SEKILAS ASAL-USUL TANJUNGBALAI

Kerajaan Asahan
Kerajaan Asahan bermula, ketika Sultan Aceh, Iskandar Muda melakukan perjalanan ke Johor dan Malaka pada tahun 1612 M. Dalam perjalanan menuju tujuan tersebut, rombongan raja ini beristirahat di sebuah kawasan, di hulu sebuah sungai yang kemudian dinamakan Asahan. Selesai beristirahat di hulu sungai ini, kemudian perjalanan dilanjutkan ke sebuah daerah yang berbentuk tanjung, yaitu daerah pertemuan antara Sungai Asahan dengan Sungai Silau. Di tanjung tersebut, Sultan Iskandar bertemu dengan Raja Simargolang. Sebagai tempat menghadap kepada raja, di daerah tersebut kemudian dibangun sebuah pelataran atau balai. Dalam perkembangannya, daerah ini kemudian menjadi perkampungan denga nama Tanjung Balai. Karena letaknya yang strategis di lintasan jalur perdagangan antara Aceh dan Malaka, maka Tanjung Balai kemudian berkembang pesat. Dari pertemuan Sultan Iskandar Muda dengan Raja Simargolang di atas, hubungan mereka kemudian bertambah erat dengan perkawinan Sultan Iskandar Muda dengan salah seorang putri Raja Simargolang. Dari perkawinan tersebut, kemudian lahir seorang putra bernama Abdul Jalil. Kelak, Abdul Jalil inilah yang menjadi Sultan Asahan pertama pada tahun 1630 M. Dalam perjalanannya, karena adanya ikatan kekerabatan dengan Aceh, maka kerajaan ini menjadi daerah bawahan Aceh hingga awal abad ke-19 M. Pada 12 September 1865 M, Asahan ditaklukkan oleh kolonial Belanda. Ketika Indonesia merdeka, Asahan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1946 M. Selain dengan Aceh, hubungan Kesultanan Asahan dengan Kerajaan Batak juga terjalin dengan mesra. Bahkan, Sisingamangaraja XII pernah berinisiatif untuk meminang putri Sultan Asahan. Pinangan tersebut disetujui oleh Sultan Asahan, karena mereka yakin Sisingamangaraja telah memenuhi syarat untuk melakukan ijab kabul. Namun pernikahan tersebut batal akibat masuknya Belanda.
Silsilah Raja-raja Asahan
Perjalanan Pemerintahan Kerajaan Asahan
Sepanjang masa berdirinya, di Kerajaan Asahan telah berkuasa sebelas orang raja. Wilayah Kerajaan Asahan mencakup daerah yang sekarang menjadi Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, Indonesia. Asahan adalah kerajaan kecil yang menjadi bawahan Aceh, maka secara otomatis, struktur kekuasaan tertinggi berada di tangan Sultan Aceh. Di daerah Asahan sendiri, terlepas dari relasinya dengan Aceh, kekuasaan tertinggi berada di tangan sultan, yang bergelar Yang Dipertuan Besar/Sri Paduka Raja. Jabatan yang lebih rendah adalah Yang Dipertuan Muda. Untuk daerah Batubara dan kawasan yang lebih kecil, pemerintahan dijalankan oleh para datuk. Ketika Asahan ditaklukkan oleh Belanda pada 12 September 1865, terjadi perubahan struktur kekuasaan, dengan Belanda sebagai penguasa tertinggi. Wakil tertinggi Belanda yang berada di Asahan adalah Kontroler yang diperkuat dengan Gouverments Besluit tanggal 30 September 1867 nomor 2, tentang pembentukan Afdeling Asahan yang berkedudukan di Tanjung Balai. Berdasarkan keputusan itu juga, Asahan dibagi mejadi tiga wilayah pemerintahan, yaitu:
1. Onder Afdeling Batubara
2. Onder Afdeling Asahan
3. Onder Afdeling Labuhan Batu
Walaupun Belanda memegang kekuaasan tertinggi dan membagi Asahan menjadi tiga pemerintahan, namun, pemerintahan para Datuk di wilayah Batubara tetap diakui Belanda. Hanya saja, kekuasaannya telah jauh berkurang, tidak seperti sebelumnya. Secara khusus Belanda juga membagi wilayah kekuasaan sultan dan para datuk.
Untuk wilayah pemerintahan kesultanan, Belanda membaginya menjad distrik dan /onder /distrik, yaitu:
1. Distrik Tanjung Balai dan Onder Distrik Sungai Kepayang
2. Distrik Kisaran
3. Distrik Bandar Pulau dan Onder Distrik Bandar Pasir Mandoge
Sedangkan wilayah pemerintahan para datuk di Batubara dibagi menjadi wilayah /Self Bestuur/, yaitu:
1. Self Bestuur Indrapura
2. Self Bestuur Lima Puluh
3. Self Bestuur Pesisir
4. Self Bestuur Suku Dua (Bogak dan Lima Laras)
Ketika Belanda menyerah pada Jepang, maka Asahan otomatis berada di bawah kekuasaan Jepang. Saat itu, Jepang yang dipimpin oleh T. Jamada mengganti struktur pemerintahan di Asahan menjadi Bunsyu dan bawahannya Fuku Bunsyu. Daerah Fuku Bunsyu adalah Batubara, sementara yang lebih kecil diubah menjadi distrik.
Distrik-distrik tersebut adalah:
Tanjung Balai, Kisaran, Bandar Pulau, Pulau Rakyat dan Sei Kepayang.
