilang sedapat mungkin dihindari orang orang bersua dengannya di Selat Malaka. Rupanya dibalik keangkerannya kapal itu dahulu sering dijamu oleh   Raja Rompak bersama Simardan dan kaki tangannya. Mereka memberi sesajian pada makhluk makhluk gaib penguasa Selat Malaka.

Inilah rupanya media yg membuat ikatan hubungan persahabatan mistis secara gaib diantara mereka sejak dahulu. Simardan tidak menyadari itu karena ketidak tahuannya. Ia belum mengenal agama Islam saat itu masih sebagai penganut kepercayaan animisme yg memuja dan menyembah arwah para leluhur begitu pula makhluk gaib ataupun alam dan benda benda yg dianggap punya kekuatan.

Ternyata persahabatan mistis secara gaib mereka itu tetap langgeng sampai saat itu. Simardan sebagai manusia biasa tidak dapat melihat keberadaan mereka para makhluk halus itu, kecuali pada orang orang tertentu yg punya kelebihan.

Dalam agama Islam para ustad sering menyampaikan bahwa untuk memutus persahabatan lintas dimensi itu perlu melakukan ruqyah pada diri si korban. Para Da'i dan ustadz sering menyampaikan bahwa sebaik baik jin adalah seburuk buruknya manusia. Dalam Islam manusia dilarang berteman dengan jin ataupun makhluk gaib sejenisnya.

Simardan tak menyadari kapalnya tetap diikuti oleh makhluk makhluk gaib yg tetap setia karena menunggu sesuatu sesajian seperti kebiasaan dahulu. Sebenarnya mereka ingin menyesatkan manusia jatuh dalam kemusrikan dengan mempercayai kekuatan lain selainNYA. Akhirnya sang manusia jatuh menjadi hamba setan yg memuja dan menyembahnya untuk diberi kekuatan kekayaan ataupun lainnya.

Kita kembali ke gubuk emak Simardan. Mendengar berita kepulangan puteranya dari kabar gaib para sahabatnya itu ia sejak tadi sudah bersiap siap menunggu kedatangan anaknya. Ia sudah menunggu di tepian teluk kecil depan gubuknya. Disana sang bunda sudah mempersiapkan berbagai macam sesajian dalam wadah wadah di atas baki bambu yg dialasi daun pisang.  Dalam wadah wadah kecil itu ada bertih beras, darah segar ayam hitam dan putih dan kembang  tujuh rupa atau bunga rampai. Tak lupa pula telah dipersiapkan sang ibu gulai asam ikan baung beserta sayur anyang pakis kesukaan anaknya. Semua itu berdasarkan petunjuk dan permintaan dari sahabat gaibnya.

Didalam penantiannya itu tak henti henti sang ibu  bersinandong sinandong sambil menyebut nyebut nama sang putera. Simordong dan Simerdeng pun sudah dipanggilnya untuk lebih mendekat biar mereka semua sama sama menyambut kedatangan Simardan disitu.

Haripun sudah semakin malam namun Simardan belum jua muncul. Sinandongnya pun semakin menjadi jadi membuat pilu menyayat hati.

SINANDONG PENANTIAN EMAK SIMARDAN

Ahoi angin ….anginlah laut anginlah darat barombuslah kau barombus
Barombuslah dari samudera luas barombus manuju nagori
Bawakkan aku bawakkanlah anakku Simardan
Sibiran tulang bolahan hati pautan jantung

Wahai jambalang… jambalang batu jambalang batang
Muncullah kau copatlah datang
Bawakkan padaku anakku Simardan
Yang lama kurindu namun tak kunjung pulang

Sambilan purnamo satulah pasang
Aku capek mambolonyo dalam kandungan
Sampekkan bosar pande bajalan
Pande bajalan manombus utan

Lagilah kusayang diambek orang
Kamano poginyo hinggo kan kinin tak pornah datang
Tapi sayangku padonyo tak kan pornah ilang
Semoga ia diranto manjadilah orang

Kudongar kabar anakku Simardan kinin kau pulang
Kami udah lamo togak badiri
Manyambutmu yg kurindu satongah mati

Tapi mangapo kau tak jugo datang
Malukah kau akan omakmu yang malang
Wahai air susuku duhai air sumsum ayahmu sibiran tulang
Lupakah kinin kau akan omakmu nan malang……..

