Samgar Tanjungbalai

SAMGAR 

Bagi orang orang tua yang lahir dan dibesarkan di Tanjungbalai ataupun para perantau asal Tanjungbalai kelahiran 1960an kebawah pastilah tak asing mendengar nama ini. Apalagi mereka itu para preman tua yang ada disana ataupun yang berasal dari sana.

Samgar adalah panggilan akrab masyarakat Tanjungbalai kala itu. Ia merupakan kata singkatan dari Samping Garuda. Disebut begitu karena letaknya memang persis di samping Bioskop Garuda. Kedua tempat itu kini telah berubah menjadi komplek pertokoan.

Samgar adalah lapak pada sebuah lahan kosong yang berbatasan langsung  di sisi Baratnya dengan Bioskop Garuda, di sisi Timur dengan jalan A. Yani di sebelah Utara dengan jalan Cokroaminoto dan di sebelah Selatan dengan belakang pertokoan jalan Teuku Umar (sekarang kira kira di belakang Rumah Makan Chaidir).

Lahan kosong yang hampir satu blok itu terletak diantara tiga jalan itu semula merupakan lahan parkir sepeda maupun sepeda motor para penonton Bioskop Garuda. Lambat laun oleh sebagian masyarakat setempat disana dijadikan pula sebagai tempat berusaha. Mereka membuka kios rokok dan warung warung menjual makanan minuman bagi masyarakat. Sasaran utamanya adalah para pengunjung Bioskop Garuda juga bioskop Asahan (Ramai Bioskop) yang ada tak begitu jauh di belakangnya.

Seiring perjalanan waktu karena setiap hari bioskop Garuda dan Bioskop Asahan itu beroperasi sampai larut malam terutama pada malam malam libur. Sudah barang tentu pengunjungnya juga akan masuk apalagi pulangnya larut malam pula. 

Biasanya pengunjung bioskop untuk pemutaran film (show) larut malam itu adalah orang orang dewasa terutama anak anak muda yang sudah berusia diantara 30an sampai 50an tahun. Sambil menunggu masuk biasanya mereka duduk duduk minum di warung warung samping bioskop itu. Begitu pula pada saat keluar bioskop sehabis menonton banyak pula anak anak muda itu dengan berkawan kawan ataupun juga ada yang berpasangan kembali duduk duduk di warung itu sekedar melepaskan haus dan mengisi perut yang sudah keroncongan memesan teh manis panas ataupun kopi beserta nasi gireng ataupun mie goreng.

Rupanya kebiasaan ini dilihat beberapa pemilik warung lainnya yang kurang maju sebagai peluang. Merekapun mulai menyediakan minuman minuman keras jenis murahan (bukan minuman keras impor) seperti bir, kamput, arak putih, steven, dll). Awalnya sembunyi sembunyi bila ada yang memesan saja. Lama lama menjadi kebiasaan dan terbuka. Hanya saja berlangsung pada malam hari. 

Hebatnya tak ada satupun yang menjual tuak disitu walaupun mereka menggelar minuman haram. Masyarakat asli Tanjungbalai yang bukan pendatang mayoritas beragama Islam sangat tabu dengan minuman haram yang satu ini kala itu. Mereka menganggap tuak adalah minuman suku lain (Batak) yang biasanya menyediakan pula tambul tambul binatang yang diharamkan agama. 

Walaupun anak muda itu seorang peminum minuman keras tapi ia tak akan mau disebut sebagai peminum tuak yang konotasi di masyarakat kala itu sebagai minuman kotor dan jorok disamping haram. Oleh karenanya para pemilik warung di Samgar tidak ada menyediakan tuak karena sudah pasti tidak akan diminati para pelanggannya. Kala itu tuak masih susah dicari tempat penjualannya di kota ini. Kecuali warung warung di sekitar terminal bus yang disana banyak terdapat supir dan kernet umumnya berasal dari daerah Tapanuli Utara. Juga sedikit terdapat di daerah daerah pinggiran Tanjungbalai seperti Teluk Ketapang. Itupun dijual secara tertutup tidak mencolok mata ditutup tutupi dari pandangan mata masyarakat Tanjungbalai.

Pelan namun pasti kebiasaan buruk anak anak muda berikut para orang orang yang sudah berumur itu kumpul kumpul di Samgar hampir setiap malam mulailah meningkat derajat keburukannya. Lapak lapak warung disana mulai pulalah menyediakan domino batu untuk bermain gaple pengunjungnya. Disamping itu juga kartu trup ataupun sejenisnya. 

Perjudianpun menjadi marak disitu. Tak jarang mereka bermain sampai pagi hari membuat keluarga di rumah resah gelisah. Biasanya minuman keras dan judi tak akan lengkap bila tak ada wanita penghiburnya, demikian bisikan setan merasuki para pemilik lapak. Akhirnya seringlah disitu dijadikan arena ronggeng dan joget dengan mendatangkan para peronggeng. Pengunjung membayar atau memberi uang tip pada wanita wanita penghibur itu. Sesudah itu menjelmalah Samgar sebagai konotasi negatif bagi masyarakat Tanjungbalai. Ia menjadi momok bagi para orang orang tua dan isteri isteri disana. Para orang tua akan kuatir bila anak mudanya bermain main kesana terutama di malam hari. Begitu pula isteri isteri terhadap suaminya. Sejak saat itu seringlah terjadi perpecahan rumah tangga di Tanjungbalai kala Samgar telah berubah fungsi menjadi lapak seperti itu. Ia telah berubah wujud bagaikan suatu kawasan lokalisasi tak resmi di Tanjungbalai sampai akhirnya digusur pembangunan sekitar awal tahun 1980an.

Masa eksisnya Samgar itu penulis masih kanak kanak. Bersama teman teman sebaya sering mencari dan mengumpulkan tutup tutup botol ataupun kertas kertas rokok disitu untuk selepas pulang sekolah untuk dijadikan taruhan dalam permainan di lingkungan tempat tinggal. Sesekali kami juga mendapat bekas bekas dam batu yang sudah tidak digunakan lagi. Daun daun dan batu yang kami dapat itu setelah sampai di lingkungan dekat rumah kami korek tengahnya menggunakan ujung pecahan kaca lalu kami bentuk sedemikian rupa menjadi cincin. 

Seiring perjalanan waktu semua itu kini telah berubah. Bangunan dan tempat saksi bisu itupun kini telah tiada. Sebagian pelakunya juga sudah banyak yang telah berpulang. Ini hanya sekedar mengingatkan  kita semua agar sisi kelam kota ini menjadi iktibar agar tak terulang lagi. Jangan pernah memberi peluang apalagi membiarkan sesuatu yang buruk itu sedikitpun karena akan menghabisi kebaikan yang ada selama ini. Itulah Samgar. (Drs. Harunsyah Arsyad, M.AP)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LEGENDA PULAU SI KANTAN

SUNGAI BEROMBANG DARI MASA KE MASA

LEGENDA GUA "LIANG NAMUAP" DI SIBUHUAN SOSA