Pemerintahan Fasisme Jepang berakhir pada tanggal 14 Agustus 1945 dan tanggal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan. Sesuai dengan perkembangan Ketatanegaraan RI, maka berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1945, Komite Nasional Indonesia wilayah Asahan dibentuk pada bulan September 1945. Pada saat itu pemerintahan yang dipegang oleh Jepang sudah tidak ada lagi, tapi pemerintahan Kesultanan dan pemerintahan Fuku Bunsyu di Batubara masih tetap ada. Pada tanggal 15 Maret 1946, berlaku struktur pemerintahan RI di Asahan dan wilayah Asahan dipimpin oleh Abdullah Eteng sebagai Kepala Wilayah dan Sori Harahap sebagai Wakil Kepala Wilayah, sedangkan Asahan dibagi atas 5 (lima) kewedanaan, yaitu:
1. Kewedanaan Tanjung Balai
2. Kewedanaan Kisaran
3. Kewedanaan Batubara Utara
4. Kewedanaan Batubara Selatan
5. Kewedanaan Bandar Pulau
Pada Konferensi Pamong Praja se-Keresidenan Sumatera Timur pada bulan Juni 1946 diadakan penyempurnaan struktur pemerintahan, yaitu:
1. Sebutan Wilayah Asahan diganti dengan Kabupaten Asahan
2. Sebutan Kepala Wilayah diganti dengan Bupati
3. Sebutan Wakil Kepala Wilayah diganti dengan Patih
4. Kabupaten Asahan dibagi menjadi 15 (lima belas) wilayah kecamatan, terdiri dari:
a) Kewedanaan Tanjung Balai dibagi atas:
* Kecamatan Tanjung Balai
* Kecamatan Air Joman
* Kecamatan Simpang Empat
* Kecamatan Sei Kepayang
b) Kewedanaan Kisaran dibagi atas:
* Kecamatan Kisaran
* Kecamatan Air Batu
* Kecamatan Buntu Pane
c) Kewedanaan Batubara Utara dibagi atas:
* Kecamatan Medang Deras
* Kecamatan Air Putih
d) Kewedanaan Batubara Selatan dibagi atas:
* Kecamatan Talawi
* Kecamatan Tanjung Tiram
* Kecamatan Lima Puluh
e) Kewedanaan Bandar Pulau dibagi atas:
* Kecamatan Bandar Pulau
* Kecamatan Pulau Rakyat
* Kecamatan Bandar Pasir Mandoge
Dengan mempertimbangkan posisi yang lebih strategis, maka pada tanggal 20 Mei 1968, melalui PP Nomor 19 Tahun 1980, ibukota Kabupaten Asahan dipindahkan dari Kota Tanjung Balai ke Kota Kisaran.
Sosial Budaya Masyarakat Asahan dan Tanjungbalai
Sebagai kesultanan yang berada dalam pengaruh kebuadayaan Islam, maka di Asahan juga berkembang kehidupan keagamaan yang cukup baik. Bahkan, ada seorang ulama terkenal yang lahir dari Asahan, yaitu Syeikh Abdul Hamid. Ia lahir tahun 1880 M (1298 H), dan wafat pada 18 Februari 1951 (10 Rabiul Awal 1370 H). Datuk, nenek dan ayahnya berasal dari Talu, Minangkabau. Syekh Abdul hamid belajar agama di Mekkah, karena itu, ia sangat disegani oleh para ulama zaman itu. Dalam perkembangannya, murid-murid Syekh Abdul Hamid inilah yang kelak mendirikan organisasi /Jamiyyatul Washliyyah/. Sebuah organisasi yang berbasis pada aliran sunni dan mashab Syafii. Dalam banyak hal, organisasi ini memiliki persamaan dengan /Persatuan Tarbiyah Islamiyah /(PERTI) yang didirikan oleh para ulama Minangkabau. Adanya banyak persamaan ini, karena memang para ulama tersebut saling bersahabat baik sejak mereka menuntut ilmu di Mekkah. Pandangan para tokoh agama ini sangat berbeda dengan paham reformis yang dibawa oleh para ulama muda Minangkabau, seperti Dr. Haji Abdul Karim Amrullah. Oleh sebab itu, sering terjadi polemik di antara para pengikut kedua paham yang berbeda ini. Di paruh pertama abad ke-20, sekitar tahun 1916, di Asahan telah berdiri sebuah sekolah yang disebut /Madrasah Ulumul Arabiyyah./ Sebagai direktur pertama, ditunjuk Syekh Abdul Hamid. Dalam perjalanannya, /madrasah Ulumul Arabiyah /ini kemudian berkembang menjadi salah satu pusat pendidikan Islam yang penting di Asahan, bahkan termasuk di antara madrasah yang terkenal di Sumatera Utara, sebanding dengan Madrasah Islam Stabat, Langkat, Madrasah Islam Binjai dan Madrasah al-Hasaniyah Medan. Di antara ulama terkenal lulusan sekolah Asahan ini adalah Syeikh Muhammad Arsyad Thalib Lubis (1908-1972 M). Peninggalan tertulis warisan Kerajaan Asahan hanya berkaitan dengan buku-buku di bidang keagamaan yang dikarang oleh para ulama untuk kepentingan pengajaran. Berikut ini beberapa buah buku yang dikarang oleh Syeikh Abdul Hamid di Asahan, yaitu: 1. Ad-Durusul Khulasiyah 2. Al-Mathalibul Jamaliyah 3. Al-Mamlakul ?Arabiyah. 4. Nujumul Ittiba. 5. Tamyizut Taqlidi Minal Ittiba. 6. Al-Ittiba. 7. Al-Mufradat. 8. Mi'rajun Nabi.