Tiba tiba langit sekeliling menggelap tak satupun tampak bintang di langit. Awan hitam berarak dengan kencang dihembus angin yg bergemuruh. Petir kilat sambar menyambar.

Kita kembali ke kapal Simardan yg sudah mendekati teluk kecil itu. Sebuah teluk di balik Kampung Tanjung. Ketika kapal Simardan hendak berputar masuk ke teluk kecil angin berembus sangat kencangnya. Seketika datang arus Sungai Asahan dari hulu mengalir sangat deras bagai air bah lalu bertemu disitu dengan arus pasang besar yg tiba tiba kembali naik dari laut. Pertemuan kedua arus besar itu menimbulkan gelombang raksasa yg saling hantam menghantam. Gelombang besar bagai gunung itu berputar putar mengombang ambingkan kapal Simardan disana. Kapal itu terseret dan tiba tiba sudah berada di seberang tepian tepat di depan gubuk emaknya. Selepas itu hujanpun turun dengan amat derasnya bagaikan air yg ditumpahkan dari langit diikuti gelegar guruh dan kilat sambar menyambar.

Semua penduduk di Kampung Tanjung berlindung mengurung diri di rumah. Para nelayan di perairan sekitar tergesa gesa menepi mencari perlindungan. Sementara itu yg mau pergi melaut mengurungkan langkahnya.

Sang ibu, emak Simardan ketika datangnya amuk badai besar itu rupanya sudah terjatuh tercebur ke dalam sungai. Badannya yg ringkih kena  hantaman angin kencang. Lalu ia terseret ombak ke tengah teluk ke dekat kapal Simardan. Sang emak digulung gulung ombak bersama dua anak asuhnya yg tetap setia bersama.


Sementara itu di kapal Simardan ia bersama ketiga sahabatnya sedang berjuang mati matian menyelamatkan kapal dari tenggelam. Curah hujan yg luar biasa hampir memenuhi seluruh ruangan kapal. Terlihat tenaga mereka berempat sudah tidak cukup kuat untuk menguras air hujan yg turun demikian derasnya itu memenuhi kapal. Ditambah lagi angin kencang dan ombak besar terus menerus menghantam kapal.

Dari pandangan gaib secara tidak kasat mata manusia rupanya saat itu disana telah terjadi pertempuran hebat. Pertempuran dua barisan kekuatan makhluk gaib. Satu pihak dari makhluk gaib para sahabat mistis emak Simardan yg sedang angkara murka atas perlakuan Simardan terhadap emaknya karena mereka telah mendengar dari syair syair senandung lantunan pilu sang ibu. Di lain pihak pula satu barisan makhluk gaib pengawal mistis kapal lanun sedang mengamuk besar membela Simardan yg hendak dihabisi para jembalang Sungai Asahan itu demi sang emak sahabat mistis mereka.

Emak Simardan yg mampu melihat itu lalu ia berusaha mencegahnya dengan melarungkan semua sesajian ke permukaan sungai yg sedang bergelombang dahsyat itu.

Kedua barisan makhluk gaib itu sudah berhadap hadapan tidak perduli. Mereka  bertempur satu sama lain. Seluruh jin mambang maupun setan jembalang di kawasan itu murka karena telah diserang oleh para prajurit gaib penguasa laut Selat Malaka. Bala bantuan gaib kedua pihak berdatangan. Jumlah mereka semakin besar.

Sementara itu Simardan dan ketiga sahabatnya terus berjuang dengan sisa sisa tenaga. Akhirnya Simardan mengalami pendarahan hebat dari bekas luka khitanannya, ia bontan.

Simardan tampak melemah. Iapun sudah mengambang ambang di permukaan air yg hampir memenuhi kapal. Saat itu ia sudah tak melihat lagi dua sahabatnya ada disana.

Mata Simardanpun mulai meredup dan sudah hampir terpejam. Sudah tak berdaya karena kehabisan darah. Tiba tiba ia melihat tiga sosok benda mengapung apung terseret gelombang mendekati sisi kapalnya.

