Sekelumit Tentang Berdirinya Lapangan Pasir Tanjungbalai

Sekelumit Tentang Berdirinya Lapangan Pasir Tanjungbalai

Sebidang tanah yang dikelilingi Jalan Pahlawan Tanjungbalai itu dahulunya adalah bagian luar dari halaman istana Kesultanan Asahan. Boleh disebut sebagai alun alunnya kesultanan. Lapangan terbuka ini  di masa itu ia masih satu hamparan dengan lahan lapangan bola Stadion Asahan Sakti sekarang yang masa itu belum ada atau belum dibangun. 

Kedua taman terbuka hijau itu hanya dipisahkan sebuah jalan raya (lihat gambar). 


Dua lapangan terbuka di depan istana itu menambah keasrian kota Gementee ini dan sekaligus juga menambah keindahan serta kemegahan istana Kesultanan Asahan itu sendiri. Apalagi di belakang istana itu mengalir jernih Sungai Silau yang membelah Tanjungbalai menuju pertemuannya dengan Sungai Asahan di ujung tanjung.

Pada sekitar awal tahun 1970an dilakukan pengorekan atas sedimentasi (pendangkalan) Sungai Silau dan Sungai Asahan. Pekerjaan ini dibiayai oleh pemerintah pusat. Dalam pekerjaan itu ada 2 (dua) buah kapal keruk yang dioperasikan disana. Satu dioperasikan di Sungai Asahan dimana hasil pengerukannya yang berupa lumpur dan pasir dibuat menjadi pantai reklamasi Boting Seroja. Pantai reklamasi ini mengitari seluruh tepian kawasan S. Dengki sehingga arealnya menjadi lebih luas dari sebelumnya. 

Setelah pantai reklamasi Boting Seroja itu ada maka beberapa masa kemudian banyaklah para pendatang juga penduduk sekitar yang baru berumah tangga mendirikan rumah rumah panggung dari kayu disitu saling berdempetan. Akibat kurangnya pengawasan serta pembiaran dari pemerintah setempat lambat laun akhirnya rumah rumah panggung itu makin mendesak sampai ke Sungai Asahan. Kini sudah menutupi seluruh pantai reklamasi Bitung Seroja. Sangat disayangkan mengapa waktu itu tidak ada kebijakan pemerintah setempat untuk menjadikan pantai reklamasi ini sebagai kawasan hijau water front kota saja untuk menjaga pendangkalan Sungai Asahan yang lebih ekstrim. Disamping sebagai sarana rekreasi masyarakat.

Sementara itu pada masa yang sama satu kapal keruk lagi dioperasikan di Sungai Silau. Hasil kerukannya di buang di 2 tempat. Lokasi pertama adalah daerah Boting Semelur sekarang. Sementara itu untuk areal pembuangan kedua adalah lapangan pasir sekarang yang dialirkan kesana melalui sebuah pipa besar dari sekitar Sungai Karton (sebuah tepian Sungai Silau di antara tepian belakang Istana Kesultanan Asahan dan tepian belakang sebuah pabrik sabun cuci batangan.

Dipilihnya lapangan itu sebagai lokasi kedua pembuangan hasil sedimentasi Sungai Silau dengan pertimbangan tanah disekitar itu masih rendah. Apabila air laut pasang besar yang menyebabkan permukaan Sungai Silau naik tinggi maka airnya akan mendarat sampai kesana. Apalagi di awal berakhirnya kekuasaan pemerintahan kolonial disana, banyaklah infrastruktur kota yang terbengkalaikan. Begitu juga halnya dengan taman terbuka hijau itu ia menjadi bagaikan lapangan semak belukar yang diselimuti tumbuhan perdu serta berawa rawa digenangi air tempat bersarangnya nyamuk dan binatang berbisa. Oleh karenanya dipandang perlu untuk ditimbun sehingga menjadi lebih tinggi dan terang seperti sekarang. Atas usulan pemerintah setempat yang saat itu sangat kekurangan dana anggaran akhirnya mendapat perhatian pemerintah pusat juga. 

Hasil sedimentasi dari Sungai Silau berupa pasir mengandung kwarsa. Agak berbeda dengan hasil pengerukan dari sedimentasi Sungai Asahan yang berupa pasir bercampur lumpur. Oleh karenanya timbunan hasil pengerukan sedimentasi Sungai Silau yang dibuang ke lapangan pasir dan Boting Semelur berubah menjadi hamparan pasir. 

Dahulu sebelum adanya bangunan gedung Pengadilan Negeri dan sebuah SPBU di atas lahan lapangan pasir itu, dikala siang saat tengah teriknya matahari maka pandangan kita akan menjadi silau bila melihat ke arah lapangan pasir itu. Ini dikarenakan adanya pantulan cahaya matahari pada hamparan pasir mengandung kwarsa (bahan baku kaca) itu. 