Asahan Kingdom
Asahan Kingdom began, when the Sultan of Aceh, Iskandar Muda travel to Johor and Malacca in 1612 AD On the way to that goal, this king's entourage rested in a region, upstream of a river which is then called shavings. Finish rest on this river, then proceed into an area shaped promontory, which is the area between the River Asahan meeting with Glare River. On the headland, the Sultan Iskandar to meet with King Simargolang. As a place facing to the king, in the area and then built a courtyard or hall. In its development, this area became a slum premises name Tanjung Balai. Because of its strategic location on the track trading route between Aceh and Malacca, the Tanjung Balai and then growing rapidly. From meeting with the King Sultan Iskandar Muda Simargolang above, their relationship later grew close to marriage of Sultan Iskandar Muda with one of the daughters of King Simargolang. From that marriage, then is born a son named Abdul Jalil. Later, Abdul Jalil which is the first shavings Sultan in 1630 AD On his way, because of the ties of kinship with Aceh, the kingdom has become subordinate to the Aceh region until the beginning of the 19th century AD On 12 September 1865 AD, conquered by the Dutch colonial shavings. When Indonesia became independent, Asahan join the Unitary Republic of Indonesia in 1946 AD In addition to the Aceh Sultanate Asahan relationship with the Kingdom of Batak is also intertwined with tenderness. In fact, Sisingamangaraja XII never took the initiative to woo the daughter of Sultan shavings. Proposal was approved by the Sultan of shavings, because they believe Sisingamangaraja are qualified to do the consent granted. But the wedding was canceled due to the entry of the Netherlands.
Kings Genealogy Asahan
1. Sri Paduka Raja Abdul Jalil I, son of the late Sultan Iskandar Muda Johan Sovereign (1630-16 .. M)
2. Sri Paduka Raja Said Shah, son of the late King Abdul Jalil (16 ..- 17 .. M)
3. Sri Paduka Raja Muhammad Mahrum Shah Ibni Al-Marhum King Said Shah (17 ..- 1760 AD)
4. Sri Paduka Raja Jalil Shah II Ibni Abdu al-Marhum Mahrum Raja Muhammad Shah (1760-1765 AD)
5. Sri Paduka Raja Shah Deva Ibni Abdul Jalil al-Marhum [al-Marhum died at White Sands) 1765-1805 AD)
6. Sri Paduka Raja Said Musa al-Marhum Ibni Shah Raja Shah Deva [al-Marhum died in-Rantau Panjang] (1805-1808 AD)
7. Sri Paduka Raja Muhammad Ali Shah Ibni Al-Marhum King Deva Shah 1808-1813 AD
8. Paduka Sri Sultan Tuanku Muhammad Rahmat Shah Husain I Ibni Al-Marhum Sultan Muhammad Ali Shah [al-Marhum Kampung Masjid] 1813-1859 CE)
9. Sri Paduka Tuanku Sultan Ahmad Shah Ibni Al-Marhum Sultan Muhammad Hussain Rahmat Shah 1859-1888 AD)
10. Sri Paduka Tuanku Al-Haj Abdullah Shah Nikmatullah Ibni Al-Marhum Raja Muhammad Ishaq, King endeavor and Leidong, also the in-Pertuan Muda in shavings. He ditujuk by the Netherlands after his brother, Sultan Ahmad Shah is derived by force (1865-1867 AD)
11. Paduka Sri Sultan Tuanku Muhammad Hussain Rahmat Shah II Ibni Al-Marhum Tengku Muhammad? Adil (1888-1915 AD)
12. Sri Paduka Tuanku Sultan Abdul Jalil Rahmat Shah Sha'ibun III ibn al-Marhum Sultan Muhammad Husain (1915-1980 AD)
Kingdom Government Travel Asahan
Throughout the period of its establishment, the Kingdom of shavings has been in power eleven kings. Asahan Kingdom Region covers the area now becomes Asahan District, North Sumatra, Indonesia. Asahan is a small kingdom that became subordinate Aceh, then automatically, the structure of the highest authority in the hands of the Sultan of Aceh. In areas Asahan itself, regardless of its relation to Aceh, the highest authority in the hands of the sultan, who holds his lordship Large / Sri Paduka Raja. Position the lower is his lordship Young. For the local Coal and smaller areas, the government is run by its progenitor. When the shavings were conquered by the Dutch on 12 September 1865, a change in power structure, with the Netherlands as the supreme ruler. Vice-highest in the Netherlands is the controller Asahan reinforced with Gouverments Besluit dated 30 September 1867 No. 2, concerning the formation of shavings Afdeling based in Tanjung Balai. Based on that decision also, shavings form the three regions divided government, namely:
1. Onder Afdeling Coal
2. Onder Afdeling Asahan
3. Onder Afdeling Labuhan Batu
Although the Netherlands held the highest and dividing kekuaasan shavings into three governments, however, the government in the region Datuk Coal remained the Dutch recognized. However, his power has been substantially reduced, not like before. In particular the Netherlands also share the sultan's territory and its progenitor.
For the imperial government, the Dutch share menjad district and / Onder / districts, namely:
1. Tanjung Balai Onder District and River District Kepayang
2. District Range
3. Airport District and Island District Onder Bandar Pasir Mandoge
While the government of the progenitor in the coal is divided into regions / Self Bestuur /, namely:
1. Self Bestuur Indrapura
2. Self Fifty Bestuur
3. Coastal Self Bestuur
4. Self Bestuur Spare Two (Bogak and Five Barrel)
When the Dutch surrendered to the Japanese, then the automatic shavings under the authority of Japan. At that time, Japan, led by T. Jamada changing governance structures in the shavings into Fuku Bunsyu Bunsyu and subordinates. Fuku Bunsyu Coal Region is, while a smaller converted into the district.