Dengan sisa sisa tenaga yg masih ada Simardan berusaha meraih sesosok mengapung ketika mendekat berwujud seorang wanita tua berambut putih. Akhirnya dengan sebuah tarikan nafas yg masih ada ia berhasil meraih wanita tua itu. Wanita tua yg tak lain adalah ibunya sendiri. Sang bunda sedang meregang nyawa karena telah banyak kemasukan air serta terkena hempasan gelombang besar disitu. Yang Maha Berkehendak menentukan lain. Secara bersamaan rupanya itulah nafas mereka terakhir. Dalam dekapan lemah Simardan sang bunda melepaskan nyawanya sambil tersenyum. Senyum kepuasan telah bertemu dengan sang anak tercinta. Tak lama kepergian sang bunda disusul pula oleh Simardan yg sudah pucat lunglai kehabisan darah. Ia pasrah dan rela menghadap Tuhannya bersama sang Ibu yg ada dalam dekapannya.

Setelah itu kapal besar itupun pelan pelan tenggelam ke dasar sungai seluruhnya. Hanya menyisakan tiang lancangnya saja menyembul di permukaan air.

Seiring perjalanan waktu lambat laun bangkai kapal Simardan yg tenggelam di teluk kecil  di sebalik Kampung Tanjung itu dari hari ke hari terus ditutupi lumpur yg bercampur pasir dibawa arus Sungai Asahan dari hulunya. Sampai akhirnya kapal Simardan yg sudah itu menjelma menjadi sebuah pulau delta. Setelah timbulnya  pulau delta itu maka teluk itupun kini berubah pula menjadi selat.


Untuk mengenang legenda Simardan penduduk Kampung  Tanjung  menyebut pulau delta tersebut dengan Pulau Simardan. Begitu pula dengan selat baru itu mereka namakan Selat Lancang karena beberapa lama sampai tiang lancang kapal Simardan yg tinggi berwarna hitam itu lapuk dan hancur ia masih dapat dilihat penduduk disana. Kala itu penduduk disana masih dapat melihat tiang lancang sebagai sisa sisa kapal Simardan  mencuat  dari dasar sungai mencuat ke atas permukaan air Sungai Asahan disekitar itu. Termakan usia kini kedua tanda tanda itu sudah tak ada lagi. Bangkai kapal Simardan sudah menjadi pulau delta dari endapan lumpur sedangkan tiang lancangnya sudah habis hancur termakan usia.

PERJALANAN KISAH TERBENTUKNYA KESULTANAN ASAHAN

Jauh dari Kampung Tanjung di sebelah Tenggara terdapat sebuah kerajaan bernama Kesultanan Pinang Awan (sekarang Kota Pinang). Kerajaan ini terletak di tengah tengah antara hulu dengan hilir dari Sungai Barumun. Kesultanan Pinang Awan ini sudah ada beberapa generasi sebelum berdirinya Kesultanan Asahan.

Kerajaan Pinang Awan didirikan oleh Batara Sinomba atau dengan sebutan lain Batara Gorga Pinayungan. Dia berasal dari keturunan Raja Pagaruyung, Surawasa atau Suruaso (sebuah kerajaan  besar di Minangkabau pada masa itu) yaitu anak dari raja Alamsyah Syaifuddin.

Sedangkan Alamsyah Syaifuddin ayah Raja Pinang Awan itu adalah keturunan dari raja Adithyawarman sang penerus Dinasti Mauli (Melayu Tua) penguasa Malayapura Swarnnabhumi (Sumatera) berkedudukan di Dharmasraya.

Adithyawarman sendiri adalah putera dari Raden Wijaya (raja pertama Majapahit) dengan salah seorang isterinya yg bernama Dara Jingga (puteri Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa, Raja Dharmasraya yg juga keturunan Raja Sriwijaya).

Raja Alamsyah Syaifuddin Raja Pagaruyung yg masih keturunan Raja Majapahit (dari ayah) dan Raja Sriwijaya (dari ibu) pada masa kekuasaannya pernah mengusir seorang anak kandungnya yaitu Batara Gorga Pinayungan bersama adik tirinya bernama Puteri Longgogeni dari kerajaannya.

