Stasiun Kereta Api Tanjungbalai

Stasioen Kereta Api Tandjoengbalei 

Salah satu bangunan peninggalan kolonial Belanda di Tanjungbalai adalah Stasiun Kereta Api Tanjungbalai yang sekarang terletak di sisi jalan Letjen. Suprapto Kel. Tanjungbalai IV Kec. Tanjungbalai Utara, Tanjungbalai. Di awal tahun 1980an s.d 1990an dahulu di depan stasiun kereta api ini ada berdiri sebuah bioskop bernama Bioskop Ganesha. Bioskop ini umumnya hampir setiap malam memutar film Hindustan saja. Pemiliknya adalah seorang pengusaha keturunan India di kota ini yang juga pemilik Bioskop Garuda di jalan Cokroaminoto Tanjungbalai.


Pada masa kolonial dahulu di kawasan ini, mulai dari tepian Sungai Asahan (sekarang S. Dengki) di sebelah Timur sampai tepian Sungai Silau di sebelah Selatan dan Timur serta Sungai Tualang Raso (Sungai Kapias) di sebelah Utaranya hanya dijadikan sebagai kompleks dari Deli Spoorweg Maatschappij (DSM). Pada masa itu pergudangan dan rel kereta api DSM ini sampai ke ujung daratan di tepian Sungai Silau di pertemuannya dengan Sungai Asahan (di seberang pajak kawat sekarang).

Jembatan Sungai Silau dengan latar belakang pergudangan DSM

Sejak kolonial Belanda menguasai Kesultanan Asahan pada tanggal 12 September 1865 maka ditempatkanlah di Tanjungbalai seorang Kontroler Belanda yang membawahi Afdeling Asahan, Batubara dan Labuhan Batu dengan Tanjungbalai sebagai pusat pemerintahannya. 

Kemudian setelah pihak kolonial Belanda mengadakan konsesi dengan pihak Kesultanan Asahan dalam mengembangkan ekspansi perkebunanannya di Sumatera Timur (setelah berhasil dengan bisnis perkebunan tembakau Deli nya di Deli dan Serdang), lalu pihak kolonial mendatangkan para investor Eropah dan Amerika untuk membuka perkebunan di 3 daerah ini. Inggris membuka perkebunan karet dan sawit Lonsum, Belgia membuka perkebunan karet dan sawit Socfindo, Amerika membuka perkebunan karet  Uni Royal, dan banyak pula yang kecil kecil lainnya baik membawa bendera yayasan, perkumpulan maupun perseorangan.

Kantor P.T. Lonsum di Medan

Salah satu PKS dari Socfindo 

Bekas Kantor Uni Royal (sekarang diakuisisi oleh Bakrie) di Kisaran

Kepada para investor itu oleh kolonial Belanda dibebankan kewajiban untuk membayar segala sesuatu dalam mendukung bisnis mereka untuk menguasai pasar kebutuhan internasional itu. Diantaranya adalah pembangunan infrastruktur transportasi darat (jalan, jembatan, rel kereta api dan stasiunnya) begitu pula pelabuhan laut untuk pengiriman barang barang hasil perkebunan itu. Semua sudah diperhitungkan oleh kolonial Belanda termasuk operasional dan perawatannya. Kepada pihak Kesultanan Asahan diberikan uang konsesi setiap tahunnya serta dibangunkan sebuah Istana Kesultanan Asahan (sekarang sudah menjadi komplek ruko) di tepi Sungai Silau di sisi Utara sedangkan kantor Gemeente di sisi Selatan Tanjungbalai (sekarang rumah dinas Walikota). 

Sejak konsesi perkebunan itu mulailah dibangun di Asahan dan Tanjungbalai jalan raya dan jembatan begitu pula rel kereta api yang terkoneksi menuju Deli (Medan) yang lebih dahulu dibangun. Maka pada tanggal 6 Agustus 1915 disambungkanlah pembangunan rel kereta api dari Rantau Laban (sekarang wilayah Sergei) ke Tanjungbalai sepanjang 141 Km. Jalur ini sedikit memasuki wilayah Simalungun (seperti Perdagangan). Tahun berikutnya DSM membangun pula jalur ke P. Siantar. Jalur antara ke Asahan dan ke Simalungun itu berpisah di stasiun Tebing Tinggi. Kemudian pada tanggal 1 Pebruari 1918 jalur rel DSM sampai ke pelabuhan laut Teluk Nibung. 

Pelabuhan Teluk Nibung

Kita harus angkat topi juga dengan si penjajah ini, tanpa membebani Kesultanan Asahan ataupun Indonesia dengan beberapa tahun saja Asahan dan Tanjungbalai sudah memiliki semua sarana itu termasuk rumah rumah sakit, kantor pos (mereka sangat berkepentingan dalam berkomunikasi ke segala daerah di jajahannya di Indonesia juga ke negerinya sendiri tempat keluarganya berada) dan kantor kantor lainnya yang kala itu kualitas bangunannya sudah berskala internasional (bukan kaleng kaleng, kata anak sekarang). 