These districts are:
Tanjung Balai, Range, Island Airport, Island People and Sei Kepayang.
Japanese fascism reign ended on 14 August 1945 and August 17, 1945, the Republic of Indonesia proclaimed independence. In accordance with the constitutional development of Indonesia, then under Law No. 1 of 1945, the Indonesian National Committee of the shavings formed in September 1945. At that time held by the Japanese government that no longer exists, but government and administration Fuku Bunsyu Sultanate in Coal is still there. On March 15, 1946, the prevailing governance structures of RI in the shavings and shavings region led by Abdullah Eteng as Head of Regional and Sori Harahap as Deputy Head of the Territory, while the shavings are divided into 5 (five) kewedanaan, namely:
1. Kewedanaan Tanjung Balai
2. Kewedanaan Range
3. Kewedanaan North Coal
4. Kewedanaan South Coal
5. Bandar Kewedanaan Island
At the Conference of Civil Service as the Residency of East Sumatra in June 1946 was held perfecting the structure of government, namely:
1. Area designation is replaced with the District shavings shavings
2. The term Head of Regents replaced with
3. The term was replaced by Deputy Head of Regional Patih
4. Asahan District is divided into 15 (fifteen) sub-region, comprising:
a) Kewedanaan Tanjung Balai divided into:
* District of Tanjung Balai
* Water District Joman
* District Four Simpang
* Sub Sei Kepayang
b) Range Kewedanaan divided into:
* District Range
* Rock Water District
* District Blind Pane
c) Northern Coal Kewedanaan divided into:
* Sub Medang Running
* White Water Districts
d) South Coal Kewedanaan divided into:
* District Talawi
* District of Tanjung Tiram
* District Fifty
e) Kewedanaan Island Airport divided into:
* District Island Airport
* District People's Island
* Sub Bandar Pasir Mandoge
By considering a more strategic position, then on May 20, 1968, through Government Regulation No. 19 of 1980, the district capital of shavings removed from Cape Town to the City Hall Range.
Social and Cultural Communities Network Asahan
As the empire under the influence of Islamic kebuadayaan, then the shavings are also developing a pretty good religious life. In fact, there is a well-known cleric who was born from the shavings, namely Sheikh Abdul Hamid. He was born in 1880 AD (1298 AH), and died on February 18, 1951 (10 Rabi `Early 1370 H). Datuk, grandmother and father came from Talu, Minangkabau. Sheikh Abdul Hamid studied religion in Mecca, as such, he is very respected by the scholars of that age. In the process, the students Sheikh Abdul Hamid is what later founded the organization / Jamiyyatul Washliyyah /. An organization based on the flow of Sunni and mashab Syafii. In many ways, these organizations have in common with / Unity Tarbiyah Islamiyah / (like) established by the scholars Minangkabau. The existence of many of this equation, because the scholars are good friends with each other since they were studying in Mecca. Views of religious leaders is very different from the familiar reformist cleric who was taken by the young Minangkabau, like Dr. Haji Abdul Karim Amrullah. Therefore, frequent polemics between the followers of these two different understanding of this. In the first half of the 20th century, circa 1916, the shavings have been established a school called / Madrasah Ulumul Arabiyyah. / As the first director, appointed Sheikh Abdul Hamid. On his way, / madrasah Ulumul Arabiyah / This later developed into one of the important centers of Islamic education in Asahan, even among the well-known madrassa in North Sumatra, is proportional to the Stabat Islamic Madrasah, Langkat, Islamic Madrasah Madrasah al-Binjai and Medan Hasaniyah . Among the renowned scholars Asahan school graduates is Sheikh Muhammad Arsyad Thalib Lubis (1908-1972 AD). Written heritage heritage Asahan Kingdom deals only with the books in the religious field written by the scholars for teaching purposes. Here are a few books written by Sheikh Abdul Hamid in the shavings, which are: 1. Ad-Durusul Khulasiyah 2. Al-Mathalibul Jamaliyah 3. Al-Mamlakul? Arabiyah. 4. Nujumul Ittiba. 5. Minal taqlidi Tamyizut Ittiba. 6. Al-Ittiba. 7. Al-Mufradat. 8. Mi'rajun Prophet.