Sejoli yg masih bersaudara tiri itu  diusir Raja Alamsyah Syaifuddin sang ayah karena mereka berdua telah melakukan sebuah perbuatan aib yg telah melanggar adat istiadat keluarga dan negeri.

Rupanya diam diam mereka sudah kawin. Padahal sejoli itu masih seayah walau lain ibu. Artinya mereka masih dalam satu garis keturunan langsung sang raja.

Ketika pasangan sejoli yg sedang dimabuk asmara itu sedang berkemas kemas hendak lari keluar meninggalkan negeri tersebut, seorang adik kandung Batara Gorga Pinayungan yang bernama Batara Guru Payung memaksa meminta ikut bersama mereka tetapi tidak diizinkan oleh ayah mereka Sultan Alamsyah Syaifuddin.

Dengan sebuah siasat tanpa sepengetahuan sang ayah akhirnya dapat juga Batara Guru Payung ikut lari bersama abang dan kakaknya itu.

Mereka bertiga sepakat berangkat menuju ke Negeri Aceh menurut kabar mereka dengar adalah sebuah negeri yang sangat makmur. Lalu merekapun berangkat ke arah Utara kemudian sampailah di suatu daerah yang bernama Mandailing.

Selama tinggal disana mereka bertiga bersikap dan beradab baik. Merekapun dapat diterima masyarakat setempat walaupun belum mengetahui siapa mereka sebenarnya. Akhirnya sebelum melanjutkan perjalanan sampai ke negeri tujuan semula mereka bertiga untuk sementara waktu menetap disana.

Barulah beberapa waktu kemudian penduduk Mandailing mengetahui bahwa mereka bertiga sebenarnya adalah keturunan raja Pagaruyung sebuah kerajaan besar itu. Kebetulan pula pada masa itu negeri Mandailing belum memiliki raja sementara penduduknya ingin negeri mereka seperti negeri negeri lainnya yg sudah mempunyai pemimpin dan kedaulatan.

Bermufakatlah para penduduk negeri Mandailing untuk mengangkat salah seorang dari mereka bertiga untuk menjadi raja di negeri mereka itu. Akhirnya pilihan mereka jatuh kepada Batara Guru Payung sang adik yg mereka pandang mempunyai kelebihan.

Batara Guru Payung pun akhirnya menyetujui. Setelah diangkat menjadi Raja Mandailing oleh pemuka masyarakat disana lalu ia dikawinkan dengan salah seorang puteri Mandailing. Dari pasangan inilah bermula raja-raja Mandailing sampai keturunan mereka seterusnya.

Sementara itu setelah beberapa hari penobatan sang adik menjadi Raja Mandiling kemudian Batara Gorga Pinayungan alias Batara Sinomba bersama sang istri Puteri Longgogeni melanjutkan kembali perjalanan mereka menuju negeri Aceh.


Sebelum berangkat mereka dibekali sang adik dengan bekal perjalanan yg cukup. Kepada pasangan itu juga diberikan dua ekor kuda yg bagus untuk membawa mereka beserta perbekalannya.

Setelah meninggalkan negeri Mandailing negeri dimana adik mereka menjadi raja disana melanjutkan perjalanan menuju negeri Aceh.


Setelah berhari hari menempuh perjalanan dari negeri Mandailing sampailah mereka pada sebuah tepian sungai besar (sekarang Sungai Barumun). Karena hari telah mulai senja dan merekapun sudah lelah maka diputuskan untuk beristirahat saja ditempat itu menunggu esok pagi.

Mentari pagi sudah  menampakkan senyuman cahayanya menerangi alam membangunkan pasangan sejoli yg sedang terlelap di tepian sungai besar itu. Keduanyapun terbangun lalu bersiap melanjutkan perjalanan kembali.

Betapa takjubnya mereka melihat pamandangan indah di sekitar tempat mereka beristirahat itu. Tadi malam tak dapat mereka nikmati karena gelapnya malam .

Tak jauh dari tempat mereka beristirahat itu ada sebatang pohon pinang yang cukup tinggi. Menyeruak sendiri di tengah  keindahan alam sekitar sangat sedap dipandang mata.