Beberapa tahun kemudian melalui pembicaraan dan persetujuan dengan pihak ahli waris Kesultanan Asahan, oleh Pemerintah Kota Tanjungbalai lapangan ini diresmikan dengan nama Lapangan Sultan T. Abdul Jalil Rahmadsyah (Sultan I Kesultanan Asahan). Pemerintah setempatpun membangun sebuah arena bermain sepatu roda bagi masyarakat disitu yang dilengkapi dengan lampu lampu taman, bangku bangku dari batu yang disemen serta tamannya. Arena sepatu roda ini berlokasi diantara Stadion Asahan Sakti dan Lapangan Sultan T. Abdul Jalil Rahmadsyah. Sekarang berubah fungsi menjadi lapak kuliner pisang kopit khas Tanjungbalai. Pada lahan lapangan pasir itu sendiri dibuatkan pula sarana olahraga bagi masyarakat seperti bola kaki, volley dan takraw/bulu tangkis. Lapangan ini dimanfaatkan juga sebagai tempat upacara bendera pada hari hari besar nasional pemerintah setempat. Selain itu sebagai lapangan untuk tempat Sholat Idul Fitri dan Idul Adha bagi masyarakat kota Tanjungbalai. Pada hari hari tertentu berlangsung pula pameran dan pertunjukan disini. Disamping itu dengan seijin pemerintah  setempat sering pula dipakai oleh pihak pengelola usaha hiburan seperti sirkus, pasar malam, konser, pertandingan, dll. 

Sejak saat itu ramailah lapangan pasir ini dikunjungi oleh masyarakat kota terutama oleh pasangan pasangan muda mudi pada malam hari walaupun terkadang sedang tak ada keramaian (pertunjukan) disitu. Awalnya hanya sekedar tempat bertemu pada malam mingguan saja. Mereka mencari angin disana sambil mencuci mata melihat keramaian kota. Lama kelamaan entah mengapa setelah itu ada pula kebiasaan kawula muda disana pada masa itu pertemuan tengah mingguan (Middle Week) yaitu pada malam Kamis.

Setelah munculnya Boting Semelur sebagai pulau reklamasi atas pengorekan sedimentasi Sungai Silau oleh Pemerintah Daerah Tanjungbalai dimanfaatkan. Dibangunlah disana sebuah instalasi pengolahan air bersih dibawah pengelolaan PDAM Tirta Kualo. Airnya bersumber dari air Sungai Silau. Instalasi air bersih ini dibangun dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan air bersih penduduk Tanjungbalai yang semakin melonjak pertumbuhannya. Pengolahan air sungai ini didukung pula beberapa sumur bor sumber air tanah yang telah dimiliki pemerintah daerah. Sumur bor sumber air bawah tanah yang terbesar dengan sebuah menara air masih berdiri di tengah kota Tanjungbalai sampai kini. Ia adalah salah satu bangunan peninggalan kolonial Belanda dan masih berfungsi sampai sekarang. Menara air itu berfungsi sebagai bak penyimpanan dan sekaligus penyulingan air yang disedot dari bawah tanah untuk didistribusikan ke masyarakat pengguna. Sejak dahulu sampai sekarang pada saat bulan Ramadhan apabila tiba waktu Imsyak dan waktu berbuka maka akan berbunyilah alarm sirine yang ditempatkan di ujung menara air ini guna suaranya dapat menjangkau seluruh pelosok kota. Oleh masyarakat disana disebut dengan bunyi suling. Dahulu masyarakat mengenal menara ini sebagai tempat menyuling (menyaring) air bawah tanah menjadi air bersih. Kata suling inilah akhirnya menjadi sebutan bunyi suling oleh masyarakat Tanjungbalai, saat dimana menara air itu alarm (sirine) yang ditempatkan disitu dibunyikan.

Di awal setelah munculnya pulau reklamasi Boting Semelur yaitu beberapa tahun sebelum dibangunnya instalasi pengolahan air sungai disitu oleh pemerintah setempat dikenalkan kepada masyarakat sebagai tempat rekreasi baru. Diadakalanlah disana syukuran dengan sebuah pesta hiburan rakyat. Berbagai pertunjukan dan perlombaanpun digelar. Salah satunya adalah Pemilihan Raja dan Ratu Boting Semelur.(Drs. Harunsyah Arsyad, M.AP)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LEGENDA PULAU SI KANTAN

SUNGAI BEROMBANG DARI MASA KE MASA

LEGENDA GUA "LIANG NAMUAP" DI SIBUHUAN SOSA