Kerajaan Asahan bermula, ketika Sultan Aceh, Iskandar Muda melakukan perjalanan ke Johor dan Malaka pada tahun 1612 M. Dalam perjalanan menuju tujuan tersebut, rombongan raja ini beristirahat di sebuah kawasan, di hulu sebuah sungai yang kemudian dinamakan Asahan. Selesai beristirahat di hulu sungai ini, kemudian perjalanan dilanjutkan ke sebuah daerah yang berbentuk tanjung, yaitu daerah pertemuan antara Sungai Asahan dengan Sungai Silau. Di tanjung tersebut, Sultan Iskandar bertemu dengan Raja Simargolang. Sebagai tempat menghadap kepada raja, di daerah tersebut kemudian dibangun sebuah pelataran atau balai. Dalam perkembangannya, daerah ini kemudian menjadi perkampungan denga nama Tanjung Balai. Karena letaknya yang strategis di lintasan jalur perdagangan antara Aceh dan Malaka, maka Tanjung Balai kemudian berkembang pesat. Dari pertemuan Sultan Iskandar Muda dengan Raja Simargolang di atas, hubungan mereka kemudian bertambah erat dengan perkawinan Sultan Iskandar Muda dengan salah seorang putri Raja Simargolang. Dari perkawinan tersebut, kemudian lahir seorang putra bernama Abdul Jalil. Kelak, Abdul Jalil inilah yang menjadi Sultan Asahan pertama pada tahun 1630 M. Dalam perjalanannya, karena adanya ikatan kekerabatan dengan Aceh, maka kerajaan ini menjadi daerah bawahan Aceh hingga awal abad ke-19 M. Pada 12 September 1865 M, Asahan ditaklukkan oleh kolonial Belanda. Ketika Indonesia merdeka, Asahan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1946 M. Selain dengan Aceh, hubungan Kesultanan Asahan dengan Kerajaan Batak juga terjalin dengan mesra. Bahkan, Sisingamangaraja XII pernah berinisiatif untuk meminang putri Sultan Asahan. Pinangan tersebut disetujui oleh Sultan Asahan, karena mereka yakin Sisingamangaraja telah memenuhi syarat untuk melakukan ijab kabul. Namun pernikahan tersebut batal akibat masuknya Belanda.
Silsilah Raja-raja Asahan
- Sri Paduka Raja Abdul Jalil I bin Almarhum Sultan Iskandar Muda Johan Berdaulat (1630-16.. M)
- Sri Paduka Raja Said Shah bin Almarhum Raja Abdul Jalil (16..-17..M)
- Sri Paduka Raja Muhammad Mahrum Shah ibni al-Marhum Raja Said Shah (17..-1760 M)
- Sri Paduka Raja Abdu Jalil Shah II ibni al-Marhum Raja Muhammad Mahrum Shah (1760-1765 M)
- Sri Paduka Raja Deva Shah ibni al-Marhum Abdul Jalil [al-Marhum Mangkat di Pasir Putih) 1765-1805 M)
- Sri Paduka Raja Said Musa Shah ibni al-Marhum Raja Deva Shah [al-Marhum Mangkat di-Rantau Panjang] (1805-1808 M)
- Sri Paduka Raja Muhammad Ali Shah ibni al-Marhum Raja Deva Shah 1808-1813 M
- Sri Paduka Tuanku Sultan Muhammad Husain Rahmad Shah I ibni al-Marhum Sultan Muhammad Ali Shah [al-Marhum Kampung Masjid] 1813-1859 M)
- Sri Paduka Tuanku Sultan Ahmad Shah ibni al-Marhum Sultan Muhammad Husain Rahmad Shah 1859-1888 M)
- Sri Paduka Tuanku Al-Haji Abdullah Nikmatullah Shah ibni al-Marhum Raja Muhammad Ishak, Raja Kualuh dan Leidong, juga Yang di-Pertuan Muda di Asahan. Ia ditujuk oleh Belanda setelah saudaranya, Sultan Ahmad Shah diturunkan secara paksa (1865-1867 M)
- Sri Paduka Tuanku Sultan Muhammad Husain Rahmad Shah II ibni al-Marhum Tengku Muhammad ?Adil (1888-1915 M)
- Sri Paduka Tuanku Sultan Sha'ibun Abdul Jalil Rahmad Shah III ibnu al-Marhum Sultan Muhammad Husain (1915-1980 M)
Perjalanan Pemerintahan Kerajaan Asahan
Sepanjang masa berdirinya, di Kerajaan Asahan telah berkuasa sebelas orang raja. Wilayah Kerajaan Asahan mencakup daerah yang sekarang menjadi Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, Indonesia. Asahan adalah kerajaan kecil yang menjadi bawahan Aceh, maka secara otomatis, struktur kekuasaan tertinggi berada di tangan Sultan Aceh. Di daerah Asahan sendiri, terlepas dari relasinya dengan Aceh, kekuasaan tertinggi berada di tangan sultan, yang bergelar Yang Dipertuan Besar/Sri Paduka Raja. Jabatan yang lebih rendah adalah Yang Dipertuan Muda. Untuk daerah Batubara dan kawasan yang lebih kecil, pemerintahan dijalankan oleh para datuk. Ketika Asahan ditaklukkan oleh Belanda pada 12 September 1865, terjadi perubahan struktur kekuasaan, dengan Belanda sebagai penguasa tertinggi. Wakil tertinggi Belanda yang berada di Asahan adalah Kontroler yang diperkuat dengan Gouverments Besluit tanggal 30 September 1867 nomor 2, tentang pembentukan Afdeling Asahan yang berkedudukan di Tanjung Balai. Berdasarkan keputusan itu juga, Asahan dibagi mejadi tiga wilayah pemerintahan, yaitu:
1. Onder Afdeling Batubara
2. Onder Afdeling Asahan
3. Onder Afdeling Labuhan Batu
Walaupun Belanda memegang kekuaasan tertinggi dan membagi Asahan menjadi tiga pemerintahan, namun, pemerintahan para Datuk di wilayah Batubara tetap diakui Belanda. Hanya saja, kekuasaannya telah jauh berkurang, tidak seperti sebelumnya. Secara khusus Belanda juga membagi wilayah kekuasaan sultan dan para datuk.