Oleh karena rasa takjub akan keindahan alam daerah tersebut mereka berat  hati meninggalkannya. Pasangan itupun bersepakat untuk tidak lagi meneruskan perjalanan lagi ke negeri Aceh. Akhirnya mereka menetap untuk selamanya didaerah itu. Negeri baru mereka beri nama dengan Pinang Awan karena tadi melihat sebatang pohon pinang tinggi seakan menggapai awan.

Sementara  itu pada masa mereka menetap di negeri Pinang Awan disitu sudah ada dua komunitas penduduk. Berasal  dari dua marga atau rumpun keluarga. Mereka bermarga Dasopang dan Tambak. Kedua marga itu di dipimpin oleh Patuan Hajoran.

Sementara itu Kerajaan Pagaruyung pada masa itu adalah sebuah kerajaan besar yg sangat berpengaruh di seluruh pelosok negeri negeri pulau Andalas (Sumatera). Disamping itu ada pula sebuah kerajaan baru yg sudah beragama Islam bernama Samudera Pasai-Aceh di ujung Barat pulau Andalas.

Mendengar  ada putera raja dari kerajaan Pagaruyung yang singgah didaerah mereka maka Patuan Hajoran mengadakan penyambutan yang sangat meriah. Sesudah itu dengan besar hati mereka mendaulat Batara Sinomba menjadi raja di daerah Pinang Awan dengan gelar Sutan Sinomba.

Selanjutnya dalam perjalanan sejarah Kerajaan Pinang Awan dibawah kepemimpinan Batara Sinomba ia menjadi raja yang sangat arif bijaksana. Berkat kearifan dan wawasannya yg baik semakin lama negeri kecil itu semakin jaya dan besar menjadi sebuah kerajaan baru Kerajaan Pinang Awan. Pusat pemerintahan kerajaan itu dikenal dengan nama Hotang Momo (Hotang Mumuk) sekarang Kota Pinang. Inilah cikal  bakal menjelma menjadi sebuah kerajaan Melayu berbentuk  kesultanan (Kesultanan Kota Pinang).

Kemudian setelah menjadi raja disana Batara Sinomba menikah lagi dengan seorang puteri setempat dari Marga Dasopang. Dari pasangan itu mereka dikaruniai seorang putera diberi nama Mangkuto Alam dan seorang puteri.
Dalam perjalanan  waktunya sesudah itu Kerajaan Pinang Awan berkembang sampai ke pesisir Timur. Setelah putera Batara Sinomba dengan isterinya dari  Puteri Dasopang itu dewasa lalu dinobatkan menjadi raja di Air Merah meliputi Bilah dan Panai  (sekarang Negeri Lama dan Labuhan Bilik, Lab. Batu) sebagai  kerajaan  bawahan dari Kesultanan Pinang Awan.

Dinamakan Kerajaan Air Merah karena air sungai di daerah itu berwarna merah seperti inai yg dalam bahasa Pagaruyung (asal usul ayah sang raja Pinang Awan) disebut "painai" (bagai berinai). Oleh sebab itu Kerajaan Air Merah ini dikenal pula dengan nama Kerajaan Panai. Disitulah kemudian putera Batara Sinomba itu dinobatkan menjadi Raja Air Merah (Panai)   dengan gelar Sultan Mangkuto Alam.

Dimasa kepemimpinannya disana Raja Panai Sultan Mangkuto Alam mempunyai dua orang isteri dan seorang selir. Isteri kedua beliau adalah seorang puteri dari raja Angkola sebuah kerajaan kecil pula yg terletak di hulu Sungai Bilah.

Dari kedua orang isterinya tersebut beliau dikaruniai tiga orang putera dan dua orang puteri yaitu Tengku Husin, Tengku Abbas, Tengku Karib, Puteri Ungu Selendang Bulan dan Puteri Medja.

Sementara itu dari selirnya sang Raja Panai juga mendapatkan seorang putera. Kemudian dalam perjalanan sejarah Kerajaan Panai itu setelah puteranya dewasa sang selir dengan penuh kelicikannya mempengaruhi Raja Panai untuk dapat meneruskan dinasti kepada putera mereka sebagai Raja Panai apabila sang raja mangkat. Padahal seharusnya yg berhak adalah salah satu putera dari istri istri resmi sang raja apakah itu Tengku Husin atau Tengku Abbas. Dalam  perselisihan itu kedua putera kandung raja Tengku  Husin  dan Tengku  Abbas berencana akan meminta bantuan kepada Kerajaan Aceh sebagai sebuah kerajaan besar dimasa itu selain Kerajaan Pagaruyung yg tampaknya berpihak  pada Sultan  Mangkuto  Alam yg juga masih  keturunannya itu.