Rumah Sakit Katerina di Kisaran 

Setiap pembangunan mempunyai perhitungan yang detil. Survei dan kajian menjadi landasan. Itulah makanya jalur kereta api dan stasiun kereta api Tanjungbalai mereka bangun di tempat sekarang karena pertimbangan ekonomis menghindari pembangunan jembatan kereta api Sungai Silau bila dibangun di Selatan serta akan lebih dekat ke pelabuhan Teluk Nibung disamping kawasan itu masih sepi dari pemukiman penduduk. Kala itu penduduk hanya mendiami sekitar tepian Sungai Asahan (sekarang di S. Dengki) dan tepian Sungai Silau (sekarang Kampung Baru) karena mereka adalah para nelayan nelayan Tanjungbalai. Sejak saat itu terbukalah kawasan itu sebagai daerah baru yang terhubung ke Teluk Nibung melalui jalur darat (jalan raya dan rel kereta api) terutama arus barang barang hasil perkebunan setempat. Karena pertimbangan operasional mendahulukan kepentingan kolonial dan para investor dalam aktifitas pengiriman barangnya maka kereta api penumpang tidak tersedia pada jalur Tanjungbalai ke Teluk Nibung.

Setelah itu disana berdirilah stasiun, depot kereta api, gudang gudang, bengkel kereta api, perkantoran ekspedisi dan perumahan pimpinan (amtenar) serta karyawan  kereta api Belanda. Peninggalannya sekarang hanya tinggal Stasiun Kereta Api, depot tua, beberapa rumah para amtenar (rumah tua RM. Baginda dan yang berdekatannya di TPO itu serta beberapa rumah si seberangnya di sebelah bekas terminal bus ke Teluk Nibung dahulu) serta sebuah gedung tua di persimpangan Jalan Mesjid Menara Lima, dekat Jembatan arteri).

Setelah Jepang masuk dan Belanda angkat kaki maka praktis aktifitas DSM beralih ke tangan Jepang. Karena menyangkut hajat lintas negara dengan pihak investor perkebunan yang bermacam ragam itu, maka Jepang tetap harus patuh pada ketentuan internasional. Boleh dikatakan masa pendudukan Jepang itu adalah masa stagnan DSM sampai dikuasai oleh Jawatan Kereta Api Indonesia tahun 1946.

Karena kebutuhan pasokan daya listrik yang sangat urgen bagi Jepang di Tanjungbalai, dimasa pendudukannya itu ia mendatangkan sebuah kapal genset S.S. Denki (berteknologi Steam Ship atau Kapal Uap). Kapal ini stay dan dilabuhkan di tepian Sungai Asahan (di kawasan Beting Seroja S. Dengki sekarang). Kemudian sejak saat itu banyaklah orang orang Jepang yang ditempatkan dan tinggal di kawasan itu. Peninggalannya dapat dilihat dari beberapa rumah bangunan Jepang tak beberapa jauh dari jembatan Sungai Silau sekarang ketika memasuki kawasan S. Dengki. Mungkin pula ada anak keturunan mereka yang masih ada disana saat ini dan sudah menjadi warganegara Indonesia.

Beberapa tahun setelah agresi Belanda (1947 dan 1948) kemudian  pada tahun 1955 resmilah DSM diserahkan kepada Indonesia dan beralih menjadi Jawatan Kereta Api Indonesia. Disebabkan karena situasi yang masih belum kondusif  serta adanya pemberontakan (PKI) dan revolusi sosial Sumatera Timur yang berimbas pula pada Tanjungbalai. Dimana dimasa itu banyak aset aset pihak penjajah (Belanda maupun Jepang) yang diperebutkan untuk dikuasai oleh partai, organisasi, tentera/polisi, penguasa dan lain sebagainya. Keadaan yang seakan tanpa pemerintahan ini (Kesultanan Asahan pada tahun 1946 sudah diserahkan kepada Republik) menimbulkan keberanian pula bagi sebagian penduduk untuk menjarahi lahan lahan komplek DSM ini. 

Sejak saat itu ramailah kawasan ini dihuni oleh sebagian penduduk yang belum memiliki tanah. Inilah cikal bakal terbukanya Kampung Baru di Tanjungbalai. Setelah penduduknya semakin padat oleh pemerintah daerah dibangun pulalah disitu sebuah jalan baru menghubungkan ke Asahan (Air Joman, dll) yang disebut masyarakat setempat dengan Pasar Baru. Sejak saat itu mulailah kawasan baru ini ditata dengan baik. Sebuah sudut di kawasan ini yang dahulunya tidak nyaman terutama bagi para pendatang pada wakru malam hari. Sering terjadi lemparan lemparan kepada pelintas di kawasan ini yang berasal dari lorong lorong yang masih gelap karena belum ada penerangan jalan dan lingkungan (kawasan ini digelar dengan sebutan daerah Batu Layang) kini sudah tidak ada lagi terdengar. Semoga Tanjungbalai makin baik kedepannya. (Drs. Harunsyah Arsyad, M. AP).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LEGENDA PULAU SI KANTAN

SUNGAI BEROMBANG DARI MASA KE MASA

LEGENDA GUA "LIANG NAMUAP" DI SIBUHUAN SOSA