Untuk wilayah pemerintahan kesultanan, Belanda membaginya menjad distrik dan /onder /distrik, yaitu:
1. Distrik Tanjung Balai dan Onder Distrik Sungai Kepayang
2. Distrik Kisaran
3. Distrik Bandar Pulau dan Onder Distrik Bandar Pasir Mandoge
Sedangkan wilayah pemerintahan para datuk di Batubara dibagi menjadi wilayah /Self Bestuur/, yaitu:
1. Self Bestuur Indrapura
2. Self Bestuur Lima Puluh
3. Self Bestuur Pesisir
4. Self Bestuur Suku Dua (Bogak dan Lima Laras)
Ketika Belanda menyerah pada Jepang, maka Asahan otomatis berada di bawah kekuasaan Jepang. Saat itu, Jepang yang dipimpin oleh T. Jamada mengganti struktur pemerintahan di Asahan menjadi Bunsyu dan bawahannya Fuku Bunsyu. Daerah Fuku Bunsyu adalah Batubara, sementara yang lebih kecil diubah menjadi distrik.
Distrik-distrik tersebut adalah:
Tanjung Balai, Kisaran, Bandar Pulau, Pulau Rakyat dan Sei Kepayang.
Pemerintahan Fasisme Jepang berakhir pada tanggal 14 Agustus 1945 dan tanggal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan. Sesuai dengan perkembangan Ketatanegaraan RI, maka berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1945, Komite Nasional Indonesia wilayah Asahan dibentuk pada bulan September 1945. Pada saat itu pemerintahan yang dipegang oleh Jepang sudah tidak ada lagi, tapi pemerintahan Kesultanan dan pemerintahan Fuku Bunsyu di Batubara masih tetap ada. Pada tanggal 15 Maret 1946, berlaku struktur pemerintahan RI di Asahan dan wilayah Asahan dipimpin oleh Abdullah Eteng sebagai Kepala Wilayah dan Sori Harahap sebagai Wakil Kepala Wilayah, sedangkan Asahan dibagi atas 5 (lima) kewedanaan, yaitu:
1. Kewedanaan Tanjung Balai
2. Kewedanaan Kisaran
3. Kewedanaan Batubara Utara
4. Kewedanaan Batubara Selatan
5. Kewedanaan Bandar Pulau
Pada Konferensi Pamong Praja se-Keresidenan Sumatera Timur pada bulan Juni 1946 diadakan penyempurnaan struktur pemerintahan, yaitu:
1. Sebutan Wilayah Asahan diganti dengan Kabupaten Asahan
2. Sebutan Kepala Wilayah diganti dengan Bupati
3. Sebutan Wakil Kepala Wilayah diganti dengan Patih
4. Kabupaten Asahan dibagi menjadi 15 (lima belas) wilayah kecamatan, terdiri dari:
a) Kewedanaan Tanjung Balai dibagi atas:
* Kecamatan Tanjung Balai
* Kecamatan Air Joman
* Kecamatan Simpang Empat
* Kecamatan Sei Kepayang
b) Kewedanaan Kisaran dibagi atas:
* Kecamatan Kisaran
* Kecamatan Air Batu
* Kecamatan Buntu Pane
c) Kewedanaan Batubara Utara dibagi atas:
* Kecamatan Medang Deras
* Kecamatan Air Putih
d) Kewedanaan Batubara Selatan dibagi atas:
* Kecamatan Talawi
* Kecamatan Tanjung Tiram
* Kecamatan Lima Puluh
e) Kewedanaan Bandar Pulau dibagi atas:
* Kecamatan Bandar Pulau
* Kecamatan Pulau Rakyat
* Kecamatan Bandar Pasir Mandoge
Dengan mempertimbangkan posisi yang lebih strategis, maka pada tanggal 20 Mei 1968, melalui PP Nomor 19 Tahun 1980, ibukota Kabupaten Asahan dipindahkan dari Kota Tanjung Balai ke Kota Kisaran.
Sosial Budaya Masyarakat Asahan dan Tanjungbalai
Sebagai kesultanan yang berada dalam pengaruh kebuadayaan Islam, maka di Asahan juga berkembang kehidupan keagamaan yang cukup baik. Bahkan, ada seorang ulama terkenal yang lahir dari Asahan, yaitu Syeikh Abdul Hamid. Ia lahir tahun 1880 M (1298 H), dan wafat pada 18 Februari 1951 (10 Rabiul Awal 1370 H). Datuk, nenek dan ayahnya berasal dari Talu, Minangkabau. Syekh Abdul hamid belajar agama di Mekkah, karena itu, ia sangat disegani oleh para ulama zaman itu. Dalam perkembangannya, murid-murid Syekh Abdul Hamid inilah yang kelak mendirikan organisasi /Jamiyyatul Washliyyah/. Sebuah organisasi yang berbasis pada aliran sunni dan mashab Syafii. Dalam banyak hal, organisasi ini memiliki persamaan dengan /Persatuan Tarbiyah Islamiyah /(PERTI) yang didirikan oleh para ulama Minangkabau. Adanya banyak persamaan ini, karena memang para ulama tersebut saling bersahabat baik sejak mereka menuntut ilmu di Mekkah. Pandangan para tokoh agama ini sangat berbeda dengan paham reformis yang dibawa oleh para ulama muda Minangkabau, seperti Dr. Haji Abdul Karim Amrullah. Oleh sebab itu, sering terjadi polemik di antara para pengikut kedua paham yang berbeda ini. Di paruh pertama abad ke-20, sekitar tahun 1916, di Asahan telah berdiri sebuah sekolah yang disebut /Madrasah Ulumul Arabiyyah./ Sebagai direktur pertama, ditunjuk Syekh Abdul Hamid. Dalam perjalanannya, /madrasah Ulumul Arabiyah /ini kemudian berkembang menjadi salah satu pusat pendidikan Islam yang penting di Asahan, bahkan termasuk di antara madrasah yang terkenal di Sumatera Utara, sebanding dengan Madrasah Islam Stabat, Langkat, Madrasah Islam Binjai dan Madrasah al-Hasaniyah Medan. Di antara ulama terkenal lulusan sekolah Asahan ini adalah Syeikh Muhammad Arsyad Thalib Lubis (1908-1972 M). Peninggalan tertulis warisan Kerajaan Asahan hanya berkaitan dengan buku-buku di bidang keagamaan yang dikarang oleh para ulama untuk kepentingan pengajaran. Berikut ini beberapa buah buku yang dikarang oleh Syeikh Abdul Hamid di Asahan, yaitu: 1. Ad-Durusul Khulasiyah 2. Al-Mathalibul Jamaliyah 3. Al-Mamlakul ?Arabiyah. 4. Nujumul Ittiba. 5. Tamyizut Taqlidi Minal Ittiba. 6. Al-Ittiba. 7. Al-Mufradat. 8. Mi'rajun Nabi.