Mereka mencari upaya membawakan ibu mereka sang permaisuri kerajaan yang sah itu dapat menghadap langsung Sultan Aceh untuk meminta bantuan. Pada masa itu Kerajaan Aceh dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda. Melalui  Kampung  Tanjung  (Tanjung  Balai) mereka membawa Bayak Lingga Karo  Karo seorang  penduduk  disana yg pintar berbahasa Aceh sebagai juru bahasa.

Singkat  cerita mereka pun dapat bertemu dengan Raja Aceh lalu dengan amar kebijakan Sultan Aceh ia mengutus salah seorang Panglimanya Raja Muda Pidie untuk menyelesaikan sengketa di Kerajaan Panai tersebut.

Raja Muda Pidie dengan dibekali armada perang dari kerajaan Aceh berangkat ke Air Merah (Panai). Terjadilah pertempuraan disana. Dalam pertempuran tersebut Sultan Mangkuto Alam sang Raja Panai mati terbunuh di bawah pohon jambu. Oleh karena itu beliau dikenal pula dengan sebutan lain Marhum Mangkat Dijambu.

Dengan terbunuhnya Sultan Mangkuto Alam sang Raja Panai  maka sang putera dari selirnya itupun batal pulalah dinobatkan sebagai pengganti penerus raja Panai. Akhirnya dengan perlindungan  dari Kerajaan  Aceh sengketa diantara tiga keluarga itupun berhasil diselesaikan.

Sebagai hadiah atas bantuan yg telah diberikan Sultan Aceh tersebut maka Tengku Abbas dan Tengku Husin bersama sang ibu permaisuri Kerajaan Panai menyerahkan kedua Puteri yaitu Siti Ungu Selendang Bulan dan Siti Medja sebagai mahar perjanjian kepada Sultan Aceh Iskandar Muda untuk dijadikan Isteri.

Hari berganti hari dan bulanpun telah berganti bulan. Akhirnya Siti Ungu  Selendang  Bulan sudah mengandung  dari buah pernikahannya dengan Sultan Iskandar Muda. Ia secara  diam diam melalui orang kepercayaan senantiasa mengirimkan berita ke negerinya di Panai. Ibu dan kedua abangnyapun menjadi rindu dan ingin menjemputnya kembali. Dicarilah jalan untuk dapat membawa kedua adiknya kembali. Lalu mereka mencari Sibayak Lingga Karo Karo kembali ke Kampung  Tanjung. Setelah berjumpa dan menyampaikan keinginan  mereka akhirnya Bayak Lingga Karo Karo menawarkan ayamnya yg terkenal jago di arena aduan itu untuk diadu  dengan ayam  Raja Aceh. Melalui siasat yg sudah mereka atur sedemikian rupa bersama beberapa tokoh yg lain lalu merekapun berangkat ke negeri Aceh. Sesampai di negeri Aceh merekapun menghadap raja dan menyampaikan maksud kedatangan.

Singkat cerita ayam jago Sibayak Lingga  Karo  Karo dapat mengalahkan ayam jago  Raja Aceh di arena aduan. Sultan Iskandar Muda hanya menyerahkan Siti Ungu  Selendang Bulan yg sedang hamil itu saja tanpa turut menyerahkan adiknya Siti Meja. Dimana penyerahan itu diikuti perjanjian  pula bahwa nanti setelah dibentuk Kesultanan Asahan oleh Kerajaan Samudera Pasai-Aceh melalui pembicaraan dan perjanjian bersama pemuka pemuka negeri Asahan seperti utusan dari Kerajaan Panai, Bayak Lingga Karo Karo dan Raja Simargolang sebagai penguasa  disitu serta yg lainnya.

Pada pertemuan itu disepakatilah bahwa Raja Pertama Kesultanan Asahan itu nanti adalah anak yg dikandung Siti Ungu Selendang Bulan apabila nanti yg lahir itu adalah seorang putera. Pada waktunya nanti ia akan datang  ke Kampung Tanjung  untuk menobatkan langsung puteranya itu sebagai  Sultan I Asahan. Lalu sesudah itu barulah ia menceraikan istrinya Siti Ungu Selendang Bulan dan menikahkannya pada Bayak Lingga Karo Karo.

Setelah disepakati  lalu kembalilah rombongan itu dengan membawa Siti Ungu Selendang Bulan saja. Puteri  Kerajaan Pantai itu biasa pula dipanggil dalam keluarga dengan sebutan Siti Unai. Kala itu ia sedang hamil mengandungkan anak Sultan Iskandar Muda. Sementara itu adik bungsunya Siti Medja tetap tinggal di Aceh karena tak diperkenankan Sultan Iskandar Muda untuk dibawa pulang.

Waktu terus berputar Siti Unai pun melahirkan seorang putera. Lalu pihak keluarga pun menyampaikan berita kelahiran itu kepada Sultan Iskandar Muda di Aceh.

Setelah menerima berita itu Sultan Iskandar Mudapun mengatur waktu keberangkatan ke Kampung Tanjung. Tak berapa lama setelah menerima berita itu iapun berangkat dengan kapal layar besarnya ke Kampung  Tanjung. Disana ia akan menobatkan sang putera sebagai Sultan I Asahan. Kerajaan Aceh akan senantiasa mengawasi dan melindungi kerajaan baru ini walaupun masih dipimpin seorang muda belia. Nanti sang Sultan yg masih kecil ini dalam menjalankan  kekuasaannya akan dibantu sang ibu bersama ayah tirinya. Untuk membicarakan itulah nanti maka ia perlu datang langsung kesana. Disamping itu ia akan menceraikan Siti Unai dan menikahkannya dengan Bayak Lingga Karo Karo juga akan membuat perjanjian dengan para pemuka disana sesuai dengan perjanjian diantara mereka dahulu.

Rupanya tanpa disadari Sultan Iskandar Muda sedang akan melunasi janji pendahulunya dahulu pada Simardan yg sudah tiada. Sebuah janji yg belum sempat diwujudkan hingga pendahulunya itu mangkat.

Antara Sultan Iskandar Muda dengan pihak Siti Unai bersama tokoh tokoh lainnya membuat perjanjian yg menyangkut antara lain bahwa anak keturunan Bayak Lingga Karo Karo dengan Siti Ungu Selendang Bulan nanti akan bergelar Datuk Muda (kanan). Kemudian setelah mengawini Siti Unai, Bayak Lingga Karo Karo dapat kembali menikah dengan puteri Raja Simargolang dari Bandar Pulau (anak keturunan paman Simardan). Nanti anak keturunan mereka dapat diberi gelar Datuk Muda (kiri). Hanya keturunan langsung dari Sultan Iskandar Muda dengan Siti Ungu Selendang Bulan sajalah yg dapat menyandang gelar bangsawan Tengku. Para putera putera anak keturunan raja yg bergelar Tengku inilah nanti yg dapat menjadi penerus raja di Kesultanan Asahan.

Setelah perjanjian disepakati kemudian Sultan Iskandar Muda sang Raja Aceh itupun menobatkan puteranya Soeltan Tengkoe Abdoel Djalil Rahmadsjah bin Sultan Teuku Iskandar Muda sebagai Sultan I Kesultanan Asahan. Ia adalah putera kandung Sultan Iskandar  Muda bersama Siti Ungu Selendang Bulan sang Puteri Kerajaan Panai. Penobatannya berlangsung di Kampung Tanjung seperti harapan Simardan di masa hidupnya.
(TAMAT)

Komentar

  1. Play Slots Online For Fun - JTGHub Casino
    How to Play Online Slots with friends? — As soon as you land a virtual ticket 구미 출장마사지 to play a 밀양 출장샵 slot 안성 출장샵 machine, 평택 출장안마 your 남양주 출장안마 chances of winning are very, very high!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

SUNGAI BEROMBANG DARI MASA KE MASA

Tanjungbalai Dalam Foto

LEGENDA GUA "LIANG NAMUAP" DI SIBUHUAN SOSA