Asahan Kingdom
Asahan Kingdom began, when the Sultan of Aceh, Iskandar Muda travel to Johor and Malacca in 1612 AD On the way to that goal, this king's entourage rested in a region, upstream of a river which is then called shavings. Finish rest on this river, then proceed into an area shaped promontory, which is the area between the River Asahan meeting with Glare River. On the headland, the Sultan Iskandar to meet with King Simargolang. As a place facing to the king, in the area and then built a courtyard or hall. In its development, this area became a slum premises name Tanjung Balai. Because of its strategic location on the track trading route between Aceh and Malacca, the Tanjung Balai and then growing rapidly. From meeting with the King Sultan Iskandar Muda Simargolang above, their relationship later grew close to marriage of Sultan Iskandar Muda with one of the daughters of King Simargolang. From that marriage, then is born a son named Abdul Jalil. Later, Abdul Jalil which is the first shavings Sultan in 1630 AD On his way, because of the ties of kinship with Aceh, the kingdom has become subordinate to the Aceh region until the beginning of the 19th century AD On 12 September 1865 AD, conquered by the Dutch colonial shavings. When Indonesia became independent, Asahan join the Unitary Republic of Indonesia in 1946 AD In addition to the Aceh Sultanate Asahan relationship with the Kingdom of Batak is also intertwined with tenderness. In fact, Sisingamangaraja XII never took the initiative to woo the daughter of Sultan shavings. Proposal was approved by the Sultan of shavings, because they believe Sisingamangaraja are qualified to do the consent granted. But the wedding was canceled due to the entry of the Netherlands.
Kings Genealogy Asahan
1. Sri Paduka Raja Abdul Jalil I, son of the late Sultan Iskandar Muda Johan Sovereign (1630-16 .. M)
2. Sri Paduka Raja Said Shah, son of the late King Abdul Jalil (16 ..- 17 .. M)
3. Sri Paduka Raja Muhammad Mahrum Shah Ibni Al-Marhum King Said Shah (17 ..- 1760 AD)
4. Sri Paduka Raja Jalil Shah II Ibni Abdu al-Marhum Mahrum Raja Muhammad Shah (1760-1765 AD)
5. Sri Paduka Raja Shah Deva Ibni Abdul Jalil al-Marhum [al-Marhum died at White Sands) 1765-1805 AD)
6. Sri Paduka Raja Said Musa al-Marhum Ibni Shah Raja Shah Deva [al-Marhum died in-Rantau Panjang] (1805-1808 AD)
7. Sri Paduka Raja Muhammad Ali Shah Ibni Al-Marhum King Deva Shah 1808-1813 AD
8. Paduka Sri Sultan Tuanku Muhammad Rahmat Shah Husain I Ibni Al-Marhum Sultan Muhammad Ali Shah [al-Marhum Kampung Masjid] 1813-1859 CE)
9. Sri Paduka Tuanku Sultan Ahmad Shah Ibni Al-Marhum Sultan Muhammad Hussain Rahmat Shah 1859-1888 AD)
10. Sri Paduka Tuanku Al-Haj Abdullah Shah Nikmatullah Ibni Al-Marhum Raja Muhammad Ishaq, King endeavor and Leidong, also the in-Pertuan Muda in shavings. He ditujuk by the Netherlands after his brother, Sultan Ahmad Shah is derived by force (1865-1867 AD)
11. Paduka Sri Sultan Tuanku Muhammad Hussain Rahmat Shah II Ibni Al-Marhum Tengku Muhammad? Adil (1888-1915 AD)
12. Sri Paduka Tuanku Sultan Abdul Jalil Rahmat Shah Sha'ibun III ibn al-Marhum Sultan Muhammad Husain (1915-1980 AD)
Kingdom Government Travel Asahan
Throughout the period of its establishment, the Kingdom of shavings has been in power eleven kings. Asahan Kingdom Region covers the area now becomes Asahan District, North Sumatra, Indonesia. Asahan is a small kingdom that became subordinate Aceh, then automatically, the structure of the highest authority in the hands of the Sultan of Aceh. In areas Asahan itself, regardless of its relation to Aceh, the highest authority in the hands of the sultan, who holds his lordship Large / Sri Paduka Raja. Position the lower is his lordship Young. For the local Coal and smaller areas, the government is run by its progenitor. When the shavings were conquered by the Dutch on 12 September 1865, a change in power structure, with the Netherlands as the supreme ruler. Vice-highest in the Netherlands is the controller Asahan reinforced with Gouverments Besluit dated 30 September 1867 No. 2, concerning the formation of shavings Afdeling based in Tanjung Balai. Based on that decision also, shavings form the three regions divided government, namely:
1. Onder Afdeling Coal
2. Onder Afdeling Asahan
3. Onder Afdeling Labuhan Batu
Although the Netherlands held the highest and dividing kekuaasan shavings into three governments, however, the government in the region Datuk Coal remained the Dutch recognized. However, his power has been substantially reduced, not like before. In particular the Netherlands also share the sultan's territory and its progenitor.
For the imperial government, the Dutch share menjad district and / Onder / districts, namely:
1. Tanjung Balai Onder District and River District Kepayang
2. District Range
3. Airport District and Island District Onder Bandar Pasir Mandoge
While the government of the progenitor in the coal is divided into regions / Self Bestuur /, namely:
1. Self Bestuur Indrapura
2. Self Fifty Bestuur
3. Coastal Self Bestuur
4. Self Bestuur Spare Two (Bogak and Five Barrel)
When the Dutch surrendered to the Japanese, then the automatic shavings under the authority of Japan. At that time, Japan, led by T. Jamada changing governance structures in the shavings into Fuku Bunsyu Bunsyu and subordinates. Fuku Bunsyu Coal Region is, while a smaller converted into the district.
These districts are:
Tanjung Balai, Range, Island Airport, Island People and Sei Kepayang.
Japanese fascism reign ended on 14 August 1945 and August 17, 1945, the Republic of Indonesia proclaimed independence. In accordance with the constitutional development of Indonesia, then under Law No. 1 of 1945, the Indonesian National Committee of the shavings formed in September 1945. At that time held by the Japanese government that no longer exists, but government and administration Fuku Bunsyu Sultanate in Coal is still there. On March 15, 1946, the prevailing governance structures of RI in the shavings and shavings region led by Abdullah Eteng as Head of Regional and Sori Harahap as Deputy Head of the Territory, while the shavings are divided into 5 (five) kewedanaan, namely:
1. Kewedanaan Tanjung Balai
2. Kewedanaan Range
3. Kewedanaan North Coal
4. Kewedanaan South Coal
5. Bandar Kewedanaan Island
At the Conference of Civil Service as the Residency of East Sumatra in June 1946 was held perfecting the structure of government, namely:
1. Area designation is replaced with the District shavings shavings
2. The term Head of Regents replaced with
3. The term was replaced by Deputy Head of Regional Patih
4. Asahan District is divided into 15 (fifteen) sub-region, comprising:
a) Kewedanaan Tanjung Balai divided into:
* District of Tanjung Balai
* Water District Joman
* District Four Simpang
* Sub Sei Kepayang
b) Range Kewedanaan divided into:
* District Range
* Rock Water District
* District Blind Pane
c) Northern Coal Kewedanaan divided into:
* Sub Medang Running
* White Water Districts
d) South Coal Kewedanaan divided into:
* District Talawi
* District of Tanjung Tiram
* District Fifty
e) Kewedanaan Island Airport divided into:
* District Island Airport
* District People's Island
* Sub Bandar Pasir Mandoge
By considering a more strategic position, then on May 20, 1968, through Government Regulation No. 19 of 1980, the district capital of shavings removed from Cape Town to the City Hall Range.
Social and Cultural Communities Network Asahan
As the empire under the influence of Islamic kebuadayaan, then the shavings are also developing a pretty good religious life. In fact, there is a well-known cleric who was born from the shavings, namely Sheikh Abdul Hamid. He was born in 1880 AD (1298 AH), and died on February 18, 1951 (10 Rabi `Early 1370 H). Datuk, grandmother and father came from Talu, Minangkabau. Sheikh Abdul Hamid studied religion in Mecca, as such, he is very respected by the scholars of that age. In the process, the students Sheikh Abdul Hamid is what later founded the organization / Jamiyyatul Washliyyah /. An organization based on the flow of Sunni and mashab Syafii. In many ways, these organizations have in common with / Unity Tarbiyah Islamiyah / (like) established by the scholars Minangkabau. The existence of many of this equation, because the scholars are good friends with each other since they were studying in Mecca. Views of religious leaders is very different from the familiar reformist cleric who was taken by the young Minangkabau, like Dr. Haji Abdul Karim Amrullah. Therefore, frequent polemics between the followers of these two different understanding of this. In the first half of the 20th century, circa 1916, the shavings have been established a school called / Madrasah Ulumul Arabiyyah. / As the first director, appointed Sheikh Abdul Hamid. On his way, / madrasah Ulumul Arabiyah / This later developed into one of the important centers of Islamic education in Asahan, even among the well-known madrassa in North Sumatra, is proportional to the Stabat Islamic Madrasah, Langkat, Islamic Madrasah Madrasah al-Binjai and Medan Hasaniyah . Among the renowned scholars Asahan school graduates is Sheikh Muhammad Arsyad Thalib Lubis (1908-1972 AD). Written heritage heritage Asahan Kingdom deals only with the books in the religious field written by the scholars for teaching purposes. Here are a few books written by Sheikh Abdul Hamid in the shavings, which are: 1. Ad-Durusul Khulasiyah 2. Al-Mathalibul Jamaliyah 3. Al-Mamlakul? Arabiyah. 4. Nujumul Ittiba. 5. Minal taqlidi Tamyizut Ittiba. 6. Al-Ittiba. 7. Al-Mufradat. 8. Mi'rajun Prophet.
Komentar
Posting